Jumat, Januari 27, 2012

Derajat Ke-tiga Agency Problem BUMN


Keputusan Menteri Negara BUMN No. KEP-236/MBU/2011:
Derajat Ke-tiga Agency Problem?

Shalahuddin Haikal*)

Menteri Negara BUMN pada 5 Nopember 2011 menerbitkan Keputusan No KEP-236/MBU/2011 (selanjutnya KEP-236) tentang Pendelegasian sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN Sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/RUPS Pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas Serta Pemilik Modal Pada Perusahaan Umum (Perum) Kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN. Terdapat 38 kewenangan yang didelegasikan, yakni: 22 (dua puluh dua) kepada Pejabat Eselon I (Sekretaris Menteri Negara BUMN/Deputi Teknis dan Deputi Bidang Restrukturisasi & Privatisasi); 14 (empat belas) kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan 2 (dua) kepada Direksi BUMN.

Terlepas dari soal politik bahwa pada akhirnya KEP-236 ini hendak diinterpelasi oleh anggota DPR, saya menilai KEP-236 ini adalah Keputusan Menteri BUMN yang kontra good governance, memenuhi kriteria terminological inexactitude dan absurd.

Pendelegasian Kewenangan Yang Tidak Disertai Akuntabilitas

Sesungguhnya locus of accountability Menteri Negara BUMN ada pada domain UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, per se hurup a ayat (2) Pasal 6 UU Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara dalam hal kekayaan negara yang dipisahkan (BUMN dan BHMN) dikuasakan kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itulah, maka definisi Menteri pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, merujuk hurup a ayat 2 Pasal 6 UU Keuangan Negara, adalah Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Terbitnya PP No 41 Tahun 2003 jo PP No 64 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, maka sebagian kewenangan Menteri Keuangan dilimpahkan kepada Menteri Negara BUMN.

Oleh karena ayat 1 dan ayat 2 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Serta Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, maka terbitnya KEP-236/MBU/2011 yang mendelegasikan kewenangan Menteri BUMN kepada Pejabat Eselon I Kementerian BUMN adalah urusan Menteri, namun harus diingat bahwa ayat 3 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa: Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS. Istilah paling pas untuk mendeskripsikan hubungan ayat 1 dan ayat 2 Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 dengan KEP-236 adalah circular reference seperti pada program Microsoft Excel, bahwa yang pasti salah adalah fungsi atau variable turunannya, dalam hal ini adalah KEP-236.

KEP-236 memanfaatkan ayat 2 Pasal 14 UU BUMN namun melupakan ayat 3 Pasal 14, oleh karenanya secara manajerial, KEP-236 ini absurd, karena per se UU BUMN, locus of accountability berhenti pada tingkat Menteri, menyertai kewenangan yang dimilikinya sebagai RUPS (dalam hal seluruh saham dimiliki Negara) maupun sebagai pemegang saham (dalam hal tidak seluruh saham BUMN dimiliki negara). Oleh karenanya, 22 kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Eselon I, tidak bisa disertai dengan pendelegasian akuntabilitas. Disinilah letak absurdity Kep-236, karena pendelegasian kewenangan Menteri sebagai RUPS hanya menghasilkan pendelegasian kewenangan yang tidak bisa disertai pendelegasian akuntabilitas.


Direksi Mengelola, Komisaris Mengawasi, Pemegang Saham Memutuskan
Indonesia adalah negara yang menganut two tier corporate governance, Perusahaan terdiri dari tiga organ Perseroan,  sebagaimana disyaratkan oleh UU No 40 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yakni: RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris dengan tugasnya masing-masing. Per se UU Perseroan Terbatas maupun UU BUMN: (1) RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang PT. (2) Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. (3) Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Sejarah terbentuknya Perseroan Terbatas, Limited Liability Corporation berawal dari pemisahan ownerships (kepemilikan) dengan manajemen (pengelolaan). Bentuk perseroan terbatas yang demikian ini menjadi bahan studi, baik dari sisi corporate law maupun corporate finance, mengerucut pada eksistensi agency problem, yakni terjadi benturan kepentingan. Contoh nyata suatu agency problem dapat dilihat pada Laporan Laba Rugi, pemegang saham sebagai residual claimant hanya berkepentingan atas laba bersih, sementara Manajemen / Direksi berupaya ngutil, nyolong pada berbagai akun yang ada pada bagian atas Laporan Laba Rugi. Walhasil, Laporan Keuangan harus disertifikasi oleh akuntan independen adalah salah satu bentuk agency cost yang merupakan implikasi dari salah satu bentuk agency problem. Indonesia memiliki posisi unik, terkecuali PT BUMN, nyaris 99% Perseroan Terbatas di Indonesia berangkat dari perusahaan keluarga yang berevolusi menjadi Perseroan Terbatas. Meskipun sudah berbentuk Perseroan Terbatas, namun kepemilikan keluarga tetap sangat dominan. RUPS PT semacam ini akan mendudukkan anak, isteri, menantu bahkan diri sendiri sebagai Direksi, Dewan Komisaris. Pada kondisi seperti ini tidak ada agency problem juga tidak ada assymetric information. Di Indonesia, hanya pada PT BUMN (termasuk PT BUMN Tbk tentunya!) sajalah tidak terdapat hubungan afiliasi antara negara sebagai pemegang saham pengendali dengan direksi dan dewan komisaris, sehingga di Indonesia, agency problem hanya terjadi pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, karena hanya pada BUMN-lah, terdapat pemisahan kepemilikan dengan manajemen. Sedangkan pada PT yang berasal dari perusahaan keluarga (bahkan yang sudah menjadi listed company sekalipun) yang terjadi bukan agency problem tetapi minority shareholders appropriation (Haikal: 2005). Bagaimana bisa, secara praktek dan teori, agent yang secara alamiah senang ngutil, nyolong, mendapat tambahan kuasa dari Menteri BUMN (baca: RUPS)

