Kamis, November 03, 2011

Privatisasi Ulang Perguruan Tinggi


Privatisasi Ulang Perguruan Tinggi:
Korporatisasi Negara

Oleh: Shalahuddin Haikal*)

Hari-hari ini kita menonton demonstrasi di Wall Street dan di Athena. Dalam konteks makro, demo di Wall Street adalah demo karena publik Amerika Serikat setelah 235 tahun lebih usia negara tersebut merasakan akibat dari isme ekonomi (dan politik tentunya!) free fight liberalism dan private enterprise yang menjadi azaz bernegara. Di Athena, publik melakukan demonstrasi karena negara melakukan efisiensi dengan memperkecil APBN yang berdampak pada belanja negara yang kemudian berujung pada pengangguran. Pun, menarik untuk diketahui kenapa negara-negara cikal bakal dan embrio Uni Eropa (Benelux + Jerman, Perancis dan Itali) tetap teduh meskipun dengan ukuran-ukuran ekonomi dinyatakan dalam krisis? Bagi mereka, sebagai suatu konsep, negara didirikan untuk kemaslahatan, kesejahteraan dan keamanan warganegaranya. Dengan menggunakan ukuran ekonomi, boleh saja suatu negara bangkrut, tetapi tujuan didirikannya negara tersebut tercapai. Tulisan ini tidak hendak mempertentangkan mazhab Keynesian dengan Classical, karena keduanya memang seperti minyak dengan air, namun hendak menunjukkan betapa inskonstitutional-nya dan oleh karenanya betapa jahatnya setiap upaya privatisasi kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak terutama kegiatan pendidikan.

Dalam konteks mikro, di Jakarta kita menyaksikan beberapa kali demonstrasi Paguyuban Pekerja UI (PPUI) yang sesungguhnya berjuang melawan sekelompok elit yang berupaya mem-privatisasi kembali UI paska amar putusan MK yang dijiwai dengan semangat pembukaan UUD 45 & Pasal 31 UUD 45 bahwa tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan segenap anak bangsa. Dikemas dengan term demokrasi, segolongan elit melakukan intellectual harassment terhadap sivitas akademika, melahirkan istilah transisi setelah selama 11 tahun menikmati otonomi penuh sebagai PT BHMN yang nyata-nyata gagal total.

Dalam skala nasional, terdapat upaya sistematis dan tidak transparan untuk kembali memprivatisasi lembaga pendidikan tinggi, melalui RUU Perguruan Tinggi. Pada RUU ini terdapat 3 pilihan bagi PTN menjadi Badan Hukum atau menjadi Badan Layanan Umum atau cukup sebagai Unit Pelaksana Teknis.

Pendidikan: Private Goods atau Public Goods ?
Infrastruktur publik seperti jaringan jalan dan jembatan adalah kewajiban pemerintah suatu negara untuk menyediakannya kepada rakyatnya. Barang publik yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis yang boleh disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta. Pemerintah wajib menyediakan layanan kesehatan dengan meyediakan prasarana dan sarana kesehatan, layanan pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasana pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Sah-sah saja jika swasta ikut menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan barang publik merupakan kewajiban negara. Jika penyediaan barang publik diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, maka rejim yang sedang berkuasa telah mereduksi peranan negara bagi warganegaranya.

Jalan toll adalah barang private (private goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.

Sejak Bulog menjadi badan usaha, maka kinerja Bulog dihitung dengan untung rugi. Atas nama efisiensi harga beli ditekan ke bawah, dan demi keuntungan harga jual didorong keatas. BULOG-pun mulai mendiversifikasi produk dengan tujuan diversifikasi risiko. Demikian juga dengan PTN yang berubah menjadi PT BHMN, kalkulasi-nya adalah untung dan rugi. Suatu mata kuliah yang menjadi matakuliah pilihan konsentrasi namun atas nama term break-event point, maka matakuliah tersebut tidak dilaksanakan karena jumlah mahasiswanya kurang dari 20 orang. Pada tahun 1982, SPP Rp 15.000,-/semester, kini pada tahun 2011 BOP Rp 7.500.000,-/semester, peningkatan sebesar 50.000% (lima puluh ribu persen!).

