Minggu, Oktober 09, 2011

Independen atau Independensi?

Independen atau Independensi?
Oleh: Shalahuddin Haikal*
Kolega saya berseloroh, “hari gini, independensi adalah barang langka”. Guru Besar yang dianggap manusia setengah dewa saja merasa perlu berserikat mendirikan Asosiasi Guru Besar, sehingga ke-independensi-annya patut kita ragukan. Beberapa kejadian korporasi di pasar modal belakangan ini membuat publik mempertanyakan ke-independensi-an (kriteria, mekanisme pemilihan dan peranan) Komisaris Independen. Independent adalah kata sifat yang pada Miriam Webster Collegiate Dictionary maupun Thesaurus diartikan sebagai self-governing, self-determining, sovereign. Sebaliknya Independence adalah kata benda dari independent. Dalam pengawasan dan pengelolaan emiten (perusahaan publik), manakah yang lebih diperlukan? Independent atau Independence?
Polemik Adolph A Berle (44 Harvard Law Review 1049, Corporate Powers as Powers in Trust: 1931) dengan E. Merrick Dodd (45 Harvard Law Review 1145, For Whom are Corporate Manager Trustees: 1932) mengerucut pada kesimpulan yakni bahwa sejak terdapat pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, terjadi shareholders appropriation yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Di pasar modal Indonesia, kecilnya prosentase free float shares, telah menimbulkan free float (independent) shareholders appropriation yang dilakukan secara bersama-sama oleh manajemen perusahaan dan controlling shareholders. Kecilnya free float shareholders telah menyebabkan tidak ada the real public company di Indonesia. Free float shareholders appropriation dapat dikurangi dengan mendudukkan wakil free float shareholders dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Diawali dengan terbitnya Surat Edaran Bapepam No. SE-03/PM/2000 dan diikuti BEJ dengan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang mewajibkan emiten dan perusahaan publik memiliki Komisaris Independen.
Paper singkat ini akan mengkompilasi persoalan-persoalan seputar mekanisme pemilihan Komisaris Independen dalam RUPSLB dan hambatan pelaksanaan peran ke-independen-an dalam mengawasi jalannya perusahaan.
Keterbatasan UU Perseroan Terbatas
Dalam khazanah pasar modal dikenal pemegang saham independen (independent shareholder/free float shareholders), lawan kata pemegang saham pengendali (controlling shareholders). Pembedaan antara independent dengan controlling shareholder lahir karena keterbatasan corporate law (di Indonesia UU Perseroan Terbatas=UUPT) yang tidak dapat mengakomodasi seluruh pemegang saham dalam RUPS. Terdapat ketentuan yang mengatur kepemilikan saham minimum yang harus dimiliki oleh satu pihak pemegang saham untuk dapat mengusulkan agenda RUPS. Bukan hanya itu saja, agenda harus ditetapkan pada H-7 dari tanggal RUPS. Kepemilikan minimum bisa 5% bisa 10% tergantung yang dinyatakan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Keterbatasan UUPT telah dan akan mengakibatkan banyak terjadi independent shareholder appropriation. Karena keterbatasan ini, maka regulasi pasar modal diperlukan untuk melindungi pemodal yang kepemilikannya kurang dari kepemilikan minimum sebagaimana yang dinyatakan dalam Anggaran Dasar. Untuk melindungi pemodal yang masuk dalam kategori independen, Bapepam telah menerbitkan Peraturan No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Terhadap transaksi yang berbenturan kepentingan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan pemegang saham independen.
Jika suatu Transaksi dimana seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama atau Pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau pemegang saham utama mempunyai benturan Kepentingan, maka Transaksi dimaksud terlebih dahulu harus disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini. ……..
