Jumat, Maret 17, 2023

 

ASET NAJIS DAN ILLICIT ENRICHMENT

Pendahuluan

Developing countries lose between US$20 to US$40 billion each year through bribery, misappropriation of funds, and other corrupt practices. Much of the proceeds of corruption find "safe haven" in the world's financial centers. These criminal flows are a drain on social services and economic development programs, contributing to the further impoverishment of the world's poorest countries. The victims include children in need of education, patients in need of treatment, and all members of society who contribute their fair share and deserve assurance that public funds are being used to improve their lives[1]

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Ketika seorang pejabat publik (penyelenggara negara) melakukan korupsi, maka yang dilakukan adalah kejahatan terhadap publik. Pencurian aset publik merugikan sendi-sendi kehidupan suatu negara korban, melemahkan kepercayaan pada institusi publik, merusak iklim investasi dan mengancam fondasi masyarakat secara keseluruhan. Jika seorang koruptor sudah ditangkap, diadili dan mendapatkan pidana kurungan, selanjutnya apa? Apakah kekayaan negara yang dicurinya seluruhnya dikembalikan? Di Indonesia, per se UU Tipikor, titik berat penindakan hanya sampai pada pelaku korupsinya saja. Aset hasil korupsi yang disita hanyalah aset yang menjadi alat bukti saja. Timbul pertanyaan, jangan-jangan aparatur penegakan hukum tidak mengetahui berapa percisnya aset hasil korupsi yang dikuasai oleh koruptor. Menurut perkiraan dan taksasi dari OECD, aset recovery di Indonesia tidak mencapai 40%[2]. Secara pribadi saya berpendapat bahwa penindakan terhadap pelaku korupsi di Indonesia hanya selesai sampai dengan penjatuhan sanksi pidana. Untuk mendorong triumvirat pemberantasan korupsi, wa bil khusus KPK, kinerjanya tidak hanya diukur dari pencegahan, penindakan dan pemberantasan saja, tetapi termasuk aset recovery. Meminjam nomina dari ilmu ekonomi, seharusnya diukur cost dan benefitnya dalam arti, seharusnya segala macam biaya yang timbul dari penindakan, penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi tercover dari stolen aset recovery. Alih-alih mencari mekanisme stolen aset recovery, malahan yang terdengar adalah “memiskinkan koruptor”, lagi-lagi titik beratnya hanya pada pelakunya saja. Keberhasilan pemberantasan tipikor tidak cukup jika hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi.  Pengembalian aset hasil tipikor sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tipikor merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tipikor dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku.  Oleh karenanya strategi meminimalisir kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai lembaga negara (Dirjen Pajak, OJK, Bank Indonesia, PPATK)

Latar Belakang Masalah

Indonesia telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dalam bentuk UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against. Corruption, 2003. Sebagai negara pihak, Indonesia berkepentingan sekaligus berkewajiban melakukan penyesuaian standar hukum, regulasi, dan strategi pemberantasan korupsi di level Internasional. Article 20 Illicit enrichment berbunyi:

Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting[3] such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.

Substansi pasal 20 UNCAC ini adalah dikaitkan dengan tujuan merampas aset najis (illicit) yang dimiliki bukan saja koruptor, tetapi seluruh pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) yang tidak tidak dapat dijelaskan atau tidak masuk akal jika dibandingkan dengan nilai pendapatan resminya, baik yang dilaporkan melalui mekanisme SPT Pajak maupun LHKPN.  Unsur-unsur Pasal 2 UU Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling dst dst, ditikberatkan pada aspek pelaku yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum. Berdasarkan pasal 2 ini pula seseorang hanya dapat dijerat dengan Pasal 2 setidaknya harus melakukan perbuatan yang dilarang oleh Hukum Positif, yakni korupsi. Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU 31/1999 jo 20/2001 telah mengatur sebagian substansi Pasal 20 UNCAC. Akan tetapi, frasa pada ayat (2) “penemuan adanya kekayaan yang tidak seimbang” pada UU Tipikor hanya diposisikan sebagai alat bukti, bukan sebagai sebuah kejahatan/tindak pidana tersendiri seperti yang diatur pada Pasal 20 UNCAC. Pasal 37A ayat (1) kuat dipengaruhi oleh Pasal 39 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 KUHAP, yakni, hanya pada benda yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan tindak pidana, benda-benda yang tidak terkait secara langsung dengan terjadinya sebuah peristiwa pidana tidak dapat disita oleh penyidik[4]. Nampaknya sistem hukum pidana Indonesia membatasi penyitaan, perampasan hanya kepada benda yang merupakan barang bukti saja.

