Sabtu, Agustus 14, 2010

Negara Jangan Cuma Pegang Kendali, Negara-lah Yang Harus Pegang Peranannya


Negara Harus Berperan Besar
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Membaca tulisan Faisal Basri pada Kompas edisi Kamis 8 Juli 2010, saya merasa perlu memberikan tambahan pendapat, bahwa bukan negara harus pegang kendali tetapi justru negara-lah yang harus berperan sesuai dengan konstitusinya. Peran negara tidak bisa bersandarkan mazhab perekonomian.
Ü Keynesian adalah Fiskalis dan Fiskalis adalah Sosialis
Keynesian bukan tanpa kelemahan dan kelemahan terbesarnya justru terletak pada peran negara yang dinyatakan dalam bentuk bujet negara sebagai kebijakan fiskal yang memerlukan legislasi oleh lembaga legislative dan selanjutnya dieksekusi oleh eksekutive. Kompetensi dan integritas legislator dan eksekutor akan sangat menentukan hasil akhirnya seperti apa. Kebetulan negara-negara zona Eropa (minus Inggris) adalah negara-negara sosialis yang paling percaya dengan peran Negara dan tidak terlalu percaya dengan mekanisme pasar. Maastricht Treaty bukanlah final decision terbentuknya Uni Eropa. Provisi umum pada Maastricht Treaty yang kemudian lebih dikenal sebagai Treaty of Union menetapkan tujuan dasar dan prinsip-prinsip Union dinyatakan dalam retorika tinggi tentang solidaritas antar negara, kedekatan dengan warganegara, respek terhadap identitas nasional dan HAM. Dalam bidang ekonomi, tujuan didirikannya EU antara lain: perekonomian yang seimbang berkelanjutan dan kemajuan sosial melalui penciptaan area tanpa batas internal, memperkuat perekonomian dan kohesi sosial dan pendirian economic and monetary union. Treaty of Economic Union bukanlah kata akhir, karena kemudian diikuti dengan Treaty of Amsterdam. Ada dua hal mendasar pada Treaty of Amsterdam, yakni: (1) bahwa setiap pengambilan keputusan dalam Uni Eropa harus “as openly as possible” dan sedekat mungkin dengan warga negaranya (2) mengupayakan high level of employment dan mengupayakan “freedom, security and justice”. Jika dirasakan perlu, masing-masing negara anggota EU memiliki hak untuk “opting out” terhadap Treaty, termasuk pelampauan defisit anggaran dan pelampauan nisbah utang terhadap PDB. Term government failure adalah term dengan kriteria sepihak yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemeringkat efek, satu lembaga yang kehadirannya di pasar keuangan dinihilkan oleh CESR.
Ü Negara vs Pasar
Harus diingat adalah bahwa para founding fathers NKRI yang merancang naskah UUD 45 adalah para cendikiawan politikus (Sukarno, Hatta, Syahrir, dkk) yang mengenyam pendidikan di Eropa (Belanda) maupun di Hindia Belanda dengan kurikulum yang berbasis sosialis. Hasil akhirnya adalah konstitusi yang bersifat kerakyatan. Namun karena kebijakan fiskal harus dinyatakan dalam bentuk bujet dan bujet memerlukan legislasi dari legislative dan akan dilaksanakan oleh eksekutive, jika hasilnya seperti sekarang ini, pokok masalahnya bukan pada konsitusinya tetapi pada kompetensi dan integritas para legislative dan eksekutive. Persoalan integritas dari legislative dan eksekutive menjadi mengemuka manakala kita dihadapkan pada kenyataan bahwa saat ini di Indonesia sedang terjadi korporatisasi. Korporatikrasi atau lebih tepat disebut meritokrasi birokrasi mutlak diperlukan, namun korporatisasi jelas merupakan gerakan anti konsitusi namun karena dilegislasi maka menjadi hal yang wajar. Perhatikan angka-angka pertambahan kapasitas rumah sakit swasta dengan rumah sakit negara, pertambahan panjang jalan negara dengan pertambahan jalan berbayar (toll road), pertambahan daya tampung sekolah swasta dengan sekolah negeri. Apa yang didapat oleh negara dari diberikannya konsensi pertambangan kepada mekanisme pasar, kecuali pajak dan royalti? Sedangkan pajak dan royalti adalah residual claimant. Bagian terbesarnya dinikmati oleh pemilik modal yang mengandalkan what so-called mekanisme pasar. Angka-angkanya akan memperlihatkan bahwa Republik ini telah menyerahkan hak-hak dasar warganegaranya kepada pemilik modal. Perhatikan juga perubahan BULOG menjadi badan usaha Perusahaan Umum yang karena tidak boleh rugi, sehingga peran BULOG sebagai badan penyangga komoditas pertanian sebagaimana saat didirikan pertama kali menjadi hilang sama sekali. Sangat disayangkan, gerakan anti konsitusi yang sedemikian sistematis membuat siapapun di negeri ini seperti layaknya kepiting yang sedang direbus, yang baru akan sadar saat air mencapai titik didih dan seketika sadar langsung mati. Ada banyak jenis pelayanan dasar yang dijanjikan negara pada warganegaranya sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi, diserahkan kepada mekanisme pasar setelah mendapat legislasi dari legislative. Untuk dan atas nama mekanisme pasar, mereduksi peran negara adalah gerakan anti konstitusi menjadi gerakan besar dan wajar dalam pola pikir para cendikiawan. Mengapa? Karena (1) kurikulum economics (ilmu ekonomi) sebagai core competence yang harus dikuasai oleh para ekonom, selama 25 tahun lebih telah didangkalkan menjadi development studies (studi pembangunan), dimana kurikulum, buku-buku teks didatangkan dari negara yang menjadikan pasar sebagai panglima, yang mengandalkan pada what so-called “trickle down effect” sebagai adagium untuk membenarkan penyerahan fungsi-fungsi negara kepada pemilik modal. (2) sejak rejim Orde Baru berkuasa, ekonom yang menjadi eksekutip adalah para ekonom yang menimba ilmu di negara yang menjadikan pasar sebagai panglima.
Ü Misrepresentasi Makna Reformasi?
Setelah 32 tahun dicengkeram oleh rejim orde baru, pada tahun 1998 republik ini berhasil merdeka dari cengkeraman rejim tiran. Kemerdekaan dari rejim orde baru telah melahirkan reformasi. Sungguh sangat disayangkan, reformasi diartikan sangat berbeda dari makna kata reformasi. Reformasi Amandemen UUD 45 merupakan milestone legislasi gerakan anti konsitusi yang berbasis kerakyatan. Lihat, otonomi daerah telah melahirkan raja-raja baru, perda-perda yang kontradiksi dengan statuta yang lebih tinggi, konflik lateral. Amandemen UUD 45 justru telah meletakkan kendali negara kepada para pemodal. Pasar yang berjalan sendiri akan berakibat pada market failure, pada saat itulah peran negara pada welfare state menjadi mengemuka.
Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali, mindset pengelolaan perekonomian tidak dapat mengandalkan kepada development studies yang dikuasai oleh para ekonom tetapi harus dikembalikan kepada pure economics dan back to basic pada konstitusi saat negara ini didirikan oleh para founding fathersnya.


*) Pendidik