Sabtu, Januari 04, 2020

Pemodal Reksadana: Korban Yang Dikorbankan


Pemodal Reksadana: Korban Yang Dikorbankan

oleh: Shalahuddin Haikal*)


Dahulu pada masa kepemimpinan Arthur Levitt Jr. salah satu ketua SEC terlama dan melintasi dua masa kepresidenan Bill Clinton dan George W. Bush, website SEC memiliki banner yang selalu berjalan.....we are the investor’s advocate. Para pemodal kecil yang berinvestasi pada  saham, obligasi atau reksadana bertemu dengan penerbitnya di pasar modal.  karena mereka ini kecil-kecil dan berjumlah banyak, tentu saja daya tawar dengan emiten maupun manajer investasi  lemah...hal ini yang menjadi dasar mengapa sampai diperlukannya UU Pasar Modal, yaitu untuk melindungi pemodal dari penipuan, fraud dan investasi bodong. UU yang membentuk SEC sendiri lahir belakangan, karena pasal-pasal pada UUPM memerlukan pihak yang menegakkan dilaksanakannya UUPM. Pengawas pasar modal yang independen diperlukan untuk melaksanakan amanat pasar modal tersebut. Independen tidak dapat dipersamakan dengan netral.  Standing independen bagi pengawas pasar modal bukan netralitas, tetapi keberpihakannya kepada pemodal kecil-kecil dan minoritas.


Bagaimana di Indonesia? Sudah empat pekan lebih media massa membombardir pembacanya dengan berita disuspensinya perdagangan reksadana Minna Padi, Narada dan Pratama serta MNC disusul dengan likuidasi beberapa reksadana KIK. Siapa yang secara ekonomi menderita kerugian dan boleh disebut sebagai korban?  Pastilah para pemodal yang membeli dan memiliki reksadana-reksadana tersebut sampai dengan tanggal dilikuidasi. Bagaimana dengan Kontrak Pengelolaan Dana (non-KIK), hanya OJK sajalah yang tahu!


Jika pembaca tinggal di kompleks perumahan (a la cluster) yang pakai portal sehingga tidak sembarang orang bisa bebas keluar masuk dan rajin bayar iuran keamanan, tapi rumahnya tetap kemalingan, siapa yang pertama kali patut dimintai pertanggungjawaban oleh pembaca? Tentu saja para penjaga keamanan kompleks dan penjaga pintu gerbang yang memang dibayar untuk menjaga keamanan kompleks dan memberikan ijin keluar masuk kompleks. Analogi sederhana tersebut berlaku di pasar modal.  Di pasar modal, dikenal dan kemudian dibedakan istilah pendaftaran (registering) dan perijinan (licensing). Tidak sembarang orang dapat melakukan kegiatan di pasar modal, ada banyak aturan yang harus dipenuhi, mulai dari ijin perorangan, ijin usaha, permodalan, kepengurusan, kepatuhan pada peraturan dan pedoman sampai dengan pemeriksaan (audit) dan berakhir dengan pembatalan pendaftaran hingga pembatalan ijin. 



Reksadana yang merupakan kontrak investasi kolektif dan kemudian didefinisikan sebagai kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. 

Kustodian adalah bank tempat dana dan efek-efek disimpan. Mengapa dana dan efek musti disimpan oleh Bank Kustodian? Mahasiswa saya dapat menjawab dengan cepat  “untuk menjauhkan dari risiko diikutsertakan dalam proses kepailitan dan likuidasi pengelolanya”. Seperti saya misalnya punya angkot, saya bebas mengganti supir, jika terbukti ugal-ugalan dan membahayakan penumpang. Inilah kontrak, namanya saja kontrak, tentu saja dapat dipindahtangankan, reksadana adalah KIK yang cuma wadah investasi yang dapat dititipkelolakan kepada Manajer Investasi lain. 



POJK No 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif

Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Reksa Dana sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajibannya, Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tersebut wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya masing-masing. Verbatim pasal 2 POJK ini, tidak memerlukan tafsir yang sulit-sulit, pasal tersebut dapat diartikan as it is. Berapa kerugian yang membebani pemodal reksadana (pemegang unit penyertaan reksadana-reksadana yang dilikudasi? Sejumlah itulah yang harus dipertanggungjawabkan oleh Manajer Investasi/Bank Kustodian. Siapa yang dapat meminta / menuntut pertanggungjawaban kepada Manajer Investasi? Tentu saja pihak yang memberikan ijin usaha Manajer Investasi, pihak yang memberikan ijin perorangan Wakil Manajer Invetasi, pihak yang memberikan pernyataan efektif atas penerbitan suatu reksadana oleh Manajer Investasi. Siapakah ini pihak yang memberikan berbagai ijin tersebut? OJK, jawabnya ! 


