Sabtu, April 29, 2017

Menunggu Godot (bagian 2)


 

BUKAN USAHA MILIK NEGARA - 2
Penyertaan Modal Negara:
Perbandingan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014

Shalahuddin Haikal*)

Menjadi perusahaan yang memiliki sepuluh anak perusahaan yang masing-masing juga memiliki lusinan anak perusahaan adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan karena merupakan urusan the ultimate owner-nya, seperti halnya PT Astra International, Tbk yang kini memiliki 208 anak perusahaan. Tetapi bagaimana dengan BUMN atau Perusahaan Perseroan yang berada di ranah keuangan negara?

Tercengang dengan PP No 60 Tahun 2016 yang menjadikan Kepolisian RI sebagai pencari Pendapatan Negara Bukan Pajak (Alvin Lie, Harian Kompas Rabu 11 Januari 2016), kini muncul ke permukaan PP No 72 Tahun 2016 yang fenomenal. PP No 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Tatacara Penyertaan Modal Negara di BUMN ini sebetulnya bukan PP yang baru sama sekali, namun merupakan PP yang mengamandemen beberapa pasal dan beberapa ayat pada PP No 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Substansi PP No 72 Tahun 2016, pun tidak banyak berbeda dengan PP yang bernomor sama tetapi berangka tahun 2014, yakni PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham PTPN III, yang esensinya adalah tambahan setoran modal saham dilakukan dalam bentuk inbreng saham negara di seluruh PTPN yang lain (PTPN I, II, IV s.d PTPN XIV) yang serta merta menjadikan seluruh PTPN yang lainnya menjadi anak perusahaan PTPN III, sehingga oleh karenanya tidak lagi dapat disebut sebagai BUMN. Melalui PP No 72 Tahun 2014, holding BUMN Perkebunan sudah terbentuk. Hal lain yang mencengangkan adalah respon yang hiruk pikuk dan sedemikian heboh atas terbitnya PP No 72 Tahun 2016, sangat berbeda dengan suasana sunyi senyap atas terbitnya PP No 72 Tahun 2014. Saat itu, satu-satunya pemangku kepentingan yang keberatan hanyalah Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara. Sebaliknya sekarang, terhadap terbitnya PP No 72 Tahun 2016, mulai dari pengamat kebijakan publik, anggota DPR, hingga LSM memberikan komentar yang galak dan pedas, antara lain menggunakan istilah “inskonstitutioniel”.

Tanpa perlu disebutkan pada konsiderans maupun pasal-pasalnya, cukup jelas PP ini ditujukan untuk memuluskan ide pembentukan holding BUMN yang tertunda-tunda sejak Kementerian BUMN pertama kali dibentuk dan dipimpin oleh Menteri Negara atau menteri tanpa portofolio di tahun 2001. Tupoksi Kementerian BUMN ini pertama kali diatur melalui PP No 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri Negara BUMN. Berkenaan dengan terbitnya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, PP No 64 Tahun 2001 tersebut dikoreksi dengan PP No 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Pasal 3 PP No 41 Tahun 2003, berisikan tiga pengecualian terhadap tugas dan kewenangan Menteri Keungan yang dilimpahkan, yakni: penatausahaan setiap Penyertaan Modal Negara berikut perubahannya ke dalam BUMN; pengusulan setiap Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN yang berasal dari APBN serta pemanfaatan kekayaan Negara; pendirian BUMN maupun perubahan bentuk hukum. Melalui pasal 3 ini, jelas bahwa terdapat wilayah Menteri Keuangan yang tidak didelegasikan kepada Menteri BUMN.

PP 72/2016 menjadi fenomenal, karena selain didalamnya mengandung contradictio in terminis, dan sudah pasti bertentangan dengan PP pada domain yang sama dan lebih penting lagi bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. PP ini mengundang reaksi pranata negara yang berbeda. Tidak ada reaksi dari DPR dan BPK atas terbitnya PP No 72 Tahun 2014 yang pada hakekatnya merupakan privatisasi PTPN-PTPN lainnya karena PMN ke PTPN III dilaksanakan dalam bentuk inbreng saham negara di PTPN lainnya, sedangkan PP No 72 Tahun 2014 terbit hanya terpaut satu hari sebelum dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014. 

Inbreng Saham BUMN Pintu Masuk Privatisasi
Tidak ada yang istimewa dari PP 72/2016 yang mengamandemen angka 8 Pasal 1 PP No 44/2005, misalnya semula “Penatausahaan adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui besarnya penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas” menjadi “Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan pengadministrasian penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas”.

Hal baru yang ditambahkan (bukan merubah) adalah sumber PMN, jika pada PP No 44/2005 terdiri atas empat sumber: dana segar; proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN; piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau aset-aset negara lainnya, maka pada PP 72/2016 disisipkan tambahan sumber PMN, yakni saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas. Dari sisipan ini jelas, bahwa sumber PMN dapat berasal dari inbreng saham negara pada BUMN lain. Hal baru lainnya yang ditambahkan muncul dalam bentuk Pasal 2A. Ayat 1 Pasal 2A ini justru sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013, bahwa istilah kekayaan negara yang dipisahkan adalah keuangan negara yang tidak terbatas dan tidak dibatasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 

