Minggu, Mei 25, 2014

Problem Dibalik Rencana Privatisasi BTN



Problem Dibalik Rencana Privatisasi BTN

Oleh: Shalahuddin Haikal*)

Fiduciary duties adalah terminologi hukum yang menjelaskan relasi antara principal dengan fiduciary yang berlandaskan trust, kejujuran dan iktikad baik. Konsep hukum tersebut, menjelaskan bagaimana seharusnya suatu relasi dibangun, karena dalam bisnis terdapat relasi tarik menarik antara agen dengan prinsipal yang melahirkan konsep agent principal problem. Suatu problem yang terjadi karena perbedaan bahkan benturan kepentingan agent dengan kepentingan principal.

Operasionalisasi fiduciary duties adalah upaya dan tindakan maksimal dari fiduciaries untuk kepentingan dan kemaslahatan principal. Dalam pengambilan keputusan misalnya, diperlukan informasi A, B dan C, tetapi informasi C tidak tersedia, maka keputusan yang diambil oleh prinsipal akan sesat dan salah sehingga berakibat tidak dapat diimplementasikannya suatu keputusan. Menjadi kewajiban fiduciaries untuk memberitahu principal bahwa basis informasinya masih kurang dan bila diperlukan meminta prinsipal untuk menunda mengambil keputusan sebelum informasi C terkumpul. Diterima atau tidak pemberitahuan dan nasehat fidusiaries adalah urusan principal, yang terpenting di sini adalah fiduciaries sudah melaksanakan duty of loyalty dan duty of care yang merupakan dua komponen pembentuk fiduciary duties.

Tulisan ini tidak hendak membahas aspek ekonomi dan bisnis dari rencana akuisisi BTN oleh Bank Mandiri atau dalam frasa yang lebih tepat adalah rencana peningkatan saham negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng saham-saham negara di BTN maupun penjualan saham-saham Negara di BTN kepada Bank Mandiri ataupun bentuk transaksi lainnya. Pembahasan aspek ekonomi dan bisnis terlalu banyak menggunakan asumsi yang bersifat subyektif.

Pelampauan Kewenangan
Secara mikro, karena Bank Mandiri akan menerima tambahan setoran modal Negara dalam bentuk inbreng saham-saham Negara di BTN dan sebaliknya Kementerian BUMN akan menerima tambahan saham di Bank Mandiri, mengedepankan kehati-hatian dan bagian dari manajemen risiko, sudah seharusnyalah dilakukan due diligence, yang didalamnya sudah pasti harus termasuk aspek legal dari transaksi tersebut.

Kecuali karena lack of competence, mustahil rasanya, para pihak yang melakukan due diligence tersebut tidak mengetahui dan tidak dapat menyimpulkan isi dan substansi pasal-pasal pada UU BUMN yang mengatur penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pembubaran serta pasal-pasal yang mengatur restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Bahwa setiap perubahan kepenyertaan saham oleh negara, apakah karena kenaikan (investasi) atau penurunan (privatisasi dengan divestasi) adalah output dari kegiatan Komite Privatisasi yang harus direncanakan dan kemudian dinyatakan terlebih dulu dalam RAPBN atau APBN-P. Tambahan investasi maupun privatisasi pada BUMN adalah kegiatan yang terencana dan terukur bukan kegiatan bersifat ad hoc.

Secara makro, terdapat satu kondisi dasar yang diabaikan. Sebutan Menteri selaku Kuasa Pemegang Saham Negara pada UU BUMN, merujuk kepada Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Huruf g Pasal 2 UU Keuangan Negara, Menteri Keuangan adalah pengelola keuangan negara, termasuk di dalamnya BUMN.

Jika sekarang terdapat Menteri BUMN yang bertindak sebagai Kuasa Pemegang Saham Negara dengan Kementerian BUMN-nya, lahir dan dilahirkan dari PP No 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan, Perusahaan Umum, dan Perusahaan Jawatan Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Namun, oleh karena pengelolaan keuangan negara merupakan tanggungjawab Menteri Keuangan, maka pelimpahan sebagaimana dimaksud dalam PP No 41 Tahun 2003 tidak termasuk penatausahaan setiap penyertaan modal Negara berikut perubahannya ke dalam BUMN.

