Kamis, Juli 12, 2012

Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap (Rencana) Pengesahan RUU Perguruan Tinggi

Para pendiri bangsa ini melihat bahwa pendidikan menjadi salah satu kekuatan utama bangsa. Karena itu pendidikan haruslah dimajukan dan dilindungi oleh negara. Hal ini tertuang secara jelas dalam UUD 1945. Melihat pentingnya peranan pendidikan, pemerintah terus berusaha untuk membuka akses pendidikan selebar lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya.
Banyak permasalahan pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang sedang kita hadapi. Masalah masalah pendidikan tersebut seperti otonomisasi PT BHMN yang kebablasan, tidak adanya pengaturan terhadap internasionalisasi, dan ketidakjelasan payung hukum perguruan tinggi. KM ITB melihat bahwa memang permasalahan tersebut haruslah diatur dan diselesaikan dalam UU tersendiri.
Adapun bukti dari usaha pemerintahan untuk memperbaiki permasalahan tersebut ialah dengan akan disahkan RUU PT (Rancangan Undang Undang Perguruan Tinggi). RUU PT merupakan respon terhadap masalah pendidikan tinggi kita yang kita hadapi. Kemudian pertanyaan besarnya ialah apakah memang betul RUU PT ini bersemangatkan membuka akses pendidikan selebar lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya? Ataukah RUU PT ini hanya mengakomodir kepentingan sebagaian pihak dan mengorbankan pihak yang lain?
Setidaknya ada 2 poin isu yang sangat penting untuk dikaji dikarenakan nasib akses dan kualitas pendidikan tinggi kita bergantung kepada hal tersebut. Kedua isu tersebut menjadi alasan kami menolak RUU PT secara keseluruhan. Kedua isu tersebut ternyata bersifat seperti pedang bermata dua. Jika dapat diatur dengan baik maka isu tersebut mempunyai dampak baik bagi peluasaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan, Jika tidak, maka dampak buruk lah yang kita dapat, bahkan dapat mengancam keberadaan negara ini. Kedua isu itu adalah otonomisasi keuangan dan internasionalisasi.
Otonomisasi keuangan
 
Menimbang bahwa birokrasi keuangan yang panjang dapat menghambat kinerja perguruan tinggi, pemerintah berusaha memangkas birokrasi keuangan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Otonomi dalam perguruan tinggi diatur dari pasal 62-65 (draf 7 Juli). Dalam pasal 64, diatur otonomi pengelolaan di bidang nonakademik salah satunya dibidang keuangan. Hal yang disorot dalam pasal ini adalah adanya otonomi dalam pencarian dana yang disinyalir merupakan upaya pemerintah untuk berlepas tangan dari bertanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal ini diperkuat di pasal 65 yang menyatakan Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum dan dalam pasal yang sama pada ayat 3, PT diberi wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Pertanyaan besarnya ialah apa yang menjadi parameter untuk menyeleksi PTN tersebut? Adakah rencana jangka panjang / visi pendidikan yang dapat dijadikan acuan untuk memilih PTN yang akan dijadikan PTN BH? Faktanya ialah pemerintahan kita tidak mempunyai rencana jangka panjang / visi pendidikan sehingga tidak mempunyai parameter yang jelas untuk mengangkat PTN menjadi PTN BH.
Selain itu kewenangan membuat badan hukum dapat menyebabkan perguruan tinggi tidak lagi fokus dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945. Fokus PTN akan terpecah dalam upaya menjalankan bisnis demi menjamin kebercukupan dana untuk penyelenggaraan pendidikan. Jelas hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai tanggung jawab pemerintah. Karena itulah kami menuntut revisi pasal 62-65 (draf 7 Juli)
Salah satu upaya pemerintah berlepas tangan dalam pendidikan tercantum dalam pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli) tentang pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Pemerintah justru memberikan pinjaman dana pendidikan tanpa bunga. Maka, akan terdapat legitimasi untuk membuat mahasiswa kurang mampu tidak memperoleh pendidikan secara gratis, melainkan diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem pinjaman seperti ini merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan tinggi dan merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak atas pendidikan warga negaranya. Fakta menunjukkan para sarjana yang baru lulus di Amerika harus berhadapan dengan college debt crisis dimana mereka menanggung beban pinjaman pendidikan yang sangat besar yang hanya dapat dibayar setelah rentang waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk pembiayaan operasional pendidikan. Dengan pemaparan tersebut, kami menolak pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli)
Begitu pun permasalahan mengenai pengalokasian dana bantuan operasional bagi PTN dari pemerintah di pasal 89 (draf 7 Juli). Pembahasan dalam panja masih deadlock dalam pencantuman jumlah minimal 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan. Jika pencantuman jumlah minimal tersebut dihapuskan dengan dalih ketiadaan dana dari pemerintah, maka ini membuktikan bahwa pemerintah mulai mengurangi tanggung jawabnya dalam pendanaan PTN. Oleh karena itu kami menuntut pencantuman jumlah minimal atas pengalokasian dana bantuan operasional bagi PTN.
Internasionalisasi
 
