Sabtu, Maret 01, 2014

Elpiji: Yuk Keep Smile!



Elpiji: Yuk Keep Smile!

Kenaikan harga elpiji selama 6 hari pertama tahun 2014 merupakan tontonan yang setara dengan program acara di salah satu stasiun televisi bertajuk Yuk Keep Smile, yang dalam pembukaan petisi penolakannya disebut  sebagai “sebuah acara komedi yang sangat tidak berkualitas dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah itu main tebak-tebakan dengan kaki dimasukkan air es atau menyumpal tepung ke mulut lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas ... apalagi goyangannya memakai latar musik yang liriknya vulgar serta mengarah ke gerakan vulgar pula”.  Betapa tidak? Karena berbagai pembelaan atas kenaikan harga maupun alasan revisi kenaikan harga yang dikemukakan berkaitan dengan peran negara, berkaitan dengan proses reviu konstitusional terhadap UU Keuangan Negara dan ada pula free rider yang menggunakannya untuk men-leverage popularitas adalah komedi yang sangat berbobot kurang lebih sama dengan Yuk Keep Smile. 

Pertama, PT (Persero) Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara, sedangkan saat ini diketahui, Forum Hukum BUMN yang diketuai oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Badan Usaha Milik Negara tengah mengajukan reviu konstitusi terhadap UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomer Perkara 62/PUU-XI/2013. Apa sajakah yang sedang dimohonkan reviu konstitusi oleh Forum Hukum BUMN: (i) Pasal 1 angka 1 huruf g “Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.” (ii) Pasal 1 angka 1 huruf i, “Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” (iii) Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yaitu Undang-Undang BPK yang berbunyi “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” 

Pada intinya melalui reviu konstitusi ini, yang dimohonkan oleh Forum Hukum BUMN adalah bahwa BUMN sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan, semestinya tidak dikategorikan dalam cakupan pengaturan keuangan negara, sehingga tidak lagi termasuk menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Forum Hukum BUMN, permohonan ini dilandasi keyakinan bahwa BUMN tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas. 

Pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Agustus 2013, yang mendengarkan kesaksian para pengelola BUMN, menjadi ajang curhat dan curcol dari para pengelola BUMN besar yang menyatakan kegamangannya dalam mengelola dan mengurus BUMN karena BPK dengan UU Keuangan Negara, dapat menyeret pelaku salah urus BUMN dengan menggunakan UU Tipikor kepada KPK. 

Itulah sebabnya dari berbagai pemberitaan media online dan cetak, Menteri BUMN menyatakan bahwa keputusan menaikkan harga gas Elpiji adalah karena rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menteri BUMN menyatakan “yang penting pokoknya memenuhi rekomendasi dan tidak bisa tidak melaksanakan hasil audit BPK”. Gagap nalar terjadi pengambilan keputusan menaikkan harga elpiji karena nilai sebuah rekomendasi terletak pada maknanya, yakni “usulan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan”. Sebagai suatu usulan, tentu saja pihak Pertamina sebagai “wannabe” badan hukum privat memiliki dua opsi: melaksanakan atau tidak melaksanakan usulan tersebut. Sedangkan rekomendasi BPK disertai empat pertimbangan yang perlu diperhatikan, yakni harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, kesinambungan penyediaan dan pendistribusian, serta melaporkan kenaikan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri Teknis (baca: Menteri ESDM). 

Apakah ke-empat pertimbangan dalam rekomendasi BPK tersebut dilaksanakan? Silakan pembaca mengurainya satu per satu. (1) Daya beli konsumen.  Daya beli konsumen tidak berhenti pada konsumen elpiji 12 kg, tetapi konsumen akhir dari berbagai produk turunan seperti misalnya: pelanggan warteg dan usaha mikro lainnya. (2) kesinambungan penyediaan dan pendistribusian: per 1 Desember 2013 Pertamina melakukan perubahan pola distribusi gas elpiji, dari semula dilakukan melalui Stasiun Pengisian Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE), menjadi distribusi dengan pola Stasiun Pengisian Pengangkutan Elpiji Khusus (SPPEK). Hal ini sama saja Pertamina telah melepaskan tanggungjawab dengan menyerahkan harga akhir gas elpiji kepada agen (3) melaporkan kenaikan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri ESDM sebagai menteri teknis. Dari berbagai media massa, ironis Menteri ESDM menyatakan tidak saja tidak tahu menahu soal kenaikan harga gas bahkan rencana kenaikan harganya juga tidak tahu. Memang demikian-lah, sebagai sebuah korporasi, PT (Persero) Pertamina tidak bertanggungjawab kepada Menteri Teknis tetapi bertanggung jawab kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara. Hal ini percis sama dengan Perum Navigasi yang bertugas mengurusi navigasi penerbangan tetapi tidak bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan atau Dirten Perhubungan Udara tetapi hanya bertanggungjawab kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara. 

Kedua. Pernyataan "Itu memang kewenangan Pertamina. Sesuai aturan yang berlaku dan tidak diperlukan persetujuan Presiden. Tetapi, karena situasinya sekarang menjadi perhatian publik yang cukup luas, pemerintah memandang perlu untuk mengelola persoalan ini sambil cari solusi yang tepat".  Pernyataan orang nomer satu di republik ini sungguh keterlaluan karena abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah menyatakan bahwa ayat 2 dan ayat 3 pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang berbunyi: “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”; tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejak saat itu pula-lah, harga LPG merupakan domain pemerintah (negara), percis seperti halnya harga BBM Premium. 

Ketiga, atasan langsung dari Ketua Forum Hukum BUMN dan juga adalah salah satu peserta konvensi capres dari salah satu parpol dengan sangat heroik mengambilalih (to takeover/to acquire) semua kesalahan dengan pernyataan “semua pokoknya salah saya”. Superb! Bravo! Baru menjadi peserta konvensi capres sudah dengan gagah berani mengakuisisi penanggungjawab ayat 1 Pasal 6 UU Keuangan Negara: “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”

Tabik!