Senin, Juni 06, 2011

Bagi Dividen atau Tidak Bagi Dividen?

Bagi Dividen atau Tidak Bagi Dividen?
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Setelah melalui musim RUPS, sebagian pemegang saham (minoritas) dan investor ada yang tengah bergembira menerima dividen atas investasinya di perusahaan Tbk, namun ada juga yang tengah bersungut-sungut karena saham perusahaan yang dimilikinya tidak membagikan dividen sama sekali, bahkan mungkin juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sudah menjual saham yang dimilikinya. Per definisi, dividen adalah cashflows distribution. Pemegang saham hanya akan dapat menikmati hasil investasi pada saham dengan 2 modus: dividen tunai atau menjual saham (divestasi). Menjual saham merupakan tindakan yang dapat dimengerti dalam pemenuhan likuiditas, jika tidak dilakukan pembagian dividen. Untuk saham-saham BUMN-Tbk dan non-Tbk, kebutuhan kas pemegang saham mayoritas (negara) berupa sumber dana APBN bisa didapat dari dividen atau privatisasi (bahasa eufisme divestasi) atau kedua-duanya. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa BUMN-Tbk selalu membagikan dividen dan mengapa setoran dividen BUMN pada APBN-P 2009 dinaikkan dari Rp 26,1 triliun menjadi Rp 29 triliun.
Dividend Puzzle dan The New Dividend Puzzle
Terdapat 2 kutub kebijakan dividen, kutub pertama yakin bahwa dibagi tidaknya dividen terkait dengan kemampuan manajemen mencari atau mengelola kegiatan baru yang memberikan required yield seperti yang diminta pemegang sahamnya. Sehingga tatkala membagikan dividen, seolah-olah manajemen berkata “mohon maaf saudara-saudara karena kami tidak lagi memiliki proyek yang setara dengan required yield seperti yang saudara minta, maka kami membagikan kas agar saudara bisa mencari sendiri perusahaan atau proyek yang equivalen dengan required yield saudara”. Kutub ini adalah kutub yang sangat yakin bahwa manajemen orang yang baik, jujur, amanah dan tidak melakukan shareholders misappropriation. Kutub ini juga merupakan pendukung konsep sustainable growth rate, yang menjelaskan bahwa pertumbuhan penjualan perusahaan merupakan fungsi perkalian antara ROE dengan plow back ratio (laba yang tidak dibagikan sebagai dividen). Artinya makin kecil pay out ratio (rasio dividen yang dibagikan terhadap laba bersih) akan semakin besar pula pertumbuhan penjualan penjualan perusahaan. Kepercayaan pada konsep ini akan berujung pada membaiknya nilai perusahaan, sehingga pemegang saham akan tetap mendapat return dari investasinya dengan cara menjual saham dan merealisasikan capital gain. Kutub yang kedua sebaliknya sangat yakin bahwa karena free cash flow tidak berada dibawah pengawasan RUPS dan karenanya sangat mudah dijarah oleh manajemen, maka RUPS menuntut pembagian dividen semaksimal mungkin. Bahkan dalam kondisi perusahaan memiliki portofolio kegiatan baru (ekspansi usaha misalnya), kutub ini lebih menyukai jika didanai dengan utang. Pertimbangannya adalah kreditur akan menjadi mitra pengawas jalannya perusahaan dengan menetapkan batasan-batasan yang rigid. Dua tahun setelah terungkapnya beberapa skandal pengelolaan perusahaan dan satu tahun sejak diundangkannya Sarbanes Oxley Act of 2002, di Amerika Serikat diundangkan Tax Relief Reconciliation Act of 2003 yang telah menyamakan tarif pajak capital gain dan dividen income maksimal 15%, sehingga kini tidak ada lagi perbedaan perlakuan pajak, namun bagaimana keputusan dividen diambil tetap menjadi teka-teki dan akhirnya menjadi The New Dividend Puzzle (William W Bratton:2004).
