Kamis, November 03, 2011

Privatisasi Ulang Perguruan Tinggi


Privatisasi Ulang Perguruan Tinggi:
Korporatisasi Negara

Oleh: Shalahuddin Haikal*)

Hari-hari ini kita menonton demonstrasi di Wall Street dan di Athena. Dalam konteks makro, demo di Wall Street adalah demo karena publik Amerika Serikat setelah 235 tahun lebih usia negara tersebut merasakan akibat dari isme ekonomi (dan politik tentunya!) free fight liberalism dan private enterprise yang menjadi azaz bernegara. Di Athena, publik melakukan demonstrasi karena negara melakukan efisiensi dengan memperkecil APBN yang berdampak pada belanja negara yang kemudian berujung pada pengangguran. Pun, menarik untuk diketahui kenapa negara-negara cikal bakal dan embrio Uni Eropa (Benelux + Jerman, Perancis dan Itali) tetap teduh meskipun dengan ukuran-ukuran ekonomi dinyatakan dalam krisis? Bagi mereka, sebagai suatu konsep, negara didirikan untuk kemaslahatan, kesejahteraan dan keamanan warganegaranya. Dengan menggunakan ukuran ekonomi, boleh saja suatu negara bangkrut, tetapi tujuan didirikannya negara tersebut tercapai. Tulisan ini tidak hendak mempertentangkan mazhab Keynesian dengan Classical, karena keduanya memang seperti minyak dengan air, namun hendak menunjukkan betapa inskonstitutional-nya dan oleh karenanya betapa jahatnya setiap upaya privatisasi kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak terutama kegiatan pendidikan.

Dalam konteks mikro, di Jakarta kita menyaksikan beberapa kali demonstrasi Paguyuban Pekerja UI (PPUI) yang sesungguhnya berjuang melawan sekelompok elit yang berupaya mem-privatisasi kembali UI paska amar putusan MK yang dijiwai dengan semangat pembukaan UUD 45 & Pasal 31 UUD 45 bahwa tujuan bernegara adalah untuk mencerdaskan segenap anak bangsa. Dikemas dengan term demokrasi, segolongan elit melakukan intellectual harassment terhadap sivitas akademika, melahirkan istilah transisi setelah selama 11 tahun menikmati otonomi penuh sebagai PT BHMN yang nyata-nyata gagal total.

Dalam skala nasional, terdapat upaya sistematis dan tidak transparan untuk kembali memprivatisasi lembaga pendidikan tinggi, melalui RUU Perguruan Tinggi. Pada RUU ini terdapat 3 pilihan bagi PTN menjadi Badan Hukum atau menjadi Badan Layanan Umum atau cukup sebagai Unit Pelaksana Teknis.

Pendidikan: Private Goods atau Public Goods ?
Infrastruktur publik seperti jaringan jalan dan jembatan adalah kewajiban pemerintah suatu negara untuk menyediakannya kepada rakyatnya. Barang publik yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis yang boleh disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta. Pemerintah wajib menyediakan layanan kesehatan dengan meyediakan prasarana dan sarana kesehatan, layanan pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasana pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.

Sah-sah saja jika swasta ikut menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan barang publik merupakan kewajiban negara. Jika penyediaan barang publik diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, maka rejim yang sedang berkuasa telah mereduksi peranan negara bagi warganegaranya.

Jalan toll adalah barang private (private goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.

Sejak Bulog menjadi badan usaha, maka kinerja Bulog dihitung dengan untung rugi. Atas nama efisiensi harga beli ditekan ke bawah, dan demi keuntungan harga jual didorong keatas. BULOG-pun mulai mendiversifikasi produk dengan tujuan diversifikasi risiko. Demikian juga dengan PTN yang berubah menjadi PT BHMN, kalkulasi-nya adalah untung dan rugi. Suatu mata kuliah yang menjadi matakuliah pilihan konsentrasi namun atas nama term break-event point, maka matakuliah tersebut tidak dilaksanakan karena jumlah mahasiswanya kurang dari 20 orang. Pada tahun 1982, SPP Rp 15.000,-/semester, kini pada tahun 2011 BOP Rp 7.500.000,-/semester, peningkatan sebesar 50.000% (lima puluh ribu persen!).

