Kamis, Desember 09, 2010

Good Bye BHMN

PP No 66 Tahun 2010:
Selamat Jalan PT BHMN Selamat Datang PT BLU!
Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Tinggi yang telah ditunggu-tunggu akhirnya terbit juga. Ada beberapa kemajuan yang harus dicatat, antara lain penegasan bahwa tata kelola keuangan Perguruan Tinggi Negeri merupakan domain keuangan negara. Namun, masih juga terdapat significant error disana-sini yang berpeluang segera akan menjadi contingent liabilities bagi pemerintah. Misalnya mengenai diberikannya masa transisi terhadap PT-eks BHMN. Hal yang bisa terjadi karena PP ini tidak mengacu sepenuhnya kepada Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Maret 2010 yang tidak hanya menyatakan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, tetapi juga mencabut ayat 1 Pasal 53 UU No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau error sederhana tetapi mengganggu adalah misalnya PP yang beredar di kalangan luas melalui website Kemendiknas atau Dikti adalah PP yang tidak bertanggal.
BHMN menuju BLU
UU BHP yang secara keseluruhan diputuskan MK tidak lagi memiliki kekuatan hukum, tidak memiliki efek apapun kepada tatakelola PT BHMN karena seluruh PTN maupun BHMN belum mengadopsinya dalam bentuk Anggaran Dasar PT BHP. Yang menjadi persoalan adalah PP No 66 Tahun 2010 ini tidak menjadikan sebagai konsiderans atas dicabutnya Ayat 1 Pasal 53 UU Sisdiknas yang merupakan dasar hukum bentuk BHMN. Verbatim ayat 1 Pasal 53 UU Sisdiknas adalah: “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan”.
Ayat 1 Pasal 53 UU Sisdiknas dibaca apa adanya (as it is) oleh penyusun PP No 66 Tahun 2010. Ayat inilah yang di kemudian hari merupakan pertimbangan disusun dan diundangkannya UU UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Suatu UU hendaknya dibaca sebagai secara keseluruhan batang tubuh, termasuk didalamnya penjelasan pasal demi pasal. Penjelasan ayat 1 Pasal 53 UU Sisdiknas adalah: “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara”. Pasal 220A PP No 66 Tahun 2010 memberikan masa transisi selama tiga tahun (s.d tahun 2013), sedangkan keputusan MK telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak 31 Maret 2010. Bagaimana keabsahan ijazah para lulusan BHMN yang lulus mulai tanggal 31 Maret 2010 s.d tahun 2013? Agar tidak menimbulkan komplikasi, hendaknya Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional segera menerbitkan Keputusan Menteri sebagai aturan pelaksanaan PP tersebut.
Domain Keuangan Negara
Hal lain yang menarik dari PP No 66 Tahun 2010 adalah penegasan kembali bahwa pengelolaan keuangan PT masuk domain Keuangan Negara mendapat resistensi dari para pengelola PTN dan keterlambatan pemahaman para pengelola PTN (termasuk PT eks BHMN) bahwa keuangan PTN harus dikelola berdasar keuangan negara. Dalam kasus PTN yang belum sempat menjadi BHMN sangat jelas, bahwa PT tersebut dijalankan 100% dengan dana APBN sehingga praktis masuk ke dalam domain keuangan negara. Bagaimana halnya dengan PT yang sudah sempat menjadi BHMN? Semua Peraturan Pemerintah yang menetapkan UI, ITB, IPB, Unair, USU, UPI dan UGM menjadi BHMN menyebutkan bahwa kekayaan awal universitas merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN. Logika hukum mengatakan bahwa BHMN harus dikelola berdasar keuangan negara. Argumennya adalah definisi Keuangan Negara sebagaimana disebutkan ada angka 1 Pasal 1 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berbunyi: “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Pada pasal 2 UU No 17 Tahun 2003, “keuangan negara sebagaimana disebutkan pada angka 1 Pasal 1 meliputi: a....g. kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri...termasuk kekayaan negara yang dipisahkan”. Resistensi para pengelola PTN dan BLU eks BHMN terhadap penegasan domain tatakelola keuangan merupakan red flags. Dalam masa transisi (yang terlalu lama), hendaknya DPR segera meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan keuangan seluruh PTN atau setidak-tidaknya tujuh PTN eks-BHMN, karena Pasal 6 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK mengamanatkan demikian dan secara lebih spesifik, Penjelasan Pasal 6 menjelaskan “yang dimaksud dengan “lembaga atau badan lain” antara lain badan hukum milik negara”. Hal ini perlu dilakukan selain sebagai pelaksanaan hurup d angka (2) Pasal 49 PP No 66 Tahun 2010, juga sebagai pelaksanaan Pasal 14 UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik karena sampai dengan hari ini baru Unair dan ITB saja yang telah mempublikasi laporan keuangan 2009 auditan.
Otonomi Pengelolaan PTN dan PT-BLU
Selain pengelolaan keuangan, PTN dan PT-BLU diberikan otonomi pengelolaan PT kecuali pengelolaan keuangan. Namun Kementerian Pendidikan Nasional perlu melakukan pemeriksaan secara berkala kepatuhan (compliance audit) terhadap pengelolaan PT. UI misalnya telah kebablasan dalam memanfaatkan otonomi pengelolaan SDM, pengelompokan dosen berdasarkan skema-skema dosen penelitian, skema dosen pengajaran, skema dosen struktural dan skema dosen lain-lain, secara terang benderang berlawanan dengan angka 1 Pasal 72 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun angka 1 Pasal 8 PP No 37 Tahun 2010 tentang Dosen, yang membuat dosen tidak dapat melaksanakan tridharma perguruan tinggi.
Endoffile>SHK>donderdag 9 december 2010

