Keputusan Menteri Negara BUMN No. KEP-236/MBU/2011:
Derajat Ke-tiga Agency Problem?
Shalahuddin Haikal*)
Menteri Negara BUMN pada 5
Nopember 2011 menerbitkan Keputusan No KEP-236/MBU/2011 (selanjutnya KEP-236) tentang
Pendelegasian sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN
Sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/RUPS Pada Perusahaan Perseroan
(Persero) dan Perseroan Terbatas Serta Pemilik Modal Pada Perusahaan Umum
(Perum) Kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di
Lingkungan Kementerian BUMN. Terdapat 38 kewenangan yang didelegasikan, yakni: 22
(dua puluh dua) kepada Pejabat Eselon I (Sekretaris Menteri Negara BUMN/Deputi
Teknis dan Deputi Bidang Restrukturisasi & Privatisasi); 14 (empat belas) kepada
Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan 2 (dua) kepada Direksi BUMN.
Terlepas dari soal politik bahwa
pada akhirnya KEP-236 ini hendak diinterpelasi oleh anggota DPR, saya menilai
KEP-236 ini adalah Keputusan Menteri BUMN yang kontra good governance, memenuhi kriteria terminological inexactitude dan absurd.
Pendelegasian Kewenangan Yang
Tidak Disertai Akuntabilitas
Sesungguhnya locus of accountability
Menteri Negara BUMN ada pada domain UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, per se hurup a ayat (2) Pasal
6 UU Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara dalam hal kekayaan
negara yang dipisahkan (BUMN dan BHMN) dikuasakan kepada Menteri Keuangan. Oleh
karena itulah, maka definisi Menteri pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
merujuk hurup a ayat 2 Pasal 6 UU Keuangan Negara, adalah Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Terbitnya PP
No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun
2001 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas
dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan
Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara, maka sebagian kewenangan Menteri
Keuangan dilimpahkan kepada Menteri Negara BUMN.
Oleh karena ayat 1 dan ayat 2 Pasal
14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki
oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan
terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Serta Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak
substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, maka
terbitnya KEP-236/MBU/2011 yang mendelegasikan kewenangan Menteri BUMN kepada
Pejabat Eselon I Kementerian BUMN adalah urusan Menteri, namun harus diingat
bahwa ayat 3 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Pihak yang menerima kuasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri
untuk mengambil keputusan dalam RUPS. Istilah paling pas untuk
mendeskripsikan hubungan ayat 1 dan ayat 2 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 dengan KEP-236
adalah circular reference seperti pada program Microsoft Excel, bahwa
yang pasti salah adalah fungsi atau variable turunannya, dalam hal ini adalah
KEP-236.
KEP-236 memanfaatkan ayat 2 Pasal
14 UU BUMN namun melupakan ayat 3 Pasal 14, oleh karenanya secara manajerial,
KEP-236 ini absurd, karena per se UU BUMN, locus of accountability berhenti pada tingkat Menteri, menyertai
kewenangan yang dimilikinya sebagai RUPS (dalam hal seluruh saham dimiliki
Negara) maupun sebagai pemegang saham (dalam hal tidak seluruh saham BUMN
dimiliki negara). Oleh karenanya, 22 kewenangan yang didelegasikan kepada
Pejabat Eselon I, tidak bisa disertai dengan pendelegasian akuntabilitas. Disinilah
letak absurdity Kep-236, karena pendelegasian
kewenangan Menteri sebagai RUPS hanya menghasilkan pendelegasian kewenangan
yang tidak bisa disertai pendelegasian akuntabilitas.
Direksi Mengelola, Komisaris Mengawasi, Pemegang Saham Memutuskan
Indonesia adalah negara yang
menganut two tier corporate governance,
Perusahaan terdiri dari tiga organ Perseroan,
sebagaimana disyaratkan oleh UU No 40 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yakni: RUPS,
Direksi dan Dewan Komisaris dengan tugasnya masing-masing. Per se UU Perseroan Terbatas maupun UU BUMN: (1) RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang PT. (2) Direksi adalah
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. (3)
Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi. Sejarah terbentuknya Perseroan Terbatas, Limited Liability Corporation berawal dari pemisahan ownerships (kepemilikan) dengan manajemen
(pengelolaan). Bentuk perseroan terbatas yang demikian ini menjadi bahan studi,
baik dari sisi corporate law maupun corporate finance, mengerucut pada eksistensi
agency problem, yakni terjadi benturan
kepentingan. Contoh nyata suatu agency
problem dapat dilihat pada Laporan Laba Rugi, pemegang saham sebagai residual claimant hanya berkepentingan
atas laba bersih, sementara Manajemen / Direksi berupaya ngutil, nyolong pada
berbagai akun yang ada pada bagian atas Laporan Laba Rugi. Walhasil, Laporan
Keuangan harus disertifikasi oleh akuntan independen adalah salah satu bentuk agency cost yang merupakan implikasi dari
salah satu bentuk agency problem.
