Rabu, Juni 29, 2011

Dividend Payout Ratio 100%: Beyond Greed & Fear

Dividend Payout Ratio 100%:
Beyond Greed & Fear
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Pada laporan rugi laba, laba bersih atau rugi bersih disajikan pada bottom line karena hakikatnya sebagai residual claim dari pemegang saham. Pada akhir periode laporan keuangan, laba bersih atau rugi bersih akan dipindahkan terlebih dahulu ke neraca ke dalam kelompok modal pada pos laba ditahan (retained earnings). Laba bersih akan memperbesar pundi laba ditahan, sebaliknya rugi bersih akan memperkecil pundi laba ditahan. Ribuan studi manajemen keuangan tentang dividend puzzle, tetapi semuanya melupakan aspek legal korporasi. Harus diingat per se (1) Pasal 70 UU Perseroan Terbatas mensyaratkan dilakukan pemupukan cadangan yang bersumber dari laba bersih hingga mencapai sedikitnya 20% dari modal ditempatkan dan disetor; (2) Pasal 71, perusahaan tidak boleh membagi dividen jika mengalami kerugian. Dibagikan atau tidaknya dividen dinyatakan dalam bentuk nisbah terhadap laba bersih (pay out ratio) dengan rentang 0% (tidak membagi dividen) sampai dengan 100% (laba bersih dibagikan seluruhnya sebagai dividen). Jika jumlah cadangan sebesar 20% dari modal disetor telah terpenuhi, maka barulah pay out ratio dapat memiliki rentang 0% sampai dengan 100%. Per se, Peraturan Bapepam, keputusan membagikan atau tidak membagikan dividen bukanlah transaksi berbenturan kepentingan, oleh karenanya beleid manajemen dan pemegang saham pengendalilah yang membentuk pengambilan keputusan pay out ratio pada RUPS. Pay out ratio juga ditentukan oleh ketersediaan dan kebutuhan dana kas oleh perusahaan. Laporan Rugi Laba seperti halnya Neraca adalah laporan berbasis acrual, artinya jika perusahaan belum berhasil menagih tagihannya pada pelanggannya, maka nilai laba bersih tidak seluruhnya berbentuk kas. Pada ujung akhirnya, setelah RUPS menerima dan mengesahkan laporan keuangan serta memutuskan pay out ratio, maka pos laba ditahan dalam kelompok modal secara definitip akan bertambah sebesar plow back ratio atau 1 - pay out ratio.
Kelompok modal pada neraca terdiri dari (1) modal disetor; (2) agio atau premium (selisih nilai pari saham dengan harga saham saat IPO), (3) cadangan modal sebesar minimal 20% dari modal disetor dan (4) laba ditahan. Modal disetor adalah dana yang disediakan oleh pemegang saham baik berupa kas pada saat pendirian perusahaan, pada saat IPO dan right issue. Semakin besar nilai kelompok modal ini, maka kapasitas perusahaan untuk berhutang juga semakin besar.
Laba ditahan merupakan komitmen tambahan pemegang saham pada perusahaan karena berfungsi sebagai jaring pengaman perusahaan (corporate safety net) pada saat bisnis perusahaan terkantuk-kantuk lesu baik karena sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya (persaingan, teknologi dll) dan juga karena salah urus perusahaan. Seperti halnya laba bersih, pada saat perusahaan mengalami kerugian, maka rugi bersih pada laporan rugi laba akan dipindahkan neraca dalam kelompok modal pada pos laba ditahan (retained earnings), maka pemindahan ini akan mengurangi jumlah laba ditahan, tetapi tidak menggerus modal disetor. Jika kerugian sangat besar, maka komponen modal berikutnya yang akan dihantam adalah cadangan modal sebelum akhirnya menggerus modal disetor yang secara teknis membuat suatu perusahaan sudah bangkrut.
Spontaneous Financing vs Discretionary Financing
Dalam khazanah manajemen keuangan, dikenal terminologi sustainable growth rate, yakni pertumbuhan organik maksimal yang akan dapat dinikmati oleh perusahaan tanpa terjadi perubahan pada struktur keuangan. Sisi pasiva neraca perusahaan adalah sources of funds sedangkan sisi aset merupakan uses of funds. Perusahaan akan tumbuh jika jika sources of funds-nya bertambah. Term SGR bermakna pertumbuhan yang terjadi jika sources of funds-nya bertambah sebesar pertambahan yang berasal dari tambahan laba ditahan. Term SGR ini berarti, perusahaan akan tetap tumbuh meskipun pay out ratio 100%, namun pertumbuhan ini digerakkan oleh sumber-sumber utang.
Pada kondisi SGR, maka nisbah keuangan semacam hutang-ekuitas tidak akan berubah karena besarnya tambahan hutang yang dibuat oleh perusahaan sama dengan tambahan modal yang berasal dari tambahan laba ditahan. Pada kondisi SGR, perusahaan dibiayai lebih banyak dengan sumber-sumber spontaneous financing, seperti menambah utang dagang atau memperlambat pembayaran utang dagang, utang pajak, uang muka pembayaran konsumen dan sebaliknya mempercepat penagihan piutang. Jika perusahaan ingin tumbuh di atas angka SGR, tidak bisa tidak perusahaan harus melakukan discretionary financing dengan membuat utang bank atau menerbitkan obligasi.
