Minggu, September 29, 2013

Uang Negara di BUMN



Uang Negara di BUMN

Shalahuddin Haikal*)



Tulisan Prof Hikmahanto Juwana (Kompas 7 Juni 2013) memperkuat argumen para pemohon dalam judicial reviu UU Dikti, sebagaimana beliau nyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa begitu dilakukan pemisahan kekayaan negara, maka bukan lagi masuk ke ranah keuangan negara merupakan bukti bahwa PTN-BH merupakan bentuk privatisasi perguruan tinggi negeri.


Privatisasi dalam arti sempit adalah menjual kepemilikan saham-saham perusahaan yang dimiliki negara kepada pihak lain. Dalam arti luas, privatisasi adalah menyerahkan bidang tugas negara kepada pihak lain dan/atau mendirikan perikatan privat termasuk badan usaha milik negara seperti perubahan BULOG menjadi Perum Bulog, pendirian Perum Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Privatisasi dalam arti sempit dipelopori oleh pemerintah Partai Konservatif semasa Margareth Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris dengan menjual British Gas, British Airways, British Waters, taat melaksanakan  the Washington Consensus (Williamson: 2004). Pemerintah RI mulai melaksanakan privatisasi dalam arti sempit mulai tahun 1995 diawali dengan divestasi atas saham-saham negara di Indosat, diikuti oleh Telkom dan seterusnya. Sedangkan privatisasi dalam arti luas mulai dilaksanakan sejak ditekennya Letter of Intent dengan IMF pada tahun 1997.

Dari definisi inilah, maka BUMN maupun BHMN yang didirikan pemerintah, tidak lebih dan tidak bukan dari perikatan perdata yang tidak kebal dari hukum kepailitan. Sebagai sebuah badan hukum, begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan negara atau imunitas publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan peraturan internal badan hukum itu sendiri, yakni Anggaran Dasar Perusahaan. 

Fallacy of Composition?
Sebagai tuntutan akuntabilitas, seperti halnya perseorangan atau lembaga privat membukukan hartanya, maka wajib pula hukumnya bagi negara untuk mencatat kepemilikannya pada perikatan privat sebagai investasi dan / atau penyertaan negara, sebagaimana halnya perikatan privat mencatat setoran modal baik dalam bentuk tunai ataupun inbreng dari para pemegang sahamnya.

Keuangan Negara sebagaimana didefinisikan pada angka (1) Pasal 1 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.  Sedangkan per se angka (1) Pasal 1 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”, maka pada saat negara menjual kepemilikan saham-saham pada BUMN, negara mencatat sebagai pendapatan privatisasi sekaligus mencatat penurunan kepemilikan. Pada saat negara sebagai RUPS ataupun sebagai pemegang saham BUMN memutuskan pembagian dividen, maka akan dicatat sebagai dividen pada kelompok Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN. Demikian pula pada saat negara mendirikan BUMN baru atau melakukan Penyertaan Modal Pemerintah, negara akan mencatat sebagai investasi sekaligus mencatat kenaikan kepemilikan saham pada BUMN. Dengan demikian investasi negara berupa kepemilikan atas aset yang dipisahkan adalah obyek UU Keuangan Negara, sedangkan bagaimana mencatat, membukukan, mengelola dan mempertanggungjawabkannya diatur dengan UU Perbendaharaan Negara. Oleh sebab itu pula-lah, mengikuti langkah privatisasi a la Thatcher yang selalu menyisakan 1 lembar golden share, maka dalam setiap privatisasi BUMN, secara simultan diterbitkan 1 lembar saham Dwi Warna, yang sesungguhnya merupakan Golden Share karena memiliki hak veto atas keputusan RUPS.

