Minggu, September 29, 2013

Uang Negara di BUMN



Uang Negara di BUMN

Shalahuddin Haikal*)



Tulisan Prof Hikmahanto Juwana (Kompas 7 Juni 2013) memperkuat argumen para pemohon dalam judicial reviu UU Dikti, sebagaimana beliau nyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa begitu dilakukan pemisahan kekayaan negara, maka bukan lagi masuk ke ranah keuangan negara merupakan bukti bahwa PTN-BH merupakan bentuk privatisasi perguruan tinggi negeri.


Privatisasi dalam arti sempit adalah menjual kepemilikan saham-saham perusahaan yang dimiliki negara kepada pihak lain. Dalam arti luas, privatisasi adalah menyerahkan bidang tugas negara kepada pihak lain dan/atau mendirikan perikatan privat termasuk badan usaha milik negara seperti perubahan BULOG menjadi Perum Bulog, pendirian Perum Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Privatisasi dalam arti sempit dipelopori oleh pemerintah Partai Konservatif semasa Margareth Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris dengan menjual British Gas, British Airways, British Waters, taat melaksanakan  the Washington Consensus (Williamson: 2004). Pemerintah RI mulai melaksanakan privatisasi dalam arti sempit mulai tahun 1995 diawali dengan divestasi atas saham-saham negara di Indosat, diikuti oleh Telkom dan seterusnya. Sedangkan privatisasi dalam arti luas mulai dilaksanakan sejak ditekennya Letter of Intent dengan IMF pada tahun 1997.

Dari definisi inilah, maka BUMN maupun BHMN yang didirikan pemerintah, tidak lebih dan tidak bukan dari perikatan perdata yang tidak kebal dari hukum kepailitan. Sebagai sebuah badan hukum, begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan negara atau imunitas publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan peraturan internal badan hukum itu sendiri, yakni Anggaran Dasar Perusahaan. 

Fallacy of Composition?
Sebagai tuntutan akuntabilitas, seperti halnya perseorangan atau lembaga privat membukukan hartanya, maka wajib pula hukumnya bagi negara untuk mencatat kepemilikannya pada perikatan privat sebagai investasi dan / atau penyertaan negara, sebagaimana halnya perikatan privat mencatat setoran modal baik dalam bentuk tunai ataupun inbreng dari para pemegang sahamnya.

Keuangan Negara sebagaimana didefinisikan pada angka (1) Pasal 1 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.  Sedangkan per se angka (1) Pasal 1 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”, maka pada saat negara menjual kepemilikan saham-saham pada BUMN, negara mencatat sebagai pendapatan privatisasi sekaligus mencatat penurunan kepemilikan. Pada saat negara sebagai RUPS ataupun sebagai pemegang saham BUMN memutuskan pembagian dividen, maka akan dicatat sebagai dividen pada kelompok Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN. Demikian pula pada saat negara mendirikan BUMN baru atau melakukan Penyertaan Modal Pemerintah, negara akan mencatat sebagai investasi sekaligus mencatat kenaikan kepemilikan saham pada BUMN. Dengan demikian investasi negara berupa kepemilikan atas aset yang dipisahkan adalah obyek UU Keuangan Negara, sedangkan bagaimana mencatat, membukukan, mengelola dan mempertanggungjawabkannya diatur dengan UU Perbendaharaan Negara. Oleh sebab itu pula-lah, mengikuti langkah privatisasi a la Thatcher yang selalu menyisakan 1 lembar golden share, maka dalam setiap privatisasi BUMN, secara simultan diterbitkan 1 lembar saham Dwi Warna, yang sesungguhnya merupakan Golden Share karena memiliki hak veto atas keputusan RUPS.

Tidak Kebal Tuntutan Pailit
Perseroan, termasuk BUMN tentunya, sebagai subyek hukum privat otonom bertindak atas namanya dan untuk kepentingannya sendiri mengadakan aneka ragam hubungan hukum mengenai harta kekayaan (vermongensrechtelijke rechstbetrekkingen) dalam upaya melaksanakan maksud dan tujuan pendiriannya (Tumbuan: 2004). Salah satu konsekuensinya adalah tindakan hukum Perseroan Terbatas tidak kebal dari pernyataan pailit oleh kreditornya. Jika permohonan pailit disetujui oleh Pengadilan, maka seketika kewenangan pengurusan dan pemberesan atas seluruh kekayaan Perseroan yang tercakup dalam harta pailit beralih kepada kurator. Sangat berbeda dengan saat suatu BUMN hendak menambah modal atau negara hendak menjual kepemilikan di suatu BUMN diputuskan melalui suatu Peraturan Pemerintah.

