Sabtu, Oktober 21, 2017

Dosen Tanpa Mimbar; Guru Tanpa Meja


Dosen Tanpa Mimbar; Guru Tanpa Meja

Shalahuddin Haikal*)

Gundah hati ini membaca opini berjudul Kebebasan Akademik Tercemar (Harian Kompas  Jum’at 11 agustus 2017) karena opini tersebut tidak saja mempermalukan Kementerian Riset dan Dikti; serta perangkat akreditisasi di kementerian tersebut, tetapi mempermalukan diri penulisnya sendiri. Gundah karena selama suatu kesimpulan atau setidaknya suatu opini tidak disusun dari (setidaknya) suatu metoda deduksi induksi yang benar atau metoda penelitian yang standar dan bukan dari suatu sample survei sehingga sample tidak representative mewakili suatu populasi (dalam hal ini seluruh dosen di seluruh perguruan tinggi dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia) maka hanya akan menjadi sekedar delusi ilmiah dari penulisnya. Sebagai suatu delusi, sebetulnya opini tersebut tidak perlu ditanggapi. Namun karena ditulis oleh seorang Guru Besar, delusi tersebut menjadi amat sangat berbahaya jika tidak ditanggapi dan dikoreksi. Gundah kedua kalinya karena penulis opini tersebut juga tidak mendefinisikan kata “radikal” atau frasa turunannya yakni “radikalisme”. Radikal berasal dari kata latin radix yang berarti berakar. Kedua frasa tersebut memang banyak dipakai dikalangan scholar di bidang ilmu sosial bahwa perubahan harus dimulai sejak dari akar. Tidak dapat dibayangkan tanpa radikalisme, berarti pula NKRI yang sekarang ini ada dan berdiri tegak dengan memerdekakan diri dari penjajahan era kolonialisme. Tanpa berpikir radikal, bisa jadi kolonialisme dianggap sebagai kewajaran atau takdir belaka bukan? Pun, orde lama yang digantikan dengan orde baru, dan kemudian orde baru digantikan orde reformasi tidak akan tumbang tanpa pemahaman radikalisme, bukan demikian?

Romantisme Dead Poet Society?
Pohon ilmu memiliki cabang-cabang ilmu dan ranting-ranting berupa mata ajar atau mata kuliah. Di perguruan tinggi yang terakreditisasi baik (minimal B), silabus dan Buku Rancangan Pembelajaran merupakan piranti mutlak dari dapat diselenggarakannya suatu mata ajaran atau mata kuliah. Keduanya disusun bukan oleh satu orang guru atau dosen, tetapi oleh suatu tim dan memerlukan endorsement dari Senat Akademik atau setidaknya oleh Unit/Badan Penjamin Mutu Akademik. Di Sekolah Dasar, untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun kurikulum-kurikulum sebelumnya mutlak disertai silabus, Rencana Pelaksanaan Pengajaran; Prota (Program Tahunan) yang diturunkan menjadi Promes (program semesteran) dan kemudian kalender pendidikan. Baik di sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi, juga telah dilaksanakan metoda pengajaran berbasis student center active learning (SCAL) dengan segala jenis variasinya (collaborative learning; problem based learning). Sebutan untuk mahasiswa perguruan tinggi dan murid SD, SMP dan SMA bersalin nama menjadi peserta didik. Per se UU No 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, baik berstatus badan hukum maupun berstatus badan layanan umum, mensyaratkan pengelolaannya berbasis managerialisme bukan lagi kolegialisme. Penomenanya cukup banyak, tetapi yang monumental dan mudah dikenali adalah ketua program studi, ketua jurusan, ketua departemen dan dekan tidak lagi dipilih oleh para dosen tetapi ditunjuk oleh Rektor. Rektor sendiri kini dipilih oleh Majelis Wali Amanat atau oleh Menteri Ristek dan Dikti. Konsekuensinya adalah hubungan kerja dosen dengan perguruan tinggi adalah hubungan industrial, bukan lagi hubungan kolegialisme. Dosen mendapat penugasan (assignment) dari Dekan. 