Tidak Kebal Tuntutan Pailit
Perseroan, termasuk BUMN tentunya, sebagai subyek hukum privat otonom bertindak atas namanya dan untuk kepentingannya sendiri mengadakan aneka ragam hubungan hukum mengenai harta kekayaan (vermongensrechtelijke rechstbetrekkingen) dalam upaya melaksanakan maksud dan tujuan pendiriannya (Tumbuan: 2004). Salah satu konsekuensinya adalah tindakan hukum Perseroan Terbatas tidak kebal dari pernyataan pailit oleh kreditornya. Jika permohonan pailit disetujui oleh Pengadilan, maka seketika kewenangan pengurusan dan pemberesan atas seluruh kekayaan Perseroan yang tercakup dalam harta pailit beralih kepada kurator. Sangat berbeda dengan saat suatu BUMN hendak menambah modal atau negara hendak menjual kepemilikan di suatu BUMN diputuskan melalui suatu Peraturan Pemerintah.

Kecuali karena sengaja tidak memenuhi suatu kontrak perjanjian sebagai strategic default, kondisi pailit berupa technical default dan debt servicing default dapat diduga jauh sebelumnya dengan berbagai piranti analisa keuangan. Tidak terpenuhinya debt covenant misalnya karena rasio utang terhadap ekuitas membengkak, mau tidak mau pemegang saham, termasuk negara, melalui RUPS untuk BUMN Tbk akan memutuskan tambahan setoran modal baik melalui mekanisme rights offering, sedangkan untuk BUMN non-Tbk, Menteri Keuangan akan memutuskan tambahan setoran modal melalui mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah. Dilaksanakannya rights offering maupun Penyertaan Modal Pemerintah, sumber dananya dari APBN. Hubungan berkesinambungan terus menerus BUMN/BHMN dengan APBN melalui Bendahara Negara (baca: Menteri Keuangan) yakni hubungan pemilik perusahaan dengan perusahaan semacam inilah yang kemudian memasukan BUMN dalam domain keuangan negara.

Tipikor BUMN: Kelalaian Ringan hingga Criminal Intent
Sebagaimana halnya Perseroan Terbatas milik swasta, jika suatu BUMN mengalami kerugian, tentu saja pemegang sahamnya tidak puas, maka kuasa pemegang saham negara pada BUMN tersebut akan meminta dilaksanakan RUPS untuk melakukan pergantian direksi dan / atau dewan komisaris. Jika mens rea tipikor BUMN sekedar kelalaian ringan (simple neglicent), diselesaikan secara administratif dan perdata. Sebaliknya, jika kerugian BUMN tersebut karena intentional cruel atau criminal intent, maka penyelesaiannya wajib dilakukan secara pidana. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 155 UU Perseroan Terbatas: Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Pidana. Pembuktian mens rea pada kasus-kasus korupsi di BUMN dikaitkan pelaksanaan duty of care direksi dan komisaris BUMN, yakni Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dengan iktikad baik dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, sedangkan setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Dilaksanakan atau tidaknya tupoksi oleh Direksi dan Komisaris, dengan mudah dapat diruntun dari risalah rapat, daftar hadir rapat, dissenting statement, dokumen surat-menyurat sekaligus merupakan tolok ukur dilaksanakan atau tidaknya duty of care dan dipenuhi atau tidaknya business judgment rules.

Kerugian pada BUMN yang disebabkan actus reus pengurusnya dan terpenuhi kriteria mens rea, merugikan keuangan negara, sebab negara terpaksa kehilangan kesempatan mendapat dividend yang merupakan komponen penyusun Pendapatan Negara Bukan Pajak atau bahkan juga negara sebagai pemegang saham, terpaksa harus melakukan setoran tambahan modal untuk menutup kerugian. Perlu diketahui bahwa rerata kontribusi dividen BUMN dalam PNBP rata-rata pada kisaran 10% dan terhadap total penerimaan negara adalah 2,47%. Sedangkan kontribusi Pendapatan Pajak dari BUMN pada APBN berkisar pada angka 10%. Itulah sebabnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi jika merugikan keuangan negara (aspek kepemilikan) dan / atau perekonomian negara (aspek kontribusi APBN).

Diskursus tentang domain keuangan negara, ternyata berlanjut ke ranah constitutional law, tidak banyak diketahui khalayak, ternyata hurup (g) dan hurup (i) Pasal 2 pada UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sedang dimohonkan review Mahkamah Konstitusi. Pihak yang memohonkan juga mengajukan constitutional review atas UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya ayat-ayat dan pasal-pasal yang mengandung kata-kata BUMN/BHMN. Rupanya ketakutan atas term “keuangan negara” pada UU Tipikor-lah yang memotivasi para pemohon mengajukan constitutional review. Saya menduga, langkah berikut dari pemohon adalah memohonkan constitutional review atas UU Tipikor.




*) Pendidik.

Selasa, Agustus 13, 2013

Perum Navigasi, Cacat Lahir?


Perum Navigasi, Cacat Lahir?

Shalahuddin Haikal


Karena kecepatan-nya, pesawat terbang mutlak dinavigasi jalur udaranya, ketinggiannya. Selama dalam area manuver, seluruh aktifitas pesawat harus mendapat clearance dan mandat dari ATC terdekat. Kemudian akan dilakukan serah terima kontrol navigasi dari satu ATC ke ATC yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa navigasi penerbangan didefinisikan sebagai proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.

Oleh karenanya, navigasi penerbangan adalah salah satu kunci keselamatan dan keamanan penerbangan udara. Layanan navigasi yang menjadi tanggungjawab pemerintah dinyatakan pada Pasal 270 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan), terdiri atas a) pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services); b) pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical telecommunication services);c) pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information services); d) pelayanan informasi meteorologi penerbangan (aeronautical meteorological services); dan e) pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search and rescue). Ke-lima jenis layanan navigasi tersebut, sesuai dengan peranan Air Traffic Services sebagaimana disebutkan dalam Annex 11 statuta International Civil Aviation Organization.

Tidak mendapat sorotan dari media, pada tanggal 13 September 2012, Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (LPPNP) sebagaimana diamanatkan Pasal 271 UU Penerbangan, lahir melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum Navigasi) dan mulai beroperasi, setelah kelengkapannya sebagai Perusahaan dipenuhi pada 16 Januari 2013 lalu.

Pasal 271 UU Penerbangan merupakan spin off LPPNP sebagai regulator navigasi dengan pengelola bandara sebagai operator, sehingga pengelolaan layanan navigasi penerbangan menjadi terintegrasi oleh satu entitas regulator, karena selama ini tanggungjawab navigasi penerbangan tersebar pada tiga lembaga dan berbaur antara regulator dengan operator yakni: UPT Dirjen Perhubungan Udara dan PT (Persero) Angkasa Pura I dan II.

LPPNP yang ditunggu-tunggu selama hampir empat tahun, ternyata dilahirkan oleh PP No 77/2012 sebagai Perusahaan Umum. Jika tidak boleh disebut penyelewengan atau nihilisasi, setidak-tidaknya PP tersebut telah mengkerdilkan Pasal 271 UU Penerbangan.

Bentuk Perum Menihilkan Kriteria LPPNP

Kriteria bentuk LPPNP dinyatakan pada ayat 3 Pasal 271 UU Penerbangan, yakni (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b) tidak berorientasi kepada keuntungan (c) secara finansial mandiri (d) biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

Ternyata kriteria bentuk LPPNP tersebut malahan diabaikan sama sekali dengan dipilihnya bentuk Perusahaan Umum. Walhasil, bentuk Perum pada lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sama sekali tidak tepat. Sebagaimana didefinisikan pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Perusahaan Umum adalah (a) BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, (b) yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan (c) sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Perum adalah perusahaan yang harus menghasilkan laba, memupuk laba dalam bentuk cadangan khusus minimal sebesar 20% dari modal. Perum, juga akan membayar bonus untuk karyawan serta tantieme bagi Direksi dan Dewan Pengawas. Dari dua aspek saja, maka pilihan bentuk Perusahaan Umum untuk LPPNP jelas bertabrakan dengan ketentuan pendiriannya sebagaimana dinyatakan di UU Penerbangan yakni “tidak berorientasi kepada keuntungan”, “secara finansial mandiri” dan “biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan cost recovery”. Jika cadangan Perum belum mencapai 20% dari modal, maka Perum tidak akan diijinkan untuk berinvestasi. Karena kewajiban memupuk cadangan dan mengejar keuntungan, maka tidak bisa tidak pricing policy Perum Navigasi adalah cost plus markup bukan at cost.

Sedangkan keselamatan dan keamanan adalah barang publik yang harus disediakan gratis oleh negara atau setidak-tidaknya at cost.

Dengan bentuk Perum, negara telah melepas tanggungjawab penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Investasi perlengkapan dan peralatan navigasi, sepenuhnya menjadi tanggungjawab Perum Navigasi. Pun, ternyata pendirian Perum Navigasi pun dilakukan setengah hati, sebab tidak disertai setoran modal berupa fresh money tetapi berupa inbreng perlengkapan dan peralatan. Hal inipun masih mengandung banyak ganjalan, karena banyak perlengkapan dan peralatan navigasi penerbangan yang merupakan milik Angkasa Pura I dan II.

Badan Layanan Umum, bukan Perum!

Selain ayat 3, juga ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, merupakan syarat lain yakni: LPPNP dibentuk dan bertanggungjawab kepada Menteri, yakni Menteri Perhubungan.

Sebagai perusahaan, maka Perum Navigasi hanya bertanggungjawab kepada kuasa pemegang modal Negara yakni Menteri BUMN. Bentuk Perum, jauh menyimpang dengan amanat ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, yakni dibentuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan. Keputusan-keputusan investasi sampai dengan penggunaan keuntungan, Perum Navigasi harus meminta persetujuan dan bertanggungjawab kepada Menteri BUMN bukan Menteri Perhubungan.

Diruntun dari ayat 3 dan ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, maka bentuk paling tepat dan cocok untuk LPPNP adalah Badan Layanan Umum, sebagaimana diatur pada PP No 23 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2012.

Secara organisasi dan manajemen, pengelola BLU hanya memiliki satu superordinate, yakni kementerian yang dipimpin oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU, dalam hal ini Menteri Perhubungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Perhubungan.

Akibat dari diabaikannya ayat 3 Pasal 271 UU Penerbangan adalah fakta bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Panca Sila, keselamatan dan keamanan penerbangan sipil bukan layanan umum (public services) yang disediakan negara at cost, melainkan merupakan komoditas yang dijual oleh Perum Navigasi dengan mengambil untung. Terang dan nyata, pilihan bentuk Perum merupakan korporatisasi layanan umum yang merupakan definisi luas dari privatisasi, yang definisi sempitnya adalah penjualan kepemilikan negara pada korporat bentukan negara. Oleh karenanya, pendirian dan pengoperasian Perum Navigasi adalah korporatisasi layanan umum.

Dampak dari dinihilkannya ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, adalah Perum Navigasi tidak bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan tetapi justru kepada Menteri BUMN selaku kuasa pemegang modal. Karenanya, terkait LPPNP, Menteri Perhubungan kini tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.

Tidak seperti UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai zombie privatisasi pendidikan, yang untuk membatalkannya mutlak diproses di Mahkamah Konstitusi. “Keterlanjuran” memprivatisasi keselamatan dan keamanan penerbangan sipil melalui Peraturan Pemerintah, jauh lebih mudah untuk meralatnya. Cukup terbitkan PP baru sebagai pengganti PP No 77/2012. Segera!

Sabtu, Maret 30, 2013

Guru Besar vs. Mahasiswa S-1




Guru Besar vs. Mahasiswa S-1



Shalahuddin Haikal*)



Secara serentak, beberapa media online maupun cetak, termasuk Harian Kompas (rubrik Pendidikan dan Kebudayaan edisi Sabtu 2 Maret 2013) menurunkan berita dengan tajuk yang kurang lebih sama, yakni para Guru Besar (bukan guru kecil) prihatin dan khawatir karena otonomi dan kebebasan akademik perguruan tinggi terancam dengan dimohonkannya uji materi UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) ke Mahkamah Konstitusi oleh enam mahasiswa Universitas Andalas. Dari kesamaan tajuk berita tersebut, saya menduga, ada semacam press release dari Asosiasi Profesor Indonesia (API). Press release ini berdekatan waktunya dengan sidang terakhir judisial reviu UU Dikti, pada tanggal 7 Maret 2013. 

Tulisan ini akhirnya saya release di blog saya, karena keberpihakan sebuah harian dengan tagline Amanat Hati Nurani Rakyat terhadap UU No 12 Tahun 2012 tentang Dikti, ternyata telah menghalangi untuk bersikap adil dan seimbang. Sebagai catatan saya, selama bulan Maret 2013 ini, tercatat 4 artikel opini dari para gurubesar dan elite perguruan tinggi dan 1 tajuk rencana (7 Maret 2013) yang jelas berpihak pada "otonomi" perguruan tinggi.

Press release tersebut mengungkap paradoks, yakni, para Guru Besar, yang seharusnya senang dan bangga dengan para mahasiswa yang telah menunjukkan kualitasnya dengan debat dan argumen untuk mencari kebenaran konstitusi, yang didapat dari makna kebebasan akademik itu sendiri, tidak sekedar menjadi Pak Turut. Malahan merasa prihatin dan khawatir manakala para mahasiswa-nya yang sudah barang tentu adalah juga warganegara Republik Indonesia menggunakan hak konstitusi-nya untuk memohonkan reviu judisial atas lima Pasal pada suatu UU yang antara lain berazaskan: kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, dan. Paradoks ini juga mengungkap bahwa dalam benak para profesor, kebebasan akademik hanyalah hak para profesor saja. Paradoks-paradoks ini membuka kemungkinan bahwa boleh jadi, kepentingan para Guru Besar atas UU Dikti adalah kepentingan subyektif Guru Besar sebagai kelompok bukan kepentingan obyektif terhadap dunia pendidikan.

David vs. Goliath
Tampak kegamangan dari press release tersebut, antara lain, verbatimnya: “...menilai ilmuwan dan perguruan tinggi akan bisa berkembang hanya jika ada kebebasan akademik “ dari pilihan diksi dan terminologi yang dipakai, sehingga nampak jelas mazhab atau school of thought yang dianutnya, misalnya saja: (1) digunakannya pilihan kata ilmuwan (scientist), bukan cendikiawan (intellectual). Dua kata yang serupa, tetapi sama sekali tidak sama. Ilmuwan melupakan hati nurani sebab mereka hidup dengan dirinya sendiri, sedangkan cendikiawan adalah seorang ilmuwan yang memiliki kemerdekaan akademik, sehingga senantiasa patuh mengikuti hati nurani dan merasa bertanggungjawab atas kemajuan peradaban. (2) Lupa atau terlupa, bahwa kebebasan akademik, terletak pada individu, bukan otonom atau tidak otonom-nya lembaga universitas, telah sangat jelas dan diberikan perlindungan pada UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen. Galileo, Andrei Sakharov, Alexander Solzhenitsyn, Suwardi Suryaningrat, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, adalah contoh cendikiawan yang hidup pada masa rejim represip, tetapi tidak kehilangan kecendekiawanannya. (3) Mencampuradukan atau menyamaartikan negara dengan pemerintah, dua istilah yang memang seringkali interchangeably, namun sama sekali berbeda arti.

