Selasa, Desember 02, 2008


Abstract

Investment has divestment as its antonym. Investor is a shareholder which frequent trades his share to get return from price discrepancy. Their opportunistic behaviour causes their turn over in Shareholder Registration List and become anonymous. As a result, corporation which will conduct Extraordinary General Shareholder Meeting to get shareholder resolution prior conflict of interest and material transaction meets a huge difficulty. The condition worse since it is about right to attend meeting and give votes. Voting rights is right, no obligation to exercise their rights.

The rationale for regulating the capital raising process designed to promote investor confidence in the securities markets by ensuring that appropriate levels of protection are in place and, thereby, to ensure the effectiveness and efficiency of the market-place.

In other side, rules on Independent Commissioners is Jakarta Stock Exchange (now: Indonesia Stock Exchange) rule, up to date Bapepam cannot (therefore do not have) any rules which requires listed company to have independent commissioners in Dewan Komisaris as a corporate organ.

Since company law, recognize shareholder terms only. Therefore, have deficiencies to protect independent (public or free float) shareholder in corporate governance. Nomination mechanisms as part of EGM agenda proposal requires minimum 10% share ownerships.

This paper aimed to resolve it without infringe company law.


Key Words: securities law; independent shareholders, extraordinary general shareholder meeting; independent commissioners.



Keterwakilan Free Float Shareholder
Pada
Organ RUPS & Dewan Komisaris
Perusahaan Publik

Oleh: Shalahuddin Haikal*

Independent adalah kata sifat yang pada Miriam Webster Collegiate Dictionary maupun Thesaurus diartikan sebagai self-governing, self-determining, sovereign. Bagi perusahaan publik, transaksi material yang berbenturan kepentingan memerlukan persetujuan pemegang saham independen cukup merepotkan. Sebaliknya mekanisme nominasi dan pemilihan serta sistem pelaporan Komisaris Independen telah menihilkan makna independen.

Polemik Adolph A Berle (44 Harvard Law Review 1049, Corporate Powers as Powers in Trust: 1931) dengan E. Merrick Dodd (45 Harvard Law Review 1145, For Whom are Corporate Manager Trustees: 1932) mengerucut pada kesimpulan yakni bahwa sejak terdapat pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, terjadi shareholders appropriation yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Sejak suatu badan usaha diputuskan berbentuk Perseroan Terbatas, terjadilah pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, seketika terjadi pulalah agent principal problem. Manajemen adalah agent sedangkan pemegang saham adalah principal. Sebagai principal, pemegang saham adalah residual claimant, hanya bisa menikmati rendemen hasil usaha berupa laba bersih setelah pajak. Pemegang saham tidak memiliki kendali atas kegiatan operasional sehari-hari. Berbagai bentuk shareholders appropriation dengan mudah dilakukan oleh manajemen perusahaan mulai dari inefisiensi biaya, kebijakan piutang dagang yang lenient, ketidakhati-hatian dalam memilih sumber pembiayaan hingga yang paling ekstrim adalah korupsi (James Gobert and Maurice Punch: 2003). Tidaklah salah jika Ambrose Bierce (Devil’s Dictionary: 1911) menyimpulkan bahwa A corporation is an ingenious device for obtaining individual profit without individual responsibility.

Di pasar modal Indonesia, terjadi dua jenis shareholders appropriation, yakni generic shareholders appropriation seperti yang terjadi pada BUMN baik BUMN-non Tbk maupun BUMN-Tbk. Generic shareholder appropriation sebagai akibat dari agent principal problem hanya terjadi di BUMN. Pada perusahaan-perusahaan bukan BUMN, pemegang saham pengendali dapat memilih manajemen perusahaan yang tidak memiliki perbedaan kepentingan, sehingga kepentingan manajemen tidak berbeda dengan kepentingan pemegang saham. Pada BUMN, manajemen dan komisaris adalah pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham. Sudah pasti terdapat perbedaan kepentingan. Kepentingan manajemen dan komisaris adalah kepentingan jangka pendek selama masa kepengurusan dan pengawasan sedangkan kepentingan Negara sebagai pemegang saham adalah kepentingan jangka panjang BUMN sebagai pengkontribusi sisi penerimaan pada APBN. Mekanisme pengurangan generic shareholder appropriation dilakukan dengan mendudukan Dewan Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas kepengurusan perusahaan oleh manajemen. Pasal 1 UU No 40 Tahun 2007 mendefinisikan Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Dalam kenyataannya Dewan Komisaris BUMN sebagai pihak yang mendapat amanat RUPS untuk mengawasi jalannya pengelolaan BUMN telah bersekutu dengan Direksi[1].