Kecuali karena sengaja tidak memenuhi suatu kontrak perjanjian sebagai strategic default, kondisi pailit berupa technical default dan debt servicing default dapat diduga jauh sebelumnya dengan berbagai piranti analisa keuangan. Tidak terpenuhinya debt covenant misalnya karena rasio utang terhadap ekuitas membengkak, mau tidak mau pemegang saham, termasuk negara, melalui RUPS untuk BUMN Tbk akan memutuskan tambahan setoran modal baik melalui mekanisme rights offering, sedangkan untuk BUMN non-Tbk, Menteri Keuangan akan memutuskan tambahan setoran modal melalui mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah. Dilaksanakannya rights offering maupun Penyertaan Modal Pemerintah, sumber dananya dari APBN. Hubungan berkesinambungan terus menerus BUMN/BHMN dengan APBN melalui Bendahara Negara (baca: Menteri Keuangan) yakni hubungan pemilik perusahaan dengan perusahaan semacam inilah yang kemudian memasukan BUMN dalam domain keuangan negara.

Tipikor BUMN: Kelalaian Ringan hingga Criminal Intent
Sebagaimana halnya Perseroan Terbatas milik swasta, jika suatu BUMN mengalami kerugian, tentu saja pemegang sahamnya tidak puas, maka kuasa pemegang saham negara pada BUMN tersebut akan meminta dilaksanakan RUPS untuk melakukan pergantian direksi dan / atau dewan komisaris. Jika mens rea tipikor BUMN sekedar kelalaian ringan (simple neglicent), diselesaikan secara administratif dan perdata. Sebaliknya, jika kerugian BUMN tersebut karena intentional cruel atau criminal intent, maka penyelesaiannya wajib dilakukan secara pidana. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 155 UU Perseroan Terbatas: Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Pidana. Pembuktian mens rea pada kasus-kasus korupsi di BUMN dikaitkan pelaksanaan duty of care direksi dan komisaris BUMN, yakni Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dengan iktikad baik dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, sedangkan setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dilaksanakan atau tidaknya tupoksi oleh Direksi dan Komisaris, dengan mudah dapat diruntun dari risalah rapat, daftar hadir rapat, dissenting statement, dokumen surat-menyurat sekaligus merupakan tolok ukur dilaksanakan atau tidaknya duty of care dan dipenuhi atau tidaknya business judgment rules.

Kerugian pada BUMN yang disebabkan actus reus pengurusnya dan terpenuhi kriteria mens rea, merugikan keuangan negara, sebab negara terpaksa kehilangan kesempatan mendapat dividend yang merupakan komponen penyusun Pendapatan Negara Bukan Pajak atau bahkan juga negara sebagai pemegang saham, terpaksa harus melakukan setoran tambahan modal untuk menutup kerugian. Perlu diketahui bahwa rerata kontribusi dividen BUMN dalam PNBP rata-rata pada kisaran 10% dan terhadap total penerimaan negara adalah 2,47%. Sedangkan kontribusi Pendapatan Pajak dari BUMN pada APBN berkisar pada angka 10%. Itulah sebabnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi jika merugikan keuangan negara (aspek kepemilikan) dan / atau perekonomian negara (aspek kontribusi APBN).

Diskursus tentang domain keuangan negara, ternyata berlanjut ke ranah constitutional law, tidak banyak diketahui khalayak, ternyata hurup (g) dan hurup (i) Pasal 2 pada UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sedang dimohonkan review Mahkamah Konstitusi. Pihak yang memohonkan juga mengajukan constitutional review atas UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya ayat-ayat dan pasal-pasal yang mengandung kata-kata BUMN/BHMN. Rupanya ketakutan atas term “keuangan negara” pada UU Tipikor-lah yang memotivasi para pemohon mengajukan constitutional review. Saya menduga, langkah berikut dari pemohon adalah memohonkan constitutional review atas UU Tipikor.




*) Pendidik.