Sabtu, Desember 02, 2017

Menunggu Godot (3)



Bukan Usaha Milik Negara? - 3


Shalahuddin Haikal*)


Smart people don't learn......because they have too much invested in proving what they know and avoiding being seen as not knowing (Chris Argyris)


Sengaja saya kutipkan quote dari Chrys Argyris sebagai lampu sorot pertunjukan menjelang akhir tahun 2017. Tontonan pertama penuh sensasi baru saja reda, masuk ke pertunjukan kedua yang spektakuler. Hari Rabu tanggal 29 Nopember 2017 tiga BUMN, Tbk, yakni Aneka Tambang, Tambang Timah dan Bukit Asam telah melaksanakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham untuk meminta persetujuan pemegang saham sehubungan dengan perubahan Anggaran Dasar masing-masing perusahaan yang akan merubah status badan hukum dari BUMN yang tunduk patuh kepada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menjadi hanya tunduk patuh kepada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hajatan RUPSLB ini dilaksanakan sebagai kelanjutan dari terbitnya PP No 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Agar tidak masuk ke teknis rule making rules kedua PP tersebut, tulisan ini hanya akan menjelaskan implikasi dari PP No 72 Tahun 2016 yakni berubahnya BUMN-BUMN yang semula mutlak comply pada UU No 19 Tahun 2003 (UU BUMN) menjadi cukup comply dengan UU No 40 Tahun 2007 (UU Perseroan Terbatas) saja.


PP No 72 Tahun 2016 sempat menjadi isue hangat manakala KAHMI mengajukan judicial reviu ke Mahkamah Agung yang berbuah amar putusan niet ontvankelijke verklaard melalui Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 tanggal 8 juni 2017. Putusan MA tersebut tidaklah mengejutkan, karena dalam perkara yang serupa dan sebangun, yakni pada saat Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara, mengajukan reviu judisial atas PP Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, MA-pun menolak permohonan uji materi. Untuk mengingatkan kembali bahwa PP No 72 Tahun 2014 adalah upaya holdingisasi PTPN yang berjumlah lebih dari 1 lusin. Modusnya adalah pemerintah menambah setoran modal di PTPN III secara inbreng dalam bentuk saham-saham negara di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV. Karena transaksi ini pula maka tiga belas PT (Persero) Perkebunan Negara berubah menjadi perseroan terbatas biasa (tidak pakai prefix Persero). 


Kait berkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 sehingga sah jika diartikan secara tekstual maupun kontekstual dengan merujuk UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, frasa “berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, ini-lah yang disebut sebagai privatisasi. Implikasinya adalah semula BUMN terkait dengan keuangan negara, menjadi lepas dan tidak lagi berhubungan dengan keuangan negara. Bentuk privatisasi bukan hanya memperluas kepemilikan saham BUMN kepada masyarakat. 


Setelah upaya reviu judisial ditolak, maka negara sebagai pemilik saham-saham BUMN, melalui pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan akan melaksanakan holdingingisasi BUMN dengan mengimplementasi PP No 72 Tahun 2016. Dimulai dari holdingisasi BUMN sektor tambang. Melalui RUPSLB tersebut, maka pemegang saham mayoritas sekaligus pemegang saham pengendali di PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah dan PT Bukit Asam adalah PT (Persero) Inalum, selama OJK dan BEI beranggapan bahwa transaksi inbreng saham tersebut bukan transaksi material dan berbenturan kepentingan sudah pasti akan terlaksana. 


Persoalannya adalah selama BUMN didefinisikan sebagai badan usaha yang paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, artinya jika kepemilikan negara kurang dari 51%, maka badan usaha tersebut tidak lagi dapat dikategori sebagai BUMN, melainkan sebatas penyertaan saham negara di perusahaan privaat. Menjadikan BUMN sebagai entitas privaat, berarti privatisasi. Dengan term “privatisasi”, dalam kaitannya dengan Keuangan Negara, maka Pasal 74 sampai dengan Pasal 84 UU No 19 Tahun 2003 perlu diikuti pasal demi pasal.


Dengan minimum threshold 51% saham-sahamnya dimiliki negara dan perubahan compliance status dari UU BUMN menjadi UU PT, qua, perpindahan kepemilikan saham-saham PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah dan PT Bukit Asam dari negara kepada PT (Persero) Inalum adalah privatisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk implementasi PP Nomor 72 Tahun 2014 yang telah mengakibatkan peralihan kepemilikan saham mayoritas oleh negara di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV menjadi milik PTPN III. 