Shareholders appropriation pada perusahaan terbuka bukan BUMN, yang merupakan akibat dari kecilnya prosentase free float shares[2], (berpotensi) menimbulkan free float (independent[3]) shareholders appropriation yang dilakukan secara bersama-sama oleh manajemen perusahaan dan controlling shareholders. Kecilnya free float shareholders merupakan akibat kecilnya porsi saham yang dijual pada saat initial public offering telah menyebabkan tidak terdapat public company dalam makna yang sesungguhnya di Indonesia[4]. Free float (independent) shareholders appropriation muncul dalam bentuk perilaku perusahaan dan tiga organ perusahaan (RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris) yang menafikan dan tidak mengindahkan kepentingan free float shareholders atau pemegang saham independen.

Free float shareholders appropriation dapat dikurangi dengan mendudukkan wakil free float shareholders dalam organ pengawasan pengelolaan perusahaan sebagai Komisaris Independen. Diawali dengan terbitnya Surat Edaran Bapepam No. SE-03/PM/2000 dan diikuti BEJ dengan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang mewajibkan emiten dan perusahaan publik memiliki Komisaris Independen.

Anggaran Dasar Perseroan harus memuat dan tidak boleh berlawanan dengan pokok-pokok pengaturan perusahaan pada corporate law (dalam arti Undang Undang Perseroan Terbatas) yang merupakan sumber corporate governance memberikan perlindungan penuh kepada pemegang saham Perseroan. Persoalannya adalah Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak membedakan pemegang saham menjadi pemegang saham pengendali dengan pemegang saham publik atau free float shareholders. Hal ini merupakan defisiensi Undang-Undang Perseroan Terbatas yang kemudian dilengkapi dengan Undang-Undang Pasar Modal.

Dalam tataran Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengatur hak dan kewajiban pemegang saham tidak mengenal terminologi investor. Bagi perseroan maupun controlling shareholders, terminologi investor yang berangkat dari kata investasi berarti pihak yang melakukan investasi. Investasi memiliki antonim divestasi. Perseroan dan ketiga organ Perseroan menilai investor sebagai pihak pemilik dana yang memiliki sifat opportunistik. Kalkulasi pertimbangan investasi dan divestasi merupakan kalkulasi rasional untung rugi. Membeli saham perseroan saat harga saham undervalued dan segera menjual saat overvalued. Dikenal juga istilah cut loss, yang berarti menjual seluruh kepemilikan saat investasi dinilai tidak lagi menguntungkan. Keputusan investasi/divestasi merupakan fungsi dari valuasi perusahaan dan valuasi saham. Sedangkan valuasi terjadi karena datangnya informasi baru mengenai perusahaan. Oleh karenanya free float (independent) shareholders appropriation lazim mengambil bentuk pengurangan hak untuk memperoleh informasi. Karena tujuan pengaturan dan pengawasan pasar modal adalah agar tercapai pasar yang teratur, wajar dan efisien dan memberikan perlindungan kepada pemodal (Niamh Moloney: 2002), maka Undang-Undang Pasar Modal di manapun di dunia selalu mendefinisikan informasi dan fakta material sebagai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Karenanya pula, full disclosures merupakan doktrin utama pengatuan dan pengawasan pasar modal. Defisiensi corporate law dalam hal hak informasi investor, telah melahirkan istilah perusahaan publik dan Pasal 24 pada UU No 40 Tahun 2007. Setiap perseroan terbatas yang memenuhi kriteria perusahaan publik harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk di dalamnya menyesuaikan Anggaran Dasar perseroan.