Dengan atau tanpa metoda SCAL, agar suatu mata kuliah dapat dilaksanakan, memiliki necessary condition berupa adanya silabus, Buku Rancangan Pengajaran, bank soal. Berdasarkan pelaksanaan tugas mengajar tersebut,  kemudian dosen mendapat upah. Upah dosen dihitung berdasarkan Xu (harga satuan pengajaran universitas) dan Xf (harga satuan pengajaran fakultas). Pada mata kuliah-mata kuliah yang dilaksanakan dengan metoda SCAL, dosen dan guru tidak lagi menyuapi anak didik atau peserta didik dengan pemahamannya, tetapi peserta didik-lah yang harus aktif mengeksplorasi, mencari, mendeduksi dan menginduksi. Dosen dan guru hanya berperan sebagai fasilitator, sehingga dosen kehilangan mimbar dan guru kehilangan meja.

Terhadap proses fasilitasi yang dilaksanakan, setiap akhir semester, peserta didik akan mengisi EDOM (evaluasi dosen oleh mahasiswa). Kumplit sudah, di hulu, hubungan dosen dengan universitas adalah industrial relation, di hilir, hubungan dosen dengan peserta didik adalah consumer relations. PTN-PTN yang berpartisipasi pada diskusi Forum Senat Akademik PTN BH di Bandung 13-14 Juli yang sudah maju, bahkan telah menerapkan Student Center e-leaning Environment. “dosen” dan peserta didik tidak lagi perlu bertatap muka, proses pembelajaran dilakukan melalui teknologi informasi. Perkembangan metoda proses belajar mengajar yang diendorse dan didorong Dirjen Dikti, dan kini Kementerian Riset dan Dikti telah abai atau menafikan ayat-ayat dan pasal-pasal tentang peran Guru dan Dosen sebagai diamanatkan di UU Guru dan Dosen.

Tanpa harus menjelaskan perkembangan metoda pelaksanaan proses belajar mengajar di perguruan tinggi, delusi ketercemaran kebebasan akademik yang disampaikan oleh Prof Budi Santoso, dapat dengan mudah dipatahkan, dengan metoda dan proses belajar mengajar di Universitas Terbuka. Bukankah Universitas Terbuka juga perguruan tinggi?

Boleh jadi yang disampaikan penulis opini tersebut adalah sinyalemen. Sebagai sebuah sinyalemen, artikel opini tersebut lumayan masuk akal,  agar PTN-bh, PTN-BLU, Menteri Riset dan Dikti dan BAN-PT untuk berintrospeksi. Jika BAN-PT benar menjalankan tupoksinya, musykil, BAN-PT memberikan akreditisasi A jika setiap mata kuliah pada program studi tidak memiliki silabus, BRP, dan dosen pengampu bersertifikasi. Masalah mendasar di Kementerian Ristek Dikti; perguruan tinggi dan BAN-PT adalah mendangkalkan pemahaman peraturan perundang-undangan dan tidak patuh kepada peraturan serta sembrono dalam melaksanakan tugas. Pernyataan ini dilandasi beberapa fakta, misalnya terjadi di salah satu PTN-bh terkemuka di Indonesia, kurikulum program studi Administrasi Niaga adalah hasil copycat sehingga percis sama dengan kurikulum program studi Manajemen. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika Badan Penjamin Mutu Akademik di tingkat universitas menjalankan tupoksinya. Atau di salah satu PTN-bh yang akan menghentikan gaji pokok dosen jika tiga semester berturut-turut tidak menghasilkan dan mempublikasi karya ilmiah. Di tingkat kementerian pun terdapat upaya mengkerdilkan ketentuan peraturan perundang-undangan, terbitnya Peraturan Menteri Riset Dikti No 10 Tahun 2017 yang kental dengan diskriminasi adalah contohnya. Peraturan Menteri ini bertentangan dengan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Pengelolaan perguruan tinggi yang berbasis managerialisme menuntut kepatuhan, dimulai dari rule making yang comply, patuh dan taat azaz terhadap ketentuan dan peraturan yang lebih tinggi sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan kepatuhan (compliance audit) secara berkala maupun acak yang ditindaklanjuti dengan upaya korektif.