Bukan pembenar dan bukan pula apologia, dengan profil IHSG sejak 1 Januari 2019 sampai dengan 17 Desember 2019 yang ajrut-ajrutan seperti arung jeram, segala jenis pelampauan alokasi portfolio, ketidakpatuhan (antara lain janji fixed return), perilaku semberono pastilah akan terjadi, sehingga seharusnya ditahun roller coaster semacam tahun ini, sudah seharusnyalah

 


OJK, Bursa, KSEI, KPEI mutlak mengawasi dengan lebih teliti semua pihak yang harus diawasi, kalau perlu dengan menambahkan kaca pembesar (loupe) dan lampu sorot (spot light). 

Penyebab disuspensi dan kemudian dilanjut dengan likudiasi perlu dibedakan atas faktor di luar kendali (uncontrollable) dan faktor-faktor dalam kendali (controlable) Manajer Investasi. Faktor di luar kendali misalnya NAB yang kurang dari batas minimum sebesar Rp 10 miliar. Faktor dalam kendali sebagian besarnya adalah persoalan compliance (kepatuhan pada aturan OJK), misalnya:  (i) kepemilikan portofolio yang porsinya lebih dari 10% dari NAB untuk reksa dana konvensional, dan lebih dari 20% untuk reksa dana syariah; (ii) pelanggaran efek terafiliasi berporsi lebih dari 20% NAB pada beberapa reksa dana yang dikelola perseroan; (iii) penempatan investasi pada efek utang yang sudah gagal bayar (default); (iv) terlibat transaksi margin (dana kelolaan punya utang).


Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana atau dana kelolaan yang kurang dari batas minimum (sebesar Rp 10 miliar) selama 3 bulan berturut-turut tidak dapat dijadikan dalil bagi OJK untuk membubarkan dan melikuidasi reksadana. Dihitung sejak awal tahun sampai dengan pertengahan Mei, IHSG sudah anjlog 10,89%, dihitung dari awal tahun sampai dengan 28 Nopember 2019, IHSG sudah melorot 8,94%. Jika reksadana terbit di pertengahan Februari 2019, dan setelah itu pasar menjadi sangat volatile, musykil untuk kembali ke posisi NAV semula. Pemodal juga takut membeli reksadana saham, pada saat pasarnya sangat volatile.  [sekedar tips sederhana bagi pemodal: jangan beli reksadana yang diterbitkan oleh MI saat indeks acuan sedang tinggi-tingginya atau dipersepsikan sangat tinggi dibanding valuasi sebenarnya sedangkan bagi manajer investasi: terbitkan reksadana hanya pada saat ada persepsi bahwa indeks acuan sudah mencapai dasar sumur] POJK tersebut diatas tidak membedakan antara pelampauan, keterlanjuran, pelanggaran batas minimum, pelanggaran batas maksimum, disini diperlukan diskresi (ex post) dan kebijakan dalam rule making rules (ex ante). Peraturan tinggal peraturan, tinggal bagaimana pihak yang berkewajiban menegakkan peraturan. Di sektor perbankan, dikenal istilah pelampauan (melampaui bukan karena unsur kesengajaan), misalnya untuk Net Open Position. Istilah ini tidak dikenal dalam kasus likuidasi reksadana. Karena dalam satu atap gedung yang namanya OJK, mengapa PT (Persero) Jiwasraya dan AJBB Bumiputera yang RBC-nya jauh dibawah ketentuan minimal masih diberikan ijin menjual produk-produk? Ijinkan saya mengutip rekomendasi IMF sebagai berikut: On supervision...the main remaining challenges to effective supervision stem....and OJK’s capacity to supervise them, silos in OJK’s internal structure, and an insufficiently intrusive supervisory approach across sectors (IMF Country Report No. 17/152, June 2017). Kembali ke analogi komplek cluster perumahan, kondisi pengawasan pasar modal Indonesia adalah gabungan antara portal (pintu gerbang) yang sudah karatan dan lapuk dengan para penjaga keamanan yang malas patroli, apalagi sedang musim hujan, lebih asyik ngopi di pos keamanan sambil main ceki. 


