Kamis, November 15, 2012

Benih Public Distrust



Benih Public Distrust?


Shalahuddin Haikal*)

Pada Kamis 19 April 2012 diputuskan tanpa dissenting statement (diputuskan dengan suara bulat) oleh Majelis Hakim Agung dan pada hari yang sama Putusan Tingkat Kasasi No 2838K/Pdt/2011 tersebut dilafazhkan. Amar Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 sangat jelas, yakni menolak permohonan kasasi dan memerintahkan PT Bank Mutiara, Tbk (d/h PT Bank Century, Tbk) yang merupakan perusahaan Tbk dan saham-sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dengan kode: BCIC, untuk mengembalikan uang pembelian produk reksadana sebesar Rp 35.437.000.000,- dan membayar ganti rugi secara tunai sebesar Rp 5.675.691.668,- kepada 27 nama penggugat. Seperti biasa, Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan maupun Bapepam-LK selaku pengawas pasar modal, dingin dan tidak bersuara.

Meskipun dalam konteks ke-kolegialitas-an bisa dimaklumi, pendapat (kurang bijak) justru datang dari Ketua Umum Perbanas, yang jika disarikan terdiri dari: (1) Keputusan MA harus dikaji kembali, karena (2) Nasabah Antaboga ditipu pemilik lama BCIC, dan oleh sebab itu (3) tidak tepat kalau kerugian para nasabah dibayar oleh BCIC. 

Suatu pendapat yang mengundang gelak tawa, karena per se pendapat tersebut, maka setiap kali seseorang hendak menjadi nasabah suatu bank di Indonesia atau seorang nasabah ditawari produk yang ditawarkan oleh bank tempat dia menjadi nasabah, maka harus dilakukan due diligence untuk meneliti legalitas suatu bank atau legalitas produk suatu bank. Kemudian, oleh karenanya, selama nasabah memiliki simpanan di suatu bank, nasabah berhak melakukan pengawasan langsung bank yang bersangkutan. Pendapat ini berujung pada kesimpulan besar yakni: financial intermediary system di negara ini adalah market based bukan regulation and supervision based yang kemudian akan berimplikasi pada tidak diperlukannya pengawas perbankan. 

Oleh karenanya, dari perspektif (2), sesungguhnya pendapat tersebut dapat dibaca sebagai upaya mengembalikan pertanggungjawaban penyelesaian kasus kepada pengawas perbankan dan pengawas pasar modal, karena telah terjadi praktek bank dalam bank yang lolos dari mata pengawas perbankan dan penjualan reksadana tanpa sepengetahuan Bapepam LK yang tidak mampu (atau tidak mau) meng-enforce ketentuan peraturan tentang pemasaran produk reksadana dan pelaporan kegiatan manajer investasi. Saya amat sangat setuju, karena jika pertanggungjawaban penyelesaian kasus tidak dikembalikan kepada Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan dan Bapepam LK sebagai pengawas pasar modal, vis-à-vis kedua lembaga pengawas ini (keduanya akan segera bermetamorposis menjadi OJK) adalah lembaga dengan otoritas besar namun tanpa akuntabilitas dan responsibilitas.

Sebagai warganegara yang berhukum pada hukum Republik Indonesia, bukan hak saya untuk memberikan pendapat atas putusan Mahkamah Agung yang merupakan lembaga tinggi negara di bidang judikatif. Tulisan ini dimaksudkan untuk men-stabilo teks yang sebetulnya telah berulang-ulang dibaca namun kontekstualnya luput terbaca.

Laporan Keuangan 2011 auditan dan Laporan Tahunan 2011

Sebagai listed company (perusahaan terbuka), BCIC harus sudah menyampaikan laporan keuangan auditan 2011 selambat-lambatnya 31 Maret 2012. Laporan Keuangan auditan FY 2011 baru disampaikan kepada Bapepam LK dan BEI pada tanggal 31-Mei 2012, dengan tanggal opini Kantor Akuntan Publik 16 Mei 2012 demikian juga Surat Pernyataan Tanggung Jawab Direksi. 

Saya menduga, bisa saja salah, terlambat disampaikannya laporan keuangan FY 2011 auditan adalah karena terjadi pergumulan hebat antara auditor dengan BCIC sebagai auditee atas notes pada long-form audited financial report tersebut. Mengapa saya menduga demikian? Pada tanggal yang sama dengan tanggal dibacakannya amar putusan Kasasi yakni pada 19 April 2012 pukul 16:54:53 WIB, BCIC memasukkan Laporan Keterbukaan Informasi (merujuk pada Peraturan Bapepam X.K.1) ke sistem Bursa Efek Indonesia dalam kondisi kosong (blank), namun dibawahnya terdapat keterangan lainnya terkait dengan keterlambatan Laporan Keuangan Auditan Per 31 Desember 2011 (yang tidak ada urusannya dengan Peraturan Bapepam X.K.1, tetapi justru Peraturan Bapepam X.K.2)

Perhatikan catatan No 51 yang berjudul Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting, hurup g (Kasus-Kasus Hukum dan Fraud Yang Belum Selesai Dalam Tahun 2011), angka 2 dinyatakan bahwa Perseroan sedang menghadapi masalah hukum sebagai tergugat dalam persoalannya dengan produk investasi PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Atas inisiatif BCIC, diajukanlah kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomer registrasi perkara No. 2838.K/Pdt/2011. Oleh karena terdapat juga catatan No 45 (Komitmen dan Kontijensi), apakah serta merta catatan No 51 (Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting) tidak dapat dianggap sebagai contingent liabilities? Tidak! Sebab Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik mengatur bahwa Kontijensi yang harus diungkapkan adalah: perkara atau sengketa hukum meliputi pihak-pihak terkait, jumlah yang diperkarakan, latarbelakang, status perkara, dampak keuangan. 