Soal Tata Kelola?
Sejak sarana dan prasarana perkeretapian dilaksanakan oleh Perusahaan Negara Kereta Api, yang kemudian dialihkan menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api, yang kemudian diotonomikan sebagai badan usaha berbentuk Perusahaan Umum Kereta Api dan kini diprivatisasi menjadi PT (Persero) Kereta Api, tidak ada kemajuan yang berarti dalam hal layanan kepada publik. Persoalan ini kemudian dicoba diatasi dengan PSO (public service obligation), tetap saja menunjukkan ketidakberhasilan apapun. Jika mata kuliah dianggap sebagai goods bukan bads, dulu pada tahun 1982 untuk menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi 164 SKS kini hanya 144 SKS. Pun di UI, selama 11 tahun sebagai BHMN dilengkapi dengan organ Rektor, Majelis Wali Amanat, Senat Akademik Universitas, Dewan Guru Besar, Dewan Audit untuk menjamin check and balances, transparansi dan akuntabilitas, kewajaran, hasilnya dengan berbagai indikasi gagal total, termasuk tetapi tidak terbatas pada indikasi-indikasi berikut: UI tidak mempublikasi laporan keuangan auditan dan student unit cost, proyek-proyek mercusuar dan yang paling fatal adalah tidak pernah dilaksanakannya monoisme status pekerja sebagaimana diamanatkan pada Pasal 42 PP No 152 Tahun 2000. Tenaga kependidikan di UI terdiri atas tiga status: PNS, honorer dan kontrak, sedangkan untuk tenaga pendidik, selain tiga status: PNS, BHMN dan tidak berstatus (stateless) diperburuk lagi dengan skema-skema dosen yang berujung pada tidak dapat dilaksanakannya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban setiap dosen dan juga menjadi alat diskriminasi para dosen. Dalam hal ketenagakerjaan, setelah menikmati otonomi selama 11 tahun, terlalu banyak pelanggaran dilakukan UI bukan saja pelanggaran terhadap UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen dan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Masih amat banyak pekerja di UI yang tidak mendapatkan hak-hak normatif seorang pekerja. Organ-organ UI telah tidak melaksanakan duty of care dalam menjalankan amanat-nya, hal ini dapat dengan mudah dibuktikan melalui compliance audit yang pasti akan menghasilkan kesimpulan dalam spektrum mulai dari tidak aktif menjalankan tugasnya sampai dengan grossly neglicent behavior.

Para elit kekuasaan agaknya tidak memliki cukup kompetensi dalam mengartikan peran negara, kenapa negara diperlukan. Kalaupun mereka memiliki pengetahuan ihwal tersebut, maka menjadi persoalan adalah soal integritas, mereka telah menggadaikan negara ini kepada swasta yang berhitung dengan ke-ekonomian, break even analysis. Di tingkat nasional dengan dibahasnya RUU Perguruan Tinggi, di tingkat UI sebagai PT BHMN, diskusi elit kekuasaan pada ruangan berdinding atas subyek what so-called tata kelola menghasilkan dugaan, bahwa yang mereka sedang lakukan adalah mupakat jahat terhadap publik dan kepada sivitas akademika (tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa) bukan membenahi tatakelola.

Penutup
Maaf, saya jadi berprasangka buruk, namun prasangka buruk ini menjadi sah dan legal karena diskusi RUU Perguruan Tinggi dan juga tatakelola UI hanya melibatkan elit kekuasaan. Segelintir elit kekuasaan menentukan nasib bangsa, nasib UI dan sivitas akademikanya di kemudian hari. Ijinkan saya mengutip Howard Zinn (1922-2010), democracy doesn’t come from the top, it come from the bottom.




Salam!



*) Pendidik

Minggu, Oktober 09, 2011

Independen atau Independensi?

