Privatisasi
Ulang Perguruan Tinggi:
Korporatisasi
Negara
Oleh:
Shalahuddin Haikal*)
Hari-hari
ini kita menonton demonstrasi di
Wall Street dan di Athena. Dalam konteks
makro, demo di Wall Street adalah demo karena publik Amerika Serikat setelah 235
tahun lebih usia negara tersebut merasakan akibat dari isme ekonomi (dan
politik tentunya!) free fight liberalism
dan private enterprise yang menjadi
azaz bernegara. Di Athena, publik melakukan demonstrasi karena negara melakukan
efisiensi dengan memperkecil APBN yang berdampak pada belanja negara yang
kemudian berujung pada pengangguran. Pun, menarik untuk diketahui kenapa
negara-negara cikal bakal dan embrio Uni Eropa (Benelux +
Jerman, Perancis dan Itali) tetap teduh meskipun dengan ukuran-ukuran ekonomi
dinyatakan dalam krisis? Bagi mereka, sebagai suatu konsep, negara didirikan
untuk kemaslahatan, kesejahteraan dan keamanan warganegaranya. Dengan
menggunakan ukuran ekonomi, boleh saja suatu negara bangkrut, tetapi tujuan
didirikannya negara tersebut tercapai. Tulisan ini tidak hendak
mempertentangkan mazhab Keynesian
dengan Classical, karena keduanya
memang seperti minyak dengan air, namun hendak menunjukkan betapa
inskonstitutional-nya dan oleh karenanya betapa jahatnya setiap upaya
privatisasi kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak
terutama kegiatan pendidikan.
Dalam
konteks mikro, di Jakarta kita menyaksikan beberapa kali demonstrasi Paguyuban
Pekerja UI (PPUI) yang sesungguhnya berjuang melawan sekelompok elit yang
berupaya mem-privatisasi kembali UI paska amar putusan MK yang dijiwai dengan
semangat pembukaan UUD 45 & Pasal 31 UUD 45 bahwa tujuan bernegara adalah
untuk mencerdaskan segenap anak bangsa. Dikemas dengan term demokrasi,
segolongan elit melakukan intellectual
harassment terhadap sivitas akademika, melahirkan istilah transisi setelah
selama 11 tahun menikmati otonomi penuh sebagai PT BHMN yang nyata-nyata gagal
total.
Dalam
skala nasional, terdapat upaya sistematis dan tidak transparan untuk kembali
memprivatisasi lembaga pendidikan tinggi, melalui RUU Perguruan Tinggi. Pada
RUU ini terdapat 3 pilihan bagi PTN menjadi Badan Hukum atau menjadi Badan Layanan
Umum atau cukup sebagai Unit Pelaksana Teknis.
Pendidikan: Private Goods atau
Public Goods ?
Infrastruktur publik seperti
jaringan jalan dan jembatan adalah kewajiban pemerintah suatu negara untuk
menyediakannya kepada rakyatnya. Barang publik
yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis
yang boleh disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama
namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah
tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang
lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta.
Pemerintah wajib menyediakan layanan kesehatan dengan meyediakan prasarana dan
sarana kesehatan, layanan pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasana
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Sah-sah saja jika swasta ikut
menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan
barang publik merupakan kewajiban negara. Jika penyediaan barang publik
diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, maka
rejim yang sedang berkuasa telah mereduksi peranan negara bagi warganegaranya.
Jalan toll adalah barang private (private
goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan
tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan
diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya
harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk
komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang
private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak
pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.
Sejak Bulog menjadi badan usaha,
maka kinerja Bulog dihitung dengan untung rugi. Atas nama efisiensi harga beli ditekan ke bawah, dan demi
keuntungan harga jual didorong keatas. BULOG-pun mulai mendiversifikasi produk
dengan tujuan diversifikasi risiko. Demikian juga dengan PTN yang berubah
menjadi PT BHMN, kalkulasi-nya adalah untung dan rugi. Suatu mata kuliah yang
menjadi matakuliah pilihan konsentrasi namun atas nama term break-event point, maka matakuliah
tersebut tidak dilaksanakan karena jumlah mahasiswanya kurang dari 20 orang.