Paper ini akan mengkompilasi peranan free float (independend) shareholders pada transaksi berbenturan kepentingan melalui mekanisme RUPSLB dan darinya diharapkan pemahaman peneliti yang hendak melakukan penelitian mengenai tata kelola perusahaan; agent-principal problem di perusahaan publik untuk tidak buru-buru mengambil kesimpulan sebelum memahami mekanisme pengambilan keputusan pada RUPSLB. Sebaliknya juga tidak perlu buru-buru mengambil kesimpulan bahwa keberadaan komisaris dan direktur independen merupakan jaminan terdapatnya tata kelola perusahaan yang baik.

Transaksi Material dan Berbenturan Kepentingan
Suatu kemajuan yang sangat besar karena pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengggantikan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas secara eksplisit telah disebutkan keberadaan Komisaris Independen. Pasal 120 UU No. 40 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Anggaran Dasar dapat mengatur adanya 1 orang atau lebih Komisaris Independen yang diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota komisaris lainnya. Di lain pihak, pada khazanah peraturan Bapepam-LK tidak terdapat keharusan atau pewajiban dimilikinya Komisaris Independen[5]. Sebaliknya Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa[6], mewajibkan perusahaan tercatat untuk memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya berjumlah 30% dari jumlah seluruh anggota Komisaris.

Pembedaan antara independen (free float) shareholders dengan controlling shareholder lahir karena keterbatasan corporate law yang tidak dapat mengakomodasi kepentingan seluruh pemegang saham dalam organ RUPS. Terdapat ketentuan yang mengatur kepemilikan saham minimum yang harus dimiliki oleh satu pihak pemegang saham untuk dapat mengusulkan agenda RUPS. Pada UU Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007, kepemilikan minimum untuk dapat mengusulkan RUPS dan agendanya adalah 10%. Bukan hanya itu saja, agenda harus ditetapkan pada H-7 dari tanggal RUPS.
Gambar 1




Keterbatasan UUPT akan dan telah mengakibatkan banyak terjadi independent shareholder appropriation pada perusahaan publik. Karena keterbatasan ini, maka regulasi pasar modal diperlukan untuk melindungi pemodal yang kepemilikannya kurang dari kepemilikan minimum sebagaimana yang dinyatakan dalam Corporate Law dan Anggaran Dasar Perusahaan.

Untuk melindungi pemodal dalam kategori independen, Bapepam telah menerbitkan Peraturan No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Terhadap transaksi yang berbenturan kepentingan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan pemegang saham independen.

Jika suatu Transaksi dimana seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama atau Pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau pemegang saham utama mempunyai benturan Kepentingan, maka Transaksi dimaksud terlebih dahulu harus disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini. ……..(Peraturan Bapepam No. IX. E. 1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dan draft perubahan Peraturan Bapepam No. IX. E. 1)



Tidak cukup dengan Peraturan No. IX. E. 1, tanpa harus mengintervensi UUPT, Bapepam juga telah menerbitkan Peraturan No. IX. J. 1 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik:

a. pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan;

b. korum untuk RUPS yang akan memutuskan hal-hal yang mempunyai benturan kepentingan harus memenuhi persyaratan bahwa RUPS tersebut dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan keputusan diambil berdasarkan suara setuju dari pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen;

Kuorum RUPS untuk menyetujui transaksi benturan kepentingan bukan dihitung dari kehadiran pemegang saham secara keseluruhan tetapi dihitung dari kehadiran pemegang saham independen. Turnover investor (free float shareholders) menjadikan pelaksanaan RUPSLB transaksi berbenturan kepentingan bukan hal yang mudah dilakukan. Pada saat dibuatnya, peraturan ini telah mengasumsikan kesulitan ini. Jika tidak mencapai kourum maka harus diulang pada RUPS ke dua dan RUPS ke tiga. Jika tetap gagal mencapai kuorum, RUPS baru bisa diadakan lagi pada RUPS ke tiga yang baru boleh dilaksanakan 12 bulan yang akan datang sejak RUPS ke dua. Berikut adalah verbatim Peraturan Bapepam No. IX. E. 1 Tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dan draft perubahan Peraturan Bapepam No. IX. E. 1:

Suatu Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan dapat dilakukan jika telah memperoleh persetujuan para Pemegang Saham Independen dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen dan Transaksi dimaksud disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen.

