ASET NAJIS DAN ILLICIT ENRICHMENT
Pendahuluan
Developing countries lose between US$20 to US$40 billion each year through bribery, misappropriation of funds, and other corrupt practices. Much of the proceeds of corruption find "safe haven" in the world's financial centers. These criminal flows are a drain on social services and economic development programs, contributing to the further impoverishment of the world's poorest countries. The victims include children in need of education, patients in need of treatment, and all members of society who contribute their fair share and deserve assurance that public funds are being used to improve their lives[1]
Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Ketika seorang pejabat publik (penyelenggara negara) melakukan korupsi, maka yang dilakukan adalah kejahatan terhadap publik. Pencurian aset publik merugikan sendi-sendi kehidupan suatu negara korban, melemahkan kepercayaan pada institusi publik, merusak iklim investasi dan mengancam fondasi masyarakat secara keseluruhan. Jika seorang koruptor sudah ditangkap, diadili dan mendapatkan pidana kurungan, selanjutnya apa? Apakah kekayaan negara yang dicurinya seluruhnya dikembalikan? Di Indonesia, per se UU Tipikor, titik berat penindakan hanya sampai pada pelaku korupsinya saja. Aset hasil korupsi yang disita hanyalah aset yang menjadi alat bukti saja. Timbul pertanyaan, jangan-jangan aparatur penegakan hukum tidak mengetahui berapa percisnya aset hasil korupsi yang dikuasai oleh koruptor. Menurut perkiraan dan taksasi dari OECD, aset recovery di Indonesia tidak mencapai 40%[2]. Secara pribadi saya berpendapat bahwa penindakan terhadap pelaku korupsi di Indonesia hanya selesai sampai dengan penjatuhan sanksi pidana. Untuk mendorong triumvirat pemberantasan korupsi, wa bil khusus KPK, kinerjanya tidak hanya diukur dari pencegahan, penindakan dan pemberantasan saja, tetapi termasuk aset recovery. Meminjam nomina dari ilmu ekonomi, seharusnya diukur cost dan benefitnya dalam arti, seharusnya segala macam biaya yang timbul dari penindakan, penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi tercover dari stolen aset recovery. Alih-alih mencari mekanisme stolen aset recovery, malahan yang terdengar adalah “memiskinkan koruptor”, lagi-lagi titik beratnya hanya pada pelakunya saja. Keberhasilan pemberantasan tipikor tidak cukup jika hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Pengembalian aset hasil tipikor sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tipikor merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tipikor dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku. Oleh karenanya strategi meminimalisir kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai lembaga negara (Dirjen Pajak, OJK, Bank Indonesia, PPATK)
Latar Belakang Masalah
Indonesia telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dalam bentuk UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against. Corruption, 2003. Sebagai negara pihak, Indonesia berkepentingan sekaligus berkewajiban melakukan penyesuaian standar hukum, regulasi, dan strategi pemberantasan korupsi di level Internasional. Article 20 Illicit enrichment berbunyi:
Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting[3] such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.
Substansi pasal 20 UNCAC ini adalah dikaitkan dengan tujuan merampas aset najis (illicit) yang dimiliki bukan saja koruptor, tetapi seluruh pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) yang tidak tidak dapat dijelaskan atau tidak masuk akal jika dibandingkan dengan nilai pendapatan resminya, baik yang dilaporkan melalui mekanisme SPT Pajak maupun LHKPN. Unsur-unsur Pasal 2 UU Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling dst dst, ditikberatkan pada aspek pelaku yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum. Berdasarkan pasal 2 ini pula seseorang hanya dapat dijerat dengan Pasal 2 setidaknya harus melakukan perbuatan yang dilarang oleh Hukum Positif, yakni korupsi. Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU 31/1999 jo 20/2001 telah mengatur sebagian substansi Pasal 20 UNCAC. Akan tetapi, frasa pada ayat (2) “penemuan adanya kekayaan yang tidak seimbang” pada UU Tipikor hanya diposisikan sebagai alat bukti, bukan sebagai sebuah kejahatan/tindak pidana tersendiri seperti yang diatur pada Pasal 20 UNCAC. Pasal 37A ayat (1) kuat dipengaruhi oleh Pasal 39 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 KUHAP, yakni, hanya pada benda yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan tindak pidana, benda-benda yang tidak terkait secara langsung dengan terjadinya sebuah peristiwa pidana tidak dapat disita oleh penyidik[4]. Nampaknya sistem hukum pidana Indonesia membatasi penyitaan, perampasan hanya kepada benda yang merupakan barang bukti saja.