Independen atau Independensi?
Oleh: Shalahuddin Haikal*
Kolega saya berseloroh, “hari gini, independensi adalah barang langka”. Guru Besar yang dianggap manusia setengah dewa saja merasa perlu berserikat mendirikan Asosiasi Guru Besar, sehingga ke-independensi-annya patut kita ragukan. Beberapa kejadian korporasi di pasar modal belakangan ini membuat publik mempertanyakan ke-independensi-an (kriteria, mekanisme pemilihan dan peranan) Komisaris Independen. Independent adalah kata sifat yang pada Miriam Webster Collegiate Dictionary maupun Thesaurus diartikan sebagai self-governing, self-determining, sovereign. Sebaliknya Independence adalah kata benda dari independent. Dalam pengawasan dan pengelolaan emiten (perusahaan publik), manakah yang lebih diperlukan? Independent atau Independence?
Polemik Adolph A Berle (44 Harvard Law Review 1049, Corporate Powers as Powers in Trust: 1931) dengan E. Merrick Dodd (45 Harvard Law Review 1145, For Whom are Corporate Manager Trustees: 1932) mengerucut pada kesimpulan yakni bahwa sejak terdapat pemisahan manajemen dengan kepemilikan perusahaan, terjadi shareholders appropriation yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Di pasar modal Indonesia, kecilnya prosentase free float shares, telah menimbulkan free float (independent) shareholders appropriation yang dilakukan secara bersama-sama oleh manajemen perusahaan dan controlling shareholders. Kecilnya free float shareholders telah menyebabkan tidak ada the real public company di Indonesia. Free float shareholders appropriation dapat dikurangi dengan mendudukkan wakil free float shareholders dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Diawali dengan terbitnya Surat Edaran Bapepam No. SE-03/PM/2000 dan diikuti BEJ dengan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang mewajibkan emiten dan perusahaan publik memiliki Komisaris Independen.
Paper singkat ini akan mengkompilasi persoalan-persoalan seputar mekanisme pemilihan Komisaris Independen dalam RUPSLB dan hambatan pelaksanaan peran ke-independen-an dalam mengawasi jalannya perusahaan.
Keterbatasan UU Perseroan Terbatas
Dalam khazanah pasar modal dikenal pemegang saham independen (independent shareholder/free float shareholders), lawan kata pemegang saham pengendali (controlling shareholders). Pembedaan antara independent dengan controlling shareholder lahir karena keterbatasan corporate law (di Indonesia UU Perseroan Terbatas=UUPT) yang tidak dapat mengakomodasi seluruh pemegang saham dalam RUPS. Terdapat ketentuan yang mengatur kepemilikan saham minimum yang harus dimiliki oleh satu pihak pemegang saham untuk dapat mengusulkan agenda RUPS. Bukan hanya itu saja, agenda harus ditetapkan pada H-7 dari tanggal RUPS. Kepemilikan minimum bisa 5% bisa 10% tergantung yang dinyatakan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Keterbatasan UUPT telah dan akan mengakibatkan banyak terjadi independent shareholder appropriation. Karena keterbatasan ini, maka regulasi pasar modal diperlukan untuk melindungi pemodal yang kepemilikannya kurang dari kepemilikan minimum sebagaimana yang dinyatakan dalam Anggaran Dasar. Untuk melindungi pemodal yang masuk dalam kategori independen, Bapepam telah menerbitkan Peraturan No. IX. E. 1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Terhadap transaksi yang berbenturan kepentingan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan pemegang saham independen.
Jika suatu Transaksi dimana seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama atau Pihak terafiliasi dari direktur, komisaris atau pemegang saham utama mempunyai benturan Kepentingan, maka Transaksi dimaksud terlebih dahulu harus disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana diatur dalam peraturan ini. ……..
Tidak cukup dengan Peraturan No. IX. E. 1, tanpa harus mengintervensi UUPT, Bapepam juga telah menerbitkan Peraturan No. IX. J. 1 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik:
a) pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan;
b) korum untuk RUPS yang akan memutuskan hal-hal yang mempunyai benturan kepentingan harus memenuhi persyaratan bahwa RUPS tersebut dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan keputusan diambil berdasarkan
suara setuju dari pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen;
Kuorum Rapat bukan dihitung dari kehadiran pemegang saham secara keseluruhan tetapi dihitung dari kehadiran pemegang saham independen. Menjadi rahasia umum bahwa mengumpulkan pemegang saham independen bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada saat dibuatnya, peraturan ini telah mengasumsikan kesulitan ini. Jika tidak mencapai kourum maka harus diulang pada RUPS ke dua dan RUPS ke tiga. Jika tetap gagal mencapai kuorum, RUPS baru bisa diadakan lagi pada RUPS ke tiga yang baru boleh dilaksanakan 12 bulan yang akan datang sejak RUPS ke dua.
Jika mengumpulkan pemegang saham independen untuk pengambilan keputusan berbenturan kepentingan sedemikian sulit, lebih sulit lagi mengumpulkan mereka untuk memilih komisaris independen yang akan mewakili dalam pengawasan jalannya pengelolaan perusahaan sehari-hari. Kenapa? Pertama, free float shareholders menjadi anonim, karena memiliki turn over keluar dan masuk dalam Daftar Pemegang Saham. Kedua, terdapatnya mekanisme nominasi. Dalam setiap Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa pemegang saham boleh mengajukan usul baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama jika memenuhi minimum kumulative prosentase kepemilikan saham. Usulan ini sudah harus diterima selambat-lambatnya 7 hari sebelum tanggal Panggilan RUPS. Kedua hal ini merupakan kendala terwakilinya kepentingan independent shareholders sebagai Komisaris Independen. Anggaran Dasar telah “memasung” kemungkinan terpilihnya Komisaris Independen secara spontan pada RUPSLB. Dipasungnya spontanitas dalam RUPSLB telah mengakibatkan proses nominasi dan pemilihan Komisaris Independen tidak dapat dilakukan oleh pemegang saham independen. Itulah sebabnya Peraturan Bapepam No. IX. I. 6 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik tidak membedakan Komisaris dengan Komisaris Independen apalagi mengatur atau mewajibkan keberadaan komisaris independen.