Namun demikian, apapun dalihnya, apapun dalilnya, BCIC telah mengakui adanya gugatan hukum yang pada tingkat pertama maupun banding telah dimenangkan oleh ke-27 nasabah dan oleh karenanya kemudian BCIC mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang berakhir dengan putusan Mahkamah Agung. 

Pun laporan tahunan (annual report) 2011 tidak patuh kepada Peraturan X. K. 6 tentang Penyajian Laporan Tahunan Emiten dan Perusahaan Publik. Annual report harus memiliki Bab Analisis dan Pembahasan Manajemen (huruf f): Laporan tahunan wajib memuat uraian yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi penting lainnya dengan penekanan pada perubahan material yang terjadi dalam tahun buku, yaitu paling kurang mencakup: …… Salah satu yang diatur dalam peraturan ini adalah (angka 9): perkara penting yang dihadapi oleh Emiten atau Perusahaan Publik, entitas anak, anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang sedang menjabat, antara lain meliputi: pokok perkara, status penyelesaian perkara, pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan. Dengan fasilitas ‘search’ pada Adobe Acrobat Reader, kata ‘gugatan’, kata ‘Antaboga’, kata ‘Mahkamah’ tidak ditemukan.

Public expose BCIC yang dilaksanakan pada 9 Juli 2012 sama sekali tidak mengadress masalah hukum yang dihadapinya sebagai tergugat dalam persoalannya dengan produk investasi PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Pun, Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, nyata lalai meng-enforce pelaksanaan Peraturan Bapepam X.K.1 (peristiwa penting yang dapat mempengaruhi harga saham). Meskipun nilai yang harus dibayar oleh BCIC relative kecil ± Rp 41 miliar, namun putusan Mahkamah Agung akan menjadi referensi bagi proses hukum yang sedang berlangsung di pengadilan negeri, pengadilan tinggi.

Menjadi catatan saya, melalui windows pengumuman pada www.idx.co.id, BCIC sampai dengan tanggal 31 Oktober 2012 belum juga melaksanakan RUPS, sedangkan sebagai sebuah badan usaha berbadan hukum PT, UU Perseroan Terbatas mensyaratkan RUPS harus sudah dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja terakhir bulan ke-enam. Fakta ini melahirkan pertanyaan kepada Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, apakah Bank Mutiara (d/h Bank Century), perusahaan yang saham-sahamnya tercatat di Bursa dengan kode BCIC masih perusahaan publik kan? Selama RUPS tidak dilakukan, pertanggungjawaban tidak dilaksanakan, maka a-quit-decharge atas pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan BCIC tidak dapat diberikan.

Commission atau Omission?

PT Antaboga Delta Sekuritas, adalah manajer Investasi yang menjual reksadana kelolaannya, melalui Bank Century. Bank Century adalah penjual reksadana kelolaan PT Antaboga Delta Sekuritas. PT Antaboga Delta Sekuritas adalah Manajer Investasi dan PT Bank Century Tbk adalah agen penjual reksadana. Sebagai bank, PT Bank Century diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan sebagai perusahaan Tbk diawasi oleh Bapepam LK dan BEI. PT Antaboga Delta Sekuritas adalah perusahaan efek dengan bidang usaha Manajer Investasi yang diatur dan diawasi oleh Bapepam LK.

Terdapat berbagai metoda untuk mengkategorisasi lembaga keuangan, antara lain berdasarkan transparansinya. Berdasarkan metoda ini, Bank diklasifikasikan sebagai Opaque Financial Institution. Secara sederhana, deposan, tidak perlu tahu, tidak boleh tahu, Dana Pihak Ketiga disalurkan dalam bentuk earning asset apa saja. Karena sifatnya inilah, maka bank diatur dan diawasi dengan sangat ketat. Begitu ketatnya, sampai-sampai dalam struktur organisasi yang juga harus diketahui oleh pengawas perbankan, mutlak harus ada unit setingkat direktorat yang membidangi Kepatuhan (Compliance). Biasanya untuk kepentingan efisiensi di dalam Direktorat Kepatuhan, dititipkan juga unit Anti Money Laundering dan juga unit Legal. Direktur Kepatuhan harus merupakan pihak yang independen. Secara berkala maupun secara acak BI melakukan audit kepatuhan. Untuk meng-enforcenya BI dilengkapi dengan licensing rights, berupa pemberian dan pencabutan ijin usaha, pengawasan in situ. Contoh pengawasan konyol sederhana tapi bermakna besar adalah jumlah karakter angka pada PIN kartu ATM/kartu kredit harus berjumlah 6 digit, tetapi sampai dengan hari ini masih ada sebuah bank raksasa yang PIN ATM/kartu kredit-nya hanya 4 digit dan Bank Indonesia tidak meng-enforce apa-apa untuk hal sesederhana tersebut.

Bapepam sebagai Badan Pengawas Pasar Modal telah lalai mengawasi. Kontan Mingguan edisi 29 Oktober – 4 Nopember 2012 menunjukkan contoh dahsyat dan masih hangat (lihat rubrik Reksadana: “Mengemas Reksadana dengan Bungkus Deposito”). Bukankah untuk setiap reksadana (yang berarti memenuhi kriteria offer and sale) sebelum dapat ditawarkan dan dijual, maka Manajer Investasinya harus terlebih dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran? Setelah Bapepam memberikan Pernyataan Efektif atas Pernyataan Pendaftaran, barulah reksadana dimaksud dapat ditawarkan dan dijual kepada publik. Aneh tapi nyata, Bapepam ternyata baru memanggil setelah proses penawaran dan penjualan berlangsung, yang tidak lucu adalah Manajer Investasi dimaksud, tidak tahu menahu soal reksadana kelolaannya.

