Para pendiri bangsa
ini melihat bahwa pendidikan menjadi salah satu kekuatan utama bangsa.
Karena itu pendidikan haruslah dimajukan dan dilindungi oleh negara. Hal
ini tertuang secara jelas dalam UUD 1945. Melihat pentingnya peranan
pendidikan, pemerintah terus berusaha untuk membuka akses pendidikan
selebar lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya.
Banyak
permasalahan pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang sedang kita
hadapi. Masalah masalah pendidikan tersebut seperti otonomisasi PT BHMN
yang kebablasan, tidak adanya pengaturan
terhadap internasionalisasi, dan ketidakjelasan payung hukum perguruan
tinggi. KM ITB melihat bahwa memang permasalahan tersebut haruslah
diatur dan diselesaikan dalam UU tersendiri.
Adapun bukti dari usaha pemerintahan untuk memperbaiki permasalahan
tersebut ialah dengan akan disahkan RUU PT (Rancangan Undang Undang
Perguruan Tinggi). RUU PT merupakan respon terhadap masalah pendidikan
tinggi kita yang kita hadapi. Kemudian pertanyaan besarnya ialah apakah
memang betul RUU PT ini bersemangatkan membuka akses pendidikan selebar
lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya? Ataukah RUU PT ini
hanya mengakomodir kepentingan sebagaian pihak dan mengorbankan pihak
yang lain?
Setidaknya
ada 2 poin
isu yang sangat penting untuk dikaji dikarenakan nasib akses dan
kualitas pendidikan tinggi kita bergantung kepada hal tersebut. Kedua
isu tersebut menjadi alasan kami menolak RUU PT secara
keseluruhan. Kedua isu tersebut ternyata bersifat seperti pedang bermata
dua. Jika dapat diatur dengan baik maka isu tersebut mempunyai dampak
baik bagi peluasaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan, Jika
tidak, maka dampak buruk lah yang kita dapat, bahkan dapat mengancam
keberadaan negara ini. Kedua isu itu adalah otonomisasi keuangan dan
internasionalisasi.
Otonomisasi keuangan
Menimbang bahwa birokrasi keuangan yang panjang dapat menghambat kinerja perguruan tinggi, pemerintah berusaha memangkas birokrasi keuangan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Otonomi dalam perguruan tinggi diatur dari pasal 62-65 (draf 7 Juli). Dalam pasal 64, diatur otonomi pengelolaan di bidang nonakademik salah satunya dibidang keuangan. Hal yang disorot dalam pasal ini adalah adanya otonomi dalam pencarian dana yang disinyalir merupakan upaya pemerintah untuk berlepas tangan dari bertanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal
ini diperkuat di pasal 65 yang menyatakan Penyelenggaraan otonomi
perguruan tinggi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja
oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum dan dalam pasal
yang sama pada ayat 3, PT diberi wewenang mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi. Pertanyaan besarnya ialah apa yang
menjadi parameter untuk menyeleksi PTN tersebut? Adakah rencana jangka
panjang / visi pendidikan yang dapat dijadikan acuan untuk memilih PTN
yang akan dijadikan PTN BH? Faktanya ialah pemerintahan kita tidak
mempunyai rencana jangka panjang / visi pendidikan sehingga tidak
mempunyai parameter yang jelas untuk mengangkat PTN menjadi PTN BH.
Selain
itu kewenangan membuat badan hukum dapat menyebabkan perguruan tinggi
tidak lagi fokus dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan
amanat pembukaan UUD 1945. Fokus PTN akan terpecah
dalam upaya menjalankan bisnis demi menjamin kebercukupan dana untuk
penyelenggaraan pendidikan. Jelas hal ini bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengenai tanggung jawab pemerintah. Karena itulah kami menuntut revisi
pasal 62-65 (draf 7 Juli)
Salah
satu upaya pemerintah berlepas tangan dalam pendidikan tercantum dalam
pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli) tentang pemenuhan hak mahasiswa yang
kurang
mampu secara ekonomi. Pemerintah justru memberikan pinjaman dana
pendidikan tanpa bunga. Maka, akan terdapat legitimasi untuk membuat
mahasiswa kurang mampu tidak memperoleh pendidikan secara gratis,
melainkan diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem
pinjaman seperti ini merupakan bentuk lepas tanggung jawab
negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan tinggi dan
merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh
negara seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah
gagal untuk menegakkan hak atas pendidikan warga negaranya. Fakta
menunjukkan para sarjana yang baru lulus di Amerika harus berhadapan
dengan college debt crisis dimana mereka menanggung beban pinjaman
pendidikan yang sangat besar yang hanya dapat dibayar setelah rentang
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Kredit bagi mahasiswa
seharusnya hanyalah digunakan
untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk
pembiayaan operasional pendidikan. Dengan pemaparan tersebut, kami
menolak pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli)
Begitu pun permasalahan mengenai pengalokasian dana bantuan operasional
bagi PTN dari pemerintah di pasal 89 (draf 7 Juli). Pembahasan dalam
panja masih deadlock dalam pencantuman jumlah minimal 2,5% dari
anggaran fungsi pendidikan. Jika pencantuman jumlah minimal tersebut
dihapuskan dengan dalih ketiadaan dana dari pemerintah, maka ini
membuktikan bahwa pemerintah mulai mengurangi tanggung jawabnya dalam
pendanaan PTN. Oleh karena itu kami menuntut pencantuman jumlah minimal
atas pengalokasian dana bantuan operasional bagi PTN.
