Selasa, Februari 26, 2008

Kelemahan Rule Making Rules pada Bank Indonesia:

Kasus Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan “Independen”


Shalahuddin Haikal

Abstract

This paper aimed to show how Bank Indonesia as banking supervisor does not conversant in the rule making rules. Bank Indonesia Regulation on Banking Mediation is a good case to show it. In order to make clearer, I analyze Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 as well as Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008, to show how Bank Indonesia does not have clear sense about the party should be ruled and does not have knowledge how important the time frame is. This fact is a clear and present danger for a banking supervisory body since banking is opaque financial institutions which heavily regulated and therefore have to comply all rules without exception.

Key Words: rule making rules, banking mediation, Bank Indonesia.

I. Latar Belakang

31 Januari 2006, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, yang mengharuskan asosiasi perbankan untuk membentuk Lembaga Mediasi Independen selambat-lambatnya 31 Desember 2007. Tenggat waktu tersebut sudah lewat, namun tidak nampak tanda-tanda Lembaga tersebut berdiri. Mediasi adalah proses dimana dua pihak yang bersengketa mencoba mencari pemecahan atas sengketanya dengan bantuan pihak ke-tiga yang netral yang disebut mediator (Lovenheim: 1996)[1]. Proses mediasi berbeda dengan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga arbitrageur, karena mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa, menunjuk siapa salah, siapa benar, berikut denda dan pinalti jika ada. Hasil akhir dari proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Kebutuhan bermediasi di dunia perbankan sudah mendesak dan sudah menjadi clear and present requirement. Malahan keberadaan lembaga mediasi pada sudah disebut-sebut pada Arsitektur Perbankan Indonesia (API) karena sengketa yang berlarut-larut antara pengguna jasa perbankan dengan bank merupakan bibit risiko reputasi[2]. Melalui desk survey Surat Pembaca Harian Kompas periode 1 September 2007 sampai dengan 31 Desember 2007 terdapat 76 surat pembaca yang isinya menyatakan kekesalan, kekecewaan para pengguna jasa perbankan dengan isi perjanjian (kontrak) atau dengan minimum service level agreement. Pihak bank, biasanya membutuhkan waktu sekitar 3 minggu s.d 4 minggu untuk menyelesaikannya dan kemudian menjawab melalui Surat Pembaca. Meskipun pihak bank menjawab (juga melalui surat pembaca), namun bagaimana proses penyelesaian kekesalan dan kekecewaan pengguna jasa tidak terlihat pada jawaban pihak bank. Dari 76 surat pembaca, terdapat satu hal yang mencolok, yakni nyaris 100% keluhan adalah untuk produk personal banking/consumers banking (tabungan, atm, giro perorangan, kartu kredit, kredit tanpa agunan, kredit pemilikan rumah). Yang paling menarik adalah 100% dari 76 penulis surat pembaca sudah mencoba menanyakan dan menyelesaikannya dengan datang langsung ke bank atau melalui call center bank yang bersangkutan.

II. Aspek Kepatuhan

Lantas mengapa mereka memilih menulis surat pembaca? Meskipun Lembaga Mediasi Perbankan belum terbentuk, peran Mediasi ini sudah dilaksanakan oleh Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan sejak 1 Juni 2006. Penulis tidak berkesempatan melakukan konfirmasi kepada para penulis surat pembaca tersebut, tetapi sudah hampir pasti alasan mereka menulis surat pembaca karena informasi keberadaan Kegiatan Mediasi yang dilakukan oleh Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan tidak diumumkan oleh perbankan. Disini nampak nyata, jika menyangkut aspek funding, perbankan menempel stiker kuning besar “Bank Peserta Program Penjaminan LPS”. Sebaliknya menyangkut penyelesaian penyimpangan terrhadap aspek layanan dan yang diperjanjikan, bank tidak mengumumkan alternative penyelesaian. Padahal Pasal 14 PBI No. 8/5/PBI/2006 jelas menyebutkan bahwa pihak Bank harus mempublikasikan keberadaan sarana alternatif penyelesaian sengketa kepada Nasabah. Benar mereka mempublikasikannnya tetapi melalui situs internet dan bukan di kantor bank yang bersangkutan.

Sesungguhnya persoalan Mediasi selalu berangkat dari persoalan compliance. Coba berapa kali pembaca menerima tawaran (melalui telpon ke telpon cellular juga melalui gerai-gerai temporer bank di pusat-pusat perbelanjaan) untuk memiliki kartu kredit atau KTA tanpa perlu mengisi formulir aplikasi. Sedangkan pengisian formulir aplikasi selain untuk security hubungan kontraktual nasabah dengan bank, juga kental berisikan aspek kehati-hatian perbankan. Terlebih sejak terbitnya ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Knowing Your Clients) cara-cara seperti ini tidak dapat ditolerir lagi. Yang juga menjadi tandatanya besar lainnya adalah nomer telpon celular kita ternyata diketahui oleh credit card sales.

Kompetisi perbankan kini tidak lagi berbentuk persaingan suku bunga dan hadiah. Persaingan perbankan kini telah mengarah kepada persaingan layanan, ketepatan hal-hal yang diperjanjikan, ketepatan pelaksanaan pada isi kontrak pembukaan rekening. Di Indonesia, beberapa hal yang mengemuka a.l: (1) saldo tabungan berkurang karena pembebanan biaya administrasi (2) kartu kredit didapat tanpa mengisi aplikasi (3) data pribadi digunakan pihak lain (4) tanpa notifikasi seseorang bisa masuk dalam black list debitur.

Persaingan yang ketat juga telah mengakibatkan perbankan membentuk aliansi jaringan ATM, dimana nasabah bank X dapat bertransaksi di ATM milik bank Y. Aliansi jaringan ATM telah melahirkan persoalan baru, misalnya keterbukaan biaya transaksi, penyelesaian terhadap failure transaction.

Dari ke-76 surat pembaca (dan jawaban dari pihak bank), pada galibnya komplain pengguna jasa perbankan dapat dikelompokkan atas 4 hal berikut: (1) kelemahan Standard Operating Procedures perbankan; (2) ketidakpatuhan bank pada ketentuan dari Bank Indonesia; (3) lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia atas aspek kepatuhan; (4) salah intrepretasi oleh sisi nasabah

Tidak diumumkannya keberadaan kegiatan mediasi perbankan yang untuk sementara dilakukan oleh Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan sekaligus masuk ke dalam kelompok 1; 2 dan 3.

III. Komplikasi 1: Jasa / Produk Perbankan

Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan tidak mengcover jenis jasa atau produk perbankan mana saja yang proses sengketanya dapat diselesaikan di lembaga mediasi perbankan. Jika aspek ini tidak diperjelas, maka peran Lembaga Mediasi Perbankan akan marginal. Oleh karenanya diperlukan pendefinisian jasa/produk perbankan apa saja yang dapat diselesaikan atau jasa/produk siapa saja yang dapat diselesaikan.

§ Bundling Bank Products

Ketatnya persaingan pendanaan (funding), menyebabkan bank komersial di Indonesia mulai bermetamorphosis menjadi bank universal dengan mulai menawarkan bundling bank products, misalnya kombinasi produk tabungan milik bank dengan produk asuransi jiwa milik perusahaan asuransi. Dalam hal terjadi sengketa, apakah para pihak (dalam hal ini bank yang bersangkutan dan perusahaan asuransi) akan bersedia hadir, jika perusahaan asuransi tidak bersedia hadir, apakah Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan dan nantinya Lembaga Mediasi Perbankan dapat memberikan sanksi atas ketidakhadirannya? Tentu tidak bisa, karena mediator bukanlah hakim atau arbitrageur.

§ Produk-Produk Investasi

Perbankan juga giat memperbesar fee based income, antara lain dengan aktif bertindak sebagai agen yang menjual produk-produk investasi pasar modal seperti reksadana dan produk-produk campuran investasi dan asuransi seperti reksadana unit link. Penjualan ini dilakukan oleh marketing officer (karyawan) bank yang bersangkutan. Penjualan yang dilakukan tanpa penjelasan bahwa produk tersebut bukan produk perbankan dan status bank hanya sebagai agen, nasabah bank yang membeli produk tersebut akan mengartikan bahwa produk tersebut adalah produk perbankan dari bank yang bersangkutan. Dalam konteks hukum kontrak, bilamana terjadi sengketa atas produk investasi tersebut, bank sebagai agen harus bersedia harus bertanggungjawab mewakili principal dari produk investasi tersebut.

III. Komplikasi 2: Status Badan Hukum Kantor Cabang Bank Asing

Meskipun Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan mencakup kantor cabang bank asing, namun banyak bank asing yang secara nyata menjual produk-produk yang tidak lazim menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Secara internal, sebagai kantor cabang, bank asing berkewajiban menawarkan produk-produk perbankan kantor pusatnya yang tidak berada dalam wilayah pengawasan Bank Indonesia. Contoh beberapa produk kantor pusat yang ditawarkan oleh kantor cabang bank asing adalah produk wealth management; private equity fund dan currency & interest option.

III. Komplikasi 3: Outsourcing

Dalam operasinya bank berusaha menekan biaya-biaya pemasaran dan penjualan dengan cara melakukan outsource pada perusahaan penyedia jasa pemasaran dan penjualan. Pemasaran kartu kredit, kredit tanpa agunan, eazy pay merupakan contoh dimana pihak bank banyak melakukan outsources. Karena perusahaan outsources bukan bank, maka kegiatannya diluar jangkauan pengawasan Bank Indonesia. Persoalan secrecy, confidentiality merupakan persoalan yang selalu mengemuka. Ke depan sebaiknya Bank Indonesia, melakukan review atas bentuk dan isi perjanjian outsources antara bank dengan penyedia jasa outsources. Di Amerika Serikat, Gramm-Leach Bliley Act yang memungkinkan pertukaran informasi tentang nasabah di kalangan lembaga keuangan telah melahirkan ketentuan baru, yang pada intinya nasabah memiliki opt out clause atas pertukaran informasi ini.

Agar keberadaan Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan dan nantinya Lembaga Mediasi Perbankan tidak marginal, maka terhadap faktor-faktor (1) jasa/produk perbankan (2) status badan hukum bank asing, dan (3) outsourcing, harus terlebih dahulu harus dilakukan uji tuntas ulang dan bila perlu dilakukan penyempurnaan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

IV. Lembaga Mediasi Perbankan Independen? Quis Custodiet Ipsos Custodes?

Pasal 3 angka 1 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan “Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan”, cukup menjelaskan tentang bagaimana bentuk Lembaga Mediasi Perbankan. Yakni merupakan badan di luar Bank Indonesia dan dibentuk oleh asosiasi perbankan.

Namun jika pasal 3 ini dibaca secara keseluruhan (termasuk butir 3 dan 4) dan dengan seksama:

Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2007 (Pasal 3.2)

Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga Mediasi perbankan independen melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. (Pasal 3.3)

Sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia (Pasal 3.4)

justru menimbulkan banyak pertanyaan, apakah Bank Indonesia tidak cukup independen? Bagaimana bentuk koordinasi dengan Bank Indonesia? Siapa yang akan mengawasi jalannya proses mediasi?

Berbeda dengan pengaturan dan pengawasan di pasar modal yang berbasis transparent transaction, ketentuan operasi dan kegiatan usaha bank sudah sangat jelas diatur dalam ratusan Peraturan Bank Indonesia bahkan ribuan Surat Edaran Bank Indonesia. Do’s dan don’ts bagi perbankan yang berasal dari Bank Indonesia sudah merupakan daftar yang harus diakomodasi pada Standard Operating Procedure perbankan.

Analisa terhadap hasil desk survey dan survey in situ memberikan kesimpulan yang tidak berbeda dengan proposisi penelitian ini bahwa komplain yang timbul dari pengguna jasa perbankan (nasabah maupun bukan nasabah) ternyata bersumber pada 5 hal, yakni: (a) kelemahan aspek compliance pada bank yang bersangkutan; (b) penyalahgunaan data nasabah oleh bank atau perusahaan outsources (c) kelemahan pada teknologi informasi, komputasi dan otomasi perbankan (d) kelemahan pengawasan oleh Bank Indonesia dan (e) salah interpretasi dan atau moral hazard pengguna jasa perbankan.

Berdasarkan 5 sumber sengketa tersebut diatas, yang dapat dikategorikan sebagai sengketa hanyalah salah interpretasi dan atau moral hazard pengguna jasa perbankan. Ke-empat butir yang pertama domain pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia, sehingga dalam proses mediasi perbankan, Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan Bank Indonesia akan jauh lebih tahu akar permasalahan sengketa, apakah karena butir a; b; c ; d atau karena salah interpretasi atau moral hazard nasabah.

Oleh karenanya sangat tidak tepat jika Bank Indonesia menyerahkan proses mediasi pada Lembaga Mediasi Perbankan. Quis Custodiet Ipsos Custodes? Siapa yang akan mengawasi fairness, transparansi dan akuntabilitas proses mediasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Perbankan? Sedangkan akar-akar sengketa bank dengan pengguna jasa perbankan bersumber dari dalam bank itu sendiri.

V. Bentuk Lembaga Mediasi Perbankan

Pihak yang dirugikan dan mengajukan penyelesaian sengketa di Lembaga Mediasi bentukan asosiasi perbankan, justru akan merasa khawatir tentang independensi dan obyektifitas Lembaga ini. Mediator bekerja untuk Lembaga Mediasi bentukan Asosiasi Perbankan, hal ini berarti mediator merupakan Agent dan Lembaga Mediasi merupakan Principal. Lembaga Mediasi merupakan Agent dan Asosiasi Perbankan merupakan Principal. Ujung-ujungnya asosiasi perbankan pasti akan bertindak untuk kepentingan (interest) para anggotanya. Sedangkan salah satu syarat menjadi mediator selain netral, tidak memihak, adalah tidak bekerja pada salah satu pihak yang bersengketa. (Goodpaster: 1999)[3]

Oleh karena itu Bentuk dan Konsep Pelaksanaan Mediasi Perbankan yang akan memberikan kinerja terbaik adalah tetap berada pada Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan di Bank Indonesia. Kalaupun pelaksanaan mediasi perbankan diputuskan diserahkan kepada Lembaga Mediasi Perbankan, maka hubungannya dengan Bank Indonesia bukan hubungan koordinasi, tetapi dibawah supervisi Bank Indonesia. Menjadi persoalan adalah penunjukan mediator, mediator tentu ditunjuk dan bekerja untuk Lembaga Mediasi yang dibentuk oleh Asosiasi Perbankan. Untuk mengurangi hubungan kelembagaan antara bank dengan lembaga mediasi perbankan, maka Lembaga Mediasi Perbankan hanya bertugas melaksanakan proses mediasi dengan kata lain Lembaga Mediasi Perbankan merupakan Organizing Committee sedangkan peran Steering Committee tetap harus berada di bawah kendali Bank Indonesia.

Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), bukan merupakan contoh lembaga sertifikasi yang baik, karena Bank Indonesia tidak memiliki tangan dalam penentuan body of knowledge sertifikasi. Sebaliknya Lembaga Penjamin Simpanan justru merupakan contoh lembaga penjaminan yang baik karena Bank Indonesia memiliki perwakilan didalamnya sehingga koordinasi antara Bank Indonesia dengan Lembaga Penjamin Simpanan berjalan.

VI. Manfaat Untuk Bank Indonesia: Pengawasan Tidak Langsung

Pada tingkat minimum: Lembaga Mediasi disupervisi oleh Bank Indonesia atau pada tingkat maksimum: proses mediasi dilakukan oleh Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan di Bank Indonesia akan memberikan mendatangkan manfaat lain, yakni pengawasan menyeluruh berupa pengawasan atas aspek kepatuhan perbankan, penyalahgunaan data nasabah, kelemahan teknologi informasi, komputasi dan otomasi perbankan akan datang dari para pihak yang dirugikan yang hendak melaksanakan mediasi.

VII. Lokasi Kedudukan Lembaga Mediasi

Nasabah perbankan terdistribusi di 33 propinsi. Oleh karenanya lokasi atau tempat kedudukan Lembaga Mediasi Perbankan bentukan asosiasi perbankan harus berada di tiap ibukota propinsi. Kemampuan keuangan asosiasi perbankan untuk mendirikan Lembaga Mediasi Perbankan di tiap ibukota propinsi menjadi persoalan penting, karena untuk mengoperasikan kegiatan sehari-hari diperlukan tempat netral (tidak bertempat di salah satu kantor bank anggota asosiasi) diperlukan biaya. Pelaksanaan administrasi rutin Lembaga ini akan memerlukan karyawan. Pembebanan biaya penyelesaian sengketa kepada pengguna jasa perbankan yang bersengketa sudah tentu akan memberatkan mereka.

Namun, jika Lembaga Mediasi Perbankan berkedudukan di Jakarta, akan menimbulkan reluktansi pengguna jasa perbankan yang berasal dari luar Jakarta/luar Jawa untuk hadir pada proses mediasi, karena akan melibatkan biaya transportasi dan akomodasi. Bank Indonesia yang memiliki kantor bukan saja di tiap ibu kota Propinsi tetapi di kota-kota besar di tiap propinsi memiliki kesiapan untuk melaksanakan proses mediasi perbankan melalui Direktorat Investigasi & Mediasi Perbankan.

VIII. Penutup

Meskipun terlambat dan sampai kini belum ada kabar tentang Pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen sebagai pelaksanaan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan justru merupakan hikmah, karena Bank Indonesia sebaiknya memperhatikan isi makalah ini dengan kepala dingin.

Mengingat variasi produk yang mengarah kepada bundling bank’s products serta pergerakan mazhab dari commercial banking menuju universial banking, maka efektifitas mediasi perbankan, akan makin nyata jika fungsi pengawasan Bank Indonesia digabung dengan fungsi pengawasan lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal, namun hal ini baru akan terjadi pada tahun 2010[4].

Pada 29 Januari 2008, Bank Indonesia akhirnya menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Salah satu pertimbangan kenapa PBI No. 10/1/PBI/2008 ini harus dilahirkan adalah karena belum terealisasikannya pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan oleh asosiasi perbankan. Yang menarik, PBI No. 10/1/PBI/2008 tidak lagi memiliki batas waktu pembentukan Lembaga Mediasi Perbankan. Satu-satunya perubahan hanyalah menghapus ayat 2 Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006, berikut:

Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2007

Selain mengandung banyak kelemahan sebagaimana saya tunjukkan di atas, Bank Indonesia tidak berhati-hati sebelum mengeluarkan produk hukum, ketentuan atau peraturan. Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan menugaskan Asosiasi Perbankan untuk membentuk Lembaga Mediasi Perbankan Independen. Dari ratusan Peraturan Bank Indonesia tidak ditemukan frasa asosiasi perbankan, karena memang tidak terdapat hubungan legal formal struktural antara Bank Indonesia dengan asosiasi perbankan. Hubungan legal formal struktural terdapat antara Bank Indonesia dengan masing-masing seluruh badan hukum perbankan yang ijin usahanya dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Terbitnya Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan, yang telah menghapus ayat 2 Pasal 3, maka kedua Peraturan Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan) tidak memiliki arti sebagai Peraturan. Pertama: (1) Pihak yang diatur (asosiasi perbankan) tidak ada dan (2) Batas waktu pembentukan tidak ada. Sehingga jangan heran, jika sampai kapanpun Lembaga Mediasi Perbankan tidak akan pernah ada.

Ketidakhati-hatian jika tidak boleh disebut kecerobohan Bank Indonesia ternyata berasal dari kelemahan dalam rule making rules pada Bank Indonesia sendiri. Ketentuan tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengalami bongkar pasang hingga 2 kali, juga merupakan contoh lain untuk menggambarkan kelemahan Bank Indonesia dalam rule making rules.

Referensi

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 30 Januari 2006

Bank Indonesia, Surat Edaran No 8/14/DPNP tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 1 Juni 2006

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008, tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, Jakarta 29 Januari 2008

Cooter, Robert and Thomas Ulen, Law and Economics, 3rd edition, Addison Wesley Longman, Inc, 2000

Hadad, Muliaman, Menanti Mediator Bank-Nasabah, BEI News Edisi 23 Tahun V, November-Desember 2004

Goodpaster, Garry, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS 1999

Kane, Edward J. “Metamorphosis in Financial Service Delivery and Production” in Strategic Planning of Economic and Technological Change in the Federal Savings and Loan. San Fransisco: Federal Home Loan Bank Board 1983.

Lovenheim, Peter, 1996, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley

Soebagjo, Felix Oentoeng, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia Dan Pembentukan Lembaga Independen Mediasi Perbankan”. Kerjasama Magister Hukum Bisnis & Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada dengan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007

Undang-Undang No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia



*) Shalahuddin Haikal adalah dosen Program S-1 Reguler, FEUI, Depok.

[1] Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute, Nolo-Press, Berkeley, 1996.

[2] Muliaman Hadad, Menanti Mediator Bank – Nasabah, BEI News Edisi 23 Tahun V, November – Desember 2004.

[3] Garry Goodpaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, ELIPS.

[4] Pasal 34 Ayat 2 UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.