Jumat, Mei 06, 2011

Integritas Bapepam dalam Laporan Keuangan Emiten

Integritas Bapepam
dalam
Laporan Keuangan Emiten
oleh: Shalahuddin Haikal*)

Musim publikasi laporan keuangan tahunan auditan (audited annual financial statement) di media massa berperedaran luas telah berakhir pada 31 Maret 2011 yang juga merupakan tenggat waktu penyampaikan laporan keuangan tahunan auditan (audited annual financial statement) kepada Bapepam dan Bursa Efek. Perbedaan keduanya terletak pada substansi laporan. Laporan yang dipublikasi adalah laporan keuangan short form sedangkan yang disampaikan ke Bapepam dan Bursa Efek adalah laporan keuangan long form. Kewajiban publikasi di media massa dan penyampaian laporan keuangan kepada Bapepam diatur pada Peraturan Bapepam No X. K. 2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. Laporan keuangan short form, tidak bisa disebut sebagai laporan keuangan, karena definisi laporan keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri dari neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan. Sedangkan laporan keuangan short form hanya terdiri dari 2 laporan accrual, yakni neraca dan laporan rugi laba. 
Dari segi kepatuhan penyampaian (submission) laporan keuangan, berita di Harian Kontan edisi Kamis 7 April 2011 hal 5 di bawah judul Puluhan Emiten Belum Setor Laporan, bahwa dari 424 emiten, sekitar 10% belum menyerahkan laporan keuangan tahunannya, cukup memprihatinkan. 
Dari segi substansi terdapat Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan, haqqul yaqin, baik Bapepam maupun Bursa Efek tidak akan meneliti satu persatu seluruh laporan keuangan emiten. Dari segi kepatuhan pada Peraturan Bapepam No X. K. 2 , hanya 10% dari keseluruhan emiten yang jelas-jelas tidak patuh. Dari segi kepatuhan pada Peraturan Bapepam No VIII. G. 7, angkanya akan membengkak. Kasus ditolaknya Laporan Keuangan auditan tahun 2009 suatu BUMN Tbk oleh RUPS 29 Mei 2010 dan RUPS tersebut meminta audit ulang terhadap Laporan Keuangan tahun 2009 dan akhirnya RUPS dengan agenda pertanggungjawaban Laporan Keuangan 2009 baru terlaksana pada 12 Januari 2011, merupakan salah satu bukti, bahwa baik Bapepam maupun Bursa menyerahkan sepenuhnya akurasi sebuah laporan keuangan kepada pemegang saham. Ditolaknya laporan keuangan ini, boleh jadi terjadi karena Negara sebagai pemegang saham mayoritas menyadari eksistensi agency problem, sehingga memerlukan meluangkan waktu untuk meneliti laporan keuangan. Pada laporan keuangan 2009 auditan, suatu emiten BUMN, sebut saja XGLB, Tbk, laporan arus kasnya mengandung item non-cash dalam nilai signifikan dan akuntan publik memerlukan waktu 14 hari untuk mengumumkannya kepada publik melalui sistem idxNET.
Mengingat 406 dari 424 emiten adalah bukan BUMN Tbk dimana pemegang saham mayoritas bertindak sebagai pemegang saham pengendali yang ditandai dengan dipegangnya posisi pengurus dan pengawas perusahaan oleh pemegang saham, sehingga yang terjadi bukanlah agency problem, tetapi minority shareholders and free float shareholder misappropriation, ketidakpatuhan laporan keuangan emiten terhadap Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 pasti angkanya akan lebih besar dari prosentase ketidakpatuhan emiten terhadap Peraturan Bapepam No X. K. 2.