Kombinasi ketamakan dan kecemasan
Emiten dengan pay out ratio di atas 0% sampai dengan 100% tetap akan tumbuh, tetapi pertumbuhannya dibarengi dengan perubahan struktur keuangan karena di dalamnya terkandung unsur-unsur discretionary financing. Pemegang saham pengendali yang mengganggap dirinya sebagai pihak yang paling punya komitmen terhadap perusahaan dan juga memiliki hak suara yang terbesar di perusahaan memiliki informasi yang jauh lebih komplit ketimbang pemegang saham minoritas dan free float, termasuk didalamnya informasi dan prospek bisnis baru yang akan dan perlu dilakukan oleh perusahaan. Apabila suatu bisnis baru memiliki probabilitas 50% gagal dan 50% sukses, maka jika gagal, kerugian yang akan ditanggung adalah sebesar nilai investasinya, namun jika sukses akan mendatangkan keuntungan lebih besar dari nilai investasinya. Pada kondisi seperti ini, maka pilihan paling rational adalah 100% membiayai investasi baru tersebut dengan sumber-sumber discretionary financing (utang bank, penerbitan obligasi). Oleh karena pay out ratio periode sebelumnya telah tercermin pada pertumbuhan harga saham, maka kebijakan yang akan ditempuh pada periode berjalan, ditempuh dengan membagikan dividen dengan pay out ratio 100%. Dengan utang baru atau penerbitan obligasi untuk membiayai bisnis barunya yang memiliki probabilitas 50% gagal dan 50% sukses, efektif, perusahaan telah mengalihkan risiko kegagalan bisnis baru kepada kreditur. Namun jika usaha baru tersebut sukses, perusahaan akan menikmati kesuksesan tersebut dengan pertumbuhan laba yang luar biasa. Hal ini dapat dipahami karena begitu suatu perusahaan membuat utang atau menerbitkan obligasi, seketika, perusahaan sebagai debitur, memiliki opsi membayar atau tidak membayar utang. Konsep memahami perilaku perusahaan semacam ini disebut Expected Default Frequency yang diperkenalkan pertama kali oleh Merton, Black dan Scholes. Secara sederhana, aplikasi konsep ini adalah membandingkan kapitalisasi pasar dari perusahaan dengan nilai utang. Selama kapitalisasi pasar saham masih lebih besar dari nilai utang, maka perusahaan akan memilih opsi membayar utang. Nilai pasar saham perusahaan merupakan proxy terbaik karena sukses atau tidaknya usaha atau proyek baru yang dibiayai dengan utang akan tercermin pada harga-harga saham. Eksistensi opsi semacam inilah yang membentuk debt covenant (syarat-syarat utang) dari kreditur apakah bersifat affirmative (positive covenant) atau negative covenant, misalnya larangan membagikan dividen, larangan membuat utang baru selama utang belum lunas.
Payout ratio policy merupakan indikasi persepsi perusahaan pada potensi pertumbuhan industri atau sektor yang digeluti. Jika potensi pertumbuhan sangat besar, untuk menutup downside risk perusahaan gagal bertumbuh sebesar atau sama dengan angka pertumbuhan industri, maka perusahaan akan membagikan 100% laba bersihnya sebagai dividen dan mencari sumber-sumber discretionary financing. Sebaliknya jika pertumbuhan sektor dinilai rendah, namun perusahaan memiliki keyakinan masih bisa menikmati pertumbuhan organik yang diongkosi dengan sumber-sumber spontaneous financing, maka perusahaan akan opt in pada pay out ratio policy yang rendah. Pay out ratio 100% yang diikuti dengan pembiayaan bersumber utang ini selain memberikan opsi yang berasal dari Expected Default Frequency juga memberikan manfaat lain bagi pemegang saham, yakni munculnya kreditur sebagai pihak yang mengawasi manajemen perusahaan. Mengapa saya sebut manfaat? karena kepentingan kreditur hanya sebatas nilai kreditnya, sementara kepentingan pemegang saham adalah the whole corporation, sementara kewajibannya hanya sebatas kepemilikan sahamnya. Bentuk badan hukum korporasi berbentuk limited liability merupakan penemuan genius dari peradaban manusia pada sistem kapitalis yang memberikan hak tidak terbatas tetapi dengan kewajiban yang terbatas. Tidaklah berlebihan jika Ambrose Bierce (Devil’s Dictionary: 1911) menyimpulkan bahwa a corporation is an ingenious device for obtaining individual profit without individual responsibility.
Salam!


*) Pendidik, alumnus FRG EUR