Prospek Dikembalikannya Uang Nasabah  dan Ganti Rugi?

Secara akuntansi (lihat catatan 51 laporan keuangan FY 2011 auditan), BCIC telah mengakuinya sebagai contingent liabilities dan konsekuensi dari pengakuan tersebut berarti BCIC telah menyisihkan dana menyiapkan dana.

Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 akan menjadi rujukan setiap on court settlement kasus BCIC di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Perkiraan saya, jumlah contingent liabilities yang berasal dari sengketa hukum dengan nasabah akan semakin besar.

Silakan jika BCIC ingin haqqul yakin terlebih dulu sebelum mengembalikan uang nasabah + ganti rugi nasabah, dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, apapun keputusannya nanti, harus dilaksanakan. Sebab, jika tidak mau melaksanakan putusan PK nanti, silakan BCIC jangan berbadan hukum yang merujuk ke produk hukum Indonesia.

Seharusnya LPS yang kini menjadi pemegang saham mayoritas tunggal pengendali BCIC, bisa menegakkan compliance dan good governance dengan meminta segera dilaksanakannya Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 dan segera dilaksanakan RUPS,. Jika LPS terlalu sibuk mengurusnya, perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki terlebih dulu perusahaan yang sudah rusak ini ke PT (Persero) PPA agar direparasi dan siap dijual.

Jika para pihak yang mustinya melakukan commissioning pada pasar dan lembaga keuangan malah melakukan omission, pemegang saham mayoritas pengendali tunggal duduk diam terpekur, saya khawatir, mereka semua sedang menebar benih public distrust kepada Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan dan Bapepam sebagai pengawas pasar modal. Growing pain: OJK-lah yang nanti akan menuai benih yang ditanam hari ini.

Selamat bekerja!


*) Pendidik, ACFE® educator member.

Kamis, Juli 12, 2012

Pernyataan Sikap KM ITB Terhadap (Rencana) Pengesahan RUU Perguruan Tinggi

Para pendiri bangsa ini melihat bahwa pendidikan menjadi salah satu kekuatan utama bangsa. Karena itu pendidikan haruslah dimajukan dan dilindungi oleh negara. Hal ini tertuang secara jelas dalam UUD 1945. Melihat pentingnya peranan pendidikan, pemerintah terus berusaha untuk membuka akses pendidikan selebar lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya.
Banyak permasalahan pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang sedang kita hadapi. Masalah masalah pendidikan tersebut seperti otonomisasi PT BHMN yang kebablasan, tidak adanya pengaturan terhadap internasionalisasi, dan ketidakjelasan payung hukum perguruan tinggi. KM ITB melihat bahwa memang permasalahan tersebut haruslah diatur dan diselesaikan dalam UU tersendiri.
Adapun bukti dari usaha pemerintahan untuk memperbaiki permasalahan tersebut ialah dengan akan disahkan RUU PT (Rancangan Undang Undang Perguruan Tinggi). RUU PT merupakan respon terhadap masalah pendidikan tinggi kita yang kita hadapi. Kemudian pertanyaan besarnya ialah apakah memang betul RUU PT ini bersemangatkan membuka akses pendidikan selebar lebarnya sembari meningkatkan kualitasnya? Ataukah RUU PT ini hanya mengakomodir kepentingan sebagaian pihak dan mengorbankan pihak yang lain?
Setidaknya ada 2 poin isu yang sangat penting untuk dikaji dikarenakan nasib akses dan kualitas pendidikan tinggi kita bergantung kepada hal tersebut. Kedua isu tersebut menjadi alasan kami menolak RUU PT secara keseluruhan. Kedua isu tersebut ternyata bersifat seperti pedang bermata dua. Jika dapat diatur dengan baik maka isu tersebut mempunyai dampak baik bagi peluasaan akses dan peningkatan kualitas pendidikan, Jika tidak, maka dampak buruk lah yang kita dapat, bahkan dapat mengancam keberadaan negara ini. Kedua isu itu adalah otonomisasi keuangan dan internasionalisasi.
Otonomisasi keuangan
 
Menimbang bahwa birokrasi keuangan yang panjang dapat menghambat kinerja perguruan tinggi, pemerintah berusaha memangkas birokrasi keuangan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Otonomi dalam perguruan tinggi diatur dari pasal 62-65 (draf 7 Juli). Dalam pasal 64, diatur otonomi pengelolaan di bidang nonakademik salah satunya dibidang keuangan. Hal yang disorot dalam pasal ini adalah adanya otonomi dalam pencarian dana yang disinyalir merupakan upaya pemerintah untuk berlepas tangan dari bertanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal ini diperkuat di pasal 65 yang menyatakan Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum dan dalam pasal yang sama pada ayat 3, PT diberi wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Pertanyaan besarnya ialah apa yang menjadi parameter untuk menyeleksi PTN tersebut? Adakah rencana jangka panjang / visi pendidikan yang dapat dijadikan acuan untuk memilih PTN yang akan dijadikan PTN BH? Faktanya ialah pemerintahan kita tidak mempunyai rencana jangka panjang / visi pendidikan sehingga tidak mempunyai parameter yang jelas untuk mengangkat PTN menjadi PTN BH.
Selain itu kewenangan membuat badan hukum dapat menyebabkan perguruan tinggi tidak lagi fokus dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945. Fokus PTN akan terpecah dalam upaya menjalankan bisnis demi menjamin kebercukupan dana untuk penyelenggaraan pendidikan. Jelas hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai tanggung jawab pemerintah. Karena itulah kami menuntut revisi pasal 62-65 (draf 7 Juli)
Salah satu upaya pemerintah berlepas tangan dalam pendidikan tercantum dalam pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli) tentang pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Pemerintah justru memberikan pinjaman dana pendidikan tanpa bunga. Maka, akan terdapat legitimasi untuk membuat mahasiswa kurang mampu tidak memperoleh pendidikan secara gratis, melainkan diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem pinjaman seperti ini merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan tinggi dan merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak atas pendidikan warga negaranya. Fakta menunjukkan para sarjana yang baru lulus di Amerika harus berhadapan dengan college debt crisis dimana mereka menanggung beban pinjaman pendidikan yang sangat besar yang hanya dapat dibayar setelah rentang waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk pembiayaan operasional pendidikan. Dengan pemaparan tersebut, kami menolak pasal 76 ayat 1 (draf 7 Juli)
Begitu pun permasalahan mengenai pengalokasian dana bantuan operasional bagi PTN dari pemerintah di pasal 89 (draf 7 Juli). Pembahasan dalam panja masih deadlock dalam pencantuman jumlah minimal 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan. Jika pencantuman jumlah minimal tersebut dihapuskan dengan dalih ketiadaan dana dari pemerintah, maka ini membuktikan bahwa pemerintah mulai mengurangi tanggung jawabnya dalam pendanaan PTN. Oleh karena itu kami menuntut pencantuman jumlah minimal atas pengalokasian dana bantuan operasional bagi PTN.
Internasionalisasi
 
