Minggu, Desember 29, 2019

Marwah Republik di UMKM dan Koperasi


Marwah Republik di UMKM dan Koperasi

Shalahuddin Haikal*)

Terpilihnya kembali Jokowi menjadi Presiden RI periode 2019-2024, membawa konsekuensi bagi beliau untuk membentuk kabinet baru. Jika pada periode 2014-2019 kabinet itu dinamai Kabinet Kerja, maka untuk periode 2019-2024 dinamai Kabinet Indonesia Maju. Di balik hiruk pikuk pesan, pemberitaan, justru yang beliau tidak ucapkan-lah yang perlu disimak. Diantaranya ada menteri-menteri ex Kabinet Indonesia Kerja yang lumintu dan berlanjut bahkan pada bidang yang sama, di kabinet Indonesia Maju, wajah sama ditempat yang sama. Pesan yang tidak terucap dari terpilihnya kembali bahkan pada pos yang sama adalah bahwa para menteri ex Kabinet Indonesia Kerja tersebut-lah yang dianggap benar-benar berkerja dan mengoperasionalkan visi misi. Pada kabinet Indonesia Kerja terdapat satu atau dua Menteri yang lebih bekerja sebagai administrator bukan manajer, sehingga tidak keluar beleid baru untuk memperbaiki atau menyempurnakan yang beleid yang lama. Googling atau mencari di Google, memang tidak scientific, tetapi faktanya semua orang yang melek internet, pasti menggunakan Google sebagai engine search. Cepat, mangkus dan sederhana, ketik saja nama Kementerian yang dimaksud, misalnya Kementerian Koperasi dan UKM, di Google, ditemukan sekitar 1.740.000 hasil (0,44 detik) untuk bilah umum, dan sekitar 47.400 hasil (0,23 detik) untuk bilah berita. Dibandingkan dengan hasil pencarian Kementerian Keuangan, ditemukan Sekitar 44.800.000 hasil (0,46 detik) untuk bilah semua, dan sekitar 8.340.000 hasil (0,13 detik) untuk bilah berita. Kementerian Koperasi dan UKM baru muncul di pemberitaan pada setiap tanggal 12 Juli dalam bentuk adalah pemberitaan upacara hari Koperasi. 

Ditunjuknya Teten Masduki dengan latar belakang ke-LSM-annya, sebagai Menteri Koperasi dan UKM pada Kabinet Indonesia Maju, mudah-mudahan menjadi angin buritan yang akan membawa biduk UKM dan Koperasi maju kedepan. Caranya bagaimana agar khalayak ramai dan pengambil keputusan bisa tahu perkembangan sektor UKM dan Koperasi, maju atau mundur sektor ini dari tahun-ke-tahun, satu-satunya cara bukan dengan narasi penuh apologia, tetapi dengan data statistik. Caranya bagaimana agar dapat membuat kebijakan atau kebijaksanaan atau beleid? Tidak bisa tidak, statistik UKM perlu dikinikan, Koperasi perlu disensus. Perlu majelis pembaca Harian Kompas ketahui,  bahwa statistik UKM yang dimiliki oleh Kementerian ini sejauh yang tersedia dan dapat diakses oleh publik adalah statistik UKM tahun 2010-2011, sedangkan statistik Koperasi: nihil ! Boleh jadi hanya gegara, tidak dimilikinya statistik UKM terkinikan (dan Koperasi) janji Presiden Jokowi pada kampanye Pilpres 2014 untuk memberikan bantuan dana Rp 10 juta per tahun untuk UMKM/Koperasi tidak dapat direalisasikan. Sensus UKM dan Koperasi mutlak dilakukan dengan presisi dan akurasi, bersifat one name/one family one address seperti yang telah dilakukan oleh atau data yang dimiliki oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.  Data statistik UKM tahun 2010-2011 tersebut pasti sudah berubah tajam, tetapi saya duga dalam prosentase tidak berubah banyak, maka bayangkan, densitas total UKM merupakan 99% dari jumlah usaha; kontribusi terhadap PDB mencapai 58%; penyerapan tenaga kerja menyumbang 97%. Ini bukan sembarang angka, karena pada angka ini pula-lah sejatinya marwah perekonomian Republik ini terletak. Sehingga kementerian yang mengurusi UKM dan Koperasi pula-lah yang bertanggungjawab, setidak-tidaknya menjaga, lebih bagus jika marwah perekonomian republik yang koordinasi pembinaan dan pengelolaannya dilaksanakan di Kementerian UKM dan Koperasi ini dapat ditingkatkan. Terdapat beberapa stakeholder yang sebaiknya bukan saja perlu diajak ikut serta rembugan apa yang harus dilakukan selama lima tahun ke depan tetapi bahkan bila perlu dikoordinasikan. Siapa saja mereka ini?