Dalam hal korum rapat tidak terpenuhi, maka rapat kedua dapat mengambil keputusan dengan syarat dihadiri oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh per seratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen dan Transaksi dimaksud disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen yang hadir. Dalam hal korum untuk rapat kedua juga belum terpenuhi, rapat ketiga dapat mengambil keputusan setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

Jika RUPS pertama dan kedua tidak memenuhi kuorom, maka RUPS ketiga hanya dapat dilaksanakan kembali jika telah mendapat persetujuan dari Bapepam dengan ketentuan perhitungan kuorum dilakukan seperti pada verbatim di atas.

RUPSLB atas transaksi berbenturan kepentingan hanya absah bila memenuhi kuorum pemegang saham independen dan disetujui pemegang saham independen. Sebaliknya jika RUPSLB ketiga, memenuhi kuorum tetapi tidak menyetujui, maka transaksi baru dapat dilaksanakan jika dilakukan RUPSLB dengan ketentuan hitung kuorum yang sama yang baru dapat dilaksanakan paling cepat 12 bulan sejak tanggal penolakan.

Pemenuhan kuorom RUPS berbasis pemegang saham independen merupakan hal sulit dipenuhi. Terdapat 3 (tiga) sebab:

Pertama, anonimitas free float shareholders, karena memiliki turn over keluar dan masuk dalam Daftar Pemegang Saham;

Kedua, tidak semua pemegang saham mendaftarkan namanya dalam Daftar Pemegang Saham. Dari sisi investor, peranan Bank Kustodian dan Perusahaan Efek menjadi mengemuka dan sangat krusial karena kedua institusi inilah yang tahu pasti kepemilikan saham oleh investor yang menjadi kliennya. Oleh karenanya pada Peraturan Bapepam IX. J. 1 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan, kedua institusi ini wajib melaporkan kepemilikan saham investor atas suatu perseroan yang hendak melaksanakan RUPS kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (PT Kustodian Sentral Efek Indonesia) selambat-lambatnya 1 hari kerja sebelum panggilan RUPS;

Ketiga, right exercise and obligation fulfilment problem argument. Jika suatu pihak memiliki hak, maka pemilik hak memiliki kemerdekaan untuk menggunakan haknya atau tidak menggunakan haknya. Pelaksanaan hak suatu pihak menjadi kewajiban pemenuhan pihak lawan (counterparty). Jika pemegang saham tidak menggunakan haknya maka perseroan tidak memiliki kewajiban untuk pemenuhannya. Karena sifat-sifatnya saham harus diterbitkan atas nama. Karena saham yang dikeluarkan perseroan adalah saham atas nama, maka hak dan pelaksanaan hak melekat pada nama pemilik saham. Pelaksanaan hak oleh pemilik hak dan pemenuhan hak oleh pihak counterparty merupakan aktifitas reciprocal. Artinya pihak yang berkewajiban memenuhi pelaksanaan hak tidak akan dapat melaksanakan kewajiban tersebut jika pemilik hak tidak menggunakan haknya. Adalah hak free float shareholders untuk hadir atau tidak hadir pada RUPSLB transaksi berbenturan kepentingan. Sampai disini disimpulkan bahwa seringkali pelaksanaan transaksi berbenturan kepentingan pada perusahaan publik disandera oleh preferensi free float shareholders untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya untuk hadir pada RUPSLB.