Tidak cukup dengan Peraturan No. IX. E. 1, tanpa harus mengintervensi UUPT, Bapepam juga telah menerbitkan Peraturan No. IX. J. 1 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik:
a) pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan;
b) korum untuk RUPS yang akan memutuskan hal-hal yang mempunyai benturan kepentingan harus memenuhi persyaratan bahwa RUPS tersebut dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan keputusan diambil berdasarkan
suara setuju dari pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen;
Kuorum Rapat bukan dihitung dari kehadiran pemegang saham secara keseluruhan tetapi dihitung dari kehadiran pemegang saham independen. Menjadi rahasia umum bahwa mengumpulkan pemegang saham independen bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada saat dibuatnya, peraturan ini telah mengasumsikan kesulitan ini. Jika tidak mencapai kourum maka harus diulang pada RUPS ke dua dan RUPS ke tiga. Jika tetap gagal mencapai kuorum, RUPS baru bisa diadakan lagi pada RUPS ke tiga yang baru boleh dilaksanakan 12 bulan yang akan datang sejak RUPS ke dua.
Jika mengumpulkan pemegang saham independen untuk pengambilan keputusan berbenturan kepentingan sedemikian sulit, lebih sulit lagi mengumpulkan mereka untuk memilih komisaris independen yang akan mewakili dalam pengawasan jalannya pengelolaan perusahaan sehari-hari. Kenapa? Pertama, free float shareholders menjadi anonim, karena memiliki turn over keluar dan masuk dalam Daftar Pemegang Saham. Kedua, terdapatnya mekanisme nominasi. Dalam setiap Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa pemegang saham boleh mengajukan usul baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama jika memenuhi minimum kumulative prosentase kepemilikan saham. Usulan ini sudah harus diterima selambat-lambatnya 7 hari sebelum tanggal Panggilan RUPS. Kedua hal ini merupakan kendala terwakilinya kepentingan independent shareholders sebagai Komisaris Independen. Anggaran Dasar telah “memasung” kemungkinan terpilihnya Komisaris Independen secara spontan pada RUPSLB. Dipasungnya spontanitas dalam RUPSLB telah mengakibatkan proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen tidak dapat dilakukan oleh pemegang saham independen. Itulah sebabnya Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik tidak membedakan Komisaris dengan Komisaris Independen apalagi mengatur atau mewajibkan keberadaan komisaris independen.
Namun sejak tahun 2001 pada struktur pengawas perusahaan-perusahaan publik terdapat perangkat baru yakni Komisaris Independen. Siapa yang mengusulkan, memilih dan mengangkat Komisaris Independen? Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 tentang tatacara pemilihan Komisaris Independen telah mengakibatkan Komisaris non independen ber-mimikri menjadi Komisaris Independen. Singkat kata, atas nama kepraktisan dan asal memenuhi ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, Komisaris Independen dipilih bukan oleh pemegang saham independen tetapi oleh pemegang saham pengendali. Hanya saja calon komisaris independen harus memenuhi kriteria independensi. Kriteria independensi yang mana yang dipakai?
Kriteria independen diambil dari Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit, yang baru terbit pada tahun 2004 yakni antara lain: (a) berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik (b) tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik (c) tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, Komisaris, Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik dan (d) tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.
Hambatan Pelaksanaan Ke-independen-an Komisaris Independen.
Ironinya butir 2. c. Peraturan No. IX. I. 5, Komite Audit yang diketuai oleh Komisaris Independen justru bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Dengan begitu, aparatus independen (karena kriteria!) dan dianggap serta diharapkan mewakili kepentingan independent shareholders merupakan direct reports (baca: bawahan!) Dewan Komisaris yang mewakili kepentingan controlling shareholders (karena pasti berdasarkan kriteria, mayoritas anggota Dewan Komisaris mewakili controlling shareholders). Pengaturan ini menjadi penghambat pelaksanaan peranan ke-independensi-an Komisaris Independen (dan Komite Audit). Bagaimana dapat bertindak independen jika bertanggungjawabnya kepada Dewan Komisaris? Pun Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang menetapkan jumlah komisaris independen 30% tidak efektif, karena pengambilan keputusan pada rapat Dewan Komisaris memungkinkan mekanisme voting. Bagaimana kepentingan pemegang saham independen bisa dilindungi jika hak suaranya hanya 30%? Peraturan ini telah mengkerdilkan peranan yang diharapkan dari keberadaan Komisaris Independen. Setiap hasil analisa, temuan yang menunjukkan dan melaporkan potensi free float shareholder appropriation (dalam konteks zero sum game theory, berarti in favor of controlling shareholders) akan berhenti di meja Dewan Komisaris. Alhasil, kepentingan controlling shareholders menjadi prima causa atas setiap tindakan korporasi yang dilakukan emiten dan perusahaan publik.
