Spin-Off:
Go Public tanpa Pernyataan Pendaftaran?
Oleh: Shalahuddin Haikal*)
Mohon maaf sebelumnya, saya termasuk orang yang “kurang percaya” dengan iktikad suatu perusahaan go public. Logika yang mendasarinya adalah logika ekonomi, manusia yang ditakdirkan tamak akan menghendaki menguasai komoditi sebanyak-banyaknya. Perhatikan kurva demand, slope (kemiringan) nya selalu negatip, artinya jika harganya makin murah maka saya menghendaki komoditi tersebut sebanyak-banyaknya. Setelah menjadi perusahaan publik-pun, manajemen perusahan akan bertindak “at the best interest of controlling shareholders”.
Cara Pandang Pemegang Saham Pengendali
Going public adalah pintu terakhir pembiayaan perusahaan, setelah pintu debt financing (utang bank atau menerbitkan obligasi) tertutup karena leverage ratio perusahaan sudah pada tahap membahayakan atau pemilik perusahaan tidak cukup yakin dengan prospek perusahaannya. Penawaran umum saham merupakan pintu terakhir karena dengan melaksanakannya maka kepemilikan saham oleh pemegang saham lama akan terdilusi.
Karenanya pula saya memandang upaya perlindungan investor, dalam hal ini pemegang saham publik (baca: pemegang saham minoritas) dengan skeptis. Di mata pemegang saham mayoritas, terminologi investor sendiri mengundang kecurigaan. Investor yang berarti orang yang melakukan investasi atas kelebihan dana yang dimiliki. Aktifitas investasi memiliki antonym divestasi. Investor akan berinvestasi saat harga efek undervalued dan menjual saat overvalued. Investor datang dan pergi, sehingga pemegang saham pengendali akan memandang investor sebagai free rider.
Dengan cara pandang pemegang saham pengendali seperti ini, sehebat apapun Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT), tidak akan pernah berhasil melindungi investor. UUPT merupakan undang-undang yang mengatur tata kelola perusahaan dalam hubungannya dengan pemegang saham, tanggung jawab direksi, pelaporan kinerja dll. Karena pertemuan perusahaan dengan investor terjadi di pasar modal, maka sudah seharusnyalah UU Pasar Modal mengisi kekurangan UUPT dalam hal perlindungan investor. Bapepam sebagai pengadministrasi UU Pasar Modal harus bertindak sebagai pelindung investor. Bapepam harus menjalankan fungsi sebagai “investor’s advocate”.
Investasi atau Divestasi
Terdapat banyak pendapat tentang dividen policy. Belum satupun pendapat tentang dividen policy yang diterima sebagai teori, semuanya masih menjadi diskursus. Investor memiliki potensi pendapatan dari 2 sumber, yakni capital gain dan atau dividen. Sebaliknya konsep sustainable growth rate (SGR) telah diterima sebagai teori. SGR menjelaskan angka pertumbuhan minimum yang dapat dicapai perusahaan tanpa mengubah struktur keuangan. SGR merupakan formula yang berbanding lurus dengan besaran laba ditahan dan return on equity (nisbah laba terhadap ekuitas). Artinya makin besar laba ditahan akan makin besar juga SGR sehingga potensi pertumbuhan perusahaan akan semakin besar juga. Hasil akhirnya adalah nilai saham akan terapresiasi. Apresiasi nilai saham akan menyebabkan harga saham menjadi undervalue. Undervaluenya saham akan mendongkrak harga saham. Hasil akhirnya adalah investor akan menikmati capital gain. Pertumbuhan yang bertumpu pada pembiayaan eksternal akan merubah struktur keuangan perusahaan. Adalah benar, bahwa pembiayaan perusahaan tidak bisa dilakukan pada satu ekstrim: 100% pembiayaan internal atau 100% pembiayaan eksternal. Pembiayaan perusahaan dilakukan dengan mengkombinasi keduanya.
Laba dibagikan sebagai dividen dapat mengambil 2 bentuk, dividen tunai atau dividen saham. Membagikan dividen saham tidak akan menimbulkan dilusi karena dibagikan sesuai dengan kepemilikan saham masing-masing pemegang saham. Membagikan dividen saham mengindikasikan perusahaan tidak memiliki kas. Proses akuntansi yang dilakukan hanya mengkapitalisasi laba ditahan menjadi saham. Dipandang dari konsep SGR, kita bisa bayangkan perusahaan yang membagikan dividen saham sebagai perusahaan yang tidak memiliki cukup uang kas dan leverage ratio-nya cenderung membahayakan.
Karenanya saya memandang peraturan BEJ yang mewajibkan setidak-tidaknya sekali dalam tiga tahun, listed company harus membagikan dividen sebagai peraturan yang kontra produktif. Peraturan ini ternyata telah dimanfaatkan dengan lihai oleh satu listed company dengan membagikan dividend in kind.
Masih minimnya upaya edukasi investor menyebabkan investor tidak terlalu paham dengan hak-haknya. Setiap kali perusahaan mendistribusikan sesuatu yang memiliki “nilai” dipandang sebagai keberhasilan perusahaan. Saham bonus, misalnya! Saham bonus merupakan kapitalisasi agio. Agio adalah selisih harga perdana dengan nilai nominal yang telah dibayar pemegang saham publik saat IPO. Lucunya semua pemegang saham (termasuk pemegang saham pendiri yang tidak membeli dengan harga diatas nilai nominal saham di IPO) mendapat pembagian saham bonus.