Internasionalisasi
Era globalisasi ialah era yang tak terelakan, sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat akan kita hadapi. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) dan diwajibkan untuk menandatangani General Agreement of Trade and Service (GATS), Indonesia semakin membuka akses untuk berkerjasama dengan negara lain, termasuk di antaranya privatisasi sektor pendidikan.
Sebuah
perjanjian kerjasama seharusnya saling menguntungkan kedua belah pihak
yang terikat kerjasama. Harus ada kesetaraan diantara kedua belah pihak
agar terjadinya saling menguntungkan dan menghindari penguasaan
satu pihak atas pihak lainnya. Kerjasama yang hanya menguntukan salah
satu pihak dan
merugikan pihak yang lain ialah bentuk kerjasama yang harus kita
hindari, meskipun kita pihak kita yang diuntungkan.
Begitupun dengan internasionalisasi pendidikan yang pada pasal 90 (draf 7
Juli) yang menginzinkan PTA, atas persetujuan menteri, membuka
cabangnya di Indonesia. Hal yang harus dikritisi adalah, motif yang ada
dibaliknya. Jika hanya
melaksanakan kerjasama dengan pihak luar, tidak harus dengan adanya
entitas PTA yang dibangun dalam negeri. Mengingat kondisi pendidikan
dalam negeri masih jauh dari kata setara dan tanpa ada visi nasional
yang jelas, hal ini dapat mmenyebabkan pendidikan tinggi terseret
mekanisme pasar dan hanya menghasilkan ‘kuli – kuli terdidik’. Selain
itu, pembukaan PTA di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari filtrasi
ideologi tertentu. Dengan pemaparan tersebut kami menolak pasal 90 (draf
7 Juli).
Upaya
kerja sama Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam
bidang penelitian yang tercantum dalam pasal 47 dan kerja sama
internasional dalam pasal 50 juga menjadi hal yang harus
mendapat perhatian. Kerjasama yang dibangun
haruslah kerja sama yang sesuai dengan kepentingan nasional.
Lagi-lagi dalam hal ini kita berbicara tentang tidak jelasnya visi
pendidikan nasional. Oleh karena itu kami menuntut revisi pasal 47 dan
50 (draf 7 Juli) tersebut.
Kesimpulan
Semangat RUU PT ini seharusnya ialah semangat perbaikan berkelanjutan untuk membuka akses dan meningkatkan kualitas pendidikan demi Bangsa Indonesia yang lebih baik. Namun ternyata setelah dipaparkan dengan fakta fakta diatas dapat kita simpulkan bahwa semangat RUU PT ini ialah pelepasan tanggung jawab dan intervensi pemerintah terhadap pendidikan tinggi, dengan kata lain komersialisasi pendidikan tinggi. Kita harus tolak peraturan apapun yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan karena hal itu melanggar konstitusi.
Permasalahan
pendidikan tidaklah dapat kita lepaskan dari aspek supra sistem yang
mendukungnya, yaitu aspek politik dan ekonomi. Tanpa adanya visi politik
negara yang kuat dan dukungan ekonomi yang menopangnya hanya membuat
aspek pendidikan menjadi terombang-ambing terseret ke dalam perangkap
internasional dan membawa Indonesia pada posisi negara yang dikorbankan.
Jika RUU PT ini disahkan maka akan
banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Dampak tersebut ialah :
- Melambungnya biaya pendidikan tinggi yang harus ditanggung masyarakat karena otonomi yang kebablasan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah.
- Perguruan tinggi tidak hanya berfokus mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya
- Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan kuli terdidik
- Perguruan Tinggi Asing akan berdiri di Indonesia dan mengancam nilai-nilai ke-Indonesiaan
Berdasarkan Pemaparan diatas, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) menyatakan sikap:
Menolak dengan tegas pengesahaan RUU PT karena :
1. Otonomisasi keuangan memberikan peluang pada negara
untuk tidak memenuhi kewajibannya dalam pendanaan PT
2. Internasionalisasi pendidikan tanpa visi yang jelas sehingga dapat menyebabkan infiltrasi ideologis dan mengarahkan Indonesia menjadi bangsa para kuli
2. Internasionalisasi pendidikan tanpa visi yang jelas sehingga dapat menyebabkan infiltrasi ideologis dan mengarahkan Indonesia menjadi bangsa para kuli
sehingga kami memberikan tuntutan:
1. Menolak komersialisasi pendidikan yang hanya akan menyengsarakan rakyat
2. Mendesak pemerintah untuk menjamin akses pendidikan seluas luasanya bagi semua elemen masyarakat
3. Mendesak pemerintah untuk membuat visi besar pendidikan Indonesia sesuai dengan amanah konstitusi
4. Mengultimatum pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan pendidikan tinggi yang berlarutlarut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan secara berkelanjutan
2. Mendesak pemerintah untuk menjamin akses pendidikan seluas luasanya bagi semua elemen masyarakat
3. Mendesak pemerintah untuk membuat visi besar pendidikan Indonesia sesuai dengan amanah konstitusi
4. Mengultimatum pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan pendidikan tinggi yang berlarutlarut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan secara berkelanjutan
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater.
12 Juli 2012,
Presiden KM ITB 2012/2013
Anjar Dimara Sakti
Anjar Dimara Sakti