Jumat, Agustus 05, 2022

Dari Pinjal, Lintah Darat, Rentenir, Hingga Pinjol

 

Pinjal, Lintah Darat, Rentenir, Pinjol

Kebetulan terdapat kemiripan perilaku antara pinjol yang merupakan kepanjangan dari pinjaman online dengan pinjal dari ordo Siphonaptera, yang kesukaannya menghisap darah dari inang yang ditumpanginya. Menurut Richman dan Koehler, telah ditemukan lebih dari 2.000 spesies pinjal di seluruh dunia. Pinjol juga memiliki sifat-sifat pinjal, melekat erat di tubuh inangnya. Bagi hobbyist kucing atau anjing, untuk melepaskan pinjal dari hewan peliharaannya harus menggunakan alat bantu berupa pinset dan tumbukan batu untuk menggencet pinjal supaya mati. Serupa dengan pinjal, ada juga lintah, yang sekitar tiga perempat dari jumlah spesies lintah bersifat parasit yaitu hidup dengan mengisap darah inangnya, yang merekat erat di bagian tubuh yang diisap dan baru bisa lepas jika diberi cairan larutan tembakau.

Dalam bahasa Inggris, lintah (leech) menurut Merriam Webster Dictionary adalah any of numerous carnivorous or bloodsucking usually freshwater annelid worms. Karena sifatnya yang menempel erat pada mangsanya, lintah juga memiliki arti seseorang yang mengakrabi, berakrab-akrab atau sok akrab dengan orang lain demi mencari keuntungan bagi dirinya

Dalam bahasa Indonesia, "lintah darat" adalah ungkapan untuk orang yang berdagang uang, memperjualbelikan uang sebagai komoditas dengan harga yang amat sangat tinggi dengan cara memberi pinjaman uang dengan bunga sangat tinggi.

Aplikasi fintech kegiatan usahanya bervariasi dari A sampai Z. Ada fintech yang membantu proses pembayaran, membantu proses pembelian barang dan jasa termasuk investasi, hingga fintech Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang disandarkan pada POJK No 77/POJK.01/2016 yang kemudian memiliki nickname pinjol sebagai kepanjangan dari pinjaman online.

Sebelum yang sekarang disebut aplikasi fintech pinjaman online dikenal dan kemudian menjadi wabah, bisa kita saksikan beberapa daerah yang warganya sadar …….memasang spanduk besar “rentenir dan lintah darat dilarang masuk wilayah ini” karena dulu yang namanya lintah darat memang datang secara fisik menawarkan utang atau menagih angsuran dan bunga. Kini karena kemajuan teknologi, rentenir dan lintah darat bermetamorposis dan berubah bentuk menjadi pinjol, mereka tidak perlu lagi datang secara fisik untuk menawarkan utang atau menagih angsuran dan bunga. Tidak hanya beriklan, tetapi juga menggunakan SMS blast atau WA blast, sehingga semua anggota masyarakat yang memiliki nomer telepon cellular akan mendapat SMS atau WA. Dalam nomenklatur OJK, pinjol ini diberi nama Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang dimaksudkan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Namun apakah benar terjadi pertemuan langsung antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman? Tidak! Sebagaimana dikemukakan oleh Thakor (2020), kedua belah pihak tidak bertemu langsung begitu saja, tetapi disesuaikan antara risk appetite pemodal dengan risk profile peminjam. Sehingga sejak mulai dari keputusan meminjamkan atau tidak, pengiriman dana, pembebanan biaya administrasi dan perhitungan bunga hingga penagihan, tidak dilakukan oleh pemodal melainkan oleh operator pinjol. Selisih bunga awal dari pemodal dengan bunga yang dibebankan kepada peminjam dinikmati oleh operator pinjol. Tidak terdapat tranparansi berapa bunga untuk pemodal dan berapa bunga yang dibebankan kepada peminjam.

Liar!

Liar disini memiliki dua makna, makna “liar” dalam bahasa inggris maupun “liar” dalam makna bahasa Indonesia. Betapa tidak, jika perbankan diwajibkan mengikutsertakan seluruh deposannya dalam program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan dengan suku bunga maksimumnya ditetapkan oleh LPS. Bank juga wajib mempublikasi Suku Bunga Dasar Kredit (base lending rate) dengan rumus dan formula yang ditetapkan oleh pengawasnya.  Kemudian tiap kuartalnya, perbankan wajib mempublikasikan laporan keuangan.  Pinjol bebas, tidak terkena dua kewajiban ini. Dengan bunga pinjaman 0,8% per hari, juga tidak cukup jelas, apakah bunga ber-bunga, juga tidak cukup jelas, bunga 0,8% per hari dikenakan atas netto pinjaman (setelah dikurangi biaya administrasi) atau bruto pinjaman. Bunga harian 0,8% ini dibebankan atas netto pinjaman setelah dikurangi berbagai biaya administrasi, sehingga akhirnya pasti bunga hariannya lebih dari 0,8% per hari. Satu bulan yang lalu, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menurunkan bunga pinjaman pinjol menjadi 0,4% per hari. Siapa AFPI? Mengapa justru AFPI yang punya kuasa menurunkan suku bunga pinjaman, bukan OJK. Rupanya, diam-diam OJK telah menjadikan AFPI menjadi SRO (Self-Regulatory Organization). Self-Regulatory Organization adalah organisasi yang dibentuk untuk mengatur industri tertentu didirikan dengan tujuan menciptakan aturan untuk mempromosikan ketertiban di antara pelaku pasar. SRO yang dikenal di Indonesia karena memang ditetapkan oleh UU Pasar Modal adalah Bursa Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta Lembaga Kliring dan Penjaminan.