Permasalahan

Perampasan aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting artinya, berdasarkan pengalaman mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya, dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat korupsi selama tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrument tipikor. Perampasan aset yang berasal dari tipikor melalui jalur pidana (convicted based asset foifeiture) merupakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999. Perampasan aset harus didasarkan pada putusan pengadilan yang tertuang dalam amar putusan dengan penetapan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dan perampasan harta benda milik terdakwa bilamana terdakwa tidak membayar uang pengganti.

Pembahasan

Stolen asset recovery melalui UU Tipikor nampaknya tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor memiliki akses yang luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin rumir dengan kompleksitas tinggi dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri dilakukan. Hambatan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan teori sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman[5], yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: (a) Substansi hukum (Legal Substance), dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum terkait tindak pidana korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas terkait tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara secara lebih terperinci, mengingat urgensi dari pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi (b) Struktur Hukum (Legal Structure), yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. Dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara mensyaratkan koordinasi diantara penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan putusan, dan jaksa yang nantinya melaksanakan putusan terutama terkait sita dan lelang terhadap harta benda terpidana kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian kerugian keuangan negara (c) Budaya Hukum (Legal Culture), merupakan bagian dari budaya pada umumnya yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu). Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran menjadi acuh dan permisive.

Selain mekanisme perampasan secara pidana (criminal forfeiture atau convicted based asset foifeiture), terdapat juga mekanisme perampasan secara perdata (non convicted based asset forfeiture). Mereka berbagi tujuan yang sama, yaitu perampasan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil/sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan, yakni pada saat sanksi pidana dijatuhkan dan dilaksanakan, seharusnya kegiatan pelanggaran hukum harus berakhir. Dalam hal ini dilakukan dengan merampas seluruh harta yang berasal dari tipikor (tidak sebatas alat bukti saja, seperti yang selama ini dianut yakni ayat (1) Pasal 37A).

Perampasan aset dengan mekanisme non-conviction based forfeiture, adalah suatu perampasan aset yang dilakukan bukan berasal dari kasus pidana, negara diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan NCBF terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil perolehan tipikor, dimana gugatan in rem diajukan tanpa perlu adanya suatu kasus pidana atau setelah kasus pidana tersebut diputus oleh majelis hakim. Perampasan aset secara in rem adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset tersebut ‘tercemar’ (ternodai) oleh tindak pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa pelaku tipikor tetapi melawan aset hasil tipikor, maka pemilik aset diposisikan sebagai pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan aset. NCBF ini memiliki keunggulan yakni: (1) dapat dilakukan meskipun terdakwanya meninggal dunia; (2) dapat dilakukan meskipun terdakwa melarikan diri; (3) dapat dilakukan tanpa adanya penuntutan yang disebabkan oleh keadaan tertentu; (4) Tidak perlu mengetahui siapa pemilik aset yang akan dirampas. Suatu aset bersalah jika tanpa disertai pertanggung jawaban dari seorang subjek hukum yang memiliki benda tersebut karena hak kepemilikan sebelumnya telah hilang karena tindakan melawan hukum yang telah dilakukan. Setiap pemilik aset harus mengetahui aset yang ia miliki sendiri dan juga tahu untuk apa aset tersebut dapat digunakan dan apa kewajiban yang menempel di dalam aset tersebut, oleh karena itu jika pemilik aset telah melanggar suatu kewajiban atau mendapatkan secara melawan hukum maka seketika hak kepemilikannya hilang[6]. Beban pembuktian merupakan beban penuntut menjadi relative ringan, karena cukup memperlihatkan alasan yang wajar (reasonable ground) untuk menunjukkan bahwa aset tersebut merupakan subjek dari perampasan, penuntut membuktikan dengan suatu penyebab kemungkinan (probable cause) dan setelah itu beban pembuktian bergeser pada penggugat (yang disebut shifting the burden of proof). Pemilik aset wajib membuktikan bahwa aset yang ia miliki tidak berasal dari perbuatan yang melawan hukum. Terlebih kepada pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) telah dikenai kewajiban menyampaikan LHKPN atau LHKASN[7]. Selanjutnya, mekanisme pembuktian terbalik sebagaimana diatur pada pasal 77 dan pasal 78 UU TPPU dapat diterapkan[8]. Menggunakan pendekatan NCBF ini sebetulnya persoalan stolen asset recovery bukan suatu hal yang rumit dan kompleks. Persoalannya adalah political will dari pemerintah (bukan negara) sebagai eksekutif untuk menegakkan Pasal 20 UNCAC yang telah diratifikasi.