Privatisasi dalam arti sempit adalah transaksi menjual kepemilikan saham-saham perusahaan yang dimiliki negara kepada pihak lain. Menurut Merriam Webster Online Dictionary, transaksi menjual adalah the transfer of ownership of something from one person to another for a price, sedangkan dalam KBBI adalah memberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau menerima uang. Tambahan modal negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng saham-saham negara di BTN adalah transaksi jual beli. Negara memberikan saham-sahamnya di BTN dan kemudian kontraprestasinya, Negara mendapat tambahan saham-saham baru di Bank Mandiri.

Dari definisi ini-lah, maka rencana  peningkatan saham negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng saham-saham negara di BTN, yang berarti penurunan saham-saham di negara di BTN, adalah domain Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Ultra Vires? Ya!

Problem Salah Kira?
Saat ini di Mahkamah Konstitusi sedang parkir Perkara No 62/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN. Esensi perkara tersebut adalah permohonan supaya BUMN tidak dikategorikan lagi sebagai domain keuangan negara dan supaya BUMN dikategorikan sebagai perikatan perdata biasa. Perkara ini sudah disidangkan 11 kali, terakhir kali adalah 16 Oktober 2013. Direncanakan sidang ke-12 akan dilaksanakan pada 22 Oktober 2013, tetapi entah mengapa tanpa sebab yang jelas, sampai sekarang sidang tidak diteruskan. Tidak elok tetapi relevan untuk diketahui adalah bahwa Forum Hukum BUMN diketuai oleh pejabat Kementerian BUMN. Hal ini merupakan bentuk agency problem, bukan soal beretika atau tidak beretika. Pagar makan tanaman, adalah kias paling tepat untuk upaya uji konstitusi ke dua UU tersebut.

Menyadari ketidakpatutan ini, pada 6 Desember 2013, diterbitkan Surat Edaran Menteri BUMN No.02/WK.MBU/2012 tentang Keikutsertaan Pejabat di Lingkungan Kementerian BUMN Sebagai Pengurus Forum yang intinya meminta Forum (termasuk Forum Hukum tentunya) untuk mengubah AD/ART-nya yang mengatur keanggotaan ex-officio dari Pejabat Kementerian. Surat Edaran ini juga eksplisit menjelaskan bahwa keberadaan forum-forum (termasuk forum Hukum BUMN yang mengira dirinya memiliki hak konstitusi untuk peninjauan dan penghapusan huruf g dan i Pasal 2 UU Keuangan Negara serta penghapusan setiap sebutan BUMN pada UU Badan Pemeriksa Keuangan) adalah legal dan diketahui oleh Menteri BUMN.

Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadi salah kira dari Kementerian BUMN, bahwa BUMN sudah menjadi perikatan perdata biasa, sehingga segala macam prosedur sebagaimana diatur pada UU BUMN dan turunannya dalam berbagai Peraturan Pemerintah patut diabaikan. Problem serupa juga terjadi pada rencana akuisisi Perusahaan Gas Negara oleh Pertagas, rencana akuisisi PNM dan Pegadaian oleh BRI yang pernah terucap dan diekspose ramai oleh media massa.

Secara mikro maupun secara makro, tentu majlis pembaca kini dapat menentukan siapa agent dan siapa pula principal serta siapa yang tidak melaksanakan kewajiban fiduciaries kepada principal.

Tabik.


*) Pendidik.

Selasa, April 15, 2014

Benang Basah itu Bernama Good Corporate Governance



Benang Basah itu Bernama Good Corporate Governance


"Bagai menegakkan benang basah", artinya melakukan suatu pekerjaan yang mustahil akan berhasil. Tulisan ini saya buat untuk menanggapi rubrik Dialog pada Mingguan Kontan No 21 Tahun XVIII, bertajuk Tata Kelola Emiten Kita Masih Belum Memadai yang merupakan wawancara dengan Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK.

Karena merupakan distribution of power, check & balance mechanism, diantara ke-tiga organ perusahaan: RUPS; dewan komisaris dan direksi, maka Tata Kelola Perusahaan (corporate governance) adalah kebutuhan perusahaan. Distribution of power, check & balance mechanism jelas dinyatakan dalam Anggaran Dasar Perusahaan. Sebagai assurance bahwa UU Perseroan Terbatas (UU PT) diadopsi, maka Anggaran Dasar perusahaan-perusahaan dan perubahan-perubahannya harus mendapat persetujuan Menteri Hukum & HAM melalui sistem AHU (Sisminbakum). Sehingga bagi perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, tanpa harus dimaklumatkan dan disebutkan, adopsi Tata Kelola Perusahaan adalah keniscayaan.