Oleh sebab itu selain mewajibkan penyampaian laporan keuangan, Bursa Efek mewajibkan emiten untuk mempublish laporan keuangan long form melalui sistem idxNET yang bisa diunduh oleh siapapun. Tujuannya adalah supaya publik men-scrutinize sendiri laporan keuangan emiten. Publik yang dimaksud adalah para pengguna profesional laporan keuangan emiten, yakni research analyst. Kasus ditolaknya laporan keuangan suatu BUMN Tbk oleh RUPS merupakan tamparan bagi profesi Akuntan Publik yang tugasnya memberikan assurance kepada pemegang saham bahwa laporan keuangan suatu emiten telah disusun sesuai dengan Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 dan sudah tentu pula terhadap PSAK. Juga merupakan tamparan bagi research analyst yang karena pekerjaan utamanya memberikan rekomendasi investasi kepada pemodal tetapi tidak mampu mencandra defect dan erroneous pada laporan keuangan perusahaan Tbk.
Ketidakkompetenan Akuntan Publik seperti tersebut diatas hanyalah salah satu contoh dari banyak kejadian yang telah berakibat fatal pada proses pengambilan keputusan pemegang saham. Secara makro misalnya, Kementerian BUMN mengandalkan pada 26 BUMN untuk menjalankan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Nasional (MP3N) 2011-2014. Salah satu BUMN tersebut, juga XGLB, Tbk, laporan keuangan auditan 2010-nya mengandung banyak erroneous, mulai dari yang sederhana sampai yang paling fatal. Kesalahan sederhana, misalnya kesalahan aritmatika, sebut saja catatan laporan keuangan no 44, salah satu anak perusahaannya memperoleh pendapatan usaha 372.737, beban usaha 411.710, seharusnya menderita rugi usaha sebesar 38.973, tetapi pada laporan keuangan menikmati laba usaha 118.721. Kesalahan fatal pada laporan keuangan XGLB, Tbk terletak pada lebih dari 10 item salah penyajian laporan keuangan maupun substansi laporan keuangan, diantaranya misalnya beban penyisihan piutang pada laporan rugi laba diklasifikasi sebagai pendapatan (beban) lain-lain sedangkan seharusnya masuk sebagai beban umum dan administrasi. Salah saji semacam ini sudah pasti akan menggembungkan (inflated) laba usaha (operating profit). Secara mikro, pemegang saham, investor, calon investor akan salah membuat keputusan investasi dan lebih fatal lagi research analyst salah memberikan rekomendasi. Sungguh ajaib, jika seorang analis jump-to-conclusion bisa menyoal earning quality suatu emiten, tanpa terlebih dahulu menyoal kualitas laporan keuangan suatu emiten.
Laporan keuangan perusahaan non-Tbk adalah domain pemegang saham, tetapi karena saham-saham perusahaan Tbk diperdagangkan di pasar modal melalui bursa efek, maka Laporan Keuangan perusahaan Tbk adalah domain Bapepam dan Bursa Efek. Pemahaman inilah yang mendasari lahirnya Peraturan Bapepam No IX. K. 2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala dan Peraturan Bapepam VIII. G. 7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan serta Peraturan No. I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi. Laporan keuangan adalah informasi dan informasi merupakan faktor pembentuk harga, dari sudut pandang ini, Bapepam telah gagal melaksanakan amanah yang diberikan oleh Pasal 4 UU No 8 Tahun 1995 yaitu mewujudkan terciptanya pasar modal yang teratur, wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Integritas Bapepam untuk melaksanakan Pasal 4 UU tersebut terletak pada kesungguhannya untuk men-scrutinize seluruh laporan keuangan emiten bukan menyerahkannya pada kejelian dan ketelitian masyarakat, pemodal, calon pemodal dan pemegang saham.
Salam.