Permasalahan
Perampasan aset dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sangat penting artinya, berdasarkan pengalaman mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya, dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat korupsi selama tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrument tipikor. Perampasan aset yang berasal dari tipikor melalui jalur pidana (convicted based asset foifeiture) merupakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999. Perampasan aset harus didasarkan pada putusan pengadilan yang tertuang dalam amar putusan dengan penetapan pidana tambahan pembayaran uang pengganti dan perampasan harta benda milik terdakwa bilamana terdakwa tidak membayar uang pengganti.
Pembahasan
Stolen asset recovery melalui UU Tipikor nampaknya tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor memiliki akses yang luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin rumir dengan kompleksitas tinggi dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri dilakukan. Hambatan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan teori sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman[5], yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: (a) Substansi hukum (Legal Substance), dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum terkait tindak pidana korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas terkait tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara secara lebih terperinci, mengingat urgensi dari pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi (b) Struktur Hukum (Legal Structure), yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. Dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara mensyaratkan koordinasi diantara penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan putusan, dan jaksa yang nantinya melaksanakan putusan terutama terkait sita dan lelang terhadap harta benda terpidana kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian kerugian keuangan negara (c) Budaya Hukum (Legal Culture), merupakan bagian dari budaya pada umumnya yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu). Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran menjadi acuh dan permisive.
Selain mekanisme perampasan secara pidana (criminal forfeiture atau convicted based asset foifeiture), terdapat juga mekanisme perampasan secara perdata (non convicted based asset forfeiture). Mereka berbagi tujuan yang sama, yaitu perampasan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil/sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan, yakni pada saat sanksi pidana dijatuhkan dan dilaksanakan, seharusnya kegiatan pelanggaran hukum harus berakhir. Dalam hal ini dilakukan dengan merampas seluruh harta yang berasal dari tipikor (tidak sebatas alat bukti saja, seperti yang selama ini dianut yakni ayat (1) Pasal 37A).
Perampasan aset dengan mekanisme non-conviction based forfeiture, adalah suatu perampasan aset yang dilakukan bukan berasal dari kasus pidana, negara diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan NCBF terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil perolehan tipikor, dimana gugatan in rem diajukan tanpa perlu adanya suatu kasus pidana atau setelah kasus pidana tersebut diputus oleh majelis hakim. Perampasan aset secara in rem adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset tersebut ‘tercemar’ (ternodai) oleh tindak pidana. Karena tindakan tersebut tidak melawan terdakwa pelaku tipikor tetapi melawan aset hasil tipikor, maka pemilik aset diposisikan sebagai pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan aset. NCBF ini memiliki keunggulan yakni: (1) dapat dilakukan meskipun terdakwanya meninggal dunia; (2) dapat dilakukan meskipun terdakwa melarikan diri; (3) dapat dilakukan tanpa adanya penuntutan yang disebabkan oleh keadaan tertentu; (4) Tidak perlu mengetahui siapa pemilik aset yang akan dirampas. Suatu aset bersalah jika tanpa disertai pertanggung jawaban dari seorang subjek hukum yang memiliki benda tersebut karena hak kepemilikan sebelumnya telah hilang karena tindakan melawan hukum yang telah dilakukan. Setiap pemilik aset harus mengetahui aset yang ia miliki sendiri dan juga tahu untuk apa aset tersebut dapat digunakan dan apa kewajiban yang menempel di dalam aset tersebut, oleh karena itu jika pemilik aset telah melanggar suatu kewajiban atau mendapatkan secara melawan hukum maka seketika hak kepemilikannya hilang[6]. Beban pembuktian merupakan beban penuntut menjadi relative ringan, karena cukup memperlihatkan alasan yang wajar (reasonable ground) untuk menunjukkan bahwa aset tersebut merupakan subjek dari perampasan, penuntut membuktikan dengan suatu penyebab kemungkinan (probable cause) dan setelah itu beban pembuktian bergeser pada penggugat (yang disebut shifting the burden of proof). Pemilik aset wajib membuktikan bahwa aset yang ia miliki tidak berasal dari perbuatan yang melawan hukum. Terlebih kepada pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) telah dikenai kewajiban menyampaikan LHKPN atau LHKASN[7]. Selanjutnya, mekanisme pembuktian terbalik sebagaimana diatur pada pasal 77 dan pasal 78 UU TPPU dapat diterapkan[8]. Menggunakan pendekatan NCBF ini sebetulnya persoalan stolen asset recovery bukan suatu hal yang rumit dan kompleks. Persoalannya adalah political will dari pemerintah (bukan negara) sebagai eksekutif untuk menegakkan Pasal 20 UNCAC yang telah diratifikasi.
Jalan lain yang dapat ditempuh adalah berkerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak yang mewajibkan setiap orang untuk memiliki NPWP dan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan. Dari SPT ini penghasilan dan sumber-sumbernya dapat dikonfirmasi dan divalidasi.
