Senin, Februari 13, 2012

Law of Integrity is law of gravity (Jensen, Erhard, Zaffrron)

Sebetulnya mata kuliah Etika Bisnis & CSR kemudian mata kuliah Standard Profesi dan Etika, diajarkan sebagai knowledge-kah atau sebagai sarana agar mahasiswa menghayati dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari nantinya setelah mereka lulus berkecimpung di alam nyata?

Pertanyaan yang lebih merupakan kegalauan ini berangkat dari debat yang terjadi 11 tahun (jauh hari sebelum banyak corporate scandal terkuak) lalu tatkala harus mewawancara beberapa aplikan untuk suatu posisi yang cukup tinggi pada perusahaan dan kemudian rapat untuk memutuskan siapakah dari para aplikan yang layak diterima. Debat ini berangkat dari dua adagium yang saling bertolak belakang yakni: "kalau belajar tempatnya di sekolahan, kalau perusahaan tempatnya orang bekerja"  dan adagium yang berasal dari bahasa jawa "watuk iso diobati, watek ora ana obate" yang kurang lebih artinya "batuk bisa diobati, watak tidak ada obatnya" yang kemudian melahirkan adagium "karakter aplikan lebih penting, bodo dikit nggak papa, karena kalau bodo dikit berarti bisa dilatih, tapi karakter sungguh sulit diubah". Saya dalam steling in favor pada adagium yang kedua "terima saja yang berkarakter, bodo dikit gak papa toh bisa belajar"

Jensen & Meckling yang dikenal karena memperkenalkan konsep agent principal problems, mendasarinya dari pemahaman tentang manusia (lihat Nature of Man), bahwa terdapat lima model manusia, yakni: (1) the Resourceful, Evaluative, Maximizing Model, (2) Economic (or Money Maximizing) Model, (3) Psychological (or Hierarchy of Needs) Model, (4) Sociological (or Social Victim?) Model, dan (5) the Political (or Perfect Agent?) Model.

Belakang hari, belum lama kok, di tahun 2009, di saat Jensen sudah sepuh.....dan sudah menjadi Professor Emiritus di HBS, Jensen bersama-sama Erhard dan Zaffron, melahirkan teori (postulate sebetulnya) bahwa law of integrity adalah law of gravity (silakan baca wawancara Jensen dengan Christensen pada HBR atau baca full paper-nya di HBR atau melalui SSRN). Bagi Jensen et al, integritas bukan lagi soal moral atau soal etika, tetapi merupakan penomena positip. Integritas bukan lagi bicara soal baik atau buruk dan benar atau salah, tetapi sudah serupa dengan law of integrity.....if you violate the law of integrity as we define it you get hurt just as if you try to violate the law of gravity with no safety device.

Nah,  Jensen dkk mendefinisikan integritas sebagai person that the whole and complete: An individual is whole and complete when their word is whole and complete, and their word is whole and complete when they honour their word.

dalam term Bahasa disebut sebagai satunya kata dengan perbuatan. Kalau dalam Islam merujuk kepada segala sifat Kanjeng Rasul Muhammad S.A.W yakni a.l: fathonah, amanah. Oleh karena masa kepemimpinan Kanjeng Rasul adalah masa kepemimpinan madaniyah (kepemimpinan yang berperadaban dan berkeberadaban) dan kalau kita percaya bahwa Islam adalah agama universal (lintas suku bangsa agama budaya dan waktu), jadi kesimpulannya kita tidak perlu repot-repot diskusi mencari model kepemimpinan atau sifat-sifat seorang pemimpin yang baik, cukup baca dan kaji saja tarikh Kanjeng Rasul.

Pun teknik mencari pemimpin yang baik sebetulnya cukup mudah. Pada agama Islam, salah satu (dari dua) sumber hukum adalah hadist dan sunnah Rasul. Oleh karena kedudukan hadits dan sunnah sangat penting, maka untuk melihat validitas-nya, harus dan kudu di-cek dan di-periksa perawi-nya. Artinya kita harus cek dan periksa latar belakang sejarah seorang calon pemimpin & pemimpin karena banyak pemimpin dan calon pemimpin yang ternyata di kemudian hari terbukti mengaburkan sejarah-nya atau bahkan menyembunyikan latar belakang sejarahnya at any cost...........