Jumat, Mei 06, 2011

Agency Problem di BUMN

Agency Problem di BUMN?
oleh: Shalahuddin Haikal*)

Terdapat tiga event yang memperlihatkan ketidakkompetenan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham negara pada BUMN yang telah mengganggu integritas pemegang saham dalam mengendalikan agency problem pada BUMN-BUMN. Ketiga event tersebut adalah: (i) Bogor Agenda I ditandatangani 5 Desember 2010 sebagai kesepakatan antara Kementrian BUMN dengan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina serta Komisaris Utama dan Direktur Utama dari 17 anak perusahaan PT (Persero) Pertamina untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan mengoptimalkan aset perusahaan serta portofolio bisnis anak perusahaan PT (Persero) Pertamina. (ii) Bogor Agenda II ditandatangani pada 11 Januari 2011 berisikan kesepakatan bahwa pemilihan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi PT (Persero) Pertamina harus dilakukan melalui konsultan independen. (iii) Retreat 11 Pebruari 2011. Pada tanggal ini, Menko Perekonomian mengumpulkan 66 direksi BUMN. Pertemuan ini dilandasi keinginan pemerintah agar BUMN memberikan kontribusi pada belanja pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi belanja modal. Besaran Operational Expenditure (Opex: belanja operasional) BUMN mencapai Rp 1.000 triliun sementara Capital Expenditure (Capex: belanja modal) hanya Rp 290 triliun. Retreat ini menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan Capex BUMN menjadi Rp 380 triliun (setara USD 40 miliar). Rekomendasi ini akan disampaikan kepada Presiden pada retreat BUMN, 21 Pebruari 2011 yang akan datang.
Tidak ada yang salah dari ke-tiga event tersebut di atas, tujuannya semuanya benar. Namun, karena semuanya memang merupakan hak negara sebagai pemegang saham, alhasil ke-tiga event tersebut, bak menggarami air laut! 
Setiap pengelola BUMN mengetahui bahwa tujuan pengelolaan perusahaan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan tumbuh jika laba usaha (operating income) dan laba bersih (net income) perusahaan terus tumbuh, secara akuntansi, laba ini akan dipindahkan pada akun laba ditahan pada pos modal pada neraca. Peningkatan pos modal yang konsisten dari tahun ke tahun akan meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan juga ditentukan oleh imbal hasil yang diharapkan dari kegiatan-kegiatan produktif yang baru. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa berupa ekspansi usaha, perluasan pasar yang hanya bisa diupayakan melalui belanja investasi (Capex). Keengganan berinvestasi pada BUMN disebabkan karena agency problem. Pada BUMN Perkebunan, misalnya, Capex berupa peremajaan tanaman, baru memberikan hasil 5 atau 10 tahun yang akan datang, sedangkan kinerja Manajemen BUMN Perkebunan diukur dari perolehan laba saat ini saja. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan jika produktifitas BUMN Perkebunan jauh di bawah produktifitas perkebunan swasta. Pengukuran kinerja manajemen BUMN telah memperbesar agency problem yang merupakan akar persoalan tata kelola BUMN. Agency problem adalah persoalan-persoalan yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara principal, dalam hal ini adalah Negara sebagai pemegang saham dengan agent, dalam hal ini adalah manajemen BUMN. Berbeda dengan perusahaan swasta (termasuk perusahaan Tbk), manajemen BUMN sama sekali bukan “orangnya” pemegang saham. Di perusahaan swasta, pemegang saham akan menunjuk pihak-pihak yang sudah pasti memiliki kepentingan yang sama, misalnya mendudukkan dirinya sebagai komisaris atau direksi, menunjuk anaknya atau mantunya pada jajaran manajemen. Pada BUMN dan BUMN Tbk, agency problem tidak hanya terjadi pada level komisaris dan direksi tetapi juga sangat dimungkinkan terjadi pada pengalihan kuasa pemegang saham negara dari Menteri Keuangan (sebagai prinsipal) kepada Menteri BUMN (sebagai agent). Untuk mengurangi agency problem, kuasa pemegang saham BUMN melalui mekanisme fit and proper test berhak memilih siapa yang akan ditabalkan menjadi komisaris dan direksi, termasuk juga komisaris dan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi. Hal ini telah sangat jelas diatur pada Peraturan Menteri Negara BUMN No PER-01/MBU/2006 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Komisaris Anak Perusahaan BUMN. Alhasil, Agenda Bogor II adalah merupakan domain pemegang saham dan tidak diperlukan kesepakatan ini itu.
Rasio opex terhadap capex yang mencapai 350% sebagaimana dikeluhkan oleh Menko Perekonomian juga merupakan bentuk agency problem. Negara sebagai pemegang saham tentu menghendaki laba usaha yang terus meningkat seperti deret hitung. Sedangkan laba usaha yang terus meningkat hanya dapat dilakukan dengan tiga modus, yakni meningkatkan operational income (pendapatan usaha); menekan opex (biaya usaha); atau gabungan dari keduanya. Di dalam komponen Opex salah satu unsur besar adalah gaji dan lain-lain fasilitas untuk manajemen BUMN, digabungkan dengan gaji dan lain-lain fasilitas untuk karyawan BUMN, maka unsur terbesar dalam komponen Opex adalah gaji dan lain-lain fasilitas.
Bagian Keempat UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur Kewenangan RUPS. Angka (3) Pasal 14 UU ini, kegiatan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya aktifitas investasi dan besar kecilnya Capex seperti misalnya: investasi dan pembiayaan jangka panjang, kerjasama Persero, pembentukan anak perusahaan adalah kewenangan RUPS, bukan kewenangan Dewan Komisaris apalagi Direksi. Oleh karenanya terlalu naïve jika untuk hal-hal yang memang merupakan hak pemegang saham, sampai harus dibuatkan kesepakatan dengan Dewan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina sebagaimana tertuang pada Bogor Agenda I. Demikian juga rekomendasi peningkatan Capex yang merupakan hasil pertemuan antara Menko Perekonomian dengan 66 Direksi BUMN. Dari sisi Dewan Komisaris dan Direksi BUMN terdapat satu hal yang harus diwaspadai, yakni bahwa karena faktor di luar kendali, suatu investasi bisa berubah menjadi sunk cost (biaya yang tidak bisa dipulihkan). Jika kondisi seperti ini terjadi, maka Kuasa Pemegang Saham BUMN dengan menggunakan angka (3) Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 bisa dengan sangat mudah menyalahkan Dewan Komisaris dan Direksi BUMN. Mendorong BUMN untuk meningkatkan Capex, yang merupakan domain RUPS akan membuat BUMN dikejar target untuk meningkatkan Capex, berpotensi menghasilkan Capex abal-abal dan Capex yang dilaksanakan tanpa mengindahkan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa pada BUMN.
Salam.

*) alumnus FRG EUR, berhikmat sebagai pendidik.