Era globalisasi ialah era yang tak terelakan, sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat akan kita hadapi. Semenjak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) dan diwajibkan untuk menandatangani General Agreement of Trade and Service (GATS), Indonesia semakin membuka akses untuk berkerjasama dengan negara lain, termasuk di antaranya privatisasi sektor pendidikan.
Sebuah perjanjian kerjasama seharusnya saling menguntungkan kedua belah pihak yang terikat kerjasama. Harus ada kesetaraan diantara kedua belah pihak agar terjadinya saling menguntungkan dan menghindari penguasaan satu pihak atas pihak lainnya. Kerjasama yang hanya menguntukan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain ialah bentuk kerjasama yang harus kita hindari, meskipun kita pihak kita yang diuntungkan.
Begitupun dengan internasionalisasi pendidikan yang pada pasal 90 (draf 7 Juli) yang menginzinkan PTA, atas persetujuan menteri, membuka cabangnya di Indonesia. Hal yang harus dikritisi adalah, motif yang ada dibaliknya. Jika hanya melaksanakan kerjasama dengan pihak luar, tidak harus dengan adanya entitas PTA yang dibangun dalam negeri. Mengingat kondisi pendidikan dalam negeri masih jauh dari kata setara dan tanpa ada visi nasional yang jelas, hal ini dapat mmenyebabkan pendidikan tinggi terseret mekanisme pasar dan hanya menghasilkan ‘kuli – kuli terdidik’. Selain itu, pembukaan PTA di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari filtrasi ideologi tertentu. Dengan pemaparan tersebut kami menolak pasal 90 (draf 7 Juli).
Upaya kerja sama Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian yang tercantum dalam pasal 47 dan kerja sama internasional dalam pasal 50 juga menjadi hal yang harus mendapat perhatian. Kerjasama yang dibangun haruslah kerja sama yang sesuai dengan kepentingan nasional. Lagi-lagi dalam hal ini kita berbicara tentang tidak jelasnya visi pendidikan nasional. Oleh karena itu kami menuntut revisi pasal 47 dan 50 (draf 7 Juli) tersebut.
Kesimpulan
 
Semangat RUU PT ini seharusnya ialah semangat perbaikan berkelanjutan untuk membuka akses dan meningkatkan kualitas pendidikan demi Bangsa Indonesia yang lebih baik. Namun ternyata setelah dipaparkan dengan fakta fakta diatas dapat kita simpulkan bahwa semangat RUU PT ini ialah pelepasan tanggung jawab dan intervensi pemerintah terhadap pendidikan tinggi, dengan kata lain komersialisasi pendidikan tinggi. Kita harus tolak peraturan apapun yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan karena hal itu melanggar konstitusi.
Permasalahan pendidikan tidaklah dapat kita lepaskan dari aspek supra sistem yang mendukungnya, yaitu aspek politik dan ekonomi. Tanpa adanya visi politik negara yang kuat dan dukungan ekonomi yang menopangnya hanya membuat aspek pendidikan menjadi terombang-ambing terseret ke dalam perangkap internasional dan membawa Indonesia pada posisi negara yang dikorbankan.
Jika RUU PT ini disahkan maka akan banyak dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Dampak tersebut ialah :
  • Melambungnya biaya pendidikan tinggi yang harus ditanggung masyarakat karena otonomi yang kebablasan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah.
  • Perguruan tinggi tidak hanya berfokus mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya
  • Pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan kuli terdidik
  • Perguruan Tinggi Asing akan berdiri di Indonesia dan mengancam nilai-nilai ke-Indonesiaan
Berdasarkan Pemaparan diatas, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) menyatakan sikap:
Menolak dengan tegas pengesahaan RUU PT karena :
1. Otonomisasi keuangan memberikan peluang pada negara untuk tidak memenuhi kewajibannya dalam pendanaan PT
2. Internasionalisasi pendidikan tanpa visi yang jelas sehingga dapat menyebabkan infiltrasi ideologis dan mengarahkan Indonesia menjadi bangsa para kuli

sehingga kami memberikan tuntutan:
 
1. Menolak komersialisasi pendidikan yang hanya akan menyengsarakan rakyat
2. Mendesak pemerintah untuk menjamin akses pendidikan seluas luasanya bagi semua elemen masyarakat
3. Mendesak pemerintah untuk membuat visi besar pendidikan Indonesia sesuai dengan amanah konstitusi
4. Mengultimatum pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan pendidikan tinggi yang berlarutlarut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan secara berkelanjutan