Pada tahun 1982, SPP Rp 15.000,-/semester, kini pada tahun 2011 BOP Rp
7.500.000,-/semester, peningkatan sebesar 50.000% (lima puluh ribu persen!).
Soal Tata Kelola?
Sejak
sarana dan prasarana perkeretapian dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api,
yang kemudian dialihkan menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api, yang kemudian
diotonomikan sebagai badan usaha berbentuk Perusahaan Umum Kereta Api dan kini diprivatisasi
menjadi PT (Persero) Kereta Api, tidak ada kemajuan yang berarti dalam hal
layanan kepada publik. Persoalan ini kemudian dicoba diatasi dengan PSO (public service obligation), tetap saja
menunjukkan ketidakberhasilan apapun. Jika mata kuliah dianggap sebagai goods bukan bads, dulu pada tahun 1982 untuk menyelesaikan studi Sarjana
Ekonomi 164 SKS kini hanya 144 SKS. Pun di UI, selama 11 tahun sebagai BHMN
dilengkapi dengan organ Rektor, Majelis Wali Amanat, Senat Akademik
Universitas, Dewan Guru Besar, Dewan Audit untuk menjamin check and balances, transparansi dan akuntabilitas, kewajaran,
hasilnya dengan berbagai indikasi gagal total, termasuk tetapi tidak terbatas
pada indikasi-indikasi berikut: UI tidak mempublikasi laporan keuangan auditan
dan student unit cost, proyek-proyek mercusuar dan yang paling fatal adalah
tidak pernah dilaksanakannya monoisme status pekerja sebagaimana diamanatkan
pada Pasal 42 PP No 152 Tahun 2000. Tenaga
kependidikan di UI terdiri atas tiga status: PNS, honorer dan kontrak,
sedangkan untuk tenaga pendidik, selain tiga status: PNS, BHMN dan tidak
berstatus (stateless) diperburuk lagi
dengan skema-skema dosen yang berujung pada tidak dapat dilaksanakannya Tri
Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban setiap dosen dan juga menjadi
alat diskriminasi para dosen. Dalam hal ketenagakerjaan, setelah menikmati
otonomi selama 11 tahun, terlalu banyak pelanggaran dilakukan UI bukan saja
pelanggaran terhadap UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen dan PP No 37
Tahun 2009 tentang Dosen. Masih amat banyak pekerja di UI yang tidak
mendapatkan hak-hak normatif seorang pekerja. Organ-organ UI telah tidak
melaksanakan duty of care dalam
menjalankan amanat-nya, hal ini dapat dengan mudah dibuktikan melalui compliance audit yang pasti akan
menghasilkan kesimpulan dalam spektrum mulai dari tidak aktif menjalankan
tugasnya sampai dengan grossly neglicent
behavior.
Para
elit kekuasaan agaknya tidak memliki cukup kompetensi dalam mengartikan peran
negara, kenapa negara diperlukan. Kalaupun mereka memiliki
pengetahuan ihwal tersebut, maka menjadi persoalan adalah soal integritas,
mereka telah menggadaikan negara ini kepada swasta yang berhitung dengan
ke-ekonomian, break even analysis. Di
tingkat nasional dengan dibahasnya RUU Perguruan Tinggi, di tingkat UI sebagai
PT BHMN, diskusi elit kekuasaan pada ruangan berdinding atas subyek what so-called tata kelola menghasilkan
dugaan, bahwa yang mereka sedang lakukan adalah mupakat jahat terhadap publik
dan kepada sivitas akademika (tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan
mahasiswa) bukan membenahi tatakelola.
Penutup
Maaf, saya jadi berprasangka
buruk, namun prasangka buruk ini menjadi sah dan legal karena diskusi RUU
Perguruan Tinggi dan juga tatakelola UI hanya melibatkan elit kekuasaan. Segelintir
elit kekuasaan menentukan nasib bangsa, nasib UI dan sivitas akademikanya di
kemudian hari. Ijinkan saya mengutip Howard Zinn (1922-2010), democracy doesn’t come from the top, it come
from the bottom.
Salam!