Minggu, Oktober 25, 2015

Motivasi Go Public



Mencermati Motivasi Go Public
Oleh: Shalahuddin Haikal*)

Hisyam punya mangga harum manis matang pohon dan mangga emprit muda (asem dan hanya cocok dijadikan bahan baku rujak bebeg), tapi tidak punya pisau. Untuk mendapatkan pisau, maka yang akan ditukar oleh Hisyam tentu saja mangga emprit, bukan mangga harum manis. Penomena yang terjadi pada Hisyam menjelaskan bahwa pada intinya, sangatlah manusiawi jika seseorang tidak mau berbagi sesuatu yang manis dan enak dengan orang lain, bahkan berbagi cerita-pun tidak. Jikalau terpaksa harus berbagi, maka yang dibagikan adalah yang terburuk yang dimilikinya. Penomena ini pula cukup bermanfaat untuk menyanggah berbagai tawaran investasi dengan janji imbal hasil yang menggiurkan baik dari investasi bodong maupun investasi resmi. Jika Hisyam yakin pada suatu investasi dengan imbal hasil di atas suku bunga utang, tentu saja dengan berbagai cara Hisyam akan berhutang dan menggunakan dana hasil utang untuk menikmati investasi itu sendirian tanpa harus berbagi dengan orang lain. Sebaliknya jika tidak yakin dengan imbal hasil investasi, maka orang banyak akan diajak untuk menanggung risiko.

Lantas kenapa ada perusahaan go public dengan menerbitkan dan menjual saham-saham baru perusahaan kepada orang lain? Yang berarti berbagi dengan orang lain. Bukankah hal ini bertentangan dengan cerita Hisyam di atas? Penjelasannya di jelaskan dengan pecking order theory. Pecking order theory di bidang keuangan baru dilahirkan pada tahun 1984 (bandingkan dengan pecking order theory pada sosiologi telah ada sejak tahun 1921). Tulisan ini tidak hendak menggurui melainkan hendak mengingatkan kembali motivasi go public.

Seperti pernah disampaikan kepada majelis pembaca, bahwa dividen adalah salah satu hak pemegang saham. Nisbah keuntungan yang dibagikan terhadap keuntungan yang diperoleh (dividend pay out ratio) berkisar dari 0% (tidak dibagikan) sampai dengan 100% (dibagikan seluruhnya) adalah keputusan RUPS, tentu sudah memperhatikan peluang pertumbuhan yang perlu diongkosi dengan modal. Keuntungan yang didistribusikan sebagai dividen sesungguhnya merupakan amar dari manajemen kepada pemegang saham untuk mencari investasi lain karena perusahaan tidak memerlukan menahan laba untuk tumbuh atau perusahaan tidak memiliki peluang pertumbuhan yang perlu didanai. Dari sisi pemegang saham, dengan menerima pembayaran dividen dari perusahaan, maka kerepotan dalam perhitungan dan pembayaran pajak seketika akan membebaninya. Berbeda dengan pemegang saham yang merealisasikan capital loss/gain dengan menjual saham kepada pihak lain, karena PPh penjualan saham bersifat final (dan marginal) sebesar 0,1%. Itulah sebabnya investor lebih menyukai merealisasi keuntungan dengan menjual saham, baik melalui pasar reguler maupun mengikuti program buyback saham yang dilakukan oleh perusahaan dari pada menerima dividend.

Prosentase laba yang ditahan (tidak dibagikan sebagai dividend) adalah urutan pertama dalam pembiayaan perusahaan. Laba yang tidak dibagikan akan mengimbuhkan saldo laba ditahan pada pos ekuitas di neraca. Laba ditahan saja mungkin tidak mencukupi untuk tumbuh, tetapi manakala perusahaan akan membuat utang baru (baik utang bank maupun utang dari vendor), maka kreditur akan menghitung kecukupan nisbah utang terhadap ekuitas sebagai tolok ukur risiko. Laba ditahan merupakan salah satu unsur ekuitas, sedangkan ekuitas merupakan indikator komitmen dari pemilik perusahaan kepada perusahaan. Dari penjelasan ini sekaligus kita dapatkan bahwa utang bank merupakan urutan kedua dalam pecking order. Hubungan perusahaan dengan bank kreditur maupun vendor adalah hubungan jangka panjang. Bank dan/atau vendor mengetahui dengan pasti pola arus kas perusahaan, kapan dan kemana perusahaan belanja kebutuhan material, kapan dan kemana saja perusahaan menjual produknya. Secara teoritis tidak ada perbedaan informasi yang dimiliki oleh perusahaan dengan bank. Karenanya perusahaan merasa nyaman berhutang kepada bank, selain karena informasi tentang perusahaan hanya diketahui oleh bank saja, juga pemegang saham tidak perlu berbagi “manis”-nya perusahaan dengan orang luar. 

