Strategic Sale GIAA a la
Jualan Ikan
Shalahuddin Haikal*)
Dengan dalih tidak mau disibukkan
dengan tetek bengek rutinitas sebagai pihak yang menerima pendelegasian
sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku kuasa pemegang saham dan sebagai
RUPS BUMN yang didapat dari PP No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun 2001, Menteri BUMN menerbitkan KEP-236/MBU/2011
yang mendelegasikan kepada pejabat eselon I Kementrian BUMN, Dewan Komisaris
dan Direksi BUMN yang kesemuanya merupakan agent
yang justru harus diawasi ketat, kemudian dipertegas kembali dengan
diterbitkannya SK-164/MBU/2012, SK-165/MBU/2012, SK-166/MBU/2012 (lihat Kontan No 30 Tahun XVI, 2012). Namun,
yang ditunjukkan justru sebaliknya! Menteri BUMN malahan mengatur hal-hal yang
bukan domain-nya sebagai kuasa
pemegang saham dan turut campur ke wilayah dimana Menteri BUMN tidak memiliki
kewenangan apapun. Ini bukan tulisan tentang Menteri BUMN menggratiskan pintu
tol milik CMNP, tetapi tulisan bagaimana Menteri BUMN meng-intervensi proses strategic sale yang sedang berjalan.
Status penjaminan emisi GIAA yang
firm commitment namun penetapan harga
perdananya saat itu diintervensi Menteri BUMN, telah memakan korban tiga
penjamin emisi yang bertindak sebagai managing
underwriter. Coba lihat angka 1 Pasal 1 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN: “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan langsung yang
berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”. Orang awam boleh saja
menjuluki Mandiri Sekuritas, Bahana Securities dan Danareksa Sekuritas sebagai
perusahaan efek plaat merah, tetapi by
law ke-tiga penjamin emisi ini adalah bukan BUMN melainkan perusahaan
swasta biasa karena hanya anak perusahaan BUMN.
Garuda Indonesia pada IPO tahun
lalu menawarkan 6,33 miliar saham atau sebesar 27,98 persen dari jumlah modal
yang ditempatkan dan disetor penuh perseroan. Namun 47,5% atau 3,007 miliar
saham yang harus ditelan oleh ke-tiga penjamin emisi karena tidak laku di pasar
perdana. Sejak tercatat di Bursa Efek, GIAA selalu dibawah harga perdananya Rp.
750,-/saham. Merugikah ke-tiga penjamin emisi ini? Selama mereka tidak
merealisir kerugian (cut loss) tentu
saja mereka tidak rugi, namun atas kepemilikan saham yang berasal dari
penjaminan emisi, mereka harus menanggung beban pembiayaan-nya. Berdasarkan
kondisi ini, ditunjuklah Morgan Stanley untuk bertindak sebagai financial advisor untuk meng-arrange international strategic sale atas
saham yang tidak laku terjual tersebut kepada pembeli yang tidak saja
menguntungkan ke-tiga penjamin emisi tetapi juga menguntungkan GIAA. Kinerja
Morgan Stanley akan diukur dari berapa keuntungan yang dapat diperoleh, bukan
berapa kerugian maksimal yang dapat ditanggung oleh ke-tiga penjamin emisi GIAA
ini. Dari keuntungan inilah, Morgan Stanley akan mendapat fee. Oleh karenanya, pasti, financial
advisor akan berusaha mati-matian mencari pembeli yang mau membeli sisa
saham GIAA dengan harga minimal adalah harga perdana plus beban pembiayaan selama kepemilikan plus profit.
Strategic Sale Saham Berbeda
Dengan Jualan Ikan
Perusahaan adalah going concern entity dan karenanya nilai
perusahaan serta harga saham akan tumbuh. Sebaliknya ikan, begitu diangkat dari
air menjadi benda mati dan segera busuk dan karenanya perlu buru-buru dijual.
Strategic sale adalah penjualan saham
kepada investor yang memiliki potensi bersinergi, dengan memberikan leverage untuk GIAA sekaligus
menguntungkan ke-tiga penjamin emisi atau setidak-tidaknya tidak sampai harus
merealisasi loss. Proses sedang
berjalan, ternyata Menteri BUMN memotongnya dengan menawarkan strategic sale a la jualan ikan kepada TransCorp,
Saratoga Capital, Panasonic Gobel dan MNC Corporation. Yang ajaib adalah
pengurus Bahana Securities, Danareksa Sekuritas dan Mandiri Sekuritas seperti
kerbau dicocok hidungnya. Menerima begitu saja perintah dari Menteri BUMN yang
bagi mereka bukan siapa-siapa dengan final
decision, bid dimenangkan oleh Transcorp
pada harga Rp 620,-/saham, dan akibatnya harus merealisasi loss sebesar Rp 130,-/saham atau sekitar Rp 320,7 miliar untuk 2,47
miliar lembar saham yang menjadi obyek strategic
sale a la jualan ikan. Zero sum game!