Namun sejak tahun 2001 pada struktur pengawas perusahaan-perusahaan publik terdapat perangkat baru yakni Komisaris Independen. Siapa yang mengusulkan, memilih dan mengangkat Komisaris Independen? Surat Edaran Bursa Efek Jakarta No. SE-005/BEJ/09-2001 tentang tatacara pemilihan Komisaris Independen telah mengakibatkan Komisaris non independen ber-mimikri menjadi Komisaris Independen. Singkat kata, atas nama kepraktisan dan asal memenuhi ketentuan Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A, Komisaris Independen dipilih bukan oleh pemegang saham independen tetapi oleh pemegang saham pengendali. Hanya saja calon komisaris independen harus memenuhi kriteria independensi. Kriteria independensi yang mana yang dipakai?
Kriteria independen diambil dari Peraturan IX. I. 5 tentang Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit, yang baru terbit pada tahun 2004 yakni antara lain: (a) berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik (b) tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik (c) tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, Komisaris, Direksi atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik dan (d) tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.
Hambatan Pelaksanaan Ke-independen-an Komisaris Independen.
Ironinya butir 2. c. Peraturan No. IX. I. 5, Komite Audit yang diketuai oleh Komisaris Independen justru bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Dengan begitu, aparatus independen (karena kriteria!) dan dianggap serta diharapkan mewakili kepentingan independent shareholders merupakan direct reports (baca: bawahan!) Dewan Komisaris yang mewakili kepentingan controlling shareholders (karena pasti berdasarkan kriteria, mayoritas anggota Dewan Komisaris mewakili controlling shareholders). Pengaturan ini menjadi penghambat pelaksanaan peranan ke-independensi-an Komisaris Independen (dan Komite Audit). Bagaimana dapat bertindak independen jika bertanggungjawabnya kepada Dewan Komisaris? Pun Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang menetapkan jumlah komisaris independen 30% tidak efektif, karena pengambilan keputusan pada rapat Dewan Komisaris memungkinkan mekanisme voting. Bagaimana kepentingan pemegang saham independen bisa dilindungi jika hak suaranya hanya 30%? Peraturan ini telah mengkerdilkan peranan yang diharapkan dari keberadaan Komisaris Independen. Setiap hasil analisa, temuan yang menunjukkan dan melaporkan potensi free float shareholder appropriation (dalam konteks zero sum game theory, berarti in favor of controlling shareholders) akan berhenti di meja Dewan Komisaris. Alhasil, kepentingan controlling shareholders menjadi prima causa atas setiap tindakan korporasi yang dilakukan emiten dan perusahaan publik.
Peranan self-governing dan self-determining Komisaris Independen adalah persoalan jauh diatas mekanisme pemilihannya. Persoalannya masuk ke dalam wilayah Tata Kelola Perusahaan dan tercermin langsung pada Anggaran Dasar Perseroan. Oleh karenanya diharapkan peranan Komisaris Independen (dan nantinya Direksi Independen) diberdayakan. Mengapa harus diberdayakan? Karena probabilitas terjadinya shareholder appropriation berbanding terbalik dengan porsi kepemilikan independent shareholder.
Independensi calon komisaris Independen tidak cukup diukur dengan kriteria. Lebih penting adalah, komisaris independen bertanggungjawab kepada siapa? Sukardjo, misalnya, dinominasikan, dicalonkan, dipilih dan diangkat oleh controlling shareholders sebagai komisaris independen, dan berdasarkan Peraturan Bapepam No. IX. I. 5 butir 2. c sangatlah manusiawi, jika maka kemudian Sukardjo akan berhikmat kepada controlling shareholders ketimbang kepada free float shareholder yang “anonim”. Revisi UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sampai kini tidak kunjung selesai merupakan kesempatan baik untuk meng-insert terminologi Komisaris Independen/Direktur Independen beserta peran, tanggungjawab dan melapor kepada siapa saja.
Hal tersebut diatas harus segera dilaksanakan, karena aplikasi pemilihan aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen akan lebih sulit diterapkan pada beberapa sektor industri (misalnya perbankan) dan kelompok usaha (misalnya BUMN). Prosedur pencalonan dan pemilihannya akan menjauhkannya dari makna dan peran independen, betapa tidak? Kandidat komisaris independen/direksi independen harus terlebih dahulu melewati fit and proper test di level Meneg BUMN, Bank Indonesia dan Tim Penilai Akhir (Presiden dan Menteri pada kementerian teknis). Alhasil, tidak akan pernah ada komisaris dan direksi Independen yang diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham independen. Jika tidak dilakukan upaya meng-insert peran, tanggungjawab dan pelaporan dari aparatus independen, maka peran yang diharapkan dari aparatus kepengawasan (komisaris) dan aparatus kepengurusan (direksi) yang independen sebatas “tampil beda”. BEJ yang konon akan segera menerbitkan ketentuan GCG emiten telah mengkonfirmasi “peran tampil beda” ini (lihat Kontan edisi 21 Tahun XI 26 Pebruari 2007).
Penutup
Bukan hanya BEJ yang akan mengeluarkan ketentuan tentang GCG Emiten yang akan mewajibkan Emiten untuk memiliki Komisaris Independen dan Direktur Independen, Bank Indonesia pun tidak lama lagi akan menerbitkan surat edaran sebagai Petunjuk Pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 dan No. 8/14/PBI/2006 tentang GCG Bank Umum, dimana bahkan Presiden Direktur suatu bank juga harus merupakan pihak Independen, saya kuatir ketentuan GCG tersebut hanya akan menjadi sia-sia karena independen hanya diukur dengan kriteria pada saat seleksi. Tidak terdapatnya code of conduct ke-independen-an apalagi independent enforcement akan menjadikan perangkat independen dalam pengawasan dan pengelolaan perusahaan hanya sekedar tampil beda.
Akan lebih produktif jika alih-alih menerbitkan ketentuan GCG, terlebih dahulu dilakukan empowerment kepada Komisaris Independen dalam bentuk menerbitkan ketentuan kepada siapa sejatinya pelaporan disampaikan. Karena dalam Daftar Pemegang Saham free float (independent) shareholders selalu bermutasi hampir setiap saat, mereka menjadi anonim. Siapa yang layak menjadi wakil mereka sebagai tujuan pelaporan? Mengutip Arthur J. Levin (Chairman US-SEC periode 1980an), “we are investor’s advocate”, maka pengawas pasar modal-lah yang memiliki legitimasi penuh untuk mewakili independent shareholders. Hasil akhirnya adalah setiap potensi shareholder appropriation dapat segera diidentifikasi dan diambil tindakan oleh pengawas pasar modal. Komposisi Komisaris Independen hendaknya lebih banyak dari Komisaris Non Independen, ini dimaksudkan agar pengambilan keputusan di tingkat Komisaris tidak in favor to controlling shareholders.
Salam!


