Selasa, Desember 02, 2008


Abstract

Investment has divestment as its antonym. Investor is a shareholder which frequent trades his share to get return from price discrepancy. Their opportunistic behaviour causes their turn over in Shareholder Registration List and become anonymous. As a result, corporation which will conduct Extraordinary General Shareholder Meeting to get shareholder resolution prior conflict of interest and material transaction meets a huge difficulty. The condition worse since it is about right to attend meeting and give votes. Voting rights is right, no obligation to exercise their rights.

The rationale for regulating the capital raising process designed to promote investor confidence in the securities markets by ensuring that appropriate levels of protection are in place and, thereby, to ensure the effectiveness and efficiency of the market-place.

In other side, rules on Independent Commissioners is Jakarta Stock Exchange (now: Indonesia Stock Exchange) rule, up to date Bapepam cannot (therefore do not have) any rules which requires listed company to have independent commissioners in Dewan Komisaris as a corporate organ.

Since company law, recognize shareholder terms only. Therefore, have deficiencies to protect independent (public or free float) shareholder in corporate governance. Nomination mechanisms as part of EGM agenda proposal requires minimum 10% share ownerships.

This paper aimed to resolve it without infringe company law.


Key Words: securities law; independent shareholders, extraordinary general shareholder meeting; independent commissioners.



Keterwakilan Free Float Shareholder
Pada
Organ RUPS & Dewan Komisaris
Perusahaan Publik

Oleh: Shalahuddin Haikal*

Independent adalah kata sifat yang pada Miriam Webster Collegiate Dictionary maupun Thesaurus diartikan sebagai self-governing, self-determining, sovereign. Bagi perusahaan publik, transaksi material yang berbenturan kepentingan memerlukan persetujuan pemegang saham independen cukup merepotkan. Sebaliknya mekanisme nominasi dan pemilihan serta sistem pelaporan Komisaris Independen telah menihilkan makna independen.

Polemik Adolph A Berle (44 Harvard Law Review 1049, Corporate Powers as Powers in Trust: 1931) dengan E. Merrick Dodd (45 Harvard Law Review 1145, For Whom are Corporate Manager Trustees: 1932) mengerucut pada kesimpulan yakni bahwa sejak terdapat pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, terjadi shareholders appropriation yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Sejak suatu badan usaha diputuskan berbentuk Perseroan Terbatas, terjadilah pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, seketika terjadi pulalah agent principal problem. Manajemen adalah agent sedangkan pemegang saham adalah principal. Sebagai principal, pemegang saham adalah residual claimant, hanya bisa menikmati rendemen hasil usaha berupa laba bersih setelah pajak. Pemegang saham tidak memiliki kendali atas kegiatan operasional sehari-hari. Berbagai bentuk shareholders appropriation dengan mudah dilakukan oleh manajemen perusahaan mulai dari inefisiensi biaya, kebijakan piutang dagang yang lenient, ketidakhati-hatian dalam memilih sumber pembiayaan hingga yang paling ekstrim adalah korupsi (James Gobert and Maurice Punch: 2003). Tidaklah salah jika Ambrose Bierce (Devil’s Dictionary: 1911) menyimpulkan bahwa A corporation is an ingenious device for obtaining individual profit without individual responsibility.

Di pasar modal Indonesia, terjadi dua jenis shareholders appropriation, yakni generic shareholders appropriation seperti yang terjadi pada BUMN baik BUMN-non Tbk maupun BUMN-Tbk. Generic shareholder appropriation sebagai akibat dari agent principal problem hanya terjadi di BUMN. Pada perusahaan-perusahaan bukan BUMN, pemegang saham pengendali dapat memilih manajemen perusahaan yang tidak memiliki perbedaan kepentingan, sehingga kepentingan manajemen tidak berbeda dengan kepentingan pemegang saham. Pada BUMN, manajemen dan komisaris adalah pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham. Sudah pasti terdapat perbedaan kepentingan. Kepentingan manajemen dan komisaris adalah kepentingan jangka pendek selama masa kepengurusan dan pengawasan sedangkan kepentingan Negara sebagai pemegang saham adalah kepentingan jangka panjang BUMN sebagai pengkontribusi sisi penerimaan pada APBN. Mekanisme pengurangan generic shareholder appropriation dilakukan dengan mendudukan Dewan Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas kepengurusan perusahaan oleh manajemen. Pasal 1 UU No 40 Tahun 2007 mendefinisikan Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Dalam kenyataannya Dewan Komisaris BUMN sebagai pihak yang mendapat amanat RUPS untuk mengawasi jalannya pengelolaan BUMN telah bersekutu dengan Direksi[1].

Shareholders appropriation pada perusahaan terbuka bukan BUMN, yang merupakan akibat dari kecilnya prosentase free float shares[2], (berpotensi) menimbulkan free float (independent[3]) shareholders appropriation yang dilakukan secara bersama-sama oleh manajemen perusahaan dan controlling shareholders. Kecilnya free float shareholders merupakan akibat kecilnya porsi saham yang dijual pada saat initial public offering telah menyebabkan tidak terdapat public company dalam makna yang sesungguhnya di Indonesia[4]. Free float (independent) shareholders appropriation muncul dalam bentuk perilaku perusahaan dan tiga organ perusahaan (RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris) yang menafikan dan tidak mengindahkan kepentingan free float shareholders atau pemegang saham independen.

Free float shareholders appropriation dapat dikurangi dengan mendudukkan wakil free float shareholders dalam organ pengawasan pengelolaan perusahaan sebagai Komisaris Independen. Diawali dengan terbitnya Surat Edaran Bapepam No. SE-03/PM/2000 dan diikuti BEJ dengan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang mewajibkan emiten dan perusahaan publik memiliki Komisaris Independen.

Anggaran Dasar Perseroan harus memuat dan tidak boleh berlawanan dengan pokok-pokok pengaturan perusahaan pada corporate law (dalam arti Undang Undang Perseroan Terbatas) yang merupakan sumber corporate governance memberikan perlindungan penuh kepada pemegang saham Perseroan. Persoalannya adalah Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak membedakan pemegang saham menjadi pemegang saham pengendali dengan pemegang saham publik atau free float shareholders. Hal ini merupakan defisiensi Undang-Undang Perseroan Terbatas yang kemudian dilengkapi dengan Undang-Undang Pasar Modal.