Peranan self-governing dan self-determining Komisaris Independen adalah persoalan jauh diatas mekanisme pemilihannya. Persoalannya masuk ke dalam wilayah Tata Kelola Perusahaan dan tercermin langsung pada Anggaran Dasar Perseroan. Oleh karenanya diharapkan peranan Komisaris Independen (dan nantinya Direksi Independen) diberdayakan. Mengapa harus diberdayakan? Karena probabilitas terjadinya shareholder appropriation berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan independent shareholder.
Independensi calon komisaris Independen tidak cukup diukur dengan kriteria. Lebih penting adalah, komisaris independen bertanggungjawab kepada siapa? Sukardjo, misalnya, dinominasikan, dicalonkan, dipilih dan diangkat oleh controlling shareholders sebagai komisaris independen, dan berdasarkan Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 butir 2. c sangatlah manusiawi, jika maka kemudian Sukardjo akan berhikmat kepada controlling shareholders ketimbang kepada free float shareholder yang “anonim”. Revisi UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai kini tidak kunjung selesai merupakan kesempatan baik untuk meng-insert terminologi Komisaris Independen/Direktur Independen beserta peran, tanggungjawab dan melapor kepada siapa saja.
Hal tersebut diatas harus segera dilaksanakan, karena aplikasi pemilihan aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen akan lebih sulit diterapkan pada beberapa sektor industri (misalnya perbankan) dan kelompok usaha (misalnya BUMN). Prosedur pencalonan dan pemilihannya akan menjauhkannya dari makna dan peran independen, betapa tidak? Kandidat komisaris independen/direksi independen harus terlebih dahulu melewati fit and proper test di level Meneg BUMN, Bank Indonesia dan Tim Penilai Akhir (Presiden dan Menteri pada kementerian teknis). Alhasil, tidak akan pernah ada komisaris dan direksi Independen yang diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham independen. Jika tidak dilakukan upaya meng-insert peran, tanggungjawab dan pelaporan dari aparatus independen, maka peran yang diharapkan dari aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen sebatas “tampil beda”. BEJ yang konon akan segera menerbitkan ketentuan GCG emiten telah mengkonfirmasi “peran tampil beda” ini (lihat Kontan edisi 21 Tahun XI 26 Pebruari 2007).
Penutup
Bukan hanya BEJ yang akan mengeluarkan ketentuan tentang GCG Emiten yang akan mewajibkan Emiten untuk memiliki Komisaris Independen dan Direktur Independen, Bank Indonesia pun tidak lama lagi akan menerbitkan surat edaran sebagai Petunjuk Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 dan No. 8/14/PBI/2006 tentang GCG Bank Umum, dimana bahkan Presiden Direktur suatu bank juga harus merupakan pihak Independen, saya kuatir ketentuan GCG tersebut hanya akan menjadi sia-sia karena independen hanya diukur dengan kriteria pada saat seleksi. Tidak terdapatnya code of conduct ke-independen-an apalagi independent enforcement akan menjadikan perangkat independen dalam pengawasan dan pengelolaan perusahaan hanya sekedar tampil beda.