* staf pengajar Dept Manajemen FEUI, Depok

Korporatisasi Pengadaan Barang Publik

Tariff Jalan Toll:
Gejala Korporatisasi Pengadaan Barang Publik
Oleh: Shalahuddin Haikal§)
Tulisan ini bukan tulisan tentang tarif toll, namun tulisan tentang bagaimana pemerintah telah meredusir perananannya dalam penyediaan public goods/services. Tulisan dengan angle kisruh kenaikan tariff jalan toll awal bulan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa terdapat gejala dan trend korporatisasi pengadaan barang/jasa publik.
Metamorphosis Komoditas
Jalan toll adalah barang private (private goods), namun tidak serta merta kebijakan harga bisa ditetapkan dengan tujuan laba maksimum. Terdapat dua contoh ekstrim, pertama adalah perbankan diregulasi dan diawasi; kedua pemerintah perlu meregulasi industri CPO karena meliarnya harga minyak goreng. Dua contoh ekstrim tersebut menjelaskan bahwa bahkan untuk komoditas/jasa private namun manakala affect with public interest, barang private bermetamorphosis menjadi barang publik, sehingga tidak bisa tidak pemerintah harus berperan dengan mengatur dan mengawasi.
Pembangunan infrastruktur publik seperti jaringan jalan dan jembatan (tidak berbayar = non toll) adalah kewajiban pemerintah. Barang publik yang disediakan pemerintah adalah komoditas utama, sedangkan barang sejenis yang disediakan oleh swasta adalah komoditas dengan kegunaan yang sama namun dengan kualitas yang lebih baik. Jika standard minimum sudah tercapai, maka masyarakat dengan daya beli dan butuh standard pelayananan yang lebih tinggi dapat membeli produk dan layanan sejenis yang dihasilkan swasta. Pemerintah wajib menyediakan rumah sakit, sekolah, dan pasar tradisional. Namun lihat, pertumbuhan kapasitas tempat tidur rumah sakit pemerintah lebih kecil dari rumah sakit swasta. Pasar tradisional dialihkan kepada investor. Pertumbuhan kapasitas PTN dan sekolah negeri lebih rendah dibandingkan dengan PTS dan sekolah swasta. Kini sedang dibahas RUU Badan Hukum Pendidikan yang pada ujungnya menyerahkan tanggungjawab pendidikan kepada daya beli masyarakat. Sah-sah saja jika swasta ikut menyediakan barang/jasa publik, namun tetap dalam koridor bahwa penyediaan barang publik merupakan kewajiban pemerintah. Jika penyediaan barang publik diserahkan sepenuhnya kepada swasta, tanpa pengaturan dan pengawasan, pemerintah telah mereduksi peranannya sendiri.
Monopoli & Capital Budgeting
Pembangunan dan pengoperasian jalan toll diawali dengan lelang kepada investor. Investor yang menang, mendapat hak pengelolaan. Hak pengelolaan yang diberikan pemerintah (government licensing) kepada investor merupakan legal barriers to entry. Karena hak tersebut datang dari suatu kontrak, sudah semestinya memiliki masa kadaluwarsa. Pemerintah sebagai pemberi kontrak harus memiliki opt out clause. Konsesi penambangan tembaga yang diberikan kepada Freeport McMoran, dalam perjalanannya ternyata nilai emas pada tambang tersebut lebih besar dari konsesi tembang tembaga. Pemerintah tidak bisa bertindak apa-apa karena dalam kontrak pemberian konsesi tidak terdapat opt out clause. Negara pasti dirugikan, karena konsensi tambang emas tentu berbeda dengan konsensi tambanga tembaga. Berikutnya menjadi pertanyaan menarik, berapa lama masa kontrak pengelolaan? jika hak pengelolaan berakhir, apakah pengelolaan dikembalikan? Jika dikembalikan kepada pemerintah, apakah pemerintah akan mengkonversinya menjadi jalan publik atau memberikan kontrak pengelolaan baru pada operator lainnya? Dari seluruh ruas jalan toll yang semuanya diselenggarakan oleh swasta (perseroan), masing-masing hak pengelolaan akan berakhir kapan? Masyarakat harus memiliki informasi cukup tentang hal-hal ini. Harus diingat peran pemerintah sebagai penyedia barang publik dengan peran pemerintah sebagai pemegang sero Jasa Marga adalah hal yang berbeda.