Dalam tataran Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengatur hak dan kewajiban pemegang saham tidak mengenal terminologi investor. Bagi perseroan maupun controlling shareholders, terminologi investor yang berangkat dari kata investasi berarti pihak yang melakukan investasi. Investasi memiliki antonim divestasi. Perseroan dan ketiga organ Perseroan menilai investor sebagai pihak pemilik dana yang memiliki sifat opportunistik. Kalkulasi pertimbangan investasi dan divestasi merupakan kalkulasi rasional untung rugi. Membeli saham perseroan saat harga saham undervalued dan segera menjual saat overvalued. Dikenal juga istilah cut loss, yang berarti menjual seluruh kepemilikan saat investasi dinilai tidak lagi menguntungkan. Keputusan investasi/divestasi merupakan fungsi dari valuasi perusahaan dan valuasi saham. Sedangkan valuasi terjadi karena datangnya informasi baru mengenai perusahaan. Oleh karenanya free float (independent) shareholders appropriation lazim mengambil bentuk pengurangan hak untuk memperoleh informasi. Karena tujuan pengaturan dan pengawasan pasar modal adalah agar tercapai pasar yang teratur, wajar dan efisien dan memberikan perlindungan kepada pemodal (Niamh Moloney: 2002), maka Undang-Undang Pasar Modal di manapun di dunia selalu mendefinisikan informasi dan fakta material sebagai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Karenanya pula, full disclosures merupakan doktrin utama pengatuan dan pengawasan pasar modal. Defisiensi corporate law dalam hal hak informasi investor, telah melahirkan istilah perusahaan publik dan Pasal 24 pada UU No 40 Tahun 2007. Setiap perseroan terbatas yang memenuhi kriteria perusahaan publik harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk di dalamnya menyesuaikan Anggaran Dasar perseroan.

Paper ini akan mengkompilasi peranan free float (independend) shareholders pada transaksi berbenturan kepentingan melalui mekanisme RUPSLB dan darinya diharapkan pemahaman peneliti yang hendak melakukan penelitian mengenai tata kelola perusahaan; agent-principal problem di perusahaan publik untuk tidak buru-buru mengambil kesimpulan sebelum memahami mekanisme pengambilan keputusan pada RUPSLB. Sebaliknya juga tidak perlu buru-buru mengambil kesimpulan bahwa keberadaan komisaris dan direktur independen merupakan jaminan terdapatnya tata kelola perusahaan yang baik.

Transaksi Material dan Berbenturan Kepentingan
Suatu kemajuan yang sangat besar karena pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengggantikan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas secara eksplisit telah disebutkan keberadaan Komisaris Independen. Pasal 120 UU No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Anggaran Dasar dapat mengatur adanya 1 orang atau lebih Komisaris Independen yang diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota komisaris lainnya. Di lain pihak, pada khazanah peraturan Bapepam-LK tidak terdapat keharusan atau pewajiban dimilikinya Komisaris Independen[5]. Sebaliknya Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa[6], mewajibkan perusahaan tercatat untuk memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya berjumlah 30% dari jumlah seluruh anggota Komisaris.

Pembedaan antara independen (free float) shareholders dengan controlling shareholder lahir karena keterbatasan corporate law yang tidak dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pemegang saham dalam organ RUPS. Terdapat ketentuan yang mengatur kepemilikan saham minimum yang harus dimiliki oleh satu pihak pemegang saham untuk dapat mengusulkan agenda RUPS. Pada UU Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007, kepemilikan minimum untuk dapat mengusulkan RUPS dan agendanya adalah 10%. Bukan hanya itu saja, agenda harus ditetapkan pada H-7 dari tanggal RUPS.
Gambar 1




Keterbatasan UUPT akan dan telah mengakibatkan banyak terjadi independent shareholder appropriation pada perusahaan publik. Karena keterbatasan ini, maka regulasi pasar modal diperlukan untuk melindungi pemodal yang kepemilikannya kurang dari kepemilikan minimum sebagaimana yang dinyatakan dalam Corporate Law dan Anggaran Dasar Perusahaan.

Untuk melindungi pemodal dalam kategori independen, Bapepam telah menerbitkan Peraturan No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Terhadap transaksi yang berbenturan kepentingan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan pemegang saham independen.

Jika suatu Transaksi dimana seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama atau Pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau pemegang saham utama mempunyai benturan Kepentingan, maka Transaksi dimaksud terlebih dahulu harus disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini. ……..(Peraturan Bapepam No. IX. E. 1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dan draft perubahan Peraturan Bapepam No. IX. E. 1)



Tidak cukup dengan Peraturan No. IX. E. 1, tanpa harus mengintervensi UUPT, Bapepam juga telah menerbitkan Peraturan No. IX. J. 1 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik:

a. pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan;

b. korum untuk RUPS yang akan memutuskan hal-hal yang mempunyai benturan kepentingan harus memenuhi persyaratan bahwa RUPS tersebut dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan keputusan diambil berdasarkan suara setuju dari pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen;

Kuorum RUPS untuk menyetujui transaksi benturan kepentingan bukan dihitung dari kehadiran pemegang saham secara keseluruhan tetapi dihitung dari kehadiran pemegang saham independen. Turnover investor (free float shareholders) menjadikan pelaksanaan RUPSLB transaksi berbenturan kepentingan bukan hal yang mudah dilakukan. Pada saat dibuatnya, peraturan ini telah mengasumsikan kesulitan ini. Jika tidak mencapai kourum maka harus diulang pada RUPS ke dua dan RUPS ke tiga. Jika tetap gagal mencapai kuorum, RUPS baru bisa diadakan lagi pada RUPS ke tiga yang baru boleh dilaksanakan 12 bulan yang akan datang sejak RUPS ke dua. Berikut adalah verbatim Peraturan Bapepam No. IX. E. 1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dan draft perubahan Peraturan Bapepam No. IX. E. 1:

Suatu Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan dapat dilakukan jika telah memperoleh persetujuan para Pemegang Saham Independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen dan Transaksi dimaksud disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen.