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater.
12 Juli 2012,
Presiden KM ITB 2012/2013
Anjar Dimara Sakti

Rabu, Mei 23, 2012

Strategic Sale GIAA a la Jualan Ikan


Strategic Sale GIAA a la Jualan Ikan

Shalahuddin Haikal*)

Dengan dalih tidak mau disibukkan dengan tetek bengek rutinitas sebagai pihak yang menerima pendelegasian sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku kuasa pemegang saham dan sebagai RUPS BUMN yang didapat dari PP No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun 2001, Menteri BUMN menerbitkan KEP-236/MBU/2011 yang mendelegasikan kepada pejabat eselon I Kementrian BUMN, Dewan Komisaris dan Direksi BUMN yang kesemuanya merupakan agent yang justru harus diawasi ketat, kemudian dipertegas kembali dengan diterbitkannya SK-164/MBU/2012, SK-165/MBU/2012, SK-166/MBU/2012 (lihat Kontan No 30 Tahun XVI, 2012). Namun, yang ditunjukkan justru sebaliknya! Menteri BUMN malahan mengatur hal-hal yang bukan domain-nya sebagai kuasa pemegang saham dan turut campur ke wilayah dimana Menteri BUMN tidak memiliki kewenangan apapun. Ini bukan tulisan tentang Menteri BUMN menggratiskan pintu tol milik CMNP, tetapi tulisan bagaimana Menteri BUMN meng-intervensi proses strategic sale yang sedang berjalan.

Status penjaminan emisi GIAA yang firm commitment namun penetapan harga perdananya saat itu diintervensi Menteri BUMN, telah memakan korban tiga penjamin emisi yang bertindak sebagai managing underwriter. Coba lihat angka 1 Pasal 1 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN: “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”. Orang awam boleh saja menjuluki Mandiri Sekuritas, Bahana Securities dan Danareksa Sekuritas sebagai perusahaan efek plaat merah, tetapi by law ke-tiga penjamin emisi ini adalah bukan BUMN melainkan perusahaan swasta biasa karena hanya anak perusahaan BUMN.

Garuda Indonesia pada IPO tahun lalu menawarkan 6,33 miliar saham atau sebesar 27,98 persen dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor penuh perseroan. Namun 47,5% atau 3,007 miliar saham yang harus ditelan oleh ke-tiga penjamin emisi karena tidak laku di pasar perdana. Sejak tercatat di Bursa Efek, GIAA selalu dibawah harga perdananya Rp. 750,-/saham. Merugikah ke-tiga penjamin emisi ini? Selama mereka tidak merealisir kerugian (cut loss) tentu saja mereka tidak rugi, namun atas kepemilikan saham yang berasal dari penjaminan emisi, mereka harus menanggung beban pembiayaan-nya. Berdasarkan kondisi ini, ditunjuklah Morgan Stanley untuk bertindak sebagai financial advisor untuk meng-arrange international strategic sale atas saham yang tidak laku terjual tersebut kepada pembeli yang tidak saja menguntungkan ke-tiga penjamin emisi tetapi juga menguntungkan GIAA. Kinerja Morgan Stanley akan diukur dari berapa keuntungan yang dapat diperoleh, bukan berapa kerugian maksimal yang dapat ditanggung oleh ke-tiga penjamin emisi GIAA ini. Dari keuntungan inilah, Morgan Stanley akan mendapat fee. Oleh karenanya, pasti, financial advisor akan berusaha mati-matian mencari pembeli yang mau membeli sisa saham GIAA dengan harga minimal adalah harga perdana plus beban pembiayaan selama kepemilikan plus profit.

Strategic Sale Saham Berbeda Dengan Jualan Ikan
Perusahaan adalah going concern entity dan karenanya nilai perusahaan serta harga saham akan tumbuh. Sebaliknya ikan, begitu diangkat dari air menjadi benda mati dan segera busuk dan karenanya perlu buru-buru dijual. 

Strategic sale adalah penjualan saham kepada investor yang memiliki potensi bersinergi, dengan memberikan leverage untuk GIAA sekaligus menguntungkan ke-tiga penjamin emisi atau setidak-tidaknya tidak sampai harus merealisasi loss. Proses sedang berjalan, ternyata Menteri BUMN memotongnya dengan menawarkan strategic sale a la jualan ikan kepada TransCorp, Saratoga Capital, Panasonic Gobel dan MNC Corporation. Yang ajaib adalah pengurus Bahana Securities, Danareksa Sekuritas dan Mandiri Sekuritas seperti kerbau dicocok hidungnya. Menerima begitu saja perintah dari Menteri BUMN yang bagi mereka bukan siapa-siapa dengan final decision, bid dimenangkan oleh Transcorp pada harga Rp 620,-/saham, dan akibatnya harus merealisasi loss sebesar Rp 130,-/saham atau sekitar Rp 320,7 miliar untuk 2,47 miliar lembar saham yang menjadi obyek strategic sale a la jualan ikan. Zero sum game! Jika ada yang rugi, sebaliknya ada yang diuntungkan! Benar, pada hari transaksi dilakukan, pembeli menikmati potential gain Rp 90,-/saham karena harga GIAA melambung ke Rp 710,-/saham. Transaksi semacam ini biasa di-arrange dengan nama Secure Private Placement Program. Saya tidak akan membahas SPPP karena adalah bukan wilayah publik.