Jalan lain yang dapat ditempuh adalah berkerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak yang mewajibkan setiap orang untuk memiliki NPWP dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan. Dari SPT ini penghasilan dan sumber-sumbernya dapat dikonfirmasi dan divalidasi.

Penutup

Alternative mekanisme perampasan aset sudah tersedia sejak Indonesia meratikasi konvensi UNCAC 2003 dalam bentuk UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against. Corruption, 2003. Article 20 konvensi UNCAC sejatinya merupakan rekomendasi/saran bagi negara-negara pihak (termasuk Indonesia) untuk membuat dan mengesahkan UU perampasan aset yang berbasiskan non-conviction based forfeiture yang bertujuan mempermudah stolen assets recovery. Nampaknya terdapat kegamangan terhadap Article 20 konvensi tersebut yang menyangkut illicit enrichment, karena banyak pejabat publik (pejabat negara) yang nilai kekayaannya di luar kewajaran dibandingkan dengan penghasilannya, apalagi jika dikaitkan dengan kepatuhan dan akurasi LHKPN serta SPT Pajak Tahunannya.

RUU dan naskah akademis RUU Perampasan Aset sudah diselesaikan sejak tahun 2012, tetapi maju mundur, keluar masuk dari prolegnas. Posisi terakhir terdapat 81 RUU yang diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2023, didalamnya terdapat RUU Perampasan Aset.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Permasalahan Hukum Seputar Perampasan Aset Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Upaya Pengoptimalisasiannya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2021

Dr. Ramelan, S.H., M.H et al, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I, 2012

Imelda F.K. Bureni, Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 45, No 4 (2016)

Indonesia Corruption Watch, Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law, disampaikan pada Anti-corrutpion Public Forum of UNCAC 24th – 26th January 2008 and 2nd Confrence of State Party (CoSP) Nusa Dua-Bali, 28th January – 1st February 2008

Irwan Hafid, Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Economic Analysis of Law, Lex Renaissan, No. 1 Vol. 6 Juli 2021: 465-480

Jean-Pierre Brun; Dubois, Pascale Helene; van der Does de Willebois, Emile; Hauch, Jeanne; Jaïs, Sarah; Mekki, Yannis; Sotiropoulou, Anastasia; Sylvester, Katherine Rose; and Uttamchandani, Mahesh. 2015. Public Wrongs, Private Actions: Civil Lawsuits to Recover Stolen Assets. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0370-3. License: Creative Commons Attribution CC BY 3.0 IGO

Larissa Gray, Kjetil Hansen, Pranvera Recica-Kirkbride, Linnea Mills, Few and Far The Hard Facts on Stolen Asset Recovery, the United Nations Office on Drugs and Crime and World Bank, 2014

Refki Saputra, Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia, Jurnal Integritas, Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Sigit Prabawa Nugraha, Kebijakan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Procceding: Call for Paper National Conference for Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju Era Digital Society, 17 – 18 November 2020., ISBN: 978-979-3599-13-7

Sekar Langit Jatu Pamungkas dan Kuswardani, Undang-Undang tentang Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Suatu Kebutuhan Mendesak, Rechtsidee, Vol 9 (2021): December, DOI: https://doi.org/10.21070/jihr.v9i0.762