Dalam hal korum rapat tidak terpenuhi, maka rapat kedua dapat mengambil keputusan dengan syarat dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh per seratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen dan Transaksi dimaksud disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen yang hadir. Dalam hal korum untuk rapat kedua juga belum terpenuhi, rapat ketiga dapat mengambil keputusan setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

Jika RUPS pertama dan kedua tidak memenuhi kuorom, maka RUPS ketiga hanya dapat dilaksanakan kembali jika telah mendapat persetujuan dari Bapepam dengan ketentuan perhitungan kuorum dilakukan seperti pada verbatim di atas.

RUPSLB atas transaksi berbenturan kepentingan hanya absah bila memenuhi kuorum pemegang saham independen dan disetujui pemegang saham independen. Sebaliknya jika RUPSLB ketiga, memenuhi kuorum tetapi tidak menyetujui, maka transaksi baru dapat dilaksanakan jika dilakukan RUPSLB dengan ketentuan hitung kuorum yang sama yang baru dapat dilaksanakan paling cepat 12 bulan sejak tanggal penolakan.

Pemenuhan kuorom RUPS berbasis pemegang saham independen merupakan hal sulit dipenuhi. Terdapat 3 (tiga) sebab:

Pertama, anonimitas free float shareholders, karena memiliki turn over keluar dan masuk dalam Daftar Pemegang Saham;

Kedua, tidak semua pemegang saham mendaftarkan namanya dalam Daftar Pemegang Saham. Dari sisi investor, peranan Bank Kustodian dan Perusahaan Efek menjadi mengemuka dan sangat krusial karena kedua institusi inilah yang tahu pasti kepemilikan saham oleh investor yang menjadi kliennya. Oleh karenanya pada Peraturan Bapepam IX. J. 1 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan, kedua institusi ini wajib melaporkan kepemilikan saham investor atas suatu perseroan yang hendak melaksanakan RUPS kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (PT Kustodian Sentral Efek Indonesia) selambat-lambatnya 1 hari kerja sebelum panggilan RUPS;

Ketiga, right exercise and obligation fulfilment problem argument. Jika suatu pihak memiliki hak, maka pemilik hak memiliki kemerdekaan untuk menggunakan haknya atau tidak menggunakan haknya. Pelaksanaan hak suatu pihak menjadi kewajiban pemenuhan pihak lawan (counterparty). Jika pemegang saham tidak menggunakan haknya maka perseroan tidak memiliki kewajiban untuk pemenuhannya. Karena sifat-sifatnya saham harus diterbitkan atas nama. Karena saham yang dikeluarkan perseroan adalah saham atas nama, maka hak dan pelaksanaan hak melekat pada nama pemilik saham. Pelaksanaan hak oleh pemilik hak dan pemenuhan hak oleh pihak counterparty merupakan aktifitas reciprocal. Artinya pihak yang berkewajiban memenuhi pelaksanaan hak tidak akan dapat melaksanakan kewajiban tersebut jika pemilik hak tidak menggunakan haknya. Adalah hak free float shareholders untuk hadir atau tidak hadir pada RUPSLB transaksi berbenturan kepentingan. Sampai disini disimpulkan bahwa seringkali pelaksanaan transaksi berbenturan kepentingan pada perusahaan publik disandera oleh preferensi free float shareholders untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya untuk hadir pada RUPSLB.

Keterwakilan Free Float Shareholder Pada Pengawasan Perusahaan.
Seperti telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, untuk mengurangi agen-principal problem, mekanisme pengawasan diterapkan oleh Dewan Komisaris sebagai organ perseroan. Untuk generic shareholders appropriation diatasi dengan pengawasan oleh Dewan Komisaris. Pada perusahaan publik, komposisi Dewan Komisaris selain merupakan perwakilan controlling shareholders juga harus mewakili kepentingan free float shareholders dalam bentuk keberadaan Komisaris Independen. Ternyata mekanisme seleksi dan nominasi pada tatakelola perusahaan telah memandulkan makna independen? Dalam setiap Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa pemegang saham boleh mengajukan usul baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama jika memenuhi minimum kumulative prosentase kepemilikan saham. Usulan ini sudah harus diterima selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum tanggal Panggilan RUPS. Kedua hal ini merupakan kendala terwakilinya kepentingan independent shareholders dalam nominasi dan pemilihan Komisaris Independen. Anggaran Dasar Perseroan telah “memasung” kemungkinan terpilihnya Komisaris Independen secara spontan pada RUPSLB. Dipasungnya spontanitas independent shareholders dalam proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen pada RUPSLB telah mengakibatkan proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen dikuasai sepenuhnya oleh controlling shareholders. Itulah sebabnya Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik tidak membedakan Komisaris dengan Komisaris Independen apalagi mengatur atau mewajibkan keberadaan komisaris independen.

Sejak tahun 2001 pada organ Dewan Komisaris terdapat perangkat baru yakni Komisaris Independen. Siapa yang mengusulkan, memilih dan mengangkat Komisaris Independen? Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 tentang tatacara pemilihan Komisaris Independen telah mengakibatkan Komisaris non independen ber-mimikri menjadi Komisaris Independen. Singkat kata, atas nama kepraktisan dan asal memenuhi ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, Komisaris Independen dipilih bukan oleh pemegang saham independen tetapi oleh pemegang saham pengendali. Hanya saja calon komisaris independen harus memenuhi kriteria independensi.

Kriteria independen diambil dari Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit, yang baru terbit pada tahun 2004 yakni antara lain: (a) berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik (b) tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik (c) tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, Komisaris, Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik dan (d) tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.


Hambatan Pelaksanaan Ke-independen-an Komisaris Independen.
Ironinya butir 2. c. Peraturan No. IX. I. 5, Komite Audit yang diketuai oleh Komisaris Independen justru bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Dengan begitu, aparatus independen yang diharapkan mewakili kepentingan independent shareholders merupakan direct reports (baca: bawahan!) Dewan Komisaris yang mewakili kepentingan controlling shareholders. Karena pasti berdasarkan kriteria yang berasal dari Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, sedikitnya 70% anggota Dewan Komisaris mewakili controlling shareholder. Pengaturan ini menjadi penghambat pelaksanaan peranan ke-independen-an Komisaris Independen (dan Komite Audit!). Pasal 108 ayat 4 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas menyebutkan bahwa:

Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.