Dividend Puzzle merupakan bentuk Agent Principal Problem?
Saat ini Bursa Efek Indonesia, sebagai SRO telah menyampaikan draft Peraturan Pencatatan Saham untuk direview oleh Bapepam-LK. Terkait dengan dividen, isi draft peraturan ini antara lain mewajibkan perusahaan Tbk untuk membagikan dividen minimal 1 kali dalam setiap 3 tahun. Asosiasi Emiten Indonesia menyampaikan keberatan atas kewajiban membagikan dividen minimal 1 kali dalam setiap 3 tahun ini. Dalam konteks game theory, keberatan AEI mudah dimaklumi. Salah satu rule making rules Bursa Efek Indonesia sebagai SRO adalah perlindungan investor. Sebaliknya dalam pandangan emiten, investor adalah pihak opportunist yang akan membeli saham saat harga saham undervalue dan menjual saham saat harga saham overvalue. Saat investor merealisasi pembelian, berubahlah atributnya menjadi pemegang saham. Karena kepemilikannya kecil-kecil dan terdispersi luas, mereka ini disebut sebagai free float shareholders. Keputusan penggunaan laba bersih (termasuk dibagikan atau tidak dibagikannya dividen) akan dilakukan pada RUPS. Namun karena keputusan pembagian dividen tidak termasuk dalam ranah transaksi material berbenturan kepentingan, maka pemegang saham pengendali-lah yang akan memegang peranan.
Benefit Non Dividen Pemegang Saham Pengendali
Bahwa setiap pemegang saham, baik itu minoritas maupun majoritas, pemegang saham pengendali maupun free float shareholders membutuhkan cash adalah suatu keniscayaan. Jika Asosiasi Emiten Indonesia menolak keharusan membagikan dividen sebagaimana terdapat pada draft Peraturan Pencatatan hal ini perlu dipahami dari konteks: (1) nyaris 90% kepemilikan saham emiten di Indonesia terpusat pada satu pemegang saham pengendali (2) pemegang saham pengendali memiliki usaha lain di hilir atau di hulu industri emiten. Penolakan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana pemegang saham pengendali memenuhi kebutuhan kasnya jika selama tiga tahun berturut-turut tidak ada pembagian dividen?
Pada perusahaan Tbk non-BUMN, sangat boleh diduga, pemegang saham pengendali mendapat pembagian keuntungan (dividen) dari perusahaan lain miliknya yang diuntungkan dari penjualan produk dengan harga lebih tinggi dari pada harga pasar kepada perusahaan Tbk atau perusahaan Tbk menjual produk dengan harga lebih murah dari pada harga pasar. Singkat kata, transaksi perusahaan-perusahaan yang dimiliki pemegang saham pengendali dengan emiten tidak arm’s length transaction. Alhasil perusahaan Tbk non-BUMN yang dimiliki pemegang saham pengendali bersama-sama free float shareholders menjadi sapi perahan dalam kelompok (grup) usaha yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali. Hal ini merupakan bentuk free float shareholder misappropriation.
Sedangkan pada BUMN Tbk maupun non-Tbk, karena antara pemilik (negara) dengan manajemen tidak ada hubungan afiliasi, maka yang terjadi adalah generic agency problem. Menggenjot habis setoran dividen BUMN sampai dengan Rp 29 triliun adalah angka yang kurang. Pada BUMN mustinya dividend pay out ratio adalah 100%. Pada pay out ratio 100%, BUMN Tbk maupun non-Tbk bisa menyumbang dividen 2 kali lipat pada APBN. Selain seketika memberikan manfaat kepada APBN, pengawasan atas jalannya pengelolaan perusahaan tidak saja dilakukan oleh Dewan Komisaris tetapi juga dilakukan oleh kreditur. Semakin banyak yang mengawasi maka kemungkinan manajemen BUMN untuk menjarah perusahaan semakin kecil, karena setidaknya proses penjarahan BUMN semakin sulit dilakukan.
Salam!

*) alumnus FRG-EUR, dosen FEUI, Depok