Indonesia memiliki posisi unik, terkecuali PT BUMN, nyaris 99% Perseroan Terbatas
di Indonesia berangkat dari perusahaan keluarga yang berevolusi menjadi
Perseroan Terbatas. Meskipun sudah
berbentuk Perseroan Terbatas, namun kepemilikan keluarga tetap sangat dominan. RUPS
PT semacam ini akan mendudukkan anak, isteri, menantu bahkan diri sendiri
sebagai Direksi, Dewan Komisaris. Pada kondisi seperti ini tidak ada agency problem juga tidak ada assymetric information. Di Indonesia, hanya
pada PT BUMN (termasuk PT BUMN Tbk tentunya!) sajalah tidak terdapat hubungan
afiliasi antara negara sebagai pemegang saham pengendali dengan direksi dan
dewan komisaris, sehingga di Indonesia, agency
problem hanya terjadi pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, karena hanya pada
BUMN-lah, terdapat pemisahan kepemilikan
dengan manajemen. Sedangkan pada PT yang berasal dari perusahaan keluarga
(bahkan yang sudah menjadi listed company
sekalipun) yang terjadi bukan agency
problem tetapi minority shareholders
appropriation (Haikal: 2005). Bagaimana bisa, secara praktek dan teori, agent
yang secara alamiah senang ngutil, nyolong, mendapat tambahan kuasa dari
Menteri BUMN (baca: RUPS)
16 butir kewenangan Menteri BUMN
sebagai RUPS maupun sebagai pemegang saham kepada Komisaris dan Direksi, juga
berlawanan dengan ayat 3 Pasal 14 UU BUMN: Pihak
yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu
mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai: (a)
perubahan jumlah modal (b) perubahan anggaran dasar (c) rencana penggunaan laba
(d) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran Persero
(e) investasi jangka panjang (f) kerjasama Persero (g) pembentukan anak
perusahaan atau penyertaan (h) pengalihan aktiva.
Derajat Ke-tiga Agency Problem
Ayat (1) Pasal 6 UU Keuangan
Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dalam ini pengelolaan kekayaan harta negara yang
dipisahkan (yakni BUMN dan BHMN) kemudian didelegasikan kepada Menteri Keuangan
(hurup a ayat (2) Pasal 6 UU Keuangan Negara). Selanjutnya melalui PP No 41
Tahun 2003, sebagian kewenangan Menteri Keuangan didelegasikan sebagian kepada
Menteri BUMN.
Melalui KEP-236 ini Menteri BUMN
yang telah menerima pendelegasian sebagian kewenangan dari Menteri Keuangan selaku
Kuasa Pemegang Saham Negara pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, mendelegasikannya
lebih lanjut kepada pejabat eselon-I Kementerian BUMN, Direksi dan Dewan
Komisaris BUMN. Sehingga dilihat dari UU
Keuangan Negara, KEP-236 merupakan pendelegasian derajat ke-3. Nah sekarang
tinggal dibayangkan betapa dahsyat agency
problem yang dihasilkan dari KEP-236 ini dengan daya rusak yang luar biasa.
Dari sudut rule
making rules, KEP-236 nyata-nyata tidak mempertimbangkan produk hukum yang
memiliki derajat lebih tinggi, yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara; UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN; UU No 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Terbitnya
3 SK Menteri BUMN (resmi di-publish tanggal 18 April 2012) yakni: (1) No.
SK-164/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian Kewenangan Menteri BUMN Sebagai
Wakil Pemerintah Selaku RUPS pada Perusahaan Perseroan menjadi Kewenangan Dewan
Komisaris dan Direksi; (2) No. SK-165/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian
Kewenangan Menteri BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemilik Modal pada
Perusahaan Umum (Perum) menjadi Kewenangan Dewan Pengawas dan Direksi; (3) No.
SK-166/MBU/2012 Tentang Pemberian Kuasa atas Sebagian Kewenangan Menteri BUMN
sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/Pemilik Modal pada BUMN Kepada
Pejabat Eselon I Kementerian BUMN, tidak
merubah isi KEP-236, sehingga ke-3 SK (yang ditandatangani pada tanggal 13
April 2012) hanyalah spin off dari
KEP-236 sebagai bentuk penegasan atas KEP-236 itu sendiri.
Upaya DPR menggalang pelaksanaan hak
interpelasi DPR terkait KEP-236 perlu dipertimbangkan ulang, karena yang
seharusnya pertama kali marah dan meradang dengan terbitnya KEP-236 adalah bukan
DPR melainkan Menteri Keuangan RI karena KEP-236 merupakan bentuk insubordinasi
terhadap UU No 17 Tahun 2003 dan berpotensi besar mempersulit
pertanggungjawaban Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara (State Treasurer) sebagaimana dinyatakan
pada UU No 1 Tahun 2004.
Salam!