Teddy Lesmana, Pokok-Pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman: Sistem Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, tersedia di https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-friedman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/

https://nasional.kompas.com/read/2022/08/29/18145561/baleg-81-ruu-diusulkan-masuk-prolegnas-prioritas-2023-salah-satunya

 



[1] Jean-Pierre Brun; Dubois, Pascale Helene; van der Does de Willebois, Emile; Hauch, Jeanne; Jaïs, Sarah; Mekki, Yannis; Sotiropoulou, Anastasia; Sylvester, Katherine Rose; and Uttamchandani, Mahesh. 2015. Public Wrongs, Private Actions: Civil Lawsuits to Recover Stolen Assets. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0370-3. License: Creative Commons Attribution CC BY 3.0 IGO,

[2] StAR and OECD, 2011. Tracking Anti-Corruption and Asset Recovery Commitments: A Progress Report and Recommendations for Action. Paris: OECD. http://www.oecd.org.dac/governance-development/49263968.pdf  and www.worldbank.org/star

[3] Diterjemahkan bebas sebagai wajib mempertimbangkan pembentukan UU terkait illicit enrichment

[4] Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata rampas yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi

[5] Teddy Lesmana, Pokok-Pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman: Sistem Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, tersedia di https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-friedman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/

[6] perampasan aset secara NCBF lazim dalam hukum maritim: kapal yang digunakan untuk melakukan penyelundupan barang (ilegal) membuat kapal tersebut menjadi “bersalah” dan dapat lakukan penyitaan terhadap kapal tersebut.

[7] Melalui mekanisme LHKPN/LHKASN, kewajaran kekayaan seorang pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) dapat dilacak (tahun perolehan, sumber, lokasi)

[8] pembuktian terbalik masih memiliki keterbatasan, karena Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya.

Jumat, Agustus 05, 2022

Dari Pinjal, Lintah Darat, Rentenir, Hingga Pinjol

 

Pinjal, Lintah Darat, Rentenir, Pinjol

Kebetulan terdapat kemiripan perilaku antara pinjol yang merupakan kepanjangan dari pinjaman online dengan pinjal dari ordo Siphonaptera, yang kesukaannya menghisap darah dari inang yang ditumpanginya. Menurut Richman dan Koehler, telah ditemukan lebih dari 2.000 spesies pinjal di seluruh dunia. Pinjol juga memiliki sifat-sifat pinjal, melekat erat di tubuh inangnya. Bagi hobbyist kucing atau anjing, untuk melepaskan pinjal dari hewan peliharaannya harus menggunakan alat bantu berupa pinset dan tumbukan batu untuk menggencet pinjal supaya mati. Serupa dengan pinjal, ada juga lintah, yang sekitar tiga perempat dari jumlah spesies lintah bersifat parasit yaitu hidup dengan mengisap darah inangnya, yang merekat erat di bagian tubuh yang diisap dan baru bisa lepas jika diberi cairan larutan tembakau.

Dalam bahasa Inggris, lintah (leech) menurut Merriam Webster Dictionary adalah any of numerous carnivorous or bloodsucking usually freshwater annelid worms. Karena sifatnya yang menempel erat pada mangsanya, lintah juga memiliki arti seseorang yang mengakrabi, berakrab-akrab atau sok akrab dengan orang lain demi mencari keuntungan bagi dirinya

Dalam bahasa Indonesia, "lintah darat" adalah ungkapan untuk orang yang berdagang uang, memperjualbelikan uang sebagai komoditas dengan harga yang amat sangat tinggi dengan cara memberi pinjaman uang dengan bunga sangat tinggi.

Aplikasi fintech kegiatan usahanya bervariasi dari A sampai Z. Ada fintech yang membantu proses pembayaran, membantu proses pembelian barang dan jasa termasuk investasi, hingga fintech Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang disandarkan pada POJK No 77/POJK.01/2016 yang kemudian memiliki nickname pinjol sebagai kepanjangan dari pinjaman online.

