Rabu, Mei 23, 2012

Strategic Sale GIAA a la Jualan Ikan


Strategic Sale GIAA a la Jualan Ikan

Shalahuddin Haikal*)

Dengan dalih tidak mau disibukkan dengan tetek bengek rutinitas sebagai pihak yang menerima pendelegasian sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku kuasa pemegang saham dan sebagai RUPS BUMN yang didapat dari PP No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun 2001, Menteri BUMN menerbitkan KEP-236/MBU/2011 yang mendelegasikan kepada pejabat eselon I Kementrian BUMN, Dewan Komisaris dan Direksi BUMN yang kesemuanya merupakan agent yang justru harus diawasi ketat, kemudian dipertegas kembali dengan diterbitkannya SK-164/MBU/2012, SK-165/MBU/2012, SK-166/MBU/2012 (lihat Kontan No 30 Tahun XVI, 2012). Namun, yang ditunjukkan justru sebaliknya! Menteri BUMN malahan mengatur hal-hal yang bukan domain-nya sebagai kuasa pemegang saham dan turut campur ke wilayah dimana Menteri BUMN tidak memiliki kewenangan apapun. Ini bukan tulisan tentang Menteri BUMN menggratiskan pintu tol milik CMNP, tetapi tulisan bagaimana Menteri BUMN meng-intervensi proses strategic sale yang sedang berjalan.

Status penjaminan emisi GIAA yang firm commitment namun penetapan harga perdananya saat itu diintervensi Menteri BUMN, telah memakan korban tiga penjamin emisi yang bertindak sebagai managing underwriter. Coba lihat angka 1 Pasal 1 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN: “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”. Orang awam boleh saja menjuluki Mandiri Sekuritas, Bahana Securities dan Danareksa Sekuritas sebagai perusahaan efek plaat merah, tetapi by law ke-tiga penjamin emisi ini adalah bukan BUMN melainkan perusahaan swasta biasa karena hanya anak perusahaan BUMN.

Garuda Indonesia pada IPO tahun lalu menawarkan 6,33 miliar saham atau sebesar 27,98 persen dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor penuh perseroan. Namun 47,5% atau 3,007 miliar saham yang harus ditelan oleh ke-tiga penjamin emisi karena tidak laku di pasar perdana. Sejak tercatat di Bursa Efek, GIAA selalu dibawah harga perdananya Rp. 750,-/saham. Merugikah ke-tiga penjamin emisi ini? Selama mereka tidak merealisir kerugian (cut loss) tentu saja mereka tidak rugi, namun atas kepemilikan saham yang berasal dari penjaminan emisi, mereka harus menanggung beban pembiayaan-nya. Berdasarkan kondisi ini, ditunjuklah Morgan Stanley untuk bertindak sebagai financial advisor untuk meng-arrange international strategic sale atas saham yang tidak laku terjual tersebut kepada pembeli yang tidak saja menguntungkan ke-tiga penjamin emisi tetapi juga menguntungkan GIAA. Kinerja Morgan Stanley akan diukur dari berapa keuntungan yang dapat diperoleh, bukan berapa kerugian maksimal yang dapat ditanggung oleh ke-tiga penjamin emisi GIAA ini. Dari keuntungan inilah, Morgan Stanley akan mendapat fee. Oleh karenanya, pasti, financial advisor akan berusaha mati-matian mencari pembeli yang mau membeli sisa saham GIAA dengan harga minimal adalah harga perdana plus beban pembiayaan selama kepemilikan plus profit.

Strategic Sale Saham Berbeda Dengan Jualan Ikan
Perusahaan adalah going concern entity dan karenanya nilai perusahaan serta harga saham akan tumbuh. Sebaliknya ikan, begitu diangkat dari air menjadi benda mati dan segera busuk dan karenanya perlu buru-buru dijual. 

Strategic sale adalah penjualan saham kepada investor yang memiliki potensi bersinergi, dengan memberikan leverage untuk GIAA sekaligus menguntungkan ke-tiga penjamin emisi atau setidak-tidaknya tidak sampai harus merealisasi loss. Proses sedang berjalan, ternyata Menteri BUMN memotongnya dengan menawarkan strategic sale a la jualan ikan kepada TransCorp, Saratoga Capital, Panasonic Gobel dan MNC Corporation. Yang ajaib adalah pengurus Bahana Securities, Danareksa Sekuritas dan Mandiri Sekuritas seperti kerbau dicocok hidungnya. Menerima begitu saja perintah dari Menteri BUMN yang bagi mereka bukan siapa-siapa dengan final decision, bid dimenangkan oleh Transcorp pada harga Rp 620,-/saham, dan akibatnya harus merealisasi loss sebesar Rp 130,-/saham atau sekitar Rp 320,7 miliar untuk 2,47 miliar lembar saham yang menjadi obyek strategic sale a la jualan ikan. Zero sum game! Jika ada yang rugi, sebaliknya ada yang diuntungkan! Benar, pada hari transaksi dilakukan, pembeli menikmati potential gain Rp 90,-/saham karena harga GIAA melambung ke Rp 710,-/saham. Transaksi semacam ini biasa di-arrange dengan nama Secure Private Placement Program. Saya tidak akan membahas SPPP karena adalah bukan wilayah publik.