Government licensing, memberikan status monopoli pada para operator toll. Fungsi penerimaan monopoli berupa persamaan P x Q dimana P adalah tarif dan Q adalah kuantitas. Fungsi total biaya adalah TC = FC + VC. Fixed Cost adalah biaya yang tidak berubah berapapun Q diproduksi, sedangkan VC adalah (unit cost x Q), yaitu fungsi biaya yang merupakan fungsi dari Q yang diproduksi. Masyarakat pengguna jalan toll pasti ingin tahu fungsi TC operator toll. Secara empiris, operator jalan toll tidak menanggung VC, sebab operator tidak terbebani biaya tambahan untuk setiap tambahan kendaraan yang masuk ke dalam ruas toll.
Investor jalan toll tidak mau berinvestasi jika tidak ada jaminan kenaikan tarif adalah pernyataan yang mengandung sedikitnya 2 anomali. Anomali pertama, bahwa pada capital budgeting terdapat 3 metoda dasar, yakni payback period, net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR). Hanya kegiatan atau proyek yang memenuhi kriteria saja yang akan dipilih dan investor memutuskan untuk berinvestasi. Pledoi Menteri Pekerjaan Umum bahwa investor jalan toll tidak akan mencapai pulang pokok (break even) jika tarif tidak dinaikkan mengimplikasikan penggunaan metoda payback period. Metoda payback tidak layak digunakan pada lingkungan ekonomi yang tingkat suku bunganya tinggi. Bagaimana dengan 2 metoda lainnya. Pada intinya kedua metoda terakhir tersebut mem-presentvalue-kan (me-nilaikini-kan) arus kas. Pada NPV dan IRR, terdapat 3 variabel, yakni cashoutlay (nilai investasi sekarang); cashinflow (pendapatan) dan discount factor. Penyesuaian tarif toll setiap 2 tahun mengikuti laju inflasi berarti terjadi perubahan pada cashinflows, harus disertai penyesuaian discount factor.
Metamorphosis barang private menjadi barang publik, dari komoditas pelengkap menjadi komoditas utama dari elastik terhadap harga menjadi inelastik terhadap harga merupakan anomali kedua. Cashinflows pada 2 metoda terakhir dihitung dari projected Q x projected harga. Karena jalan publik tidak laik ditempuh, seketika pengguna jalan publik beralih ke jalan private (jalan toll), sehingga tidak ada masalah pada cashinflows. Masalahnya adalah periode 1998 – 2006 adalah periode rezim suku bunga (kredit) tinggi dan bank-bank tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan benar, sehingga discount factor menjadi tinggi dan hasil akhirnya semua investor jalan toll yang sudah menang lelang konsesi menunda investasinya.
Penutup
Amboy, saya berprasangka, kenaikan tarif toll dan restrukturisasi tarif jalan toll ada kaitannya dengan upaya memuluskan rencana dan valuasi IPO Jasa Marga yang agak tersendat? Prasangka, caci maki dan class action mungkin tidak perlu dilakukan jika pemerintah tidak mengkerdikan arti sosialisasi.
Pemerintah telah memarginalkan makna sosialisasi sebagai pengumuman kenaikan tariff jalan toll jauh-jauh hari. Dalam konteks Rancangan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, sosialisasi seyogyanya diartikan sebagai pemahaman masyarakat pada struktur biaya, isi kontrak, jangka waktu kontrak, government licensing, rencana pemerintah atas satu ruas jalan toll jika kontrak selesai dan lain-lain. Kasus-kasus pemblokiran jalan toll oleh warga karena tidak tuntasnya penyelesaian pembebasan tanah, beraroma tidak sedap.
Kisruh kenaikan tariff jalan toll belakangan ini boleh jadi merupakan fenomena kecil dari suatu gerakan korporatisasi negara secara sistematis dan terencana. Korporatokrasi, bukan korporatisasi yang dibutuhkan masyarakat. Layanan dan barang publik yang mustinya disediakan oleh negara, perlahan-lahan penyediaannya diserahkan kepada swasta murni atau badan hukum hasil privatisasi dan akhirnya menjadi berbayar. Jangan kita bernasib seperti kepiting yang direbus, yang baru sadar direbus saat air mencapai titik didih dan seketika mati.
Salam!


§) Pendidik, bekerja sebagai dosen FEUI.