16 butir kewenangan Menteri BUMN sebagai RUPS maupun sebagai pemegang saham kepada Komisaris dan Direksi, juga berlawanan dengan ayat 3 Pasal 14 UU BUMN: Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai: (a) perubahan jumlah modal (b) perubahan anggaran dasar (c) rencana penggunaan laba (d) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran Persero (e) investasi jangka panjang (f) kerjasama Persero (g) pembentukan anak perusahaan atau penyertaan (h) pengalihan aktiva.

Derajat Ke-tiga Agency Problem
Ayat (1) Pasal 6 UU Keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dalam ini pengelolaan kekayaan harta negara yang dipisahkan (yakni BUMN dan BHMN) kemudian didelegasikan kepada Menteri Keuangan (hurup a ayat (2) Pasal 6 UU Keuangan Negara). Selanjutnya melalui PP No 41 Tahun 2003, sebagian kewenangan Menteri Keuangan didelegasikan sebagian kepada Menteri BUMN.

Melalui KEP-236 ini Menteri BUMN yang telah menerima pendelegasian sebagian kewenangan dari Menteri Keuangan selaku Kuasa Pemegang Saham Negara pada PT BUMN dan PT BUMN Tbk, mendelegasikannya lebih lanjut kepada pejabat eselon-I Kementerian BUMN, Direksi dan Dewan Komisaris BUMN.  Sehingga dilihat dari UU Keuangan Negara, KEP-236 merupakan pendelegasian derajat ke-3. Nah sekarang tinggal dibayangkan betapa dahsyat agency problem yang dihasilkan dari KEP-236 ini dengan daya rusak yang luar biasa.

Dari sudut rule making rules, KEP-236 nyata-nyata tidak mempertimbangkan produk hukum yang memiliki derajat lebih tinggi, yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN; UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Terbitnya 3 SK Menteri BUMN (resmi di-publish tanggal 18 April 2012) yakni: (1) No. SK-164/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian Kewenangan Menteri BUMN Sebagai Wakil Pemerintah Selaku RUPS pada Perusahaan Perseroan menjadi Kewenangan Dewan Komisaris dan Direksi; (2) No. SK-165/MBU/2012 tentang Penetapan Sebagian Kewenangan Menteri BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemilik Modal pada Perusahaan Umum (Perum) menjadi Kewenangan Dewan Pengawas dan Direksi; (3) No. SK-166/MBU/2012 Tentang Pemberian Kuasa atas Sebagian Kewenangan Menteri BUMN sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/Pemilik Modal pada BUMN Kepada Pejabat Eselon I Kementerian BUMN, tidak merubah isi KEP-236, sehingga ke-3 SK (yang ditandatangani pada tanggal 13 April 2012) hanyalah spin off dari KEP-236 sebagai bentuk penegasan atas KEP-236 itu sendiri.

Upaya DPR menggalang pelaksanaan hak interpelasi DPR terkait KEP-236 perlu dipertimbangkan ulang, karena yang seharusnya pertama kali marah dan meradang dengan terbitnya KEP-236 adalah bukan DPR melainkan Menteri Keuangan RI karena KEP-236 merupakan bentuk insubordinasi terhadap UU No 17 Tahun 2003 dan berpotensi besar mempersulit pertanggungjawaban Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara (State Treasurer) sebagaimana dinyatakan pada UU No 1 Tahun 2004.

Salam!


*) Pendidik.