Radikalisme Yang Mana?
Jika ada bidang empat persegi panjang atau bentuk kubus, jika ingin tahu bidang atau kubus tersebut disusun dari berapa banyak bidang atau dari berapa banyak kubus, maka digunakanlah radikal (akar). Untuk bidang empat persegi digunakan akar pangkat dua (kwadrat) sedangkan untuk bangun kubus digunakan akar pangkat tiga. Bangunan ilmu juga dapat didekati dengan mendekomposisinya dengan cara yang kurang lebih sama. Memang benar, ilmu-ilmu sosial adalah bidang keilmuan yang syarat dengan sistem nilai dan values. Saya yakin, bahwa para dosen ilmu-ilmu sosial juga sedang bersama saya, tergelak-gelak membaca opini pencemaran kebebasan akademik. Di fakultas ekonomi misalnya, dosen mata kuliah Teori Ekonomi Mikro misalnya mutlak harus menghantarkan peserta didik pada konsep profit maximizing, bahwa perusahaan harus terus berproduksi dan menjual sampai dengan kurva marginal revenue memotong dari bawah kurva dan kemudian beirisan dengan kurva marginal cost, dosen teori ekonomi mikro juga harus menjelaskan konsep maximum utility, bahwa konsumen akan berusaha semaksimal memaksimumkan kepuasannya sehingga tercapai himpitan tangensial antar kurva utility dengan kurva budget line dalam sumbu kartesian. Produsen yang mencari keuntungan maksimum dan konsumen yang mencari kepuasan maksimum bukankah menyimpangi sila ke-lima pada Panca Sila? Di program studi Kriminologi atau Sosiologi, peserta didik mutlak paham perbedaan critical theory dan radical theory of sociology bukan? Dalam ilmu ekonomi, bagaimana negara berperan atau tidak berperan dapat dikenali dengan pendekatan Keynessian (dikenal sebagai Keynessian) yang berakar pada keyakinan negara harus dominan atau pendekatan klasikal yang berakar pada konsep bahwa perekonomian akan berjalan sendiri dengan mekanisme pasar. Kawan saya yang mengajar ilmu politik mendefinisikan dengan gamblang dan sederhana, arti kata “demokrasi”, bahwa esensi demokrasi adalah kehendak rakyat banyak atau dengan kata lain mayoritas. Jika mayoritas dibicarakan, tidak-kah kita juga mempertimbangkan sisi minoritas, sehingga kemudian yang dikenal adalah tirani minoritas, bukan tirani mayoritas, sebab mayoritas sudah pasti mendominasi keputusan-keputusan publik. 

Keluaran proses belajar mengajar adalah dihasilkannya pemikiran kritis. Menugasi murid SMA untuk membahas Flat Earth adalah bagian dari eksplorasi, bukankah Galileo Galilei menyatakan you can not teach a man anything; you can only help him find it within himself. Atas pertanyaan anak saya yang duduk di kelas 3 SD, mengapa burung Garuda Pancasila menengok ke kanan, bukan ke kiri atau menghadap ke depan atau ke atas, tentu saja secara pedagogis saya tidak boleh serta merta menjawabnya, karena jika saya menjawab tanpa terlebih dulu memberikannya kesempatan berekplorasi dan membebaskannya berpikir kritis, maka jawaban saya atas pertanyaannya memenuhi kriteria untuk disebut indoktrinasi.



*) alumni FRG-EUR, berhikmat sebagai pendidik