Sabtu, Oktober 08, 2016

Menunggu Godot (bagian 1)





BUKAN USAHA MILIK NEGARA -1 
Pembentukan Holding BUMN: Menunggu Godot?


Shalahuddin Haikal*)


UU BUMN yang sekarang berlaku adalah UU No 19 Tahun 2003, sedangkan wacana pembentukan holding BUMN sudah ada sejak tahun 2004, sehingga ketika UU No 19/2003 baru berlaku efektif, ketika itu pulalah wacana pembentukan holding dimulai. Namun diskursus ini abai dengan beberapa prinsip dasar yang ada pada UU BUMN tersebut, salah satunya adalah bahwa yang disebut BUMN adalah badan usaha yang setidak-tidaknya 51% saham-sahamnya dimiliki oleh negara. Menjadi perusahaan holding BUMN dapat dilakukan dengan merger; konsolidasi dan pengambilalihan, pasti akan ada banyak BUMN yang kehilangan statusnya sebagai BUMN karena menjadi anak perusahaan BUMN holding (induk) hasil dari salah satu dari ketiga aksi korporasi tersebut. Sebagai anak perusahaan BUMN yang saham-sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka per definisi UU BUMN tidak lagi memenuhi kriteria untuk disebut sebagai BUMN. Oleh karenanya yang menjadi prioritas untuk dikerjakan terlebih dahulu adalah revisi UU BUMN bukan penyusunan rencana pembentukan holding BUMN.


Privatisasi dan Penatausahaan PMN

Karena akan ada banyak BUMN yang berubah menjadi PT biasa, tanpa suffix (Persero), maka “pembentukan holding BUMN” adalah creeping privatization. Dengan kata kunci privatization, maka sebetulnya yang sedang direncanakan adalah urutan ke-8 pada “the Washington Consensus”. Perlu diketahui khalayak, bahwa meskipun pertempuran antar dua mazhab governance BUMN sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan, bahwa BUMN masuk dalam ranah Keuangan Negara, namun mazhab yang kalah tetap yakin bahwa frasa “kekayaan negara yang dipisahkan” merupakan penanda yang kuat bahwa BUMN tidak termasuk dalam ranah keuangan negara masih kuat dan aktif. Hal ini secara eksplisit dinyatakan pada Rencana Strategis Kementerian BUMN 2015-2019 (hal 49), “pengertian kekayaan negara yang dipisahkan” sebagai masalah utama yang dihadapi oleh Kementerian BUMN. Trumpet pembentukan holding BUMN nyaring ditiup oleh Kementerian BUMN, suatu kementerian yang dilahirkan karena PP (PP No 61/2001 dan PP No 41/2003) yang mengatur mengenai pelimpahan sebagian kewenangan Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN, meskipun wewenang yang dilimpahkan tidak termasuk (1) penatausahaan setiap PMN dan perubahannya (2) pengusulan PMN (3) pendirian dan pembubaran BUMN (4) dalam melaksanakan kedudukan, tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud, Menteri BUMN wajib memperoleh persetujuan Menteri Keuangan terlebih dahulu. Untuk usulan PMN pada RAPBNP 2016 yang skalanya jauh lebih kecil dari pada rencana pembentukan holding BUMN, Kementerian BUMN tidak dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan sampai lewat tenggat waktunya (lihat rubrik Lobi di Harian Kontan 24 mei 2016 hal 2). Untuk urusan rencana pembentukan holding BUMN yang skalanya jauh lebih besar nampaknya Kementerian BUMN lupa bahwa kewenangannya tidak termasuk ke-tiga hal tersebut. Selama rencana ini tidak dikomunikasikan dan dirembug dengan pemilik kewenangan (baca: Menteri Keuangan), maka rencana pembentukan holding BUMN akan tetap menjadi wacana seperti yang sudah-sudah.  Di lain pihak ternyata diam-diam, saat ini terdapat dikotomi pengelolaan BUMN, selain BUMN yang kewenangan Menteri Keuangan sudah dilimpahkan kepada Menteri BUMN, terdapat dua BUMN (Sarana Multi Infrastruktur dan Indonesia Eximbank) yang kewenangan RUPS-nya berada ditangan Menteri Keuangan. Saya tidak tahu mengapa terjadi dikotomi seperti ini. 


Beberapa tahun terakhir, pemerintah (bukan negara) sadar bahwa untuk kegiatan yang perlu diusahakan secara profesional, efisien dapat dijual kepada masyarakat tetapi tidak boleh ambil keuntungan sehingga harga jualnya “at cost”, Kementerian Keuangan memilih membentuk “badan hukum baru” yang disebut Badan Layanan Umum (BLU). Meskipun kemudian consiousness ini dinodai dengan dipilihnya bentuk Perusahaan Umum untuk Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan dan Bulog. Masa sih negara tega mengambil keuntungan dari warganegaranya dengan mengambil keuntungan atas layanan keamanan dan keselamatan penerbangan dan layanan logistik pangan? Bentuk Perum juga melahirkan problem yang dihadapi Menteri Perhubungan dalam mengkoordinasi layanan navigasi penerbangan atau hambatan yang dihadapi Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan untuk mengkoordinir urusan logistik. Karena sebagai Perum, keduanya hanya tunduk patuh kepada Menteri BUMN selaku kuasa pemegang saham.