Siapa Diuntungkan dan Siapa Dirugikan?
Selain dikenal pemaaf, bangsa ini sekaligus dikenal sebagai bangsa pelupa. Publik dan khalayak ramai yang membeli pada pasar perdana dengan harga Rp 750,- dan sejak listing dalam kondisi yang tidak berbeda dengan ke-tiga penjamin emisi. Berdasar laporan keuangan GIAA TW-1 2012, kelompok free floaters ini hanya menguasai 17,6134% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh. Tidak ada satupun dari tiga penjamin emisi dan free floaters yang membeli GIAA dengan harga perdana menjadi pemegang saham pengendali, sementara, pemegang saham baru yang membeli 10,90% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh dengan harga diskon 17,33% seketika menjadi pemegang saham pengendali dengan segala privilege yang dimiliki pemegang saham pengendali sebagaimana dinyatakan pada UU Perseroan Terbatas.

Kesimpulannya dalam transaksi strategic sale a la jualan ikan atas saham GIAA ini pihak yang paling dirugikan adalah ke-tiga penjamin emisi efek karena harus cut loss Rp 130/saham dan merealiasi kerugian sekitar Rp 320,7 miliar, berikutnya, adalah para free floaters yang telah sabar menanti setahun lebih harga sahamnya tidak beranjak di bawah harga beli di pasar perdana dan kini menyaksikan ada pihak yang membeli dengan diskon harga perdana 17,33%, seketika menjadi pemegang saham pengendali. Pihak ketiga yang dirugikan adalah BUMN yang merupakan induk perusahaan dari ke-tiga penjamin emisi tersebut, karena sebagai akibat kerugian yang direalisasi dari cut loss akan dikonsolidasi kepada BUMN yang menjadi induknya. Dampak paling ringan, setidak-tidaknya PT Danareksa, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia tidak bisa membagikan dividen dan PT Bank Mandiri akan meminta dividend payout ratio lebih rendah, dampak terburuknya, oleh karena rugi, maka diperlukan tambahan PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) pada  PT Danareksa, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang menjadi beban pada APBN. Hal semacam inilah yang saya sebut, berpotensi besar mempersulit pelaksanaan tugas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara (State Treasurer) dalam mengelola APBN.

Sebaliknya yang paling diuntungkan jangka pendek dan jangka panjang adalah pemilik Trans Airways. Jangka pendek, selain keuntungan seketika berupa appresiasi investasi yang didapat karena membeli pada harga diskon, jangka panjang sudah pasti Trans Airways akan menjadi pemegang saham pengendali karena memiliki 10,90% saham Garuda Indonesia Airways (GIAA), juga akan menikmati “sawab” sebagai pemegang saham pengendali dari GIAA. Pastilah dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemegang saham baru ini akan menggunakan haknya sebagaimana diatur pada ayat (2) Pasal 79 UU Perseroan Terbatas, yakni meminta diselenggarakan RUPSLB untuk mendudukkan wakilnya pada kepengurusan GIAA. Bak cerita rakyat, rasanya kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan kehadiran Pak Pandir. Dalam cerita GIAA strategic sale yang diperlakukan seperti jualan ikan, berperan sebagai Pak Pandir adalah pengurus ke-tiga perusahaan efek yang menjadi penjamin emisi GIAA.

Cuci Tangan!
Seketika saya jadi teringat kalimat as usual should you fail in your mission, I will deny … pada film Mission Imposible, saat membaca pernyataan Menteri BUMN, bahwa penjualan 10,88% atau 2,47 miliar lembar saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguntungkan atau merugikan sepenuhnya menjadi urusan dan tanggung jawab tiga penjamin emisinya! Nah lho? Cut loss yang berarti merealisasi kerugian, maka kerugian Rp 320,7 miliar adalah riil dan nyata, tidak berlebihan kalau apparatus yang selalu rajin membolak-balik UU No 31 Tahun 1999 perlu mempelajari transaksi ini dengan cermat, mencari tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dan siapa pula yang telah bertindak di luar kewenangannya.

Salam


*) alumnus FRG EUR, ACFE ® associate member.

Senin, Februari 13, 2012

Law of Integrity is law of gravity (Jensen, Erhard, Zaffrron)

Sebetulnya mata kuliah Etika Bisnis & CSR kemudian mata kuliah Standard Profesi dan Etika, diajarkan sebagai knowledge-kah atau sebagai sarana agar mahasiswa menghayati dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari nantinya setelah mereka lulus berkecimpung di alam nyata?

Pertanyaan yang lebih merupakan kegalauan ini berangkat dari debat yang terjadi 11 tahun (jauh hari sebelum banyak corporate scandal terkuak) lalu tatkala harus mewawancara beberapa aplikan untuk suatu posisi yang cukup tinggi pada perusahaan dan kemudian rapat untuk memutuskan siapakah dari para aplikan yang layak diterima. Debat ini berangkat dari dua adagium yang saling bertolak belakang yakni: "kalau belajar tempatnya di sekolahan, kalau perusahaan tempatnya orang bekerja"  dan adagium yang berasal dari bahasa jawa "watuk iso diobati, watek ora ana obate" yang kurang lebih artinya "batuk bisa diobati, watak tidak ada obatnya" yang kemudian melahirkan adagium "karakter aplikan lebih penting, bodo dikit nggak papa, karena kalau bodo dikit berarti bisa dilatih, tapi karakter sungguh sulit diubah". Saya dalam steling in favor pada adagium yang kedua "terima saja yang berkarakter, bodo dikit gak papa toh bisa belajar"

Jensen & Meckling yang dikenal karena memperkenalkan konsep agent principal problems, mendasarinya dari pemahaman tentang manusia (lihat Nature of Man), bahwa terdapat lima model manusia, yakni: (1) the Resourceful, Evaluative, Maximizing Model, (2) Economic (or Money Maximizing) Model, (3) Psychological (or Hierarchy of Needs) Model, (4) Sociological (or Social Victim?) Model, dan (5) the Political (or Perfect Agent?) Model.