Soal Tata Kelola?
Sejak sarana dan prasarana perkeretapian dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api, yang kemudian dialihkan menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api, yang kemudian diotonomikan sebagai badan usaha berbentuk Perusahaan Umum Kereta Api dan kini diprivatisasi menjadi PT (Persero) Kereta Api, tidak ada kemajuan yang berarti dalam hal layanan kepada publik. Persoalan ini kemudian dicoba diatasi dengan PSO (public service obligation), tetap saja menunjukkan ketidakberhasilan apapun. Jika mata kuliah dianggap sebagai goods bukan bads, dulu pada tahun 1982 untuk menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi 164 SKS kini hanya 144 SKS. Pun di UI, selama 11 tahun sebagai BHMN dilengkapi dengan organ Rektor, Majelis Wali Amanat, Senat Akademik Universitas, Dewan Guru Besar, Dewan Audit untuk menjamin check and balances, transparansi dan akuntabilitas, kewajaran, hasilnya dengan berbagai indikasi gagal total, termasuk tetapi tidak terbatas pada indikasi-indikasi berikut: UI tidak mempublikasi laporan keuangan auditan dan student unit cost, proyek-proyek mercusuar dan yang paling fatal adalah tidak pernah dilaksanakannya monoisme status pekerja sebagaimana diamanatkan pada Pasal 42 PP No 152 Tahun 2000. Tenaga kependidikan di UI terdiri atas tiga status: PNS, honorer dan kontrak, sedangkan untuk tenaga pendidik, selain tiga status: PNS, BHMN dan tidak berstatus (stateless) diperburuk lagi dengan skema-skema dosen yang berujung pada tidak dapat dilaksanakannya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban setiap dosen dan juga menjadi alat diskriminasi para dosen. Dalam hal ketenagakerjaan, setelah menikmati otonomi selama 11 tahun, terlalu banyak pelanggaran dilakukan UI bukan saja pelanggaran terhadap UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen dan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Masih amat banyak pekerja di UI yang tidak mendapatkan hak-hak normatif seorang pekerja. Organ-organ UI telah tidak melaksanakan duty of care dalam menjalankan amanat-nya, hal ini dapat dengan mudah dibuktikan melalui compliance audit yang pasti akan menghasilkan kesimpulan dalam spektrum mulai dari tidak aktif menjalankan tugasnya sampai dengan grossly neglicent behavior.

Para elit kekuasaan agaknya tidak memliki cukup kompetensi dalam mengartikan peran negara, kenapa negara diperlukan. Kalaupun mereka memiliki pengetahuan ihwal tersebut, maka menjadi persoalan adalah soal integritas, mereka telah menggadaikan negara ini kepada swasta yang berhitung dengan ke-ekonomian, break even analysis. Di tingkat nasional dengan dibahasnya RUU Perguruan Tinggi, di tingkat UI sebagai PT BHMN, diskusi elit kekuasaan pada ruangan berdinding atas subyek what so-called tata kelola menghasilkan dugaan, bahwa yang mereka sedang lakukan adalah mupakat jahat terhadap publik dan kepada sivitas akademika (tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa) bukan membenahi tatakelola.

Penutup
Maaf, saya jadi berprasangka buruk, namun prasangka buruk ini menjadi sah dan legal karena diskusi RUU Perguruan Tinggi dan juga tatakelola UI hanya melibatkan elit kekuasaan. Segelintir elit kekuasaan menentukan nasib bangsa, nasib UI dan sivitas akademikanya di kemudian hari. Ijinkan saya mengutip Howard Zinn (1922-2010), democracy doesn’t come from the top, it come from the bottom.




Salam!



*) Pendidik