Rabu, Juni 29, 2011

Dividend Payout Ratio 100%: Beyond Greed & Fear

Dividend Payout Ratio 100%:
Beyond Greed & Fear
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Pada laporan rugi laba, laba bersih atau rugi bersih disajikan pada bottom line karena hakikatnya sebagai residual claim dari pemegang saham. Pada akhir periode laporan keuangan, laba bersih atau rugi bersih akan dipindahkan terlebih dahulu ke neraca ke dalam kelompok modal pada pos laba ditahan (retained earnings). Laba bersih akan memperbesar pundi laba ditahan, sebaliknya rugi bersih akan memperkecil pundi laba ditahan. Ribuan studi manajemen keuangan tentang dividend puzzle, tetapi semuanya melupakan aspek legal korporasi. Harus diingat per se (1) Pasal 70 UU Perseroan Terbatas mensyaratkan dilakukan pemupukan cadangan yang bersumber dari laba bersih hingga mencapai sedikitnya 20% dari modal ditempatkan dan disetor; (2) Pasal 71, perusahaan tidak boleh membagi dividen jika mengalami kerugian. Dibagikan atau tidaknya dividen dinyatakan dalam bentuk nisbah terhadap laba bersih (pay out ratio) dengan rentang 0% (tidak membagi dividen) sampai dengan 100% (laba bersih dibagikan seluruhnya sebagai dividen). Jika jumlah cadangan sebesar 20% dari modal disetor telah terpenuhi, maka barulah pay out ratio dapat memiliki rentang 0% sampai dengan 100%. Per se, Peraturan Bapepam, keputusan membagikan atau tidak membagikan dividen bukanlah transaksi berbenturan kepentingan, oleh karenanya beleid manajemen dan pemegang saham pengendalilah yang membentuk pengambilan keputusan pay out ratio pada RUPS. Pay out ratio juga ditentukan oleh ketersediaan dan kebutuhan dana kas oleh perusahaan. Laporan Rugi Laba seperti halnya Neraca adalah laporan berbasis acrual, artinya jika perusahaan belum berhasil menagih tagihannya pada pelanggannya, maka nilai laba bersih tidak seluruhnya berbentuk kas. Pada ujung akhirnya, setelah RUPS menerima dan mengesahkan laporan keuangan serta memutuskan pay out ratio, maka pos laba ditahan dalam kelompok modal secara definitip akan bertambah sebesar plow back ratio atau 1 - pay out ratio.
Kelompok modal pada neraca terdiri dari (1) modal disetor; (2) agio atau premium (selisih nilai pari saham dengan harga saham saat IPO), (3) cadangan modal sebesar minimal 20% dari modal disetor dan (4) laba ditahan. Modal disetor adalah dana yang disediakan oleh pemegang saham baik berupa kas pada saat pendirian perusahaan, pada saat IPO dan right issue. Semakin besar nilai kelompok modal ini, maka kapasitas perusahaan untuk berhutang juga semakin besar.
Laba ditahan merupakan komitmen tambahan pemegang saham pada perusahaan karena berfungsi sebagai jaring pengaman perusahaan (corporate safety net) pada saat bisnis perusahaan terkantuk-kantuk lesu baik karena sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya (persaingan, teknologi dll) dan juga karena salah urus perusahaan. Seperti halnya laba bersih, pada saat perusahaan mengalami kerugian, maka rugi bersih pada laporan rugi laba akan dipindahkan neraca dalam kelompok modal pada pos laba ditahan (retained earnings), maka pemindahan ini akan mengurangi jumlah laba ditahan, tetapi tidak menggerus modal disetor. Jika kerugian sangat besar, maka komponen modal berikutnya yang akan dihantam adalah cadangan modal sebelum akhirnya menggerus modal disetor yang secara teknis membuat suatu perusahaan sudah bangkrut.
Spontaneous Financing vs Discretionary Financing
Dalam khazanah manajemen keuangan, dikenal terminologi sustainable growth rate, yakni pertumbuhan organik maksimal yang akan dapat dinikmati oleh perusahaan tanpa terjadi perubahan pada struktur keuangan. Sisi pasiva neraca perusahaan adalah sources of funds sedangkan sisi aset merupakan uses of funds. Perusahaan akan tumbuh jika jika sources of funds-nya bertambah. Term SGR bermakna pertumbuhan yang terjadi jika sources of funds-nya bertambah sebesar pertambahan yang berasal dari tambahan laba ditahan. Term SGR ini berarti, perusahaan akan tetap tumbuh meskipun pay out ratio 100%, namun pertumbuhan ini digerakkan oleh sumber-sumber utang.
Pada kondisi SGR, maka nisbah keuangan semacam hutang-ekuitas tidak akan berubah karena besarnya tambahan hutang yang dibuat oleh perusahaan sama dengan tambahan modal yang berasal dari tambahan laba ditahan. Pada kondisi SGR, perusahaan dibiayai lebih banyak dengan sumber-sumber spontaneous financing, seperti menambah utang dagang atau memperlambat pembayaran utang dagang, utang pajak, uang muka pembayaran konsumen dan sebaliknya mempercepat penagihan piutang. Jika perusahaan ingin tumbuh di atas angka SGR, tidak bisa tidak perusahaan harus melakukan discretionary financing dengan membuat utang bank atau menerbitkan obligasi.
Kombinasi ketamakan dan kecemasan