Perguruan Tinggi

Pertama: kurikulum. Hampir semua perguruan tinggi memiliki Fakultas Ekonomi dan Bisnis ternyata kurikulumnya mempersiapkan peserta didik menjadi kuli korporasi besar sedangkan korporasi besar hanya menyerap 3% jumlah tenaga kerja. Haqqul yaqin, 100% kurikulum jurusan akuntansi dan manajemen di seluruh Fakultas Ekonomi dan Bisnis, bukan saja tidak memiliki frasa atau term financial bootstraaping di dalam kurikulumnya. Misalnya, mata kuliah Manajemen Keuangan, basisnya adalah korporasi yang telah memisahkan kepemilikan dengan pengelolaan, sesuatu yang musykil terjadi UMKM. Diperkenalkannya dan dimasukkan hal-hal sederhana tetapi nyata dan memiliki lokalitas dari aspek financial bootstraaping dilanjutkan dengan menginventarisasi aspek-aspek lokalitas dan industry specific akan membuat investasi dan berinvestasi sebagai UKM bukanlah hal yang risikonya menakutkan. Diam-diam tanpa banyak cakap, sejatinya industri besar sudah memanfaatkan financial bootstraaping, contoh yang sederhana adalah pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah secara bersama-sama. UKM batik yang terkenal dengan pencemaran karena penggunaan zat pewarna dapat saja memanfaatkannya. Implikasi financial bootstraaping akan merembet pada penghematan modal kerja dan modal kerja bersih yang akan membuat risiko investasi menjadi minimal.

Kedua: semangat pioneering. Jika dahulu di tahun 1950-an hingga awal 1960-an, almarhum Prof Koesnadi Hardjasoemantri menginisiasi gerakan Pengerahan Tenaga Mahasiswa untuk membangun puluhan bahkan ratusan SLP dan SLA di penjuru pelosok negeri, bagaimana peran Perguruan Tinggi sekarang? Nihil ! Sedangkan nyaris seluruh perguruan tinggi (swasta maupun negeri) memiliki kegiatan akademik yang sifatnya wajib dan karenanya memiliki SKS, yakni KKN (Kuliah Kerja Nyata). KKN yang dilaksanakan dari semester-ke-semester dari tahun akademik-ke-tahun akademik, ternyata sifatnya ad hoc, sinterklaas syndrome, datang ke suatu desa, membangun jembatan atau mencat dinding sekolah, selesai, tahun depan berulang kembali hanya pindah desa. Kegiatan ad hoc dan sinterklaas syndrome dapat diarahkan menjadi kegiatan yang bersinergi dengan penguatan sektor UKM, semisal petani (petani pada galibnya usaha kecil juga bukan?) untuk mengerti secara sederhana bagaimana teknik costing (menghitung biaya produksi) dan bagaimana pula teknik pricing produk yang masuk akal dan tidak merugikan, bagaimana memperkuat posisi tawar di hadapan tengkulak.

Ketiga: riset berbasis sektor riil (bukan riset pasar modal). Perguruan tinggi yang sedang berlomba-lomba masuk peringkat dunia, menyebut dirinya the World Class (Research) University telah berubah menjadi menara gading. Para dosen yang mendadak sekarang menjadi gemar riset, mulai tertarik meriset start-up, mereka melakukan riset ini itu anything all about startup, tetapi ternyata gagal mengartikan start-up itu sendiri. Dalam pemahaman mereka, start-up adalah usaha yang akan mengembangkan aplikasi untuk menciptakan pasar. Sehingga yang tidak memiliki atau tidak mengembangkan aplikasi tidak dapat disebut start-up. Sedangkan istilah start-up ini adalah istilah baku yang sudah berpuluh tahun digunakan di industri modal ventura sebagai klasifikasi pentahapan pertumbuhan skala usaha. Dimulai dari sekedar seeds yang kemudian jika direalisasikan, seeds pasti akan tumbuh menjadi start-up. Sehingga start-up adalah konsekuensi logis dari realisasi seeds. Tahap start-up ditandai dengan mulai dibutuhkannya modal kerja (working capital). 

Sudah saatnya Kementerian UKM dan Koperasi menarik, memaksa jika perlu Perguruan Tinggi untuk dapat menjalankan peran Dharma ke-tiganya, yakni Pengabdian kepada Masyarakat. Ukuran-ukuran keberhasilan perguruan tinggi dan dosen adalah jumlah sitasi dan jumlah publikasi, bukankah ini sama halnya perguruan tinggi kembali menjadi Menara Gading. Perguruan tinggi dan dosennya merasa dirinya yang paling pinter, karena mengalami fallacy of composition, bahwa dunia praktik menggunakan teori ini teori itu, tanpa tahu asbabun nuzul suatu teori adalah praksis. Seandainya Newton tidak tekun mengamati dan memperhatikan, telaten mengukur jatuhnya buah apel ke tanah, Teori Gravitasi tidak akan ditemukan. Kegiatan yang menyambungkan sektor UKM dengan perguruan tinggi akan menghasilkan temuan-temuan yang khas dan spesifik Indonesia.