Sebelum yang sekarang disebut aplikasi fintech pinjaman online dikenal dan kemudian menjadi wabah, bisa kita saksikan beberapa daerah yang warganya sadar …….memasang spanduk besar “rentenir dan lintah darat dilarang masuk wilayah ini” karena dulu yang namanya lintah darat memang datang secara fisik menawarkan utang atau menagih angsuran dan bunga. Kini karena kemajuan teknologi, rentenir dan lintah darat bermetamorposis dan berubah bentuk menjadi pinjol, mereka tidak perlu lagi datang secara fisik untuk menawarkan utang atau menagih angsuran dan bunga. Tidak hanya beriklan, tetapi juga menggunakan SMS blast atau WA blast, sehingga semua anggota masyarakat yang memiliki nomer telepon cellular akan mendapat SMS atau WA. Dalam nomenklatur OJK, pinjol ini diberi nama Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang dimaksudkan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Namun apakah benar terjadi pertemuan langsung antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman? Tidak! Sebagaimana dikemukakan oleh Thakor (2020), kedua belah pihak tidak bertemu langsung begitu saja, tetapi disesuaikan antara risk appetite pemodal dengan risk profile peminjam. Sehingga sejak mulai dari keputusan meminjamkan atau tidak, pengiriman dana, pembebanan biaya administrasi dan perhitungan bunga hingga penagihan, tidak dilakukan oleh pemodal melainkan oleh operator pinjol. Selisih bunga awal dari pemodal dengan bunga yang dibebankan kepada peminjam dinikmati oleh operator pinjol. Tidak terdapat tranparansi berapa bunga untuk pemodal dan berapa bunga yang dibebankan kepada peminjam.

Liar!

Liar disini memiliki dua makna, makna “liar” dalam bahasa inggris maupun “liar” dalam makna bahasa Indonesia. Betapa tidak, jika perbankan diwajibkan mengikutsertakan seluruh deposannya dalam program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan dengan suku bunga maksimumnya ditetapkan oleh LPS. Bank juga wajib mempublikasi Suku Bunga Dasar Kredit (base lending rate) dengan rumus dan formula yang ditetapkan oleh pengawasnya.  Kemudian tiap kuartalnya, perbankan wajib mempublikasikan laporan keuangan.  Pinjol bebas, tidak terkena dua kewajiban ini. Dengan bunga pinjaman 0,8% per hari, juga tidak cukup jelas, apakah bunga ber-bunga, juga tidak cukup jelas, bunga 0,8% per hari dikenakan atas netto pinjaman (setelah dikurangi biaya administrasi) atau bruto pinjaman. Bunga harian 0,8% ini dibebankan atas netto pinjaman setelah dikurangi berbagai biaya administrasi, sehingga akhirnya pasti bunga hariannya lebih dari 0,8% per hari. Satu bulan yang lalu, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menurunkan bunga pinjaman pinjol menjadi 0,4% per hari. Siapa AFPI? Mengapa justru AFPI yang punya kuasa menurunkan suku bunga pinjaman, bukan OJK. Rupanya, diam-diam OJK telah menjadikan AFPI menjadi SRO (Self-Regulatory Organization). Self-Regulatory Organization adalah organisasi yang dibentuk untuk mengatur industri tertentu didirikan dengan tujuan menciptakan aturan untuk mempromosikan ketertiban di antara pelaku pasar. SRO yang dikenal di Indonesia karena memang ditetapkan oleh UU Pasar Modal adalah Bursa Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta Lembaga Kliring dan Penjaminan.

Atas dasar UU apakah, OJK  menjadikan AFPI menjadi SRO? Hanya dengan surat No S-5/D.05/2019, tanggal 17 Januari 2019, OJK menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai asosiasi Fintech Lending di Indonesia dan pada tanggal 8 Maret 2019 dilakukan peresmian AFPI oleh OJK.

Tanpa perintah UU yang memiliki legalitas jauh lebih kuat dari sekedar POJK, pengertian asosiasi mengingatkan pada Adam Smith (1776), bahwa people of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion…. but the conversation ends in a conspiracy against the public….