Penutup
Alternative mekanisme perampasan aset sudah tersedia sejak Indonesia meratikasi konvensi UNCAC 2003 dalam bentuk UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against. Corruption, 2003. Article 20 konvensi UNCAC sejatinya merupakan rekomendasi/saran bagi negara-negara pihak (termasuk Indonesia) untuk membuat dan mengesahkan UU perampasan aset yang berbasiskan non-conviction based forfeiture yang bertujuan mempermudah stolen assets recovery. Nampaknya terdapat kegamangan terhadap Article 20 konvensi tersebut yang menyangkut illicit enrichment, karena banyak pejabat publik (pejabat negara) yang nilai kekayaannya di luar kewajaran dibandingkan dengan penghasilannya, apalagi jika dikaitkan dengan kepatuhan dan akurasi LHKPN serta SPT Pajak Tahunannya.
RUU dan naskah akademis RUU Perampasan Aset sudah diselesaikan sejak tahun 2012, tetapi maju mundur, keluar masuk dari prolegnas. Posisi terakhir terdapat 81 RUU yang diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2023, didalamnya terdapat RUU Perampasan Aset.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Permasalahan Hukum Seputar Perampasan Aset Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Upaya Pengoptimalisasiannya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2021
Dr. Ramelan, S.H., M.H et al, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I, 2012
Imelda F.K. Bureni, Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 45, No 4 (2016)
Indonesia Corruption Watch, Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law, disampaikan pada Anti-corrutpion Public Forum of UNCAC 24th – 26th January 2008 and 2nd Confrence of State Party (CoSP) Nusa Dua-Bali, 28th January – 1st February 2008
Irwan Hafid, Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Economic Analysis of Law, Lex Renaissan, No. 1 Vol. 6 Juli 2021: 465-480
Jean-Pierre Brun; Dubois, Pascale Helene; van der Does de Willebois, Emile; Hauch, Jeanne; Jaïs, Sarah; Mekki, Yannis; Sotiropoulou, Anastasia; Sylvester, Katherine Rose; and Uttamchandani, Mahesh. 2015. Public Wrongs, Private Actions: Civil Lawsuits to Recover Stolen Assets. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0370-3. License: Creative Commons Attribution CC BY 3.0 IGO
Larissa Gray, Kjetil Hansen, Pranvera Recica-Kirkbride, Linnea Mills, Few and Far The Hard Facts on Stolen Asset Recovery, the United Nations Office on Drugs and Crime and World Bank, 2014
Refki Saputra, Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia, Jurnal Integritas, Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Sigit Prabawa Nugraha, Kebijakan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Procceding: Call for Paper National Conference for Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju Era Digital Society, 17 – 18 November 2020., ISBN: 978-979-3599-13-7
Sekar Langit Jatu Pamungkas dan Kuswardani, Undang-Undang tentang Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Suatu Kebutuhan Mendesak, Rechtsidee, Vol 9 (2021): December, DOI: https://doi.org/10.21070/jihr.v9i0.762
Teddy Lesmana, Pokok-Pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman: Sistem Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, tersedia di https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-friedman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/
[1] Jean-Pierre Brun; Dubois, Pascale Helene; van der Does de Willebois, Emile; Hauch, Jeanne; Jaïs, Sarah; Mekki, Yannis; Sotiropoulou, Anastasia; Sylvester, Katherine Rose; and Uttamchandani, Mahesh. 2015. Public Wrongs, Private Actions: Civil Lawsuits to Recover Stolen Assets. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0370-3. License: Creative Commons Attribution CC BY 3.0 IGO,
[2] StAR and OECD, 2011. Tracking Anti-Corruption and Asset Recovery Commitments: A Progress Report and Recommendations for Action. Paris: OECD. http://www.oecd.org.dac/governance-development/49263968.pdf and www.worldbank.org/star
[3] Diterjemahkan bebas sebagai wajib mempertimbangkan pembentukan UU terkait illicit enrichment
[4] Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata rampas yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi
[5] Teddy Lesmana, Pokok-Pokok Pikiran Lawrence Meir Friedman: Sistem Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, tersedia di https://nusaputra.ac.id/article/pokok-pokok-pikiran-lawrence-meir-friedman-sistem-hukum-dalam-perspektif-ilmu-sosial/
[6] perampasan aset secara NCBF lazim dalam hukum maritim: kapal yang digunakan untuk melakukan penyelundupan barang (ilegal) membuat kapal tersebut menjadi “bersalah” dan dapat lakukan penyitaan terhadap kapal tersebut.
[7] Melalui mekanisme LHKPN/LHKASN, kewajaran kekayaan seorang pejabat publik (pejabat negara maupun ASN) dapat dilacak (tahun perolehan, sumber, lokasi)
[8] pembuktian terbalik masih memiliki keterbatasan, karena Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya.