Selasa, Agustus 13, 2013

Perum Navigasi, Cacat Lahir?


Perum Navigasi, Cacat Lahir?

Shalahuddin Haikal


Karena kecepatan-nya, pesawat terbang mutlak dinavigasi jalur udaranya, ketinggiannya. Selama dalam area manuver, seluruh aktifitas pesawat harus mendapat clearance dan mandat dari ATC terdekat. Kemudian akan dilakukan serah terima kontrol navigasi dari satu ATC ke ATC yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa navigasi penerbangan didefinisikan sebagai proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.

Oleh karenanya, navigasi penerbangan adalah salah satu kunci keselamatan dan keamanan penerbangan udara. Layanan navigasi yang menjadi tanggungjawab pemerintah dinyatakan pada Pasal 270 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan), terdiri atas a) pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services); b) pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical telecommunication services);c) pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information services); d) pelayanan informasi meteorologi penerbangan (aeronautical meteorological services); dan e) pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search and rescue). Ke-lima jenis layanan navigasi tersebut, sesuai dengan peranan Air Traffic Services sebagaimana disebutkan dalam Annex 11 statuta International Civil Aviation Organization.

Tidak mendapat sorotan dari media, pada tanggal 13 September 2012, Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (LPPNP) sebagaimana diamanatkan Pasal 271 UU Penerbangan, lahir melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum Navigasi) dan mulai beroperasi, setelah kelengkapannya sebagai Perusahaan dipenuhi pada 16 Januari 2013 lalu.

Pasal 271 UU Penerbangan merupakan spin off LPPNP sebagai regulator navigasi dengan pengelola bandara sebagai operator, sehingga pengelolaan layanan navigasi penerbangan menjadi terintegrasi oleh satu entitas regulator, karena selama ini tanggungjawab navigasi penerbangan tersebar pada tiga lembaga dan berbaur antara regulator dengan operator yakni: UPT Dirjen Perhubungan Udara dan PT (Persero) Angkasa Pura I dan II.

LPPNP yang ditunggu-tunggu selama hampir empat tahun, ternyata dilahirkan oleh PP No 77/2012 sebagai Perusahaan Umum. Jika tidak boleh disebut penyelewengan atau nihilisasi, setidak-tidaknya PP tersebut telah mengkerdilkan Pasal 271 UU Penerbangan.

Bentuk Perum Menihilkan Kriteria LPPNP

Kriteria bentuk LPPNP dinyatakan pada ayat 3 Pasal 271 UU Penerbangan, yakni (a) mengutamakan keselamatan penerbangan, (b) tidak berorientasi kepada keuntungan (c) secara finansial mandiri (d) biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).

Ternyata kriteria bentuk LPPNP tersebut malahan diabaikan sama sekali dengan dipilihnya bentuk Perusahaan Umum. Walhasil, bentuk Perum pada lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sama sekali tidak tepat. Sebagaimana didefinisikan pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Perusahaan Umum adalah (a) BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, (b) yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan (c) sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Perum adalah perusahaan yang harus menghasilkan laba, memupuk laba dalam bentuk cadangan khusus minimal sebesar 20% dari modal. Perum, juga akan membayar bonus untuk karyawan serta tantieme bagi Direksi dan Dewan Pengawas. Dari dua aspek saja, maka pilihan bentuk Perusahaan Umum untuk LPPNP jelas bertabrakan dengan ketentuan pendiriannya sebagaimana dinyatakan di UU Penerbangan yakni “tidak berorientasi kepada keuntungan”, “secara finansial mandiri” dan “biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan sebagai biaya investasi dan cost recovery”. Jika cadangan Perum belum mencapai 20% dari modal, maka Perum tidak akan diijinkan untuk berinvestasi. Karena kewajiban memupuk cadangan dan mengejar keuntungan, maka tidak bisa tidak pricing policy Perum Navigasi adalah cost plus markup bukan at cost.

Sedangkan keselamatan dan keamanan adalah barang publik yang harus disediakan gratis oleh negara atau setidak-tidaknya at cost.

Dengan bentuk Perum, negara telah melepas tanggungjawab penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan. Investasi perlengkapan dan peralatan navigasi, sepenuhnya menjadi tanggungjawab Perum Navigasi. Pun, ternyata pendirian Perum Navigasi pun dilakukan setengah hati, sebab tidak disertai setoran modal berupa fresh money tetapi berupa inbreng perlengkapan dan peralatan. Hal inipun masih mengandung banyak ganjalan, karena banyak perlengkapan dan peralatan navigasi penerbangan yang merupakan milik Angkasa Pura I dan II.

Badan Layanan Umum, bukan Perum!

Selain ayat 3, juga ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, merupakan syarat lain yakni: LPPNP dibentuk dan bertanggungjawab kepada Menteri, yakni Menteri Perhubungan.

Sebagai perusahaan, maka Perum Navigasi hanya bertanggungjawab kepada kuasa pemegang modal Negara yakni Menteri BUMN. Bentuk Perum, jauh menyimpang dengan amanat ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, yakni dibentuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan. Keputusan-keputusan investasi sampai dengan penggunaan keuntungan, Perum Navigasi harus meminta persetujuan dan bertanggungjawab kepada Menteri BUMN bukan Menteri Perhubungan.

Diruntun dari ayat 3 dan ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, maka bentuk paling tepat dan cocok untuk LPPNP adalah Badan Layanan Umum, sebagaimana diatur pada PP No 23 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2012.

Secara organisasi dan manajemen, pengelola BLU hanya memiliki satu superordinate, yakni kementerian yang dipimpin oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU, dalam hal ini Menteri Perhubungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Perhubungan.

Akibat dari diabaikannya ayat 3 Pasal 271 UU Penerbangan adalah fakta bahwa di Republik Indonesia yang berdasarkan Panca Sila, keselamatan dan keamanan penerbangan sipil bukan layanan umum (public services) yang disediakan negara at cost, melainkan merupakan komoditas yang dijual oleh Perum Navigasi dengan mengambil untung. Terang dan nyata, pilihan bentuk Perum merupakan korporatisasi layanan umum yang merupakan definisi luas dari privatisasi, yang definisi sempitnya adalah penjualan kepemilikan negara pada korporat bentukan negara. Oleh karenanya, pendirian dan pengoperasian Perum Navigasi adalah korporatisasi layanan umum.

Dampak dari dinihilkannya ayat 4 Pasal 271 UU Penerbangan, adalah Perum Navigasi tidak bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan tetapi justru kepada Menteri BUMN selaku kuasa pemegang modal. Karenanya, terkait LPPNP, Menteri Perhubungan kini tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.

Tidak seperti UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai zombie privatisasi pendidikan, yang untuk membatalkannya mutlak diproses di Mahkamah Konstitusi. “Keterlanjuran” memprivatisasi keselamatan dan keamanan penerbangan sipil melalui Peraturan Pemerintah, jauh lebih mudah untuk meralatnya. Cukup terbitkan PP baru sebagai pengganti PP No 77/2012. Segera!