Keterwakilan Free Float Shareholder Pada Pengawasan Perusahaan.
Seperti telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, untuk mengurangi agen-principal problem, mekanisme pengawasan diterapkan oleh Dewan Komisaris sebagai organ perseroan. Untuk generic shareholders appropriation diatasi dengan pengawasan oleh Dewan Komisaris. Pada perusahaan publik, komposisi Dewan Komisaris selain merupakan perwakilan controlling shareholders juga harus mewakili kepentingan free float shareholders dalam bentuk keberadaan Komisaris Independen. Ternyata mekanisme seleksi dan nominasi pada tatakelola perusahaan telah memandulkan makna independen? Dalam setiap Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa pemegang saham boleh mengajukan usul baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama jika memenuhi minimum kumulative prosentase kepemilikan saham. Usulan ini sudah harus diterima selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum tanggal Panggilan RUPS. Kedua hal ini merupakan kendala terwakilinya kepentingan independent shareholders dalam nominasi dan pemilihan Komisaris Independen. Anggaran Dasar Perseroan telah “memasung” kemungkinan terpilihnya Komisaris Independen secara spontan pada RUPSLB. Dipasungnya spontanitas independent shareholders dalam proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen pada RUPSLB telah mengakibatkan proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen dikuasai sepenuhnya oleh controlling shareholders. Itulah sebabnya Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik tidak membedakan Komisaris dengan Komisaris Independen apalagi mengatur atau mewajibkan keberadaan komisaris independen.

Sejak tahun 2001 pada organ Dewan Komisaris terdapat perangkat baru yakni Komisaris Independen. Siapa yang mengusulkan, memilih dan mengangkat Komisaris Independen? Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 tentang tatacara pemilihan Komisaris Independen telah mengakibatkan Komisaris non independen ber-mimikri menjadi Komisaris Independen. Singkat kata, atas nama kepraktisan dan asal memenuhi ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, Komisaris Independen dipilih bukan oleh pemegang saham independen tetapi oleh pemegang saham pengendali. Hanya saja calon komisaris independen harus memenuhi kriteria independensi.

Kriteria independen diambil dari Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit, yang baru terbit pada tahun 2004 yakni antara lain: (a) berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik (b) tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik (c) tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, Komisaris, Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik dan (d) tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.


Hambatan Pelaksanaan Ke-independen-an Komisaris Independen.
Ironinya butir 2. c. Peraturan No. IX. I. 5, Komite Audit yang diketuai oleh Komisaris Independen justru bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Dengan begitu, aparatus independen yang diharapkan mewakili kepentingan independent shareholders merupakan direct reports (baca: bawahan!) Dewan Komisaris yang mewakili kepentingan controlling shareholders. Karena pasti berdasarkan kriteria yang berasal dari Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, sedikitnya 70% anggota Dewan Komisaris mewakili controlling shareholder. Pengaturan ini menjadi penghambat pelaksanaan peranan ke-independen-an Komisaris Independen (dan Komite Audit!). Pasal 108 ayat 4 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas menyebutkan bahwa:

Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.

Pun Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang menetapkan jumlah komisaris independen 30% tidak efektif, karena pengambilan keputusan pada rapat Dewan Komisaris memungkinkan mekanisme voting. Kepentingan pemegang saham independen tidak dapat dilindungi dalam pengambilan keputusan berbasis pemungutan suara (voting) selama keterwakilan pada Dewan Komisaris hanya 30%? Peraturan ini telah mengkerdilkan peranan yang diharapkan dari keberadaan Komisaris Independen. Setiap hasil analisa, temuan yang menunjukkan dan melaporkan potensi free float shareholder appropriation (dalam konteks zero sum game theory, yang berarti in favor of controlling shareholders) akan berhenti di meja Dewan Komisaris. Alhasil, kepentingan controlling shareholders-lah yang menjadi prima causa atas setiap tindakan korporasi yang dilakukan emiten dan perusahaan publik.

Peranan self-governing dan self-determining Komisaris Independen adalah persoalan jauh diatas mekanisme pemilihannya. Persoalannya masuk ke dalam wilayah Tata Kelola Perusahaan dan oleh karenanya harus tercermin langsung pada Anggaran Dasar Perseroan. Diharapkan peranan Komisaris Independen (dan nantinya Direktur Independen) diberdayakan (empower). Pemberdayaan aparatus independen menjadi crucial karena probabilitas terjadinya free float shareholder appropriation berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan independent shareholder.