Emiten dengan pay out ratio di atas 0% sampai dengan 100% tetap akan tumbuh, tetapi pertumbuhannya dibarengi dengan perubahan struktur keuangan karena di dalamnya terkandung unsur-unsur discretionary financing. Pemegang saham pengendali yang mengganggap dirinya sebagai pihak yang paling punya komitmen terhadap perusahaan dan juga memiliki hak suara yang terbesar di perusahaan memiliki informasi yang jauh lebih komplit ketimbang pemegang saham minoritas dan free float, termasuk didalamnya informasi dan prospek bisnis baru yang akan dan perlu dilakukan oleh perusahaan. Apabila suatu bisnis baru memiliki probabilitas 50% gagal dan 50% sukses, maka jika gagal, kerugian yang akan ditanggung adalah sebesar nilai investasinya, namun jika sukses akan mendatangkan keuntungan lebih besar dari nilai investasinya. Pada kondisi seperti ini, maka pilihan paling rational adalah 100% membiayai investasi baru tersebut dengan sumber-sumber discretionary financing (utang bank, penerbitan obligasi). Oleh karena pay out ratio periode sebelumnya telah tercermin pada pertumbuhan harga saham, maka kebijakan yang akan ditempuh pada periode berjalan, ditempuh dengan membagikan dividen dengan pay out ratio 100%. Dengan utang baru atau penerbitan obligasi untuk membiayai bisnis barunya yang memiliki probabilitas 50% gagal dan 50% sukses, efektif, perusahaan telah mengalihkan risiko kegagalan bisnis baru kepada kreditur. Namun jika usaha baru tersebut sukses, perusahaan akan menikmati kesuksesan tersebut dengan pertumbuhan laba yang luar biasa. Hal ini dapat dipahami karena begitu suatu perusahaan membuat utang atau menerbitkan obligasi, seketika, perusahaan sebagai debitur, memiliki opsi membayar atau tidak membayar utang. Konsep memahami perilaku perusahaan semacam ini disebut Expected Default Frequency yang diperkenalkan pertama kali oleh Merton, Black dan Scholes. Secara sederhana, aplikasi konsep ini adalah membandingkan kapitalisasi pasar dari perusahaan dengan nilai utang. Selama kapitalisasi pasar saham masih lebih besar dari nilai utang, maka perusahaan akan memilih opsi membayar utang. Nilai pasar saham perusahaan merupakan proxy terbaik karena sukses atau tidaknya usaha atau proyek baru yang dibiayai dengan utang akan tercermin pada harga-harga saham. Eksistensi opsi semacam inilah yang membentuk debt covenant (syarat-syarat utang) dari kreditur apakah bersifat affirmative (positive covenant) atau negative covenant, misalnya larangan membagikan dividen, larangan membuat utang baru selama utang belum lunas.
Payout ratio policy merupakan indikasi persepsi perusahaan pada potensi pertumbuhan industri atau sektor yang digeluti. Jika potensi pertumbuhan sangat besar, untuk menutup downside risk perusahaan gagal bertumbuh sebesar atau sama dengan angka pertumbuhan industri, maka perusahaan akan membagikan 100% laba bersihnya sebagai dividen dan mencari sumber-sumber discretionary financing. Sebaliknya jika pertumbuhan sektor dinilai rendah, namun perusahaan memiliki keyakinan masih bisa menikmati pertumbuhan organik yang diongkosi dengan sumber-sumber spontaneous financing, maka perusahaan akan opt in pada pay out ratio policy yang rendah. Pay out ratio 100% yang diikuti dengan pembiayaan bersumber utang ini selain memberikan opsi yang berasal dari Expected Default Frequency juga memberikan manfaat lain bagi pemegang saham, yakni munculnya kreditur sebagai pihak yang mengawasi manajemen perusahaan. Mengapa saya sebut manfaat? karena kepentingan kreditur hanya sebatas nilai kreditnya, sementara kepentingan pemegang saham adalah the whole corporation, sementara kewajibannya hanya sebatas kepemilikan sahamnya. Bentuk badan hukum korporasi berbentuk limited liability merupakan penemuan genius dari peradaban manusia pada sistem kapitalis yang memberikan hak tidak terbatas tetapi dengan kewajiban yang terbatas. Tidaklah berlebihan jika Ambrose Bierce (Devil’s Dictionary: 1911) menyimpulkan bahwa a corporation is an ingenious device for obtaining individual profit without individual responsibility.
Salam!


*) Pendidik, alumnus FRG EUR

Senin, Juni 06, 2011

Bagi Dividen atau Tidak Bagi Dividen?

Bagi Dividen atau Tidak Bagi Dividen?
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Setelah melalui musim RUPS, sebagian pemegang saham (minoritas) dan investor ada yang tengah bergembira menerima dividen atas investasinya di perusahaan Tbk, namun ada juga yang tengah bersungut-sungut karena saham perusahaan yang dimilikinya tidak membagikan dividen sama sekali, bahkan mungkin juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sudah menjual saham yang dimilikinya. Per definisi, dividen adalah cashflows distribution. Pemegang saham hanya akan dapat menikmati hasil investasi pada saham dengan 2 modus: dividen tunai atau menjual saham (divestasi). Menjual saham merupakan tindakan yang dapat dimengerti dalam pemenuhan likuiditas, jika tidak dilakukan pembagian dividen. Untuk saham-saham BUMN-Tbk dan non-Tbk, kebutuhan kas pemegang saham mayoritas (negara) berupa sumber dana APBN bisa didapat