Pun Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang menetapkan jumlah komisaris independen 30% tidak efektif, karena pengambilan keputusan pada rapat Dewan Komisaris memungkinkan mekanisme voting. Kepentingan pemegang saham independen tidak dapat dilindungi dalam pengambilan keputusan berbasis pemungutan suara (voting) selama keterwakilan pada Dewan Komisaris hanya 30%? Peraturan ini telah mengkerdilkan peranan yang diharapkan dari keberadaan Komisaris Independen. Setiap hasil analisa, temuan yang menunjukkan dan melaporkan potensi free float shareholder appropriation (dalam konteks zero sum game theory, yang berarti in favor of controlling shareholders) akan berhenti di meja Dewan Komisaris. Alhasil, kepentingan controlling shareholders-lah yang menjadi prima causa atas setiap tindakan korporasi yang dilakukan emiten dan perusahaan publik.

Peranan self-governing dan self-determining Komisaris Independen adalah persoalan jauh diatas mekanisme pemilihannya. Persoalannya masuk ke dalam wilayah Tata Kelola Perusahaan dan oleh karenanya harus tercermin langsung pada Anggaran Dasar Perseroan. Diharapkan peranan Komisaris Independen (dan nantinya Direktur Independen) diberdayakan (empower). Pemberdayaan aparatus independen menjadi crucial karena probabilitas terjadinya free float shareholder appropriation berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan independent shareholder.

Independensi calon komisaris Independen tidak cukup diukur dengan kriteria. Lebih penting adalah, komisaris independen bertanggungjawab kepada siapa? John Doe atau Jane Doe, misalnya, dinominasikan, dicalonkan, dipilih dan diangkat oleh controlling shareholders sebagai komisaris independen berdasarkan kriteria independen pada Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 butir 2. c. Sangatlah manusiawi, jika kemudian John Doe atau Jane Doe akan lebih berhikmat kepada controlling shareholders ketimbang kepada free float shareholder yang anonim. Revisi UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai kini tidak kunjung selesai merupakan kesempatan baik untuk meng-insert terminologi Komisaris Independen/Direktur Independen beserta peran, tanggungjawab dan melapor kepada siapa saja.

Aplikasi pemilihan organ kepengawasan perseroan (komisaris) dan organ kepengurusan (direksi) yang independen akan lebih sulit diterapkan pada beberapa sektor industri (misalnya perbankan) dan kelompok usaha (misalnya BUMN). Prosedur seleksi dan nominasi telah menjauhkannya dari makna dan peran independen. Kandidat komisaris independen/direksi independen harus terlebih dahulu melewati fit and proper test di level Meneg BUMN, Bank Indonesia dan Tim Penilai Akhir (Presiden dan Menteri kementerian teknis). Alhasil, tidak akan pernah ada komisaris dan direktur Independen yang diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham independen. Jika tidak dilakukan upaya meng-insert peran, tanggungjawab dan pelaporan dari aparatus independen, maka peran yang diharapkan dari aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen sebatas “tampil beda”. BEJ yang konon akan segera menerbitkan ketentuan GCG emiten telah mengkonfirmasi “peran tampil beda” ini[7]. Sampai dengan saat ini dari laporan tahunan 400 ++ perusahaan publik belum pernah disajikan laporan (1) mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Tercatat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kekeliruan/kesalahan dalam penyiapan laporan keuangan, pengendalian internal dan independensi auditor perusahaan; dan (3) review pelaksanaan total paket kompensasi direksi dan komisaris. Sedangkan ada atau tidak ada, subyek laporan ke-tiga hal ini merupakan laporan yang wajib disajikan oleh Komite Audit (yang terdiri dari orang-orang independen dan diketuai Komisaris Independen) pada Laporan Tahunan sebagaimana diatur pada butir C.12 Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa Laporan Tahunan Perusahaan Tercatat.

Penutup
Pemegang saham publik, independend shareholder atau free float shareholder adalah investor yang dengan segala perilaku opportunistik-nya membedakan dengan controlling shareholders merupakan pihak anonim dalam tata kelola perusahaan. Peranannya dalam tata kelola perusahaan telah menimbulkan kebingungan pengawas pasar modal. Pada transaksi material berbenturan kepentingan yang mengharuskan persetujuan RUPS mensyaratkan perhitungan kuorum berbasis pemegang saham independen melahirkan kesulitan untuk Perseroan. Di lain pihak karena ketentuan seleksi dan nominasi serta tatacara RUPS, keterwakilan pemegang saham publik, independend shareholder atau free float shareholder dalam organ Dewan Komisaris sebagai Komisaris Independen tidak dapat dilaksanakan.

Bukan hanya BEJ yang akan mengeluarkan ketentuan tentang GCG Emiten yang akan mewajibkan Emiten untuk memiliki Komisaris Independen dan Direktur Independen, Bank Indonesia pun tidak lama lagi akan menerbitkan Surat Edaran sebagai petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 dan No. 8/14/PBI/2006 tentang GCG Bank Umum, dimana bahkan Presiden Direktur suatu bank juga harus merupakan pihak Independen, saya kuatir ketentuan GCG tersebut hanya akan menjadi sia-sia karena independen hanya diukur dengan kriteria pada saat seleksi bukan berdasar proses nominasi. Tidak terdapatnya code of conduct ke-independen-an, independent enforcement akan menjadikan perangkat independen dalam pengawasan dan pengelolaan perusahaan hanya sekedar ada sebagai legal requirement tetapi tidak berfungsi.