Namun sebagai sebuah ketentuan internal yang merujuk kepada UU PT, Tata Kelola Perusahaan yang semula bersifat netral seketika akan berubah menjadi tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) manakala melibatkan banyak pemangku kepentingan. Hal ini terjadi karena sifat alamiah UU PT yang tidak memberikan perlindungan yang cukup terhadap capital provider yang datang dari luar perusahaan (kreditur, bondholder maupun pemegang saham independen). Akan sangat merepotkan perusahaan, bilamana ratusan atau ribuan pemegang saham ini mengexercise hak-hak mereka sebagai pemegang saham. Oleh sebab itu corporation law dimanapun di dunia, termasuk UU PT menetapkan threshold berupa minimum kepemilikan untuk boleh mengusulkan RUPS, mengusulkan agenda RUPS, menominasi pengurus perusahaan. UU PT dirancang untuk melindungi kepentingan pemegang saham mayoritas (pengendali) bukan untuk melindungi kepentingan pihak eksternal, yakni kreditur dan  pemegang saham kecil (free floaters). Itulah sebabnya, begitu suatu perusahaan menjadi perusahaan publik, baik karena kepemilikan saham yang luas maupun karena melaksanakan penawaran umum surat utang, seketika harus tunduk patuh pula kepada UU Pasar Modal (securities law), yang didalamnya mewajibkan perusahaan untuk menghormati hak-hak pihak eksternal tersebut yakni kreditur (bondholders) dan free floaters. UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan turunannya yang diadministrasikan oleh pengawas pasar modal tidak bisa mencampuri urusan internal perusahaan, tetapi memastikan bahwa hak-hak pemegang saham free floaters dihormati dan dilindungi dari potensi misapropriasi free floaters oleh perusahaan dan ke-tiga organ yang lainnya.

Perpaduan ketaatan pada Anggaran Dasar yang merupakan adopsi UU Perseroan Terbatas dan kepatuhan kepada UU Pasar Modal dan turunan peraturan-peraturannya inilah yang kemudian dikenal dan disebut sebagai Good Corporate Governance. Sifat seperti inilah yang melahirkan konsekuensi, bahwa tidak bisa tidak pendekatan untuk menegakkan GCG bagi perusahaan Tbk adalah compliance driven.

Peraturan dan ketentuan baru harus terus menerus diterbitkan dan atau dikinikan (diupdate) untuk memastikan tidak terjadi misapropriasi terhadap capital provider yang datang dari pasar modal. Oleh karenanya pengawas pasar modal harus memiliki rules making rule untuk memastikan bahwa peraturan yang dibuatnya masuk akal dan dapat dipantau dan diikuti dengan law enforcement. Para pihak yang melanggar diberi sanksi termasuk juga pidana pasar modal. Di dalam rules making rule harus diatur siapa yang bertanggungjawab atas untuk menerbitkan peraturan baru dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan oleh emiten.

Membaca wawancara dengan Nurhaida, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK (Mingguan Kontan No 21 Tahun XVIII), pernyataan Tata Kelola Emiten Kita Masih Belum Memadai, ditepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Memastikan Emiten memiliki Tata Kelola Baik tidak bisa tidak bersifat compliance driven, sementara Pengawas Pasar Modal banyak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran peraturan. Pun sungguh memprihatinkan pola pikir OJK yang mengandalkan Road Map GCG sebagai referensi utama dalam perbaikan praktik dan regulasi tata kelola perusahaan, yang darinya akan ditelurkan berbagai macam aturan baru bagi emiten, namun justru pada saat yang sama malahan mengabaikan rencana atau progress amandemen UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sudah usang tidak mengikuti perkembangan jaman.

Sebelum melahirkan berbagai macam aturan-aturan baru tersebut, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal perlu memastikan apakah emiten taat dan patuh pada peraturan-peraturan yang sekarang sudah ada. Oleh karena mulai 1 Januari 2014, pengawasan perbankan berpindah tangan ke OJK, juga perlu dilakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan microprudential perbankan dengan peraturan-peraturan pasar modal. Sebut saja, PBI No 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum, mensyaratkan Presiden Direktur atau Direktur Utama perbankan Tbk, wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali, yang berarti tidak boleh memiliki saham-saham perusahaan, pada kenyataannya kepemilikan saham-saham perusahaan oleh Direktur Utama perbankan Tbk dibiarkan begitu saja.