Siapa Diuntungkan dan Siapa Dirugikan?
Selain dikenal pemaaf, bangsa ini sekaligus dikenal sebagai bangsa pelupa. Publik dan khalayak ramai yang membeli pada pasar perdana dengan harga Rp 750,- dan sejak listing dalam kondisi yang tidak berbeda dengan ke-tiga penjamin emisi. Berdasar laporan keuangan GIAA TW-1 2012, kelompok free floaters ini hanya menguasai 17,6134% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh. Tidak ada satupun dari tiga penjamin emisi dan free floaters yang membeli GIAA dengan harga perdana menjadi pemegang saham pengendali, sementara, pemegang saham baru yang membeli 10,90% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh dengan harga diskon 17,33% seketika menjadi pemegang saham pengendali dengan segala privilege yang dimiliki pemegang saham pengendali sebagaimana dinyatakan pada UU Perseroan Terbatas.

Kesimpulannya dalam transaksi strategic sale a la jualan ikan atas saham GIAA ini pihak yang paling dirugikan adalah ke-tiga penjamin emisi efek karena harus cut loss Rp 130/saham dan merealiasi kerugian sekitar Rp 320,7 miliar, berikutnya, adalah para free floaters yang telah sabar menanti setahun lebih harga sahamnya tidak beranjak di bawah harga beli di pasar perdana dan kini menyaksikan ada pihak yang membeli dengan diskon harga perdana 17,33%, seketika menjadi pemegang saham pengendali. Pihak ketiga yang dirugikan adalah BUMN yang merupakan induk perusahaan dari ke-tiga penjamin emisi tersebut, karena sebagai akibat kerugian yang direalisasi dari cut loss akan dikonsolidasi kepada BUMN yang menjadi induknya. Dampak paling ringan, setidak-tidaknya PT Danareksa, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia tidak bisa membagikan dividen dan PT Bank Mandiri akan meminta dividend payout ratio lebih rendah, dampak terburuknya, oleh karena rugi, maka diperlukan tambahan PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) pada  PT Danareksa, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang menjadi beban pada APBN. Hal semacam inilah yang saya sebut, berpotensi besar mempersulit pelaksanaan tugas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara (State Treasurer) dalam mengelola APBN.

Sebaliknya yang paling diuntungkan jangka pendek dan jangka panjang adalah pemilik Trans Airways. Jangka pendek, selain keuntungan seketika berupa appresiasi investasi yang didapat karena membeli pada harga diskon, jangka panjang sudah pasti Trans Airways akan menjadi pemegang saham pengendali karena memiliki 10,90% saham Garuda Indonesia Airways (GIAA), juga akan menikmati “sawab” sebagai pemegang saham pengendali dari GIAA. Pastilah dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemegang saham baru ini akan menggunakan haknya sebagaimana diatur pada ayat (2) Pasal 79 UU Perseroan Terbatas, yakni meminta diselenggarakan RUPSLB untuk mendudukkan wakilnya pada kepengurusan GIAA. Bak cerita rakyat, rasanya kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan kehadiran Pak Pandir. Dalam cerita GIAA strategic sale yang diperlakukan seperti jualan ikan, berperan sebagai Pak Pandir adalah pengurus ke-tiga perusahaan efek yang menjadi penjamin emisi GIAA.

Cuci Tangan!
Seketika saya jadi teringat kalimat as usual should you fail in your mission, I will deny … pada film Mission Imposible, saat membaca pernyataan Menteri BUMN, bahwa penjualan 10,88% atau 2,47 miliar lembar saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguntungkan atau merugikan sepenuhnya menjadi urusan dan tanggung jawab tiga penjamin emisinya! Nah lho? Cut loss yang berarti merealisasi kerugian, maka kerugian Rp 320,7 miliar adalah riil dan nyata, tidak berlebihan kalau apparatus yang selalu rajin membolak-balik UU No 31 Tahun 1999 perlu mempelajari transaksi ini dengan cermat, mencari tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dan siapa pula yang telah bertindak di luar kewenangannya.

Salam


*) alumnus FRG EUR, ACFE ® associate member.