*) pendidik, alumnus FRG EUR.

Agency Problem di BUMN

Agency Problem di BUMN?
oleh: Shalahuddin Haikal*)

Terdapat tiga event yang memperlihatkan ketidakkompetenan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham negara pada BUMN yang telah mengganggu integritas pemegang saham dalam mengendalikan agency problem pada BUMN-BUMN. Ketiga event tersebut adalah: (i) Bogor Agenda I ditandatangani 5 Desember 2010 sebagai kesepakatan antara Kementrian BUMN dengan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina serta Komisaris Utama dan Direktur Utama dari 17 anak perusahaan PT (Persero) Pertamina untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan mengoptimalkan aset perusahaan serta portofolio bisnis anak perusahaan PT (Persero) Pertamina. (ii) Bogor Agenda II ditandatangani pada 11 Januari 2011 berisikan kesepakatan bahwa pemilihan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi PT (Persero) Pertamina harus dilakukan melalui konsultan independen. (iii) Retreat 11 Pebruari 2011. Pada tanggal ini, Menko Perekonomian mengumpulkan 66 direksi BUMN. Pertemuan ini dilandasi keinginan pemerintah agar BUMN memberikan kontribusi pada belanja pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi belanja modal. Besaran Operational Expenditure (Opex: belanja operasional) BUMN mencapai Rp 1.000 triliun sementara Capital Expenditure (Capex: belanja modal) hanya Rp 290 triliun. Retreat ini menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan Capex BUMN menjadi Rp 380 triliun (setara USD 40 miliar). Rekomendasi ini akan disampaikan kepada Presiden pada retreat BUMN, 21 Pebruari 2011 yang akan datang.
Tidak ada yang salah dari ke-tiga event tersebut di atas, tujuannya semuanya benar. Namun, karena semuanya memang merupakan hak negara sebagai pemegang saham, alhasil ke-tiga event tersebut, bak menggarami air laut! 
Setiap pengelola BUMN mengetahui bahwa tujuan pengelolaan perusahaan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan tumbuh jika laba usaha (operating income) dan laba bersih (net income) perusahaan terus tumbuh, secara akuntansi, laba ini akan dipindahkan pada akun laba ditahan pada pos modal pada neraca. Peningkatan pos modal yang konsisten dari tahun ke tahun akan meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan juga ditentukan oleh imbal hasil yang diharapkan dari kegiatan-kegiatan produktif yang baru. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa berupa ekspansi usaha, perluasan pasar yang hanya bisa diupayakan melalui belanja investasi (Capex). Keengganan berinvestasi pada BUMN disebabkan karena agency problem. Pada BUMN Perkebunan, misalnya, Capex berupa peremajaan tanaman, baru memberikan hasil 5 atau 10 tahun yang akan datang, sedangkan kinerja Manajemen BUMN Perkebunan diukur dari perolehan laba saat ini saja. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan jika produktifitas BUMN Perkebunan jauh di bawah produktifitas perkebunan swasta. Pengukuran kinerja manajemen BUMN telah memperbesar agency problem yang merupakan akar persoalan tata kelola BUMN. Agency problem adalah persoalan-persoalan yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara principal, dalam hal ini adalah Negara sebagai pemegang saham dengan agent, dalam hal ini adalah manajemen BUMN. Berbeda dengan perusahaan swasta (termasuk perusahaan Tbk), manajemen BUMN sama sekali bukan “orangnya” pemegang saham. Di perusahaan swasta, pemegang saham akan menunjuk pihak-pihak yang sudah pasti memiliki kepentingan yang sama, misalnya mendudukkan dirinya sebagai komisaris atau direksi, menunjuk anaknya atau mantunya pada jajaran manajemen. Pada BUMN dan BUMN Tbk, agency problem tidak hanya terjadi pada level komisaris dan direksi tetapi juga sangat dimungkinkan terjadi pada pengalihan kuasa pemegang saham negara dari Menteri Keuangan (sebagai prinsipal) kepada Menteri BUMN (sebagai agent). Untuk mengurangi agency problem, kuasa pemegang saham BUMN melalui mekanisme fit and proper test berhak memilih siapa yang akan ditabalkan menjadi komisaris dan direksi, termasuk juga komisaris dan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi. Hal ini telah sangat jelas diatur pada Peraturan Menteri Negara BUMN No PER-01/MBU/2006 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Komisaris Anak Perusahaan BUMN. Alhasil, Agenda Bogor II adalah merupakan domain pemegang saham dan tidak diperlukan kesepakatan ini itu.
Rasio opex terhadap capex yang mencapai 350% sebagaimana dikeluhkan oleh Menko Perekonomian juga merupakan bentuk agency problem. Negara sebagai pemegang saham tentu menghendaki laba usaha yang terus meningkat seperti deret hitung. Sedangkan laba usaha yang terus meningkat hanya dapat dilakukan dengan tiga modus, yakni meningkatkan operational income (pendapatan usaha); menekan opex (biaya usaha); atau gabungan dari keduanya. Di dalam komponen Opex salah satu unsur besar adalah gaji dan lain-lain fasilitas untuk manajemen BUMN, digabungkan dengan gaji dan lain-lain fasilitas untuk karyawan BUMN, maka unsur terbesar dalam komponen Opex adalah gaji dan lain-lain fasilitas.
Bagian Keempat UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur Kewenangan RUPS. Angka (3) Pasal 14 UU ini, kegiatan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya aktifitas investasi dan besar kecilnya Capex seperti misalnya: investasi dan pembiayaan jangka panjang, kerjasama Persero, pembentukan anak perusahaan adalah kewenangan RUPS, bukan kewenangan Dewan Komisaris apalagi Direksi. Oleh karenanya terlalu naïve jika untuk hal-hal yang memang merupakan hak pemegang saham, sampai harus dibuatkan kesepakatan dengan Dewan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina sebagaimana tertuang pada Bogor Agenda I. Demikian juga rekomendasi peningkatan Capex yang merupakan hasil pertemuan antara Menko Perekonomian dengan 66 Direksi BUMN. Dari sisi Dewan Komisaris dan Direksi BUMN terdapat satu hal yang harus diwaspadai, yakni bahwa karena faktor di luar kendali, suatu investasi bisa berubah menjadi sunk cost (biaya yang tidak bisa dipulihkan). Jika kondisi seperti ini terjadi, maka Kuasa Pemegang Saham BUMN dengan menggunakan angka (3) Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 bisa dengan sangat mudah menyalahkan Dewan Komisaris dan Direksi BUMN. Mendorong BUMN untuk meningkatkan Capex, yang merupakan domain RUPS akan membuat BUMN dikejar target untuk meningkatkan Capex, berpotensi menghasilkan Capex abal-abal dan Capex yang dilaksanakan tanpa mengindahkan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa pada BUMN.
Salam.

*) alumnus FRG EUR, berhikmat sebagai pendidik.