Atas dasar UU apakah, OJK  menjadikan AFPI menjadi SRO? Hanya dengan surat No S-5/D.05/2019, tanggal 17 Januari 2019, OJK menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai asosiasi Fintech Lending di Indonesia dan pada tanggal 8 Maret 2019 dilakukan peresmian AFPI oleh OJK.

Tanpa perintah UU yang memiliki legalitas jauh lebih kuat dari sekedar POJK, pengertian asosiasi mengingatkan pada Adam Smith (1776), bahwa people of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion…. but the conversation ends in a conspiracy against the public….

Bagi pemodal, pinjol, juga tidak jelas, apakah dananya dijamin seandainya seluruh debitur pinjol, beramai-ramai melakukan aksi boikot. Perlakuan pajak atas penghasilan bunga pemodal juga tidak jelas apakah dikenakan PPH progesive atau PPH final. Bisa saja pinjol memanfaatkan perbankan, dana pemodal ditempatkan sebagai deposito di perbankan sehingga dananya aman dijamin oleh program penjaminan LPS dan kemudian pengelola pinjol melakukan transaksi back-to-back loan dengan perbankan dengan jaminan berupa deposito milik pemodal. Akibatnya pemodal pinjol juga mendapat jaminan simpanan LPS, di atas kertas pemodal pinjol membayar PPH final. Sementara itu dari aktifitasnya mendanai kegiatan pinjol, pemodal mendapat keuntungan lain yang tidak memiliki kewajiban untuk dilaporkan kepada otoritas perpajakan di republik ini.

Sebagai kebijakan affirmasi, perbankan dipaksa memberikan pinjaman KUR yang karena nasabahnya tidak bankable (tidak layak mendapat pinjaman), tidak memiliki jaminan dan kolateral sehingga perlu dijamin oleh Askrindo / Jamkrindo. Pada kegiatan pinjol, tanpa kolateral sekalipun semua debiturnya layak, karena ujung akhir dari kolateral adalah reputasi. Reputasi sebagai collateral tidak akan pernah mengalami, collateral damage sebagaimana dikemukakan oleh Paul Krugman dalam Dealing With Default (NYT,10 Okt 2013). Karena jika sampai terjadi, maka kemungkinannya si pemilik reputasi memutuskan bunuh diri atau menjadi ODGJ.

Jika dan hanya jika data OJK benar dan inipun disertai asumsi bahwa semua korban pinjol melapor ke OJK, selama kurun waktu 2019-2021 tercatat 19.711 korban pinjol yang mengadu: 9.270 kasus termasuk ke dalam pengaduan berat, sementara sisanya 10.441 termasuk pelanggaran ringan atau sedang. Apa tindakan OJK? OJK malah makin sibuk membuat klasifikasi pinjol legal dan pinjol illegal.

Mengapa pinjol liar? Bukan lagi sekedar hipotesa, saya yakin, bahwa keliaran pinjol merupakan perpaduan dua hal sekaligus. Dari sisi permintaan: financial illiteracy! Financial illiteracy ini pada saat yang sama dihadapkan dengan target OJK bahwa pada tahun 2024 tercapai financial inclusion sebesar 90%.  OJK membabi buta mengajak seluruh pelaku industri jasa keuangan (termasuk pinjol tentunya!) untuk bersama-sama berusaha mencapainya.  Sedangkan financial inclusion adalah ketersediaan dan kesetaraan peluang untuk mengakses layanan keuangan. Hal ini karena OJK mendefinisikan financial inclusion sebagai proses dimana individu dan bisnis dapat mengakses produk dan layanan keuangan yang tepat, terjangkau, dan tepat waktu.

OJK Kemana?

Hubungan antara pinjol dengan debiturnya adalah hubungan keperdataan yang menuntut kesetaraan posisi kedua belah pihak. Konsumen yang desperates butuh uang tapi tidak punya kolateral dan tanpa literasi keuangan yang memadai akan berhadapan dengan pinjol yang atas nama financial inclusion nampaknya memberikan kemudahan dan jalan keluar bagi debitur dengan menjaminkan reputasi dan harga diri.

Pertanyaan “OJK Kemana?” menjadi gema yang bertalu-talu, percis seperti yang ditanyakan oleh para pemegang polis asuransi Jiwasraya, Bumi Putera, Kresna Life. OJK nampak sibuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan mana pinjol legal dan pinjol illegal, sementara OJK gagal mendefinisikan mana licensing dan mana pula registering.

Pengawas Sektor Keuangan kemudian membuat pembedaan berdasarkan terdaftar atau tidaknya pinjol di OJK antara pinjol legal dan pinjol illegal. Nampaknya OJK gagap dan kebingungan, pinjol atau fintech masuk ke domain pengawasan yang mana: perbankan; asuransi; pasar modal atau lembaga pembiayaan? Ya, OJK telah gagal total melaksanakan Pasal 4 UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK. Bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Malah sebaliknya memangsakan konsumen kepada pinjol.

Eniwei, terimakasih kepada OJK yang melalui POJK No 77/POJK.01/2016, telah menambah entri baru dalam KBBI: pinjol, pinjaman online; pinjaman daring!