Sabtu, Agustus 14, 2010

Negara Jangan Cuma Pegang Kendali, Negara-lah Yang Harus Pegang Peranannya


Negara Harus Berperan Besar
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Membaca tulisan Faisal Basri pada Kompas edisi Kamis 8 Juli 2010, saya merasa perlu memberikan tambahan pendapat, bahwa bukan negara harus pegang kendali tetapi justru negara-lah yang harus berperan sesuai dengan konstitusinya. Peran negara tidak bisa bersandarkan mazhab perekonomian.
Ü Keynesian adalah Fiskalis dan Fiskalis adalah Sosialis
Keynesian bukan tanpa kelemahan dan kelemahan terbesarnya justru terletak pada peran negara yang dinyatakan dalam bentuk bujet negara sebagai kebijakan fiskal yang memerlukan legislasi oleh lembaga legislative dan selanjutnya dieksekusi oleh eksekutive. Kompetensi dan integritas legislator dan eksekutor akan sangat menentukan hasil akhirnya seperti apa. Kebetulan negara-negara zona Eropa (minus Inggris) adalah negara-negara sosialis yang paling percaya dengan peran Negara dan tidak terlalu percaya dengan mekanisme pasar. Maastricht Treaty bukanlah final decision terbentuknya Uni Eropa. Provisi umum pada Maastricht Treaty yang kemudian lebih dikenal sebagai Treaty of Union menetapkan tujuan dasar dan prinsip-prinsip Union dinyatakan dalam retorika tinggi tentang solidaritas antar negara, kedekatan dengan warganegara, respek terhadap identitas nasional dan HAM. Dalam bidang ekonomi, tujuan didirikannya EU antara lain: perekonomian yang seimbang berkelanjutan dan kemajuan sosial melalui penciptaan area tanpa batas internal, memperkuat perekonomian dan kohesi sosial dan pendirian economic and monetary union. Treaty of Economic Union bukanlah kata akhir, karena kemudian diikuti dengan Treaty of Amsterdam. Ada dua hal mendasar pada Treaty of Amsterdam, yakni: (1) bahwa setiap pengambilan keputusan dalam Uni Eropa harus “as openly as possible” dan sedekat mungkin dengan warga negaranya (2) mengupayakan high level of employment dan mengupayakan “freedom, security and justice”. Jika dirasakan perlu, masing-masing negara anggota EU memiliki hak untuk “opting out” terhadap Treaty, termasuk pelampauan defisit anggaran dan pelampauan nisbah utang terhadap PDB. Term government failure adalah term dengan kriteria sepihak yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemeringkat efek, satu lembaga yang kehadirannya di pasar keuangan dinihilkan oleh CESR.
Ü Negara vs Pasar
Harus diingat adalah bahwa para founding fathers NKRI yang merancang naskah UUD 45 adalah para cendikiawan politikus (Sukarno, Hatta, Syahrir, dkk) yang mengenyam pendidikan di Eropa (Belanda) maupun di Hindia Belanda dengan kurikulum yang berbasis sosialis. Hasil akhirnya adalah konstitusi yang bersifat kerakyatan. Namun karena kebijakan fiskal harus dinyatakan dalam bentuk bujet dan bujet memerlukan legislasi dari legislative dan akan dilaksanakan oleh eksekutive, jika hasilnya seperti sekarang ini, pokok masalahnya bukan pada konsitusinya tetapi pada kompetensi dan integritas para legislative dan eksekutive. Persoalan integritas dari legislative dan eksekutive menjadi mengemuka manakala kita dihadapkan pada kenyataan bahwa saat ini di Indonesia sedang terjadi korporatisasi. Korporatikrasi atau lebih tepat disebut meritokrasi birokrasi mutlak