Jika ada yang rugi, sebaliknya ada yang diuntungkan! Benar, pada hari transaksi
dilakukan, pembeli menikmati potential
gain Rp 90,-/saham karena harga GIAA melambung ke Rp 710,-/saham.
Transaksi semacam ini biasa di-arrange
dengan nama Secure Private Placement
Program. Saya tidak akan membahas SPPP karena adalah bukan wilayah publik.
Siapa Diuntungkan dan Siapa Dirugikan?
Selain dikenal pemaaf, bangsa ini
sekaligus dikenal sebagai bangsa pelupa. Publik dan khalayak ramai yang membeli
pada pasar perdana dengan harga Rp 750,- dan sejak listing dalam kondisi yang tidak berbeda dengan ke-tiga penjamin
emisi. Berdasar laporan keuangan GIAA TW-1 2012, kelompok free floaters ini hanya menguasai 17,6134% dari jumlah modal
ditempatkan dan disetor penuh. Tidak ada satupun dari tiga penjamin emisi dan free floaters yang membeli GIAA dengan
harga perdana menjadi pemegang saham pengendali, sementara, pemegang saham baru
yang membeli 10,90% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh dengan
harga diskon 17,33% seketika menjadi pemegang saham pengendali dengan segala privilege yang dimiliki pemegang saham
pengendali sebagaimana dinyatakan pada UU Perseroan Terbatas.
Kesimpulannya dalam transaksi strategic sale a la jualan ikan atas saham
GIAA ini pihak yang paling dirugikan adalah ke-tiga penjamin emisi efek karena
harus cut loss Rp 130/saham dan
merealiasi kerugian sekitar Rp 320,7 miliar, berikutnya, adalah para free floaters yang telah sabar menanti
setahun lebih harga sahamnya tidak beranjak di bawah harga beli di pasar
perdana dan kini menyaksikan ada pihak yang membeli dengan diskon harga perdana
17,33%, seketika menjadi pemegang saham pengendali. Pihak ketiga yang dirugikan
adalah BUMN yang merupakan induk perusahaan dari ke-tiga penjamin emisi
tersebut, karena sebagai akibat kerugian yang direalisasi dari cut loss akan dikonsolidasi kepada BUMN
yang menjadi induknya. Dampak paling ringan, setidak-tidaknya PT Danareksa, PT
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia tidak bisa membagikan dividen dan PT Bank
Mandiri akan meminta dividend payout ratio lebih rendah, dampak
terburuknya, oleh karena rugi, maka diperlukan tambahan PMP (Penyertaan Modal
Pemerintah) pada PT Danareksa, PT Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia yang menjadi beban pada APBN. Hal semacam inilah yang
saya sebut, berpotensi besar mempersulit pelaksanaan tugas Menteri Keuangan
sebagai Bendahara Negara (State Treasurer)
dalam mengelola APBN.
Sebaliknya yang paling
diuntungkan jangka pendek dan jangka panjang adalah pemilik Trans Airways.
Jangka pendek, selain keuntungan seketika berupa appresiasi investasi yang
didapat karena membeli pada harga diskon, jangka panjang sudah pasti Trans
Airways akan menjadi pemegang saham pengendali karena memiliki 10,90% saham Garuda
Indonesia Airways (GIAA), juga akan menikmati “sawab” sebagai pemegang saham
pengendali dari GIAA. Pastilah dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemegang
saham baru ini akan menggunakan haknya sebagaimana diatur pada ayat (2) Pasal
79 UU Perseroan Terbatas, yakni meminta diselenggarakan RUPSLB untuk
mendudukkan wakilnya pada kepengurusan GIAA. Bak cerita rakyat, rasanya kurang
lengkap jika tidak dilengkapi dengan kehadiran Pak Pandir. Dalam cerita GIAA strategic sale yang diperlakukan seperti
jualan ikan, berperan sebagai Pak Pandir adalah pengurus ke-tiga perusahaan
efek yang menjadi penjamin emisi GIAA.
Cuci Tangan!
Seketika saya jadi teringat kalimat
as usual should you fail in your mission,
I will deny … pada film Mission
Imposible, saat membaca pernyataan Menteri BUMN, bahwa penjualan 10,88% atau 2,47 miliar lembar saham PT Garuda Indonesia Tbk
(GIAA) menguntungkan atau merugikan sepenuhnya menjadi urusan dan tanggung
jawab tiga penjamin emisinya! Nah lho? Cut
loss yang berarti merealisasi kerugian, maka kerugian Rp 320,7 miliar
adalah riil dan nyata, tidak berlebihan kalau apparatus yang selalu rajin membolak-balik UU No 31 Tahun 1999
perlu mempelajari transaksi ini dengan cermat, mencari tahu siapa yang
diuntungkan dan siapa yang dirugikan dan siapa pula yang telah bertindak di
luar kewenangannya.
Salam