Bila utang bank sudah tidak lagi mencukupi, barulah perusahaan menerbitkan public debt (obligasi). Obligasi disebut sebagai public debt manakala ditawarkan melalui mekanisme penawaran umum, sama-sama harus menyampaikan registration statement kepada pengawas pasar modal, tetapi kualitas disclosure-nya lebih rendah dari pada disclosures pada registration statement untuk penawaran umum saham.

Jika dana hasil penerbitan public debt masih tidak cukup juga, maka perusahaan baru-lah menerbitkan saham-saham baru. Perusahaan tidak serta merta  dapat menawarkan dan menjual saham-saham baru tersebut kepada pihak eksternal, karena kepentingan pemegang saham lama dilindungi oleh corporate law dari potensi dilusi. Kepentingan pemegang saham lama dalam hal penerbitan saham baru oleh perusahaan disebut sebagai pre-emptive right (hak untuk didahulukan). Oleh sebab itu-lah pada kondisi seperti ini, maka mekanismenya adalah Penawaran Umum Terbatas kepada pemegang saham lama, proporsional dengan kepemilikan masing-masing pemegang saham lama. Jika pemegang saham lama tidak menggunakan hak-nya barulah dijual kepada pihak eksternal. 

Dari penjelasan ini, penawaran umum saham adalah alternative terakhir. Jika pemegang saham lama tidak menggunakan haknya dan karenanya kemudian perusahaan harus melaksanakan penawaran umum (public offering), maka boleh diduga, kinerja perusahaan di masa lalu tidak menggembirakan pemegang saham lama, juga pemegang saham lama sudah mengetahui bahwa proyeksi kinerja di masa yang akan datang tidak terlalu bagus di bandingkan investasi lain. Dengan dalil mangga harum manis inilah, yang dijual kepada publik-pun sudah pasti bukan the Jewel of the Crown dalam kelompok usaha.

Terdapat motivasi lain perusahaan go public, yakni untuk memperbesar pagu Legal Lending Limit (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dari perbankan. Pengawas perbankan tidak akan mengenakan sanksi atas pelampauan pemberian kredit oleh suatu bank kepada satu kelompok perusahaan, bila saham-saham perusahaan debitur tersebut telah dicatatkan di bursa efek.

Dari penjelasan ini dapat dimaklumi jika prosentase kepemilikan saham perusahaan oleh publik maksimum adalah 40%. Sangat jarang perusahaan Tbk yang kepemilikannya terdistribusi merata pada banyak pemegang saham. Karena threshold kepemilikan pada UU PT adalah 10%, maka boleh disebut sebagai real public company jika tidak ada satu-pun pemegang saham yang memiliki kepemilikan di atas 10%. Penjelasan ini juga menjawab mengapa pada perusahaan-perusahaan yang kuat secara finansial, cenderung membiayai pertumbuhannya dengan utang bank dan bahkan mereka cenderung untuk go private. Tentunya masih segar dalam ingatan para investor saham bahwa saham-saham Sari Husada, Komatsu Indonesia, Aqua Golden Mississipi, Bayer Indonesia pernah membuat hiruk pikuk pasar modal indonesia dan membuat hingar bingar bursa efek.

Berinvestasi berbeda dengan trading. Jika hendak berinvestasi dengan membeli saham pada pasar perdana, sediakan cukup waktu untuk membaca dengan cermat prospektus sebelum memberi tanda tickmark pada kolom “sudah membaca prospektus perusahaan” dan menandatangani FPPS. Sebaliknya jika hendak berinvestasi dengan membeli saham di pasar sekunder, periksa baik-baik laporan keuangan dan berbagai aksi korporasi yang dilakukannya. Nasehat ini tentu saja tidak untuk mereka yang hendak berdagang saham (trading), karena pada trading yang diperdagangkan adalah saham sebagai komoditas, bukan klaim kepemilikan perusahaan. Selagi bursa sedang lemas karena gula darah turun, coba periksa saham anda: mangga harum manis atau mangga emprit yang asem, masam dan bikin ngilu gigi.
Salam.


*) Pendidik. ACFE® educator member