Akan lebih produktif jika alih-alih menerbitkan ketentuan GCG, terlebih dahulu dilakukan empowerment kepada Komisaris Independen dalam bentuk menerbitkan ketentuan kepada siapa sejatinya pelaporan disampaikan. Karena dalam Daftar Pemegang Saham free float (independent) shareholders selalu bermutasi hampir setiap saat, mereka menjadi anonim. Siapa yang layak menjadi wakil mereka sebagai tujuan pelaporan? Mengutip Arthur J. Levin (Chairman US-SEC periode 1980an), “we are investor’s advocate”, maka pengawas pasar modal-lah yang memiliki legitimasi penuh untuk mewakili independent shareholders. Hasil akhirnya adalah setiap potensi shareholder appropriation dapat segera diidentifikasi dan diambil tindakan oleh pengawas pasar modal. Komposisi Komisaris Independen hendaknya lebih banyak dari Komisaris Non Independen, ini dimaksudkan agar pengambilan keputusan di tingkat Komisaris tidak in favor to controlling shareholders.
Salam!


* staf pengajar Dept Manajemen FEUI, Depok

Korporatisasi Pengadaan Barang Publik

Tariff Jalan Toll:
Gejala Korporatisasi Pengadaan Barang Publik
Oleh: Shalahuddin Haikal§)
Tulisan ini bukan tulisan tentang tarif toll, namun tulisan tentang bagaimana pemerintah telah meredusir perananannya dalam penyediaan public goods/services. Tulisan dengan angle kisruh kenaikan tariff jalan toll awal bulan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa terdapat gejala dan trend korporatisasi pengadaan barang/jasa publik.
Metamorphosis Komoditas
Jalan toll adalah barang private (private goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.
Pembangunan infrastruktur publik seperti jaringan jalan dan jembatan (tidak berbayar = non toll) adalah kewajiban pemerintah. Barang publik yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis yang disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta. Pemerintah wajib menyediakan rumah sakit, sekolah, dan pasar tradisional. Namun lihat, pertumbuhan kapasitas tempat tidur rumah sakit pemerintah lebih kecil dari rumah sakit swasta. Pasar tradisional dialihkan kepada investor. Pertumbuhan kapasitas PTN dan sekolah negeri lebih rendah dibandingkan dengan PTS dan sekolah swasta. Kini sedang dibahas RUU Badan Hukum Pendidikan yang pada ujungnya menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada daya beli masyarakat. Sah-sah saja jika swasta ikut menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan barang publik merupakan kewajiban pemerintah. Jika penyediaan barang publik diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, pemerintah telah mereduksi peranannya sendiri.
Monopoli & Capital Budgeting
Pembangunan dan pengoperasian jalan toll diawali dengan lelang kepada investor. Investor yang menang, mendapat hak pengelolaan. Hak pengelolaan yang diberikan pemerintah (government licensing) kepada investor merupakan legal barriers to entry. Karena hak tersebut datang dari suatu kontrak, sudah semestinya memiliki masa kadaluwarsa. Pemerintah sebagai pemberi kontrak harus memiliki opt out clause. Konsesi penambangan tembaga yang diberikan kepada Freeport McMoran, dalam perjalanannya ternyata nilai emas pada tambang tersebut lebih besar dari konsesi tembang tembaga. Pemerintah tidak bisa bertindak apa-apa karena dalam kontrak pemberian konsesi tidak terdapat opt out clause. Negara pasti dirugikan, karena konsensi tambang emas tentu berbeda dengan konsensi tambanga tembaga. Berikutnya menjadi pertanyaan menarik, berapa lama masa kontrak pengelolaan? jika hak pengelolaan berakhir, apakah pengelolaan dikembalikan? Jika dikembalikan kepada pemerintah, apakah pemerintah akan mengkonversinya menjadi jalan publik atau memberikan kontrak pengelolaan baru pada operator lainnya? Dari seluruh ruas jalan toll yang semuanya diselenggarakan oleh swasta (perseroan), masing-masing hak pengelolaan akan berakhir kapan? Masyarakat harus memiliki informasi cukup tentang hal-hal ini. Harus diingat peran pemerintah sebagai penyedia barang publik dengan peran pemerintah sebagai pemegang sero Jasa Marga adalah hal yang berbeda.