Akan lebih produktif jika alih-alih menerbitkan ketentuan GCG, terlebih dahulu dilakukan empowerment kepada Komisaris Independen dalam bentuk menerbitkan ketentuan kepada siapa sejatinya pelaporan disampaikan. Komisaris Independen pada perusahaan publik tidak perlu memiliki voting rights pada mekanisme pengambilan keputusan Dewan Komisaris. Yang diperlukan adalah veto rights. Karena dalam Daftar Pemegang Saham, free float (independent) shareholders selalu bermutasi hampir setiap saat, sehingga mereka menjadi anonim. Siapa yang layak menjadi mewakili free float (independent) shareholders sebagai tujuan pelaporan? Mengutip Arthur J. Levitt (Chairman US-SEC periode 1980an), “we are investor’s advocate”, maka pengawas pasar modal-lah yang memiliki legitimasi penuh untuk mewakili independent shareholders dalam menerima pelaporan dari Komisaris Independen dan Komite Audit. Hasil akhirnya adalah setiap potensi shareholder appropriation dapat segera diidentifikasi dan diambil tindakan oleh pengawas pasar modal. Hal ini paralel dengan draft Peraturan Bapepam-LK Tentang Pedoman Pembentukan Unit Audit Internal yang memberdayakan Internal Audit dengan cara kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Chief Audit Executive diberikan kepada Dewan Komisaris.

Salam!





Bibliography
James Gobert and Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, Butterworths Lexis Nexis 2003

Lampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 Tanggal 20 Juli 2001 Perihal Perubahan ketentuan huruf C.2.e. Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa

Niamh Moloney, EC Securities Regulation, Oxford University Press, 2002.

Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit

Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan

Peraturan Bapepam No. IX. J. 1 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan

Peraturan Bapepam No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu

Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 Tentang Tata Kelola Perusahaan Bank Umum

Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 Tentang Tata Kelola Perusahaan Bank Umum

Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 Tentang Tatacara Pemilihan Komisaris Independen

Undang-Undang No 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal



endoffile>SHK>27072008

* alumni FRG-EUR, berhikmat sebagai dosen Program S-1 Reguler FEUI, Depok
[1] Pernyataan Sekretaris Menteri Negara BUMN sebagaimana terangkum pada Kompas edisi Sabtu 28 Juni 2008 di bawah tajuk berita Benahi Pembagian Dividen BUMN, bahwa pada BUMN 50% biaya operasional adalah untuk kesejahteraan karyawan BUMN tersebut. Besaran honorarium anggota Dewan Komisaris merupakan prosentase gaji Direktur Utama, usulan gaji dan tantiem yang kemudian diturunkan pada level karyawan sebagai bonus dari perangkat Komite Remunerasi pada Dewan Komisaris menjadi pembenaran inefisiensi.
[2] Di Indonesia terdapat inkonsistensi kriteria free float shareholding. Bapepam melalui Peraturan IX. M. 1 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu menetapkan batas 5% sedangkan pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007, batas kepemilikan yang berhak mengusulkan RUPS dan agendanya misalnya adalah 10%.

[3] Pada paper ini, karena memiliki arti yang interchangeable secara bergantian saya menggunakan istilah free float shareholders, independend shareholder, dan public shareholder.

[4] Oleh karena sebab ini, MSCI hanya memasukkan listed company yang memenuhi kriteria minimum jumlah free float shareholders sebagai assurance bahwa setiap corporate action yang diambil perusahaan sesuai dengan azaz arm’s length transaction.
[5] Pada khazanah peraturan Bapepam-LK, terminologi Komisaris Independen muncul pada Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit.

[6] Lampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 Tanggal 20 Juli 2001 Perihal Perubahan ketentuan huruf C.2.e. Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa
[7] lihat Kontan edisi 21 Tahun XI 26 Pebruari 2007.

Selasa, Februari 26, 2008

Kelemahan Rule Making Rules pada Bank Indonesia:

Kasus Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan “Independen”


Shalahuddin Haikal

Abstract

This paper aimed to show how Bank Indonesia as banking supervisor does not conversant in the rule making rules. Bank Indonesia Regulation on Banking Mediation is a good case to show it. In order to make clearer, I analyze Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 as well as Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008, to show how Bank Indonesia does not have clear sense about the party should be ruled and does not have knowledge how important the time frame is. This fact is a clear and present danger for a banking supervisory body since banking is opaque financial institutions which heavily regulated and therefore have to comply all rules without exception.

Key Words: rule making rules, banking mediation, Bank Indonesia.

I. Latar Belakang

31 Januari 2006, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, yang mengharuskan asosiasi perbankan untuk membentuk Lembaga Mediasi Independen selambat-lambatnya 31 Desember 2007. Tenggat waktu tersebut sudah lewat, namun tidak nampak tanda-tanda Lembaga tersebut berdiri. Mediasi adalah proses dimana dua pihak yang bersengketa mencoba mencari pemecahan atas sengketanya dengan bantuan pihak ke-tiga yang netral yang disebut mediator (Lovenheim: 1996)[1]. Proses mediasi berbeda dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga arbitrageur, karena mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa, menunjuk siapa salah, siapa benar, berikut denda dan pinalti jika ada. Hasil akhir dari proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Kebutuhan bermediasi di dunia perbankan sudah mendesak dan sudah menjadi clear and present requirement. Malahan keberadaan lembaga mediasi pada sudah disebut-sebut pada Arsitektur Perbankan Indonesia (API) karena sengketa yang berlarut-larut antara pengguna jasa perbankan dengan bank merupakan bibit risiko reputasi[2]. Melalui desk survey Surat Pembaca Harian Kompas periode 1 September 2007 sampai dengan 31 Desember 2007 terdapat 76 surat pembaca yang isinya menyatakan kekesalan, kekecewaan para pengguna jasa perbankan dengan isi perjanjian (kontrak) atau dengan minimum service level agreement. Pihak bank, biasanya membutuhkan waktu sekitar 3 minggu s.d 4 minggu untuk menyelesaikannya dan kemudian menjawab melalui Surat Pembaca. Meskipun pihak bank menjawab (juga melalui surat pembaca), namun bagaimana proses penyelesaian kekesalan dan kekecewaan pengguna jasa tidak terlihat pada jawaban pihak bank. Dari 76 surat pembaca, terdapat satu hal yang mencolok, yakni nyaris 100% keluhan adalah untuk produk personal banking/consumers banking (tabungan, atm, giro perorangan, kartu kredit, kredit tanpa agunan, kredit pemilikan rumah). Yang paling menarik adalah 100% dari 76 penulis surat pembaca sudah mencoba menanyakan dan menyelesaikannya dengan datang langsung ke bank atau melalui call center bank yang bersangkutan.