Sedikit catatan tambahan untuk menyegarkan ingatan kita, PP Nomor 72 Tahun 2014 terbit pada masa-masa kritis, yakni 2 pekan sebelum DPR masa tugas (periode) 2009-2014 berakhir dan 2 pekan sebelum DPR (periode) 2014-2019 memulai tenurnya. Meskipun terbit di akhir periode DPR periode sebelumnya, DPR periode setelahnya sama sekali tidak pernah mempersoalkan PP Nomor 72 Tahun 2014.

Kesamaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah kekuatannya sebagai mantera penghilang BUMN. Dengan kedua PP ini secara kimiawi BUMN telah menyublim menjadi badan hukum privaat belaka, secara biologis merupakan fenomena metamorphosis dari semula dikuasai negara dan merupakan sumber dividen sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN menjadi badan hukum swasta. Perbedaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah bahwa PP No 72 Tahun 204 diterbitkan on purpose spesiaal untuk holdingisasi PT (Persero) Perkebunan Nusantara I s.d PT (Persero) Perkebunan Nusantara XIV menjadi hanya satu PT (Persero) Perkebunan Nusantara. Sedangkan PP No 72 Tahun 2016 adalah so-called "landasan hukum" untuk memprivatisasi seluruh BUMN menjadi holding company.


Terdapat beberapa hal dari implementasi PP No 72 Tahun 2016, baik dalam bentuk potensi masalah; batu uji dan para stakeholders yang rasa herannya lahir belakangan. Hal pertama yang bukan tidak mungkin tidak terjadi, jika para pemegang saham publik (pemegang saham minoritas dan free float shareholders) di ke-tiga BUMN Tbk menolak perubahan status menjadi perusahaan privaat, maka terhadap pemegang saham yang memberikan suara “menolak”, pemegang saham pengendali baru akan terkena kewajiban untuk melakukan tender offer. 

Hal kedua, berkaitan dengan hal pertama, seharusnya OJK segera mengumumkan atau menyatakan pendapat atau memberikan fatwa apakah transaksi ini dikategori sebagai transaksi afiliasi dan mengandung benturan kepentingan atau tidak. Juga apakah transaksi ini dikategori sebagai transaksi material atau tidak. Sebab jika transaksi ini mengandung benturan kepentingan maka kuorum RUPSLB yang dihitung adalah kuorum minoritas (hanya dihitung dari pemegang saham free float dan minoritas) dan pemegang saham pengendali (dalam hal ini kuasa pemegang saham negara) tidak boleh mengambil suara karena obyek pengambilan keputusan RUPSLB adalah transaksi yang akan dilakukan Negara yang akan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada PT (Persero) Inalum.


Hal ketiga dan mustinya menjadi batu uji terhadap integritas, profesionalisme dan objektifitas bukan saja Badan Pemeriksa Keuangan tetapi juga Kantor Akuntan Publik adalah bagaimana nantinya pilihan kata dan diksi pada opini BPK dan (KAP yang diawasinya dalam mengaudit BUMN bersangkutan) baik pada laporan keuangan auditan (audited financial report) maupun pada laporan audit kepatuhan (compliance report). 


Hal ke-empat, adalah bagaimana KPK akan menyikapi transaksi ini. Sulit menarasikannya secara langsung dan lebih mudah menggunakan dalam bentuk kalimat tanya majas (metafora). Bagaimana sikap KPK, jika negara yang mengumpulkan dan menyisihkan sen demi sen, rupiah demi rupiah (yang karenanya disebut keuangan negara yang dipisahkan) untuk membeli semen atau pupuk phospat dan kemudian pihak yang ditugasi menjaga dan menyimpan semen atau pupuk phospat bertindak sangat sembrono dan sehingga karena sifatnya yang higroskopis, maka semen atau pupuk phospat berubah menjadi batu dan tidak lagi dapat digunakan. Apakah KPK akan mempertimbangkannya sebagai kerugian pada keuangan negara? 


Yang terakhir adalah saat pembahasan item Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam RAPBN, tiba-tiba para legislator pembahas akan merasa kehilangan BUMN yang selama ini diandalkan menyetorkan dividen sebagai PNBP. Ternyata yang bisa hilang, dihilangkan dan menghilang bukan hanya Harry Houdini dan “You Know Who” saja, BUMN yang merupakan keuangan negara yang dipisahkan dengan aset trililunan rupiah pun dapat dengan mudah hilang, menyublim dan bermetamorfosa menjadi perusahaan privat. Di Amerika Serikat, ketidaksepakatan antara senat dengan executive branch dalam pembahasan state budget (RAPBN) berpotensi pada apa yang disebut sebagai government shutdown.


Wallahualam bis sowab






*) alumni FRG-EUR; berhikmat sebagai pendidik.