Dari beberapa sidang terakhir reviu judisial, ahli atau saksi ahli dari pihak pemerintah, nyaris seluruhnya adalah para Guru Besar. Alhasil, terjadilah adu konsep konstitusi antara para mahasiswa S-1 yang belum menyelesaikan 144 SKS dengan para profesor yang sudah pasti bergelar Doktor dan telah mengumpulkan minimal 850 angka kredit jabatan profesor.

Kegamangan ini dapat dimaklumi, sebab, jika permohonan reviu judisial dari ke-enam mahasiswa S-1 tersebut ditolak, amat sangat wajar, karena lawannya adalah pemerintah yang didukung oleh para profesor seantero Indonesia yang berhimpun dalam Asosiasi Profesor Indonesia. Namun sebaliknya, jika permohonan reviu judisial dari ke-enam mahasiswa S-1 tersebut dipenuhi, maka sungguh keterlaluan, karena berarti dalil-dalil yang dikemukakan para profesor di persidangan berarti bukan dalil-dalil yang bernas dan layak diabaikan.

Terimakasih pada Mahkamah Konstitusi, yang dari laman-nya bisa diunduh berbagai risalah sidang berbagai reviu judisial dan telah membuatnya menjadi dokumen publik. Sudah barang tentu termasuk risalah sidang reviu judisial UU Dikti. Tentu saja, sebagai dosen, saya memiliki kebebasan akademik untuk mengkomentari beberapa dalil yang dikemukakan oleh salah satu saksi dari Pemerintah

Otonomi: Dulu BHMN nanti PTN-BH
Beliau mendalilkan kesaksiannya dengan konsep bahwa kebenaran hukum adalah kebenaran konsensus dan kebenaran korespondensi. BHMN sudah diakui oleh banyak ahli hukum, diakui oleh masyarakat, diakui oleh stake holder, sehingga oleh karenanya merupakan suatu kebenaran hukum. Beliau memuja dan memuji BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan akuntabel. Demikianlah kurang lebih intisari penjelasannya sebagai ahli.

Jika pernyataan tersebut benar demikian, maka buku setebal 802 halaman yang berjudul Membangun di Atas Puing Integritas: Belajar dari Universitas Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, September 2012) tidak akan pernah terbit.

Berujar Shakespeare, “what's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet.". Dahulu bernama Badan Hukum Milik Negara, pada UU Dikti bernama Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum. Kata kuncinya, ada pada terminologi Badan Hukum.

Sebagai badan hukum, begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan negara atau imunitas publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan peraturan internal badan hukum itu sendiri (Arifin P. Soeriatmadja, 2009), dalam hal ini statuta universitas. Namun demikian, penjelasan hurup (i) Pasal 2, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tegas menjelaskan bahwa domain keuangan negara adalah meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. Oleh karenanya kemudian, penjelasan tupoksi BPK pada Pasal 6 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, terang dan nyata menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain” dimana BPK memiliki hak untuk memeriksa, antara lain: badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara.

Seandainya saja UU Keuangan Negara tidak mendefinisikan domain keuangan negara dan UU BPK tidak menjelaskan arti kata “lembaga dan badan lain”, maka tidak akan pernah terbit surat Badan Pemeriksa Keuangan kepada: Rektor ITB dengan nomer surat 35/S/VIII/12/2011, (2) Rektor UI dengan nomer surat 37/S/VIII/12/2011 (3) Rektor UGM dengan nomer surat 42/S/VIII/2012. Ketiga surat tersebut bertanggal 30 Desember 2011. 

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak ilmuwan yang terhormat tersebut keahliannya adalah mengajar, meneliti dan menjadi abdi bagi masyarakat, mendadak diberikan otoritas menjadi ruler untuk mengelola Perguruan Tinggi secara otonom. Sangat boleh jadi inilah simptom “Napoleon Rule’s” sebagaimana dikisahkan oleh George Orwell pada the Animal Farm.

Inikah yang didalilkan, bahwa tidak perlu ada keberatan dan kesangsian pada bentuk PTN-BH karena sebagai BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan akuntabel?







*) Pendidik.