II. Aspek Kepatuhan

Lantas mengapa mereka memilih menulis surat pembaca? Meskipun Lembaga Mediasi Perbankan belum terbentuk, peran Mediasi ini sudah dilaksanakan oleh Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan sejak 1 Juni 2006. Penulis tidak berkesempatan melakukan konfirmasi kepada para penulis surat pembaca tersebut, tetapi sudah hampir pasti alasan mereka menulis surat pembaca karena informasi keberadaan Kegiatan Mediasi yang dilakukan oleh Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan tidak diumumkan oleh perbankan. Disini nampak nyata, jika menyangkut aspek funding, perbankan menempel stiker kuning besar “Bank Peserta Program Penjaminan LPS”. Sebaliknya menyangkut penyelesaian penyimpangan terrhadap aspek layanan dan yang diperjanjikan, bank tidak mengumumkan alternative penyelesaian. Padahal Pasal 14 PBI No. 8/5/PBI/2006 jelas menyebutkan bahwa pihak Bank harus mempublikasikan keberadaan sarana alternatif penyelesaian sengketa kepada Nasabah. Benar mereka mempublikasikannnya tetapi melalui situs internet dan bukan di kantor bank yang bersangkutan.

Sesungguhnya persoalan Mediasi selalu berangkat dari persoalan compliance. Coba berapa kali pembaca menerima tawaran (melalui telpon ke telpon cellular juga melalui gerai-gerai temporer bank di pusat-pusat perbelanjaan) untuk memiliki kartu kredit atau KTA tanpa perlu mengisi formulir aplikasi. Sedangkan pengisian formulir aplikasi selain untuk security hubungan kontraktual nasabah dengan bank, juga kental berisikan aspek kehati-hatian perbankan. Terlebih sejak terbitnya ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Knowing Your Clients) cara-cara seperti ini tidak dapat ditolerir lagi. Yang juga menjadi tandatanya besar lainnya adalah nomer telpon celular kita ternyata diketahui oleh credit card sales.

Kompetisi perbankan kini tidak lagi berbentuk persaingan suku bunga dan hadiah. Persaingan perbankan kini telah mengarah kepada persaingan layanan, ketepatan hal-hal yang diperjanjikan, ketepatan pelaksanaan pada isi kontrak pembukaan rekening. Di Indonesia, beberapa hal yang mengemuka a.l: (1) saldo tabungan berkurang karena pembebanan biaya administrasi (2) kartu kredit didapat tanpa mengisi aplikasi (3) data pribadi digunakan pihak lain (4) tanpa notifikasi seseorang bisa masuk dalam black list debitur.

Persaingan yang ketat juga telah mengakibatkan perbankan membentuk aliansi jaringan ATM, dimana nasabah bank X dapat bertransaksi di ATM milik bank Y. Aliansi jaringan ATM telah melahirkan persoalan baru, misalnya keterbukaan biaya transaksi, penyelesaian terhadap failure transaction.

Dari ke-76 surat pembaca (dan jawaban dari pihak bank), pada galibnya komplain pengguna jasa perbankan dapat dikelompokkan atas 4 hal berikut: (1) kelemahan Standard Operating Procedures perbankan; (2) ketidakpatuhan bank pada ketentuan dari Bank Indonesia; (3) lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia atas aspek kepatuhan; (4) salah intrepretasi oleh sisi nasabah

Tidak diumumkannya keberadaan kegiatan mediasi perbankan yang untuk sementara dilakukan oleh Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan sekaligus masuk ke dalam kelompok 1; 2 dan 3.

III. Komplikasi 1: Jasa / Produk Perbankan

Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan tidak mengcover jenis jasa atau produk perbankan mana saja yang proses sengketanya dapat diselesaikan di lembaga mediasi perbankan. Jika aspek ini tidak diperjelas, maka peran Lembaga Mediasi Perbankan akan marginal. Oleh karenanya diperlukan pendefinisian jasa/produk perbankan apa saja yang dapat diselesaikan atau jasa/produk siapa saja yang dapat diselesaikan.

§ Bundling Bank Products

Ketatnya persaingan pendanaan (funding), menyebabkan bank komersial di Indonesia mulai bermetamorphosis menjadi bank universal dengan mulai menawarkan bundling bank products, misalnya kombinasi produk tabungan milik bank dengan produk asuransi jiwa milik perusahaan asuransi. Dalam hal terjadi sengketa, apakah para pihak (dalam hal ini bank yang bersangkutan dan perusahaan asuransi) akan bersedia hadir, jika perusahaan asuransi tidak bersedia hadir, apakah Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan dan nantinya Lembaga Mediasi Perbankan dapat memberikan sanksi atas ketidakhadirannya? Tentu tidak bisa, karena mediator bukanlah hakim atau arbitrageur.

§ Produk-Produk Investasi

Perbankan juga giat memperbesar fee based income, antara lain dengan aktif bertindak sebagai agen yang menjual produk-produk investasi pasar modal seperti reksadana dan produk-produk campuran investasi dan asuransi seperti reksadana unit link. Penjualan ini dilakukan oleh marketing officer (karyawan) bank yang bersangkutan. Penjualan yang dilakukan tanpa penjelasan bahwa produk tersebut bukan produk perbankan dan status bank hanya sebagai agen, nasabah bank yang membeli produk tersebut akan mengartikan bahwa produk tersebut adalah produk perbankan dari bank yang bersangkutan. Dalam konteks hukum kontrak, bilamana terjadi sengketa atas produk investasi tersebut, bank sebagai agen harus bersedia harus bertanggungjawab mewakili principal dari produk investasi tersebut.

III. Komplikasi 2: Status Badan Hukum Kantor Cabang Bank Asing

Meskipun Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan mencakup kantor cabang bank asing, namun banyak bank asing yang secara nyata menjual produk-produk yang tidak lazim menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Secara internal, sebagai kantor cabang, bank asing berkewajiban menawarkan produk-produk perbankan kantor pusatnya yang tidak berada dalam wilayah pengawasan Bank Indonesia. Contoh beberapa produk kantor pusat yang ditawarkan oleh kantor cabang bank asing adalah produk wealth management; private equity fund dan currency & interest option.