Otoritas Jasa Keuangan 

Pertama: rule making rules. Ada beberapa bidang pada domain OJK yang berhubungan dengan kehidupan UKM. Apakah selama ini dalam rule making rules-nya melibatkan Kementerian yang bertanggungjawab atas keberlanjutan dan kemajuan UKM? Ini pertanyaan retorik, yang jawabannya adalah hampir yakin, Tidak! Dalam pembentukan aturan OJK yang berdampak kepada UKM, Kementerian UKM dan Koperasi setidak-tidaknya dimintai pendapat. Nampak sekali, OJK gagal paham bahwa yang diperlukan oleh UKM dan Koperasi bukan sekedar pembiayaan, tetapi lebih dari itu adalah pembinaan atau pendampingan. Peran ini pembiayaan sekaligus pendampingan adalah peran Lembaga Keuangan yang bernama Modal Ventura. Modal Ventura mendampingi dan membina UKM yang dibiayainya bukan karena baik hati atau karena sebab kemanusiaan lainnya tetapi memang karena model bisnis Modal Ventura memang mensyaratkan memberikan pembinaan, tujuannya adalah tujuan komersial, agar perusahaan UKM yang dibiayainya cepat tumbuh, bisa berjalan sendiri dan akhirnya bisa ditinggalkan melalui pintu yang disebut pasar modal. Oleh OJK, Modal Ventura dipasung dan dikerdilkan sedemikian rupa sehingga tidak bisa menjalankan peran yang seharusnya diambilnya. Lebih ekstrim, saya sampai berpendapat bahwa model bisnis Modal Ventura di Indonesia sebagaimana diatur oleh OJK (dulu oleh Bapepam LK), telah menjadikan Modal Ventura di Indonesia tidak lagi dapat disebut sebagai Lembaga Keuangan. Model bisnis Modal Ventura (one-tier) seperti yang diatur oleh OJK telah menjadikan Modal Ventura adalah macan kertas, dananya terbatas. Dulu pernah diatur Reksa Dana Penempatan Terbatas, yang galibnya menyerupai Venture Fund. Venture Fund adalah sumber dana bagi Modal Ventura untuk dapat membiayai sekaligus membina usaha. OJK bukan saja memasung dari hulu, bahkan dihilirnyapun modal ventura diborgol. Di perkenalkannya Papan Akselerasi di bursa Efek, bukan saja menjerumuskan investor ritel Indonesia (yang seperti kebanyakan orang indonesia lainnya pada dasarnya tidak memiliki budaya membaca dengan teliti: prospektus dan laporan keuangan). Salah satu syarat diijinkannya perusahaan skala kecil untuk IPO melalui mekanisme Papan Akselerasi adalah “tidak berafiliasi dengan perusahaan besar”, sedangkan per se, Modal Ventura bukan hanya berafiliasi, tetapi bahkan merupakan salah satu pemegang saham di  perusahaan skala kecil yang menjadi investee-nya

Kedua: kredit UMKM. Tahun 2015, terbit Peraturan Bank Indonesia No 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No 14/22/PBI/2012 Tentang Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Oleh Bank Umum Dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengharuskan seluruh perbankan memiliki portofolio ke segmen UMKM minimal 20%  dihitung sejak akhir 2018.  Dengan total kredit perbankan mencapai +\- Rp 6.850 triliun pada akhir 2018, per se PBI ini, maka terdapat setidaknya Rp 1.370 triliun alokasi kredit untuk UMKM. Nah angka ini perlu diperiksa kesahihannya oleh Kementerian UKM dan Koperasi, apakah benar senilai Rp 1.370 triliun tersebut benar merupakan kredit untuk UMKM atau jangan-jangan UMKM hanya menjadi namanya saja, seperti pepatah kerbau punya susu sapi punya nama?

(Program Kemitraan) BUMN

Pasal 88 UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Kata “dapat” pada UU tersebut dipertegas oleh Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-05/MBU/2007 tentang PKBL. Jika pada level UU digunakan pilihan kata bersifat pilihan “dapat”, maka pada Permen BUMN kata “dapat” bersalin menjadi  “wajib”. Sehingga setiap BUMN Perseroan maupun BUMN Perum wajib melaksanakan PKBL. Adapun sumber dana PKBL diambil dari laba setelah pajak sebesar maksimal 4 %, terdiri untuk Program Kemitraan 2% dan Bina Lingkungan 2%. Jika selama tahun 2018, seluruh BUMN menghasilkan laba sekitar Rp 200 triliun, maka berarti ada sekitar Rp 4 triliun yang dialokasikan sebagai Program Kemitraan. Tentunya, Kementerian UKM dan Koperasi dapat mengambil peran dalam bentuk menyusun kluster UKM / koperasi di setiap wilayah di Indonesia yang perlu mendapat prioritas pendanaan.

Akhirnya jangan sampai Kementerian Koperasi dan UKM tetap diadakan karena amanat ayat 4 Pasal 33 UUD 1945, tetapi sebaiknya karena begitu pentingnya martabat perekonomian Indonesia tetap berada di tangan anak bangsa, maka kementerian ini tetap diperlukan. 

Salam!




*)  alumnus FRG-EUR, educator member ACFE