Bagi pemodal, pinjol, juga tidak jelas, apakah dananya dijamin seandainya seluruh debitur pinjol, beramai-ramai melakukan aksi boikot. Perlakuan pajak atas penghasilan bunga pemodal juga tidak jelas apakah dikenakan PPH progesive atau PPH final. Bisa saja pinjol memanfaatkan perbankan, dana pemodal ditempatkan sebagai deposito di perbankan sehingga dananya aman dijamin oleh program penjaminan LPS dan kemudian pengelola pinjol melakukan transaksi back-to-back loan dengan perbankan dengan jaminan berupa deposito milik pemodal. Akibatnya pemodal pinjol juga mendapat jaminan simpanan LPS, di atas kertas pemodal pinjol membayar PPH final. Sementara itu dari aktifitasnya mendanai kegiatan pinjol, pemodal mendapat keuntungan lain yang tidak memiliki kewajiban untuk dilaporkan kepada otoritas perpajakan di republik ini.

Sebagai kebijakan affirmasi, perbankan dipaksa memberikan pinjaman KUR yang karena nasabahnya tidak bankable (tidak layak mendapat pinjaman), tidak memiliki jaminan dan kolateral sehingga perlu dijamin oleh Askrindo / Jamkrindo. Pada kegiatan pinjol, tanpa kolateral sekalipun semua debiturnya layak, karena ujung akhir dari kolateral adalah reputasi. Reputasi sebagai collateral tidak akan pernah mengalami, collateral damage sebagaimana dikemukakan oleh Paul Krugman dalam Dealing With Default (NYT,10 Okt 2013). Karena jika sampai terjadi, maka kemungkinannya si pemilik reputasi memutuskan bunuh diri atau menjadi ODGJ.

Jika dan hanya jika data OJK benar dan inipun disertai asumsi bahwa semua korban pinjol melapor ke OJK, selama kurun waktu 2019-2021 tercatat 19.711 korban pinjol yang mengadu: 9.270 kasus termasuk ke dalam pengaduan berat, sementara sisanya 10.441 termasuk pelanggaran ringan atau sedang. Apa tindakan OJK? OJK malah makin sibuk membuat klasifikasi pinjol legal dan pinjol illegal.

Mengapa pinjol liar? Bukan lagi sekedar hipotesa, saya yakin, bahwa keliaran pinjol merupakan perpaduan dua hal sekaligus. Dari sisi permintaan: financial illiteracy! Financial illiteracy ini pada saat yang sama dihadapkan dengan target OJK bahwa pada tahun 2024 tercapai financial inclusion sebesar 90%.  OJK membabi buta mengajak seluruh pelaku industri jasa keuangan (termasuk pinjol tentunya!) untuk bersama-sama berusaha mencapainya.  Sedangkan financial inclusion adalah ketersediaan dan kesetaraan peluang untuk mengakses layanan keuangan. Hal ini karena OJK mendefinisikan financial inclusion sebagai proses dimana individu dan bisnis dapat mengakses produk dan layanan keuangan yang tepat, terjangkau, dan tepat waktu.

OJK Kemana?

Hubungan antara pinjol dengan debiturnya adalah hubungan keperdataan yang menuntut kesetaraan posisi kedua belah pihak. Konsumen yang desperates butuh uang tapi tidak punya kolateral dan tanpa literasi keuangan yang memadai akan berhadapan dengan pinjol yang atas nama financial inclusion nampaknya memberikan kemudahan dan jalan keluar bagi debitur dengan menjaminkan reputasi dan harga diri.

Pertanyaan “OJK Kemana?” menjadi gema yang bertalu-talu, percis seperti yang ditanyakan oleh para pemegang polis asuransi Jiwasraya, Bumi Putera, Kresna Life. OJK nampak sibuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan mana pinjol legal dan pinjol illegal, sementara OJK gagal mendefinisikan mana licensing dan mana pula registering.

Pengawas Sektor Keuangan kemudian membuat pembedaan berdasarkan terdaftar atau tidaknya pinjol di OJK antara pinjol legal dan pinjol illegal. Nampaknya OJK gagap dan kebingungan, pinjol atau fintech masuk ke domain pengawasan yang mana: perbankan; asuransi; pasar modal atau lembaga pembiayaan? Ya, OJK telah gagal total melaksanakan Pasal 4 UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Malah sebaliknya memangsakan konsumen kepada pinjol.

Eniwei, terimakasih kepada OJK yang melalui POJK No 77/POJK.01/2016, telah menambah entri baru dalam KBBI: pinjol, pinjaman online; pinjaman daring!