Pilihan Metoda Pembentukan

Terlalu dini untuk membicarakan metoda pembentukan holding BUMN, namun perlu untuk memberikan sedikit gambaran apa yang akan terjadi dalam proses pembentukan. Merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) dan akuisisi (pengambilalihan) merupakan pilihan modus pembentukan holding BUMN. Karena BUMN-BUMN dimiliki oleh pemegang saham pengendali yang sama dan tidak semua BUMN adalah perusahaan Tbk, tender offer sebagai modus akuisisi perlu dicoret terlebih dahulu. Namun, apapun pilihannya, jika nantinya perusahaan hasil merger dan akuisisi memiliki aset gabungan melebihi Rp 2.5 triliun (khusus untuk perbankan, jika aset gabungan > Rp 20 triliun), omset gabungan melebihi Rp 5 triliun, keputusan ketiga modus tersebut mutlak terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena akan terjadi perubahan pemegang saham pengendali. Oleh karena efisiensi dan peningkatan daya saing sebagai tujuan pembentukan BUMN holding, sudah barang tentu, KPPU perlu menguji terlebih dahulu akibat perubahan pemegang saham pengendali terhadap perubahan struktur pasar.

Seperti memutar kaset rusak, untuk BUMN Tbk yang akan menjadi target, sudah ramai terdengar, misalnya PGAS akan mengakuisisi Pertagas, kemudian diikuti dengan exchange offer berupa penyerahan saham-saham negara di PGAS kepada Pertamina dan karenanya Pertamina menerbitkan saham-saham baru untuk dimiliki oleh Negara. Kegiatan ini masuk dalam domain penatausahaan modal negara yang tidak termasuk kewenangan yang dilimpahkan kepada Menteri BUMN. Berapa lembar saham negara di PGAS diserahkan kepada Pertamina untuk selanjutnya ditukar dengan saham baru Pertamina adalah penatausahaan modal di negara di BUMN, juga harus dinilai terlebih dahulu oleh independend apraiser. Potensi dugaan tipikornya menjadi cukup besar antara lain untuk menguji berapa harga pasar wajar saham PGAS seandainya exchange offer dilakukan antara negara dengan pihak selain Pertamina, berapa pula harga pasar wajar saham Pertagas.


Privatisasi terbuka

Privatisasi memiliki dua arti. Dalam arti sempit adalah menjual kepemilikan negara kepada swasta, sedangkan dalam arti luas, pendirian BUMN, baik yang modalnya masih glondongan (Perum) maupun yang modalnya sudah terbagi atas saham-saham (Persero) adalah juga privatisasi. Berbeda dengan Badan Layanan Umum, sebagai BUMN mereka wajib mencari profit. Agar pembentukan holding BUMN (sebagaimana terdapat dalam Rencana Strategis 2015-2019) tidak berhenti sebagai legacy belaka, justru harus dimulai dari revisi UU BUMN, termasuk di dalamnya mendefinisikan ulang BUMN, ranah keuangan negara sampai pada tingkat ke berapa anak perusahaan, persoalan terkait kewajiban PKBL bagi BUMN yang sebetulnya merupakan pajak atas laba bersih BUMN dan masih banyak lagi. Namun inisiatif revisi UU BUMN-pun bukan persoalan yang sederhana karena UU ini berkait erat dengan UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara.


Kementerian BUMN dapat berkontribusi secara nyata dan banyak bagi negara, terlebih yang saat ini dalam kondisi bujetnya mengalami defisit dengan mengusulkan privatisasi terbuka dalam arti sempit kepada Menteri Keuangan. Ada banyak BUMN yang keberadaannya sudah tidak lagi diperlukan negara karena jasa sektor tersebut sudah dapat disediakan dan dijual oleh sektor swasta, misalnya BUMN sektor konstruksi, ada sekitar setengah lusin lebih BUMN dengan suffix “Karya”, baik yang sudah Tbk maupun yang belum Tbk yang layak untuk dijual. Idem dito dengan perbankan, karena Bank Sentral sudah dapat mengendalikan suku bunga melalui mekanisme monetary transmission dan program-program kredit affirmative (KUR, Kredit UKM) pun dapat juga disediakan oleh bank swasta, maka empat bank BUMN juga merupakan kandidat tepat untuk dilakukan privatisasi tahap kedua, jika masih ragu-ragu, toh negara masih dapat mempertahankan 1 lembar saham Dwi Warna bukan?

Salam!






*) alumnus FRG-EUR, pendidik.