Era globalisasi ialah era yang tak terelakan, sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat akan kita hadapi. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) dan diwajibkan untuk menandatangani General Agreement of Trade and Service (GATS), Indonesia semakin membuka akses untuk berkerjasama dengan negara lain, termasuk di antaranya privatisasi sektor pendidikan.
Sebuah perjanjian kerjasama seharusnya saling menguntungkan kedua belah pihak yang terikat kerjasama. Harus ada kesetaraan diantara kedua belah pihak agar terjadinya saling menguntungkan dan menghindari penguasaan satu pihak atas pihak lainnya. Kerjasama yang hanya menguntukan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain ialah bentuk kerjasama yang harus kita hindari, meskipun kita pihak kita yang diuntungkan.
Begitupun dengan internasionalisasi pendidikan yang pada pasal 90 (draf 7 Juli) yang menginzinkan PTA, atas persetujuan menteri, membuka cabangnya di Indonesia. Hal yang harus dikritisi adalah, motif yang ada dibaliknya. Jika hanya melaksanakan kerjasama dengan pihak luar, tidak harus dengan adanya entitas PTA yang dibangun dalam negeri. Mengingat kondisi pendidikan dalam negeri masih jauh dari kata setara dan tanpa ada visi nasional yang jelas, hal ini dapat mmenyebabkan pendidikan tinggi terseret mekanisme pasar dan hanya menghasilkan ‘kuli – kuli terdidik’. Selain itu, pembukaan PTA di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari filtrasi ideologi tertentu. Dengan pemaparan tersebut kami menolak pasal 90 (draf 7 Juli).
Upaya kerja sama Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian yang tercantum dalam pasal 47 dan kerja sama internasional dalam pasal 50 juga menjadi hal yang harus mendapat perhatian. Kerjasama yang dibangun haruslah kerja sama yang sesuai dengan kepentingan nasional. Lagi-lagi dalam hal ini kita berbicara tentang tidak jelasnya visi pendidikan nasional. Oleh karena itu kami menuntut revisi pasal 47 dan 50 (draf 7 Juli) tersebut.
Kesimpulan
 
Semangat RUU PT ini seharusnya ialah semangat perbaikan berkelanjutan untuk membuka akses dan meningkatkan kualitas pendidikan demi Bangsa Indonesia yang lebih baik. Namun ternyata setelah dipaparkan dengan fakta fakta diatas dapat kita simpulkan bahwa semangat RUU PT ini ialah pelepasan tanggung jawab dan intervensi pemerintah terhadap pendidikan tinggi, dengan kata lain komersialisasi pendidikan tinggi. Kita harus tolak peraturan apapun yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan karena hal itu melanggar konstitusi.
Permasalahan pendidikan tidaklah dapat kita lepaskan dari aspek supra sistem yang mendukungnya, yaitu aspek politik dan ekonomi. Tanpa adanya visi politik negara yang kuat dan dukungan ekonomi yang menopangnya hanya membuat aspek pendidikan menjadi terombang-ambing terseret ke dalam perangkap internasional dan membawa Indonesia pada posisi negara yang dikorbankan.
Jika RUU PT ini disahkan maka akan banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Dampak tersebut ialah :
  • Melambungnya biaya pendidikan tinggi yang harus ditanggung masyarakat karena otonomi yang kebablasan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah.
  • Perguruan tinggi tidak hanya berfokus mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya
  • Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan kuli terdidik
  • Perguruan Tinggi Asing akan berdiri di Indonesia dan mengancam nilai-nilai ke-Indonesiaan
Berdasarkan Pemaparan diatas, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) menyatakan sikap:
Menolak dengan tegas pengesahaan RUU PT karena :
1. Otonomisasi keuangan memberikan peluang pada negara untuk tidak memenuhi kewajibannya dalam pendanaan PT
2. Internasionalisasi pendidikan tanpa visi yang jelas sehingga dapat menyebabkan infiltrasi ideologis dan mengarahkan Indonesia menjadi bangsa para kuli

sehingga kami memberikan tuntutan:
 
1. Menolak komersialisasi pendidikan yang hanya akan menyengsarakan rakyat
2. Mendesak pemerintah untuk menjamin akses pendidikan seluas luasanya bagi semua elemen masyarakat
3. Mendesak pemerintah untuk membuat visi besar pendidikan Indonesia sesuai dengan amanah konstitusi
4. Mengultimatum pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan pendidikan tinggi yang berlarutlarut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan secara berkelanjutan

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater.
12 Juli 2012,
Presiden KM ITB 2012/2013
Anjar Dimara Sakti