Independensi calon komisaris Independen tidak cukup diukur dengan kriteria. Lebih penting adalah, komisaris independen bertanggungjawab kepada siapa? John Doe atau Jane Doe, misalnya, dinominasikan, dicalonkan, dipilih dan diangkat oleh controlling shareholders sebagai komisaris independen berdasarkan kriteria independen pada Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 butir 2. c. Sangatlah manusiawi, jika kemudian John Doe atau Jane Doe akan lebih berhikmat kepada controlling shareholders ketimbang kepada free float shareholder yang anonim. Revisi UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai kini tidak kunjung selesai merupakan kesempatan baik untuk meng-insert terminologi Komisaris Independen/Direktur Independen beserta peran, tanggungjawab dan melapor kepada siapa saja.

Aplikasi pemilihan organ kepengawasan perseroan (komisaris) dan organ kepengurusan (direksi) yang independen akan lebih sulit diterapkan pada beberapa sektor industri (misalnya perbankan) dan kelompok usaha (misalnya BUMN). Prosedur seleksi dan nominasi telah menjauhkannya dari makna dan peran independen. Kandidat komisaris independen/direksi independen harus terlebih dahulu melewati fit and proper test di level Meneg BUMN, Bank Indonesia dan Tim Penilai Akhir (Presiden dan Menteri kementerian teknis). Alhasil, tidak akan pernah ada komisaris dan direktur Independen yang diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham independen. Jika tidak dilakukan upaya meng-insert peran, tanggungjawab dan pelaporan dari aparatus independen, maka peran yang diharapkan dari aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen sebatas “tampil beda”. BEJ yang konon akan segera menerbitkan ketentuan GCG emiten telah mengkonfirmasi “peran tampil beda” ini[7]. Sampai dengan saat ini dari laporan tahunan 400 ++ perusahaan publik belum pernah disajikan laporan (1) mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Tercatat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kekeliruan/kesalahan dalam penyiapan laporan keuangan, pengendalian internal dan independensi auditor perusahaan; dan (3) review pelaksanaan total paket kompensasi direksi dan komisaris. Sedangkan ada atau tidak ada, subyek laporan ke-tiga hal ini merupakan laporan yang wajib disajikan oleh Komite Audit (yang terdiri dari orang-orang independen dan diketuai Komisaris Independen) pada Laporan Tahunan sebagaimana diatur pada butir C.12 Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa Laporan Tahunan Perusahaan Tercatat.

Penutup
Pemegang saham publik, independend shareholder atau free float shareholder adalah investor yang dengan segala perilaku opportunistik-nya membedakan dengan controlling shareholders merupakan pihak anonim dalam tata kelola perusahaan. Peranannya dalam tata kelola perusahaan telah menimbulkan kebingungan pengawas pasar modal. Pada transaksi material berbenturan kepentingan yang mengharuskan persetujuan RUPS mensyaratkan perhitungan kuorum berbasis pemegang saham independen melahirkan kesulitan untuk Perseroan. Di lain pihak karena ketentuan seleksi dan nominasi serta tatacara RUPS, keterwakilan pemegang saham publik, independend shareholder atau free float shareholder dalam organ Dewan Komisaris sebagai Komisaris Independen tidak dapat dilaksanakan.

Bukan hanya BEJ yang akan mengeluarkan ketentuan tentang GCG Emiten yang akan mewajibkan Emiten untuk memiliki Komisaris Independen dan Direktur Independen, Bank Indonesia pun tidak lama lagi akan menerbitkan Surat Edaran sebagai petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 dan No. 8/14/PBI/2006 tentang GCG Bank Umum, dimana bahkan Presiden Direktur suatu bank juga harus merupakan pihak Independen, saya kuatir ketentuan GCG tersebut hanya akan menjadi sia-sia karena independen hanya diukur dengan kriteria pada saat seleksi bukan berdasar proses nominasi. Tidak terdapatnya code of conduct ke-independen-an, independent enforcement akan menjadikan perangkat independen dalam pengawasan dan pengelolaan perusahaan hanya sekedar ada sebagai legal requirement tetapi tidak berfungsi.