III. Komplikasi 3: Outsourcing

Dalam operasinya bank berusaha menekan biaya-biaya pemasaran dan penjualan dengan cara melakukan outsource pada perusahaan penyedia jasa pemasaran dan penjualan. Pemasaran kartu kredit, kredit tanpa agunan, eazy pay merupakan contoh dimana pihak bank banyak melakukan outsources. Karena perusahaan outsources bukan bank, maka kegiatannya diluar jangkauan pengawasan Bank Indonesia. Persoalan secrecy, confidentiality merupakan persoalan yang selalu mengemuka. Ke depan sebaiknya Bank Indonesia, melakukan review atas bentuk dan isi perjanjian outsources antara bank dengan penyedia jasa outsources. Di Amerika Serikat, Gramm-Leach Bliley Act yang memungkinkan pertukaran informasi tentang nasabah di kalangan lembaga keuangan telah melahirkan ketentuan baru, yang pada intinya nasabah memiliki opt out clause atas pertukaran informasi ini.

Agar keberadaan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan dan nantinya Lembaga Mediasi Perbankan tidak marginal, maka terhadap faktor-faktor (1) jasa/produk perbankan (2) status badan hukum bank asing, dan (3) outsourcing, harus terlebih dahulu harus dilakukan uji tuntas ulang dan bila perlu dilakukan penyempurnaan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

IV. Lembaga Mediasi Perbankan Independen? Quis Custodiet Ipsos Custodes?

Pasal 3 angka 1 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan “Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan”, cukup menjelaskan tentang bagaimana bentuk Lembaga Mediasi Perbankan. Yakni merupakan badan di luar Bank Indonesia dan dibentuk oleh asosiasi perbankan.

Namun jika pasal 3 ini dibaca secara keseluruhan (termasuk butir 3 dan 4) dan dengan seksama:

Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2007 (Pasal 3.2)

Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga Mediasi perbankan independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. (Pasal 3.3)

Sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia (Pasal 3.4)

justru menimbulkan banyak pertanyaan, apakah Bank Indonesia tidak cukup independen? Bagaimana bentuk koordinasi dengan Bank Indonesia? Siapa yang akan mengawasi jalannya proses mediasi?

Berbeda dengan pengaturan dan pengawasan di pasar modal yang berbasis transparent transaction, ketentuan operasi dan kegiatan usaha bank sudah sangat jelas diatur dalam ratusan Peraturan Bank Indonesia bahkan ribuan Surat Edaran Bank Indonesia. Do’s dan don’ts bagi perbankan yang berasal dari Bank Indonesia sudah merupakan daftar yang harus diakomodasi pada Standard Operating Procedure perbankan.

Analisa terhadap hasil desk survey dan survey in situ memberikan kesimpulan yang tidak berbeda dengan proposisi penelitian ini bahwa komplain yang timbul dari pengguna jasa perbankan (nasabah maupun bukan nasabah) ternyata bersumber pada 5 hal, yakni: (a) kelemahan aspek compliance pada bank yang bersangkutan; (b) penyalahgunaan data nasabah oleh bank atau perusahaan outsources (c) kelemahan pada teknologi informasi, komputasi dan otomasi perbankan (d) kelemahan pengawasan oleh Bank Indonesia dan (e) salah interpretasi dan atau moral hazard pengguna jasa perbankan.

Berdasarkan 5 sumber sengketa tersebut diatas, yang dapat dikategorikan sebagai sengketa hanyalah salah interpretasi dan atau moral hazard pengguna jasa perbankan. Ke-empat butir yang pertama domain pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia, sehingga dalam proses mediasi perbankan, Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan Bank Indonesia akan jauh lebih tahu akar permasalahan sengketa, apakah karena butir a; b; c ; d atau karena salah interpretasi atau moral hazard nasabah.

Oleh karenanya sangat tidak tepat jika Bank Indonesia menyerahkan proses mediasi pada Lembaga Mediasi Perbankan. Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapa yang akan mengawasi fairness, transparansi dan akuntabilitas proses mediasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Perbankan? Sedangkan akar-akar sengketa bank dengan pengguna jasa perbankan bersumber dari dalam bank itu sendiri.

V. Bentuk Lembaga Mediasi Perbankan

Pihak yang dirugikan dan mengajukan penyelesaian sengketa di Lembaga Mediasi bentukan asosiasi perbankan, justru akan merasa khawatir tentang independensi dan obyektifitas Lembaga ini. Mediator bekerja untuk Lembaga Mediasi bentukan Asosiasi Perbankan, hal ini berarti mediator merupakan Agent dan Lembaga Mediasi merupakan Principal. Lembaga Mediasi merupakan Agent dan Asosiasi Perbankan merupakan Principal. Ujung-ujungnya asosiasi perbankan pasti akan bertindak untuk kepentingan (interest) para anggotanya. Sedangkan salah satu syarat menjadi mediator selain netral, tidak memihak, adalah tidak bekerja pada salah satu pihak yang bersengketa. (Goodpaster: 1999)[3]

Oleh karena itu Bentuk dan Konsep Pelaksanaan Mediasi Perbankan yang akan memberikan kinerja terbaik adalah tetap berada pada Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan di Bank Indonesia. Kalaupun pelaksanaan mediasi perbankan diputuskan diserahkan kepada Lembaga Mediasi Perbankan, maka hubungannya dengan Bank Indonesia bukan hubungan koordinasi, tetapi dibawah supervisi Bank Indonesia. Menjadi persoalan adalah penunjukan mediator, mediator tentu ditunjuk dan bekerja untuk Lembaga Mediasi yang dibentuk oleh Asosiasi Perbankan. Untuk mengurangi hubungan kelembagaan antara bank dengan lembaga mediasi perbankan, maka Lembaga Mediasi Perbankan hanya bertugas melaksanakan proses mediasi dengan kata lain Lembaga Mediasi Perbankan merupakan Organizing Committee sedangkan peran Steering Committee tetap harus berada di bawah kendali Bank Indonesia.

Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), bukan merupakan contoh lembaga sertifikasi yang baik, karena Bank Indonesia tidak memiliki tangan dalam penentuan body of knowledge sertifikasi. Sebaliknya Lembaga Penjamin Simpanan justru merupakan contoh lembaga penjaminan yang baik karena Bank Indonesia memiliki perwakilan didalamnya sehingga koordinasi antara Bank Indonesia dengan Lembaga Penjamin Simpanan berjalan.

VI. Manfaat Untuk Bank Indonesia: Pengawasan Tidak Langsung

Pada tingkat minimum: Lembaga Mediasi disupervisi oleh Bank Indonesia atau pada tingkat maksimum: proses mediasi dilakukan oleh Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan di Bank Indonesia akan memberikan mendatangkan manfaat lain, yakni pengawasan menyeluruh berupa pengawasan atas aspek kepatuhan perbankan, penyalahgunaan data nasabah, kelemahan teknologi informasi, komputasi dan otomasi perbankan akan datang dari para pihak yang dirugikan yang hendak melaksanakan mediasi.

VII. Lokasi Kedudukan Lembaga Mediasi

Nasabah perbankan terdistribusi di 33 propinsi. Oleh karenanya lokasi atau tempat kedudukan Lembaga Mediasi Perbankan bentukan asosiasi perbankan harus berada di tiap ibukota propinsi. Kemampuan keuangan asosiasi perbankan untuk mendirikan Lembaga Mediasi Perbankan di tiap ibukota propinsi menjadi persoalan penting, karena untuk mengoperasikan kegiatan sehari-hari diperlukan tempat netral (tidak bertempat di salah satu kantor bank anggota asosiasi) diperlukan biaya. Pelaksanaan administrasi rutin Lembaga ini akan memerlukan karyawan. Pembebanan biaya penyelesaian sengketa kepada pengguna jasa perbankan yang bersengketa sudah tentu akan memberatkan mereka.

Namun, jika Lembaga Mediasi Perbankan berkedudukan di Jakarta, akan menimbulkan reluktansi pengguna jasa perbankan yang berasal dari luar Jakarta/luar Jawa untuk hadir pada proses mediasi, karena akan melibatkan biaya transportasi dan akomodasi. Bank Indonesia yang memiliki kantor bukan saja di tiap ibu kota Propinsi tetapi di kota-kota besar di tiap propinsi memiliki kesiapan untuk melaksanakan proses mediasi perbankan melalui Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan.

VIII. Penutup

Meskipun terlambat dan sampai kini belum ada kabar tentang Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen sebagai pelaksanaan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan justru merupakan hikmah, karena Bank Indonesia sebaiknya memperhatikan isi makalah ini dengan kepala dingin.

Mengingat variasi produk yang mengarah kepada bundling bank’s products serta pergerakan mazhab dari commercial banking menuju universial banking, maka efektifitas mediasi perbankan, akan makin nyata jika fungsi pengawasan Bank Indonesia digabung dengan fungsi pengawasan lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal, namun hal ini baru akan terjadi pada tahun 2010[4].

Pada 29 Januari 2008, Bank Indonesia akhirnya menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Salah satu pertimbangan kenapa PBI No. 10/1/PBI/2008 ini harus dilahirkan adalah karena belum terealisasikannya pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan oleh asosiasi perbankan. Yang menarik, PBI No. 10/1/PBI/2008 tidak lagi memiliki batas waktu pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan. Satu-satunya perubahan hanyalah menghapus ayat 2 Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006, berikut:

Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2007

Selain mengandung banyak kelemahan sebagaimana saya tunjukkan di atas, Bank Indonesia tidak berhati-hati sebelum mengeluarkan produk hukum, ketentuan atau peraturan. Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan menugaskan Asosiasi Perbankan untuk membentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen. Dari ratusan Peraturan Bank Indonesia tidak ditemukan frasa asosiasi perbankan, karena memang tidak terdapat hubungan legal formal struktural antara Bank Indonesia dengan asosiasi perbankan. Hubungan legal formal struktural terdapat antara Bank Indonesia dengan masing-masing seluruh badan hukum perbankan yang ijin usahanya dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Terbitnya Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan, yang telah menghapus ayat 2 Pasal 3, maka kedua Peraturan Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan) tidak memiliki arti sebagai Peraturan. Pertama: (1) Pihak yang diatur (asosiasi perbankan) tidak ada dan (2) Batas waktu pembentukan tidak ada. Sehingga jangan heran, jika sampai kapanpun Lembaga Mediasi Perbankan tidak akan pernah ada.

Ketidakhati-hatian jika tidak boleh disebut kecerobohan Bank Indonesia ternyata berasal dari kelemahan dalam rule making rules pada Bank Indonesia sendiri. Ketentuan tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengalami bongkar pasang hingga 2 kali, juga merupakan contoh lain untuk menggambarkan kelemahan Bank Indonesia dalam rule making rules.

Referensi

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 30 Januari 2006

Bank Indonesia, Surat Edaran No 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 1 Juni 2006

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008, tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 29 Januari 2008

Cooter, Robert and Thomas Ulen, Law and Economics, 3rd edition, Addison Wesley Longman, Inc, 2000

Hadad, Muliaman, Menanti Mediator Bank-Nasabah, BEI News Edisi 23 Tahun V, November-Desember 2004

Goodpaster, Garry, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS 1999

Kane, Edward J. “Metamorphosis in Financial Service Delivery and Production” in Strategic Planning of Economic and Technological Change in the Federal Savings and Loan. San Fransisco: Federal Home Loan Bank Board 1983.

Lovenheim, Peter, 1996, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley

Soebagjo, Felix Oentoeng, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan”. Kerjasama Magister Hukum Bisnis & Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada dengan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007

Undang-Undang No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia



*) Shalahuddin Haikal adalah dosen Program S-1 Reguler, FEUI, Depok.

[1] Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley, 1996.

[2] Muliaman Hadad, Menanti Mediator Bank – Nasabah, BEI News Edisi 23 Tahun V, November – Desember 2004.

[3] Garry Goodpaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS.

[4] Pasal 34 Ayat 2 UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.