Siapa yang memberikan janji fixed return? sudah pasti pihak Manajer Investasi! Apapun alasannya menjanjikan fixed return adalah salah. Sangat boleh jadi ini disebabkan karena dua hal sekaligus: (1) masih dipraktekannya remeiser. Siapa ini remeiser? Seorang remisier (juga dikenal sebagai Representative Dealer's Representative) adalah agen dari perusahaan pengelola dana, pialang saham dan menerima komisi untuk setiap transaksi yang ditangani (dibandingkan dengan yang merupakan karyawan langsung dari perusahaan pialang saham dan yang struktur remunasinya didasarkan pada dengan gaji tetap bulanan). (2) longgarnya perijinan Wakil Agen Penjual Reksadana (WAPERD), sehingga mereka yang memiliki WAPERD ini cuma tahu do’s (menjual sebanyak-banyaknya) dan tidak tahu dont’s (apa saja yang tidak boleh dilakukan). Apapun alasannya, Manajer Investasi tetap bersalah karena dianggap tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem pengendalian yang memadai. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang bertanggungjawab memastikan dimilikinya sistem pengawasan dan sistem pengendalian yang memadai? Sayang sekali, lagi-lagi jawabannya adalah OJK.



Selanjutnya bagaimana?

Karena sudah jelas yang bersalah, semberono, tidak patuh adalah manajer investasi selaku pengelola portofolio investasi, tapi kemudian yang absurd dalam kasus-kasus ini adalah OJK tidak bersegera mencabut ijin usaha Manajer Investasi, tetapi justru mengenakan dan membebankan sanksi kepada reksadana-reksadana dengan melikuidasinya. Likudiasi reksadana adalah hukuman kepada pemodal (pemegang UP) karena kemudian dalam tempo 60 hari sejak dinyatakan dilikuidasi, akan dilakukan obral dan fire sale atas portofolio reksadana-reksadana tersebut. Yang wajib dan mutlak mendapat sanksi dan hukuman yang para pihak yang menjanjikan fixed return dan mengelola portofolio secara semberono. Pemodal yang sudah dirugikan karena kena tipu fixed return, dana kelolaannya dikelola Manajer Investasi dengan semberono dan tidak sesuai amanat, bukannya diberikan assylum dan perlindungan tapi malah kena hukuman dalam bentuk suspensi dan likuidasi. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula! 


OJK mungkin lupa atau lamur dalam membaca peraturan yang dibuatnya sendiri bahwa reksa dana Kontrak Investasi Kolektif adalah wadah yang dapat dipindahtangankan baik pengelolaannya (Manajer Investasi) maupun penyimpanan dan pengadministrasiannya (Bank Kustodian). 


Bagaimana pula dengan amanat Pasal 2 POJK No 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang menyatakan bahwa dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajibannya, Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tersebut wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya masing-masing?


Jika laporan keuangan yang sudah diaudit, diuji, diasssure oleh profesi Akuntan Publik saja, bahkan laporan keuangannya sudah disahkan dan mendapat persetujuan dari RUPS, bahkan ada yang sudah membagi dividen, bisa diralat dalam bentuk restatement laporan keuangan, mengapa OJK musti malu meralat keputusannya atas sanksi likuidasi reksadana? 

Melikuidasi beberapa reksadana tersebut, tanpa melaksanakan Pasal 2 POJK No 23/POJK.04/2016 sama saja mengorbankan korban (yaitu para pemodal reksadana). Alhasil nampak sekali, keberpihakan OJK adalah pada Manajer Investasi bukan pada pemodal yang seharusnya dilindungi.



Jika tahun 2020 ini misalnya diproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh 8% sekalipun misalnya, saya menduga para investor ritel yang secara tradisional berinvestasi di reksadana akan hilang kepercayaan pada mekanisme Kontrak Investasi Kolektif.  Para pemodal / pemilik Unit Penyertaan reksadana yang telah hilang rasa kepercayaannya akan mulai me-redeem Unit Penyertaannya, dan selanjutnya bursa saham akan kehilangan captive investornya: reksadana!

Salam








*) alumnus FRG-EUR,  educator member ACFE.