Government licensing, memberikan status monopoli pada para operator toll. Fungsi penerimaan monopoli berupa persamaan P x Q dimana P adalah tarif dan Q adalah kuantitas. Fungsi total biaya adalah TC = FC + VC. Fixed Cost adalah biaya yang tidak berubah berapapun Q diproduksi, sedangkan VC adalah (unit cost x Q), yaitu fungsi biaya yang merupakan fungsi dari Q yang diproduksi. Masyarakat pengguna jalan toll pasti ingin tahu fungsi TC operator toll. Secara empiris, operator jalan toll tidak menanggung VC, sebab operator tidak terbebani biaya tambahan untuk setiap tambahan kendaraan yang masuk ke dalam ruas toll.
Investor jalan toll tidak mau berinvestasi jika tidak ada jaminan kenaikan tarif adalah pernyataan yang mengandung sedikitnya 2 anomali. Anomali pertama, bahwa pada capital budgeting terdapat 3 metoda dasar, yakni payback period, net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR). Hanya kegiatan atau proyek yang memenuhi kriteria saja yang akan dipilih dan investor memutuskan untuk berinvestasi. Pledoi Menteri Pekerjaan Umum bahwa investor jalan toll tidak akan mencapai pulang pokok (break even) jika tarif tidak dinaikkan mengimplikasikan penggunaan metoda payback period. Metoda payback tidak layak digunakan pada lingkungan ekonomi yang tingkat suku bunganya tinggi. Bagaimana dengan 2 metoda lainnya. Pada intinya kedua metoda terakhir tersebut mem-presentvalue-kan (me-nilaikini-kan) arus kas. Pada NPV dan IRR, terdapat 3 variabel, yakni cashoutlay (nilai investasi sekarang); cashinflow (pendapatan) dan discount factor. Penyesuaian tarif toll setiap 2 tahun mengikuti laju inflasi berarti terjadi perubahan pada cashinflows, harus disertai penyesuaian discount factor.
Metamorphosis barang private menjadi barang publik, dari komoditas pelengkap menjadi komoditas utama dari elastik terhadap harga menjadi inelastik terhadap harga merupakan anomali kedua. Cashinflows pada 2 metoda terakhir dihitung dari projected Q x projected harga. Karena jalan publik tidak laik ditempuh, seketika pengguna jalan publik beralih ke jalan private (jalan toll), sehingga tidak ada masalah pada cashinflows. Masalahnya adalah periode 1998 – 2006 adalah periode rezim suku bunga (kredit) tinggi dan bank-bank tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan benar, sehingga discount factor menjadi tinggi dan hasil akhirnya semua investor jalan toll yang sudah menang lelang konsesi menunda investasinya.
Penutup
Amboy, saya berprasangka, kenaikan tarif toll dan restrukturisasi tarif jalan toll ada kaitannya dengan upaya memuluskan rencana dan valuasi IPO Jasa Marga yang agak tersendat? Prasangka, caci maki dan class action mungkin tidak perlu dilakukan jika pemerintah tidak mengkerdikan arti sosialisasi.
Pemerintah telah memarginalkan makna sosialisasi sebagai pengumuman kenaikan tariff jalan toll jauh-jauh hari. Dalam konteks Rancangan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, sosialisasi seyogyanya diartikan sebagai pemahaman masyarakat pada struktur biaya, isi kontrak, jangka waktu kontrak, government licensing, rencana pemerintah atas satu ruas jalan toll jika kontrak selesai dan lain-lain. Kasus-kasus pemblokiran jalan toll oleh warga karena tidak tuntasnya penyelesaian pembebasan tanah, beraroma tidak sedap.
Kisruh kenaikan tariff jalan toll belakangan ini boleh jadi merupakan fenomena kecil dari suatu gerakan korporatisasi negara secara sistematis dan terencana. Korporatokrasi, bukan korporatisasi yang dibutuhkan masyarakat. Layanan dan barang publik yang mustinya disediakan oleh negara, perlahan-lahan penyediaannya diserahkan kepada swasta murni atau badan hukum hasil privatisasi dan akhirnya menjadi berbayar. Jangan kita bernasib seperti kepiting yang direbus, yang baru sadar direbus saat air mencapai titik didih dan seketika mati.
Salam!


§) Pendidik, bekerja sebagai dosen FEUI.