Tariff Jalan Toll:
Gejala Korporatisasi Pengadaan Barang Publik
Oleh: Shalahuddin Haikal§)
Tulisan ini bukan tulisan tentang tarif toll, namun tulisan tentang bagaimana pemerintah telah meredusir perananannya dalam penyediaan public goods/services. Tulisan dengan angle kisruh kenaikan tariff jalan toll awal bulan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa terdapat gejala dan trend korporatisasi pengadaan barang/jasa publik.
Metamorphosis Komoditas
Jalan toll adalah barang private (private goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.
Pembangunan infrastruktur publik seperti jaringan jalan dan jembatan (tidak berbayar = non toll) adalah kewajiban pemerintah. Barang publik yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis yang disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta. Pemerintah wajib menyediakan rumah sakit, sekolah, dan pasar tradisional. Namun lihat, pertumbuhan kapasitas tempat tidur rumah sakit pemerintah lebih kecil dari rumah sakit swasta. Pasar tradisional dialihkan kepada investor. Pertumbuhan kapasitas PTN dan sekolah negeri lebih rendah dibandingkan dengan PTS dan sekolah swasta. Kini sedang dibahas RUU Badan Hukum Pendidikan yang pada ujungnya menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada daya beli masyarakat. Sah-sah saja jika swasta ikut menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan barang publik merupakan kewajiban pemerintah. Jika penyediaan barang publik diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, pemerintah telah mereduksi peranannya sendiri.
Monopoli & Capital Budgeting
Pembangunan dan pengoperasian jalan toll diawali dengan lelang kepada investor. Investor yang menang, mendapat hak pengelolaan. Hak pengelolaan yang diberikan pemerintah (government licensing) kepada investor merupakan legal barriers to entry. Karena hak tersebut datang dari suatu kontrak, sudah semestinya memiliki masa kadaluwarsa. Pemerintah sebagai pemberi kontrak harus memiliki opt out clause. Konsesi penambangan tembaga yang diberikan kepada Freeport McMoran, dalam perjalanannya ternyata nilai emas pada tambang tersebut lebih besar dari konsesi tembang tembaga. Pemerintah tidak bisa bertindak apa-apa karena dalam kontrak pemberian konsesi tidak terdapat opt out clause. Negara pasti dirugikan, karena konsensi tambang emas tentu berbeda dengan konsensi tambanga tembaga. Berikutnya menjadi pertanyaan menarik, berapa lama masa kontrak pengelolaan? jika hak pengelolaan berakhir, apakah pengelolaan dikembalikan? Jika dikembalikan kepada pemerintah, apakah pemerintah akan mengkonversinya menjadi jalan publik atau memberikan kontrak pengelolaan baru pada operator lainnya? Dari seluruh ruas jalan toll yang semuanya diselenggarakan oleh swasta (perseroan), masing-masing hak pengelolaan akan berakhir kapan? Masyarakat harus memiliki informasi cukup tentang hal-hal ini. Harus diingat peran pemerintah sebagai penyedia barang publik dengan peran pemerintah sebagai pemegang sero Jasa Marga adalah hal yang berbeda.
Government licensing, memberikan status monopoli pada para operator toll. Fungsi penerimaan monopoli berupa persamaan P x Q dimana P adalah tarif dan Q adalah kuantitas. Fungsi total biaya adalah TC = FC + VC. Fixed Cost adalah biaya yang tidak berubah berapapun Q diproduksi, sedangkan VC adalah (unit cost x Q), yaitu fungsi biaya yang merupakan fungsi dari Q yang diproduksi. Masyarakat pengguna jalan toll pasti ingin tahu fungsi TC operator toll. Secara empiris, operator jalan toll tidak menanggung VC, sebab operator tidak terbebani biaya tambahan untuk setiap tambahan kendaraan yang masuk ke dalam ruas toll.
Investor jalan toll tidak mau berinvestasi jika tidak ada jaminan kenaikan tarif adalah pernyataan yang mengandung sedikitnya 2 anomali. Anomali pertama, bahwa pada capital budgeting terdapat 3 metoda dasar, yakni payback period, net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR). Hanya kegiatan atau proyek yang memenuhi kriteria saja yang akan dipilih dan investor memutuskan untuk berinvestasi. Pledoi Menteri Pekerjaan Umum bahwa investor jalan toll tidak akan mencapai pulang pokok (break even) jika tarif tidak dinaikkan mengimplikasikan penggunaan metoda payback period. Metoda payback tidak layak digunakan pada lingkungan ekonomi yang tingkat suku bunganya tinggi. Bagaimana dengan 2 metoda lainnya. Pada intinya kedua metoda terakhir tersebut mem-presentvalue-kan (me-nilaikini-kan) arus kas. Pada NPV dan IRR, terdapat 3 variabel, yakni cashoutlay (nilai investasi sekarang); cashinflow (pendapatan) dan discount factor. Penyesuaian tarif toll setiap 2 tahun mengikuti laju inflasi berarti terjadi perubahan pada cashinflows, harus disertai penyesuaian discount factor.
Metamorphosis barang private menjadi barang publik, dari komoditas pelengkap menjadi komoditas utama dari elastik terhadap harga menjadi inelastik terhadap harga merupakan anomali kedua. Cashinflows pada 2 metoda terakhir dihitung dari projected Q x projected harga. Karena jalan publik tidak laik ditempuh, seketika pengguna jalan publik beralih ke jalan private (jalan toll), sehingga tidak ada masalah pada cashinflows. Masalahnya adalah periode 1998 – 2006 adalah periode rezim suku bunga (kredit) tinggi dan bank-bank tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan benar, sehingga discount factor menjadi tinggi dan hasil akhirnya semua investor jalan toll yang sudah menang lelang konsesi menunda investasinya.
Penutup
Amboy, saya berprasangka, kenaikan tarif toll dan restrukturisasi tarif jalan toll ada kaitannya dengan upaya memuluskan rencana dan valuasi IPO Jasa Marga yang agak tersendat? Prasangka, caci maki dan class action mungkin tidak perlu dilakukan jika pemerintah tidak mengkerdikan arti sosialisasi.
Pemerintah telah memarginalkan makna sosialisasi sebagai pengumuman kenaikan tariff jalan toll jauh-jauh hari. Dalam konteks Rancangan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, sosialisasi seyogyanya diartikan sebagai pemahaman masyarakat pada struktur biaya, isi kontrak, jangka waktu kontrak, government licensing, rencana pemerintah atas satu ruas jalan toll jika kontrak selesai dan lain-lain. Kasus-kasus pemblokiran jalan toll oleh warga karena tidak tuntasnya penyelesaian pembebasan tanah, beraroma tidak sedap.
Kisruh kenaikan tariff jalan toll belakangan ini boleh jadi merupakan fenomena kecil dari suatu gerakan korporatisasi negara secara sistematis dan terencana. Korporatokrasi, bukan korporatisasi yang dibutuhkan masyarakat. Layanan dan barang publik yang mustinya disediakan oleh negara, perlahan-lahan penyediaannya diserahkan kepada swasta murni atau badan hukum hasil privatisasi dan akhirnya menjadi berbayar. Jangan kita bernasib seperti kepiting yang direbus, yang baru sadar direbus saat air mencapai titik didih dan seketika mati.
Salam!