Dividen Saham Anak Perusahaan
Kini muncul modus baru go public tanpa harus menyampaikan Pernyataan Pendaftaran ke Bapepam, tanpa harus mendapat Pernyataan Efektif dari Bapepam, tanpa harus mencatatkan saham-saham tersebut di bursa efek! Modus ini akan dijalankan dengan membagikan dividen dalam bentuk saham anak perusahaan. Anak perusahaan akan menjadi public company tanpa memenuhi initial mandatory disclosures dan selanjutnya tidak perlu memenuhi continuing mandatory disclosures.
Di pasar modal, membagikan saham anak perusahaan sebagai sebagai dividend merupakan salah satu cara restrukturisasi dan reorganisasi anak perusahaan. Membagikan dividend berupa saham anak perusahaan dikenal sebagai spin-off.
Meskipun sebagai SRO, BEJ menjadi lemas dengan kata-kata “restu” Bapepam, saya memberikan acungan jempol kepada BEJ yang kukuh memegang prinsip, bahwa pembagian dividen saham anak perusahaan tidak dapat dilakukan. Prinsip yang dipertahankan adalah prinsip mandatory disclosure dalam upaya melindungi investor.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan advokasi kepada pemegang saham minoritas, pemegang saham independen, investor kecil juga kepada investor institusi (reksadana, dana pensiun) dan shareholder activists karena pada bulan Mei nanti terdapat perusahaan publik yang berencana melaksanakan RUPS untuk mendapatkan persetujuan atas rencana pembagian dividen berupa saham anak perusahaannya.
Membagikan saham anak perusahaan, yang notabene bukan perusahaan publik, sebagai dividen adalah pelanggaran terhadap UUPM. Sangat disayangkan Bapepam memberikan ijin atas rencana ini, meskipun persetujuan Bapepam bersifat kondisional. Syarat ke-3 yang diberikan Bapepam, biasanya sulit untuk dilaksanakan. Syarat ke-3 yang harus dipenuhi adalah persetujuan pemegang saham independen. Meskipun sulit dilaksanakan, apapun alasannya Bapepam tidak bertindak sebagai pelindung investor, Bapepam tidak cukup memberikan investor confidence bahwa hak-hak investor terlindungi. Kejadian ini akan menjadi precedence.
Pelanggaran
Penawaran adalah ajakan baik langsung atau tidak langsung, tersurat atau tersirat untuk melakukan transaksi tertentu. RUPS yang dilakukan adalah meminta persetujuan kepada pemegang saham atas rencana pembagian saham anak perusahaan. Cukup jelas bahwa sejak agenda RUPS diumumkan pada t-14 dari tanggal RUPS melalui 1 media massa berperedaran nasional vis-à-vis merupakan penawaran umum. Selain pelanggaran terhadap ketentuan Penawaran Umum, transaksi ini juga akan melanggar ketentuan tentang Transaksi Material dan Transaksi Berbenturan Kepentingan. Cukup banyak pelanggaran terhadap UUPM yang dilakukan atas dilaksanakannya transaksi ini. Namun karena keterbatasan halaman rubrik ini saya tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Karenanya saya menyampaikan kepada shareholder activists untuk memulai menganalisa pelanggaran apa saja yang dilakukan dengan membaca ulang UUPM dan Peraturan Bapepam.
Karena saham anak perusahaan akan didapat oleh pemegang saham bukan berasal dari penawaran umum, BEJ/BES tidak memiliki dasar untuk melaksanakan kontrak pendahuluan pencatatan efek. Saham-saham anak perusahaan ini tidak dapat dicatatkan di bursa efek. Hal ini akan berimplikasi pada tidak terdapatnya likuditas atas saham-saham yang dibagikan dan tidak terdapatnya continuing disclosures.
“Keputusan” yang diberikan Bapepam diberikan dalam forum “dengar pendapat”. Produk hukum yang dapat diterbitkan Bapepam adalah Surat Keputusan Ketua Bapepam. Pada jurisdiksi pasar modal Indonesia tidak dikenal interpretative letter atau no-action letter seperti pada jurisdiksi pasar modal Amerika Serikat. Setahu saya keputusan Bapepam setidak-tidaknya harus dinyatakan dalam bentuk Surat Keputusan Ketua Bapepam. Alangkah naïve-nya jika kesimpulan pada forum dengar pendapat dianggap sebagai produk hukum yang mengikat para pihak. Bapepam tidak perlu malu mencabut ‘keputusan” ini.
Karena Bapepam sudah bersikap sloppy dan tidak melindungi investor, maka benteng selanjutnya adalah bursa efek (BEJ maupun BES) dan LKP (KSEI). Belajar dari pengalaman beberapa emiten yang gagal memenuhi kuorom pemegang saham independen, kali ini emiten akan berupaya memuluskan RUPS melalui “transaksi semu” (perpindahan kepemilikan saham tanpa perpindahan beneficiaries).
Salam!
*) staf pengajar Dept Manajemen FEUI, Depok, studi lanjut Faculteit der Rechtsgeleerdheid Erasmus Universiteit,