Letak persoalan PP 72/2016 ini karena mengandung contradictio in terminis jelas dan nyata, misalnya pada Pasal 1 yang merupakan ketentuan umum, didefinisikan BUMN, Perusahaan Perseroan, Perusahaan Umum, Perseroan Terbatas, secara concise karena merupakan verbatim dari UU BUMN. Namun PP ini tidak menjelaskan implikasi dari setoran modal dalam bentuk inbreng saham milik negara di satu BUMN kepada BUMN lain, yakni seketika BUMN yang sahamnya di-inbreng-kan akan kehilangan kriteria BUMN dan atau kehilangan kriteria Perusahaan Perseroan. Sudah pasti, BUMN akan berubah menjadi Perusahaan Perseroan (ditandai dengan suffix Persero, dibelakang nama perusahan, jika negara mempertahankan sekurang-kurangnya 51% kepemilikan negara), sebaliknya jika kepemilikan negara menjadi kurang dari 51%, maka BUMN tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa yang tidak lagi boleh menyandang kata “Persero”. Sehingga karenanya, perubahan prosentase kepemilikan negara pada suatu badan usaha masuk kriteria privatisasi. Karena memenuhi kriteria privatisasi, maka kini persoalannya terletak pada ketidaksesuaian PP dengan pasal-pasal dan ayat-ayat pengaturan privatisasi yang terdapat pada UU BUMN. Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 mengatur prinsip-prinsip privatisasi dan kriteria BUMN yang dapat diprivatisasi. UU BUMN melalui Pasal 79 s.d Pasal 81 juga mensyaratkan keberadaan pranata Komite Privatisasi yang mutlak dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan Menteri Keuangan dan Menteri Teknis sebagai anggota komite. Hingga sampai tatacara privatisasipun diatur dalam UU BUMN.

Perbandingan dengan PP No 72 Tahun 2014
Tanggal 17 September 2014 atau tepat satu hari sebelum Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas No 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014, terbit PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III. Berbeda dengan PP No 72/2016 yang bersifat umum, PP No 72/2014 khusus memutuskan penambahan PMN di PTPN III. Tambahan PMN tersebut dilaksanakan dalam bentuk inbreng 90% saham negara pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara II dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara IV, sampai dengan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara XIV. 

Karena 90% saham-sahamnya PTPN-PTPN tersebut kini dimiliki oleh PTPN III, maka ke-13 PTPN tersebut berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (saja!). Tambahan PMN kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III menjadikan ke-13 PTPN lainnya kehilangan status BUMN sekaligus status Perusahaan Perseroan. Per se, transaksi tersebut adalah privatisasi! Tidak ada satupun pengamat, anggota DPR atau LSM yang memberikan komentar dan mantranya terhadap PP No 72 Tahun 2014. Satu-satunya pihak yang menyatakan keberatan adalah Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara yang kemudian memohonkan Hak Uji Materi (judicial reviu) PP tersebut kepada Mahkamah Agung dengan nomer register 67P/HUM/2014 yang berproses hingga tahap Peninjauan Kembali dan amar putusannya adalah NO (niet ontvankelijke verklaard). 

Satu hari setelah PP No 72 Tahun 2014 terbit, tepatnya pada 18 September 2014 Mahkamah Konstitusi membacakan amar putusannya yang menolak permohonan uji konstitusi UU Keuangan Negara dan UU BPK yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN. Amar putusan MK ini semestinya menjadi rujukan yang nyata ada (clear and present) dalam pembuatan peraturan-peraturan terkait BUMN.  

Standar Ganda DPR?
Jika kemudian sekarang PTPN I, II, IV s.d XIV menjadi Perseroan Terbatas yang hanya tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan tidak perlu patuh mematuhi UU BUMN, tanpa melalui prosedur baku privatisasi sebagaimana terdapat pada UU BUMN siapa yang bertanggungjawab? Tentu saja pranata negara eksekutif yang tidak patuh dan tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya-lah yang paling bertanggungjawab. Pranata legislatif juga bertanggungjawab karena tidak mempersoalkan, saat itu hingga sekarang.

DPR yang menyatakan kekecewaannya terhadap PP No 72/2016, ternyata memiliki toleransi yang tidak bertepi terhadap PP No 72 Tahun 2014 maupun implementasinya. Bukan hanya tidak ada keberatan, terdapat dua bukti bahwa DPR mendukung PP No 72 Tahun 2014 (1) keputusan DPR in favour terhadap dialokasikannya Rp 350 miliar dari APBN untuk tambahan PMN di tahun 2015 pada PTPN-PTPN yang telah bermetamorfosis menjadi perusahaan-perusahaan swasta anak perusahaan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, sekaligus alokasi PMN sebesar Rp 3,15 triliun untuk Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III sebagai induk perusahaan (holding company). (2) Terdapat dokumen negara yang berjudul Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2015, yang mengandung kesalahan kecil tetapi berdampak besar, yakni masih terdapatnya imbuhan suffix berupa term (Persero) dibelakang nama PT Perkebunan Nusantara.

Jika sekarang pengamat dan anggota DPR dan LSM menggunakan frasa “inskonstitutioniel” rasanya tidak patut, karena pada saat yang sama, terhadap PP yang serupa dengan PP No 72 Tahun 2016, tidak ada keberatan sama sekali. Untuk PP No 72/2016 ini lebih tepat digunakan “tidak workable” karena berlaku azas lex superior derogat legi inferiori. Kedua PP PMN ini jelas tidak kompatibel dengan UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Dari pada heboh dan supaya produktif, kepada para pemangku kepentingan disarankan untuk menggunakan jalur Hak Uji Materi terhadap PP tersebut ke Mahkamah Agung. Agar adil dan setara, bukan hanya hak uji materi terhadap PP No 72 Tahun 2016 saja, bahkan perlu upaya hukum istimewa untuk membatalkan PP No 72 Tahun 2014.
Salam.



*) alumni FRG-EUR, pendidik