Akan lebih produktif jika alih-alih menerbitkan ketentuan GCG, terlebih dahulu dilakukan empowerment kepada Komisaris Independen dalam bentuk menerbitkan ketentuan kepada siapa sejatinya pelaporan disampaikan. Komisaris Independen pada perusahaan publik tidak perlu memiliki voting rights pada mekanisme pengambilan keputusan Dewan Komisaris. Yang diperlukan adalah veto rights. Karena dalam Daftar Pemegang Saham, free float (independent) shareholders selalu bermutasi hampir setiap saat, sehingga mereka menjadi anonim. Siapa yang layak menjadi mewakili free float (independent) shareholders sebagai tujuan pelaporan? Mengutip Arthur J. Levitt (Chairman US-SEC periode 1980an), “we are investor’s advocate”, maka pengawas pasar modal-lah yang memiliki legitimasi penuh untuk mewakili independent shareholders dalam menerima pelaporan dari Komisaris Independen dan Komite Audit. Hasil akhirnya adalah setiap potensi shareholder appropriation dapat segera diidentifikasi dan diambil tindakan oleh pengawas pasar modal. Hal ini paralel dengan draft Peraturan Bapepam-LK Tentang Pedoman Pembentukan Unit Audit Internal yang memberdayakan Internal Audit dengan cara kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Chief Audit Executive diberikan kepada Dewan Komisaris.

Salam!





Bibliography
James Gobert and Maurice Punch, Rethinking Corporate Crime, Butterworths Lexis Nexis 2003

Lampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 Tanggal 20 Juli 2001 Perihal Perubahan ketentuan huruf C.2.e. Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa

Niamh Moloney, EC Securities Regulation, Oxford University Press, 2002.

Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit

Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan

Peraturan Bapepam No. IX. J. 1 Tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan

Peraturan Bapepam No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu

Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 Tentang Tata Kelola Perusahaan Bank Umum

Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 Tentang Tata Kelola Perusahaan Bank Umum

Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 Tentang Tatacara Pemilihan Komisaris Independen

Undang-Undang No 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal



endoffile>SHK>27072008

* alumni FRG-EUR, berhikmat sebagai dosen Program S-1 Reguler FEUI, Depok
[1] Pernyataan Sekretaris Menteri Negara BUMN sebagaimana terangkum pada Kompas edisi Sabtu 28 Juni 2008 di bawah tajuk berita Benahi Pembagian Dividen BUMN, bahwa pada BUMN 50% biaya operasional adalah untuk kesejahteraan karyawan BUMN tersebut. Besaran honorarium anggota Dewan Komisaris merupakan prosentase gaji Direktur Utama, usulan gaji dan tantiem yang kemudian diturunkan pada level karyawan sebagai bonus dari perangkat Komite Remunerasi pada Dewan Komisaris menjadi pembenaran inefisiensi.
[2] Di Indonesia terdapat inkonsistensi kriteria free float shareholding. Bapepam melalui Peraturan IX. M. 1 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu menetapkan batas 5% sedangkan pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007, batas kepemilikan yang berhak mengusulkan RUPS dan agendanya misalnya adalah 10%.

[3] Pada paper ini, karena memiliki arti yang interchangeable secara bergantian saya menggunakan istilah free float shareholders, independend shareholder, dan public shareholder.

[4] Oleh karena sebab ini, MSCI hanya memasukkan listed company yang memenuhi kriteria minimum jumlah free float shareholders sebagai assurance bahwa setiap corporate action yang diambil perusahaan sesuai dengan azaz arm’s length transaction.
[5] Pada khazanah peraturan Bapepam-LK, terminologi Komisaris Independen muncul pada Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit.

[6] Lampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 Tanggal 20 Juli 2001 Perihal Perubahan ketentuan huruf C.2.e. Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas Di Bursa
[7] lihat Kontan edisi 21 Tahun XI 26 Pebruari 2007.