Begitu banyak pelanggaran terhadap peraturan pasar modal dibiarkan begitu saja, yang bukan saja merupakan bentuk misapropriasi capital provider yang datang dari pasar modal tetapi juga sudah merusak reputasi OJK. Fungsi pengawasan pasar modal tidak dilaksanakan sendirian oleh OJK, tetapi juga dapat didelegasikan kepada Bursa Efek sebagai SRO yang mengatur dan mengawasi emiten-emiten yang mencatatkan efek di bursa yang dikelolanya.

Berdasarkan banyak data publik yang didapat dari Bursa Efek Indonesia, berupa surat-surat emiten yang ditujukan kepada Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dan ditembuskan kepada Direksi Bursa Efek Indonesia dan kemudian oleh emiten diumumkan kepada khalayak, saya menyimpulkan bahwa bahwa baik Otoritas Jasa Keuangan maupun Bursa Efek Indonesia telah tidak melaksanakan fungsi pengawasannya.

Telah banyak terjadi pembiaran pelanggaran oleh emiten dari yang sederhana sampai yang rumit. Sebut saja, Komisaris Independen/Ketua Komite Audit perusahaan Tbk, memiliki saham-saham perusahaan tanpa ada teguran maupun sanksi sama sekali, sedangkan Peraturan IX. I. 5, dengan tegas melarangnya. Atau begitu mudahnya para pihak pada perusahaan-perusahaan yang memproklamirkan dirinya dan membuat pernyataan hendak mengakuisisi PGAS, yang pernyataannya telah mendistorsi pasar saham. Apakah OJK dan BEI melakukan enforcement terhadapnya para pihak tersebut? Tidak!

OJK berpura-pura berkomitmen menegakkan etika dengan menyediakan Sistem Pelaporan Pelanggaran Kode Etik OJK tetapi ternyata hanya sekedar pajangan karena tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Sampai disini, saya menyimpulkan bahwa keberadaan OJK a la UU No 21 Tahun 2011 memang perlu ditinjau ulang, sebab sebagai lembaga yang akan menegakkan Tata Kelola Perusahaan yang baik, ternyata by default, OJK sendiri tidak akan mungkin memiliki tata kelola yang baik. Sekedar tahu saja, pada UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak ada satupun pasal yang menegaskan status hukum OJK, apakah badan hukum atau bukan, tetapi semua pungutan terhadap jasa keuangan diklasifikasikan sebagai penerimaan OJK.

Salam.

Sabtu, Maret 01, 2014

Elpiji: Yuk Keep Smile!



Elpiji: Yuk Keep Smile!

Kenaikan harga elpiji selama 6 hari pertama tahun 2014 merupakan tontonan yang setara dengan program acara di salah satu stasiun televisi bertajuk Yuk Keep Smile, yang dalam pembukaan petisi penolakannya disebut  sebagai “sebuah acara komedi yang sangat tidak berkualitas dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah itu main tebak-tebakan dengan kaki dimasukkan air es atau menyumpal tepung ke mulut lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas ... apalagi goyangannya memakai latar musik yang liriknya vulgar serta mengarah ke gerakan vulgar pula”.  Betapa tidak? Karena berbagai pembelaan atas kenaikan harga maupun alasan revisi kenaikan harga yang dikemukakan berkaitan dengan peran negara, berkaitan dengan proses reviu konstitusional terhadap UU Keuangan Negara dan ada pula free rider yang menggunakannya untuk men-leverage popularitas adalah komedi yang sangat berbobot kurang lebih sama dengan Yuk Keep Smile. 

Pertama, PT (Persero) Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara, sedangkan saat ini diketahui, Forum Hukum BUMN yang diketuai oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Badan Usaha Milik Negara tengah mengajukan reviu konstitusi terhadap UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomer Perkara 62/PUU-XI/2013. Apa sajakah yang sedang dimohonkan reviu konstitusi oleh Forum Hukum BUMN: (i) Pasal 1 angka 1 huruf g “Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” (ii) Pasal 1 angka 1 huruf i, “Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” (iii) Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yaitu Undang-Undang BPK yang berbunyi “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” 

Pada intinya melalui reviu konstitusi ini, yang dimohonkan oleh Forum Hukum BUMN adalah bahwa BUMN sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan, semestinya tidak dikategorikan dalam cakupan pengaturan keuangan negara, sehingga tidak lagi termasuk menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Forum Hukum BUMN, permohonan ini dilandasi keyakinan bahwa BUMN tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas. 

Pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Agustus 2013, yang mendengarkan kesaksian para pengelola BUMN, menjadi ajang curhat dan curcol dari para pengelola BUMN besar yang menyatakan kegamangannya dalam mengelola dan mengurus BUMN karena BPK dengan UU Keuangan Negara, dapat menyeret pelaku salah urus BUMN dengan menggunakan UU Tipikor kepada KPK. 

Itulah sebabnya dari berbagai pemberitaan media online dan cetak, Menteri BUMN menyatakan bahwa keputusan menaikkan harga gas Elpiji adalah karena rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menteri BUMN menyatakan “yang penting pokoknya memenuhi rekomendasi dan tidak bisa tidak melaksanakan hasil audit BPK”. Gagap nalar terjadi pengambilan keputusan menaikkan harga elpiji karena nilai sebuah rekomendasi terletak pada maknanya, yakni “usulan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan”. Sebagai suatu usulan, tentu saja pihak Pertamina sebagai “wannabe” badan hukum privat memiliki dua opsi: melaksanakan atau tidak melaksanakan usulan tersebut. Sedangkan rekomendasi BPK disertai empat pertimbangan yang perlu diperhatikan, yakni harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, kesinambungan penyediaan dan pendistribusian, serta melaporkan kenaikan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri Teknis (baca: Menteri ESDM). 

Apakah ke-empat pertimbangan dalam rekomendasi BPK tersebut dilaksanakan? Silakan pembaca mengurainya satu per satu. (1) Daya beli konsumen.  Daya beli konsumen tidak berhenti pada konsumen elpiji 12 kg, tetapi konsumen akhir dari berbagai produk turunan seperti misalnya: pelanggan warteg dan usaha mikro lainnya. (2) kesinambungan penyediaan dan pendistribusian: per 1 Desember 2013 Pertamina melakukan perubahan pola distribusi gas elpiji, dari semula dilakukan melalui Stasiun Pengisian Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE), menjadi distribusi dengan pola Stasiun Pengisian Pengangkutan Elpiji Khusus (SPPEK). Hal ini sama saja Pertamina telah melepaskan tanggungjawab dengan menyerahkan harga akhir gas elpiji kepada agen (3) melaporkan kenaikan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri ESDM sebagai menteri teknis. Dari berbagai media massa, ironis Menteri ESDM menyatakan tidak saja tidak tahu menahu soal kenaikan harga gas bahkan rencana kenaikan harganya juga tidak tahu. Memang demikian-lah, sebagai sebuah korporasi, PT (Persero) Pertamina tidak bertanggungjawab kepada Menteri Teknis tetapi bertanggung jawab kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara. Hal ini percis sama dengan Perum Navigasi yang bertugas mengurusi navigasi penerbangan tetapi tidak bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan atau Dirten Perhubungan Udara tetapi hanya bertanggungjawab kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara. 

Kedua. Pernyataan "Itu memang kewenangan Pertamina. Sesuai aturan yang berlaku dan tidak diperlukan persetujuan Presiden. Tetapi, karena situasinya sekarang menjadi perhatian publik yang cukup luas, pemerintah memandang perlu untuk mengelola persoalan ini sambil cari solusi yang tepat".  Pernyataan orang nomer satu di republik ini sungguh keterlaluan karena abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah menyatakan bahwa ayat 2 dan ayat 3 pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang berbunyi: “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”; tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejak saat itu pula-lah, harga LPG merupakan domain pemerintah (negara), percis seperti halnya harga BBM Premium. 

Ketiga, atasan langsung dari Ketua Forum Hukum BUMN dan juga adalah salah satu peserta konvensi capres dari salah satu parpol dengan sangat heroik mengambilalih (to takeover/to acquire) semua kesalahan dengan pernyataan “semua pokoknya salah saya”. Superb! Bravo! Baru menjadi peserta konvensi capres sudah dengan gagah berani mengakuisisi penanggungjawab ayat 1 Pasal 6 UU Keuangan Negara: “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”

Tabik!