diperlukan, namun korporatisasi jelas merupakan gerakan anti konsitusi namun karena dilegislasi maka menjadi hal yang wajar. Perhatikan angka-angka pertambahan kapasitas rumah sakit swasta dengan rumah sakit negara, pertambahan panjang jalan negara dengan pertambahan jalan berbayar (toll road), pertambahan daya tampung sekolah swasta dengan sekolah negeri. Apa yang didapat oleh negara dari diberikannya konsensi pertambangan kepada mekanisme pasar, kecuali pajak dan royalti? Sedangkan pajak dan royalti adalah residual claimant. Bagian terbesarnya dinikmati oleh pemilik modal yang mengandalkan what so-called mekanisme pasar. Angka-angkanya akan memperlihatkan bahwa Republik ini telah menyerahkan hak-hak dasar warganegaranya kepada pemilik modal. Perhatikan juga perubahan BULOG menjadi badan usaha Perusahaan Umum yang karena tidak boleh rugi, sehingga peran BULOG sebagai badan penyangga komoditas pertanian sebagaimana saat didirikan pertama kali menjadi hilang sama sekali. Sangat disayangkan, gerakan anti konsitusi yang sedemikian sistematis membuat siapapun di negeri ini seperti layaknya kepiting yang sedang direbus, yang baru akan sadar saat air mencapai titik didih dan seketika sadar langsung mati. Ada banyak jenis pelayanan dasar yang dijanjikan negara pada warganegaranya sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi, diserahkan kepada mekanisme pasar setelah mendapat legislasi dari legislative. Untuk dan atas nama mekanisme pasar, mereduksi peran negara adalah gerakan anti konstitusi menjadi gerakan besar dan wajar dalam pola pikir para cendikiawan. Mengapa? Karena (1) kurikulum economics (ilmu ekonomi) sebagai core competence yang harus dikuasai oleh para ekonom, selama 25 tahun lebih telah didangkalkan menjadi development studies (studi pembangunan), dimana kurikulum, buku-buku teks didatangkan dari negara yang menjadikan pasar sebagai panglima, yang mengandalkan pada what so-called “trickle down effect” sebagai adagium untuk membenarkan penyerahan fungsi-fungsi negara kepada pemilik modal. (2) sejak rejim Orde Baru berkuasa, ekonom yang menjadi eksekutip adalah para ekonom yang menimba ilmu di negara yang menjadikan pasar sebagai panglima.
Ü Misrepresentasi Makna Reformasi?
Setelah 32 tahun dicengkeram oleh rejim orde baru, pada tahun 1998 republik ini berhasil merdeka dari cengkeraman rejim tiran. Kemerdekaan dari rejim orde baru telah melahirkan reformasi. Sungguh sangat disayangkan, reformasi diartikan sangat berbeda dari makna kata reformasi. Reformasi Amandemen UUD 45 merupakan milestone legislasi gerakan anti konsitusi yang berbasis kerakyatan. Lihat, otonomi daerah telah melahirkan raja-raja baru, perda-perda yang kontradiksi dengan statuta yang lebih tinggi, konflik lateral. Amandemen UUD 45 justru telah meletakkan kendali negara kepada para pemodal. Pasar yang berjalan sendiri akan berakibat pada market failure, pada saat itulah peran negara pada welfare state menjadi mengemuka.
Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali, mindset pengelolaan perekonomian tidak dapat mengandalkan kepada development studies yang dikuasai oleh para ekonom tetapi harus dikembalikan kepada pure economics dan back to basic pada konstitusi saat negara ini didirikan oleh para founding fathersnya.


*) Pendidik