Belakang hari, belum lama kok, di tahun 2009, di saat Jensen sudah sepuh.....dan sudah menjadi Professor Emiritus di HBS, Jensen bersama-sama Erhard dan Zaffron, melahirkan teori (postulate sebetulnya) bahwa law of integrity adalah law of gravity (silakan baca wawancara Jensen dengan Christensen pada HBR atau baca full paper-nya di HBR atau melalui SSRN). Bagi Jensen et al, integritas bukan lagi soal moral atau soal etika, tetapi merupakan penomena positip. Integritas bukan lagi bicara soal baik atau buruk dan benar atau salah, tetapi sudah serupa dengan law of integrity.....if you violate the law of integrity as we define it you get hurt just as if you try to violate the law of gravity with no safety device.

Nah,  Jensen dkk mendefinisikan integritas sebagai person that the whole and complete: An individual is whole and complete when their word is whole and complete, and their word is whole and complete when they honour their word.

dalam term Bahasa disebut sebagai satunya kata dengan perbuatan. Kalau dalam Islam merujuk kepada segala sifat Kanjeng Rasul Muhammad S.A.W yakni a.l: fathonah, amanah. Oleh karena masa kepemimpinan Kanjeng Rasul adalah masa kepemimpinan madaniyah (kepemimpinan yang berperadaban dan berkeberadaban) dan kalau kita percaya bahwa Islam adalah agama universal (lintas suku bangsa agama budaya dan waktu), jadi kesimpulannya kita tidak perlu repot-repot diskusi mencari model kepemimpinan atau sifat-sifat seorang pemimpin yang baik, cukup baca dan kaji saja tarikh Kanjeng Rasul.

Pun teknik mencari pemimpin yang baik sebetulnya cukup mudah. Pada agama Islam, salah satu (dari dua) sumber hukum adalah hadist dan sunnah Rasul. Oleh karena kedudukan hadits dan sunnah sangat penting, maka untuk melihat validitas-nya, harus dan kudu di-cek dan di-periksa perawi-nya. Artinya kita harus cek dan periksa latar belakang sejarah seorang calon pemimpin & pemimpin karena banyak pemimpin dan calon pemimpin yang ternyata di kemudian hari terbukti mengaburkan sejarah-nya atau bahkan menyembunyikan latar belakang sejarahnya at any cost...........

Jumat, Januari 27, 2012

Derajat Ke-tiga Agency Problem BUMN


Keputusan Menteri Negara BUMN No. KEP-236/MBU/2011:
Derajat Ke-tiga Agency Problem?

Shalahuddin Haikal*)

Menteri Negara BUMN pada 5 Nopember 2011 menerbitkan Keputusan No KEP-236/MBU/2011 (selanjutnya KEP-236) tentang Pendelegasian sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN Sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/RUPS Pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas Serta Pemilik Modal Pada Perusahaan Umum (Perum) Kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN. Terdapat 38 kewenangan yang didelegasikan, yakni: 22 (dua puluh dua) kepada Pejabat Eselon I (Sekretaris Menteri Negara BUMN/Deputi Teknis dan Deputi Bidang Restrukturisasi & Privatisasi); 14 (empat belas) kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan 2 (dua) kepada Direksi BUMN.

Terlepas dari soal politik bahwa pada akhirnya KEP-236 ini hendak diinterpelasi oleh anggota DPR, saya menilai KEP-236 ini adalah Keputusan Menteri BUMN yang kontra good governance, memenuhi kriteria terminological inexactitude dan absurd.

Pendelegasian Kewenangan Yang Tidak Disertai Akuntabilitas

Sesungguhnya locus of accountability Menteri Negara BUMN ada pada domain UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, per se hurup a ayat (2) Pasal 6 UU Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara dalam hal kekayaan negara yang dipisahkan (BUMN dan BHMN) dikuasakan kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itulah, maka definisi Menteri pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, merujuk hurup a ayat 2 Pasal 6 UU Keuangan Negara, adalah Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Terbitnya PP No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, maka sebagian kewenangan Menteri Keuangan dilimpahkan kepada Menteri Negara BUMN.

Oleh karena ayat 1 dan ayat 2 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Serta Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, maka terbitnya KEP-236/MBU/2011 yang mendelegasikan kewenangan Menteri BUMN kepada Pejabat Eselon I Kementerian BUMN adalah urusan Menteri, namun harus diingat bahwa ayat 3 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS. Istilah paling pas untuk mendeskripsikan hubungan ayat 1 dan ayat 2 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 dengan KEP-236 adalah circular reference seperti pada program Microsoft Excel, bahwa yang pasti salah adalah fungsi atau variable turunannya, dalam hal ini adalah KEP-236.

KEP-236 memanfaatkan ayat 2 Pasal 14 UU BUMN namun melupakan ayat 3 Pasal 14, oleh karenanya secara manajerial, KEP-236 ini absurd, karena per se UU BUMN, locus of accountability berhenti pada tingkat Menteri, menyertai kewenangan yang dimilikinya sebagai RUPS (dalam hal seluruh saham dimiliki Negara) maupun sebagai pemegang saham (dalam hal tidak seluruh saham BUMN dimiliki negara). Oleh karenanya, 22 kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Eselon I, tidak bisa disertai dengan pendelegasian akuntabilitas. Disinilah letak absurdity Kep-236, karena pendelegasian kewenangan Menteri sebagai RUPS hanya menghasilkan pendelegasian kewenangan yang tidak bisa disertai pendelegasian akuntabilitas.


Direksi Mengelola, Komisaris Mengawasi, Pemegang Saham Memutuskan
Indonesia adalah negara yang menganut two tier corporate governance, Perusahaan terdiri dari tiga organ Perseroan,  sebagaimana disyaratkan oleh UU No 40 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yakni: RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris dengan tugasnya masing-masing. Per se UU Perseroan Terbatas maupun UU BUMN: (1) RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang PT. (2) Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. (3) Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Sejarah terbentuknya Perseroan Terbatas, Limited Liability Corporation berawal dari pemisahan ownerships (kepemilikan) dengan manajemen (pengelolaan). Bentuk perseroan terbatas yang demikian ini menjadi bahan studi, baik dari sisi corporate law maupun corporate finance, mengerucut pada eksistensi agency problem, yakni terjadi benturan kepentingan. Contoh nyata suatu agency problem dapat dilihat pada Laporan Laba Rugi, pemegang saham sebagai residual claimant hanya berkepentingan atas laba bersih, sementara Manajemen / Direksi berupaya ngutil, nyolong pada berbagai akun yang ada pada bagian atas Laporan Laba Rugi. Walhasil, Laporan Keuangan harus disertifikasi oleh akuntan independen adalah salah satu bentuk agency cost yang merupakan implikasi dari salah satu bentuk agency problem. Indonesia memiliki posisi unik, terkecuali PT BUMN, nyaris 99% Perseroan Terbatas di Indonesia berangkat dari perusahaan keluarga yang berevolusi menjadi Perseroan Terbatas. Meskipun sudah berbentuk Perseroan Terbatas, namun kepemilikan keluarga tetap sangat dominan. RUPS PT semacam ini akan mendudukkan anak, isteri, menantu bahkan diri sendiri sebagai Direksi, Dewan Komisaris. Pada kondisi seperti ini tidak ada agency problem juga tidak ada assymetric information. Di Indonesia, hanya pada PT BUMN (termasuk PT BUMN Tbk tentunya!) sajalah tidak terdapat hubungan afiliasi antara negara sebagai pemegang saham pengendali dengan direksi dan dewan komisaris, sehingga di Indonesia, agency problem hanya terjadi pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, karena hanya pada BUMN-lah, terdapat pemisahan kepemilikan dengan manajemen. Sedangkan pada PT yang berasal dari perusahaan keluarga (bahkan yang sudah menjadi listed company sekalipun) yang terjadi bukan agency problem tetapi minority shareholders appropriation (Haikal: 2005). Bagaimana bisa, secara praktek dan teori, agent yang secara alamiah senang ngutil, nyolong, mendapat tambahan kuasa dari Menteri BUMN (baca: RUPS)

16 butir kewenangan Menteri BUMN sebagai RUPS maupun sebagai pemegang saham kepada Komisaris dan Direksi, juga berlawanan dengan ayat 3 Pasal 14 UU BUMN: Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai: (a) perubahan jumlah modal (b) perubahan anggaran dasar (c) rencana penggunaan laba (d) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran Persero (e) investasi jangka panjang (f) kerjasama Persero (g) pembentukan anak perusahaan atau penyertaan (h) pengalihan aktiva.

Derajat Ke-tiga Agency Problem
Ayat (1) Pasal 6 UU Keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dalam ini pengelolaan kekayaan harta negara yang dipisahkan (yakni BUMN dan BHMN) kemudian didelegasikan kepada Menteri Keuangan (hurup a ayat (2) Pasal 6 UU Keuangan Negara). Selanjutnya melalui PP No 41 Tahun 2003, sebagian kewenangan Menteri Keuangan didelegasikan sebagian kepada Menteri BUMN.

Melalui KEP-236 ini Menteri BUMN yang telah menerima pendelegasian sebagian kewenangan dari Menteri Keuangan selaku Kuasa Pemegang Saham Negara pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, mendelegasikannya lebih lanjut kepada pejabat eselon-I Kementerian BUMN, Direksi dan Dewan Komisaris BUMN.  Sehingga dilihat dari UU Keuangan Negara, KEP-236 merupakan pendelegasian derajat ke-3. Nah sekarang tinggal dibayangkan betapa dahsyat agency problem yang dihasilkan dari KEP-236 ini dengan daya rusak yang luar biasa.

Dari sudut rule making rules, KEP-236 nyata-nyata tidak mempertimbangkan produk hukum yang memiliki derajat lebih tinggi, yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN; UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Terbitnya 3 SK Menteri BUMN (resmi di-publish tanggal 18 April 2012) yakni: (1) No. SK-164/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian Kewenangan Menteri BUMN Sebagai Wakil Pemerintah Selaku RUPS pada Perusahaan Perseroan menjadi Kewenangan Dewan Komisaris dan Direksi; (2) No. SK-165/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian Kewenangan Menteri BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemilik Modal pada Perusahaan Umum (Perum) menjadi Kewenangan Dewan Pengawas dan Direksi; (3) No. SK-166/MBU/2012 Tentang Pemberian Kuasa atas Sebagian Kewenangan Menteri BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/Pemilik Modal pada BUMN Kepada Pejabat Eselon I Kementerian BUMN, tidak merubah isi KEP-236, sehingga ke-3 SK (yang ditandatangani pada tanggal 13 April 2012) hanyalah spin off dari KEP-236 sebagai bentuk penegasan atas KEP-236 itu sendiri.

Upaya DPR menggalang pelaksanaan hak interpelasi DPR terkait KEP-236 perlu dipertimbangkan ulang, karena yang seharusnya pertama kali marah dan meradang dengan terbitnya KEP-236 adalah bukan DPR melainkan Menteri Keuangan RI karena KEP-236 merupakan bentuk insubordinasi terhadap UU No 17 Tahun 2003 dan berpotensi besar mempersulit pertanggungjawaban Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara (State Treasurer) sebagaimana dinyatakan pada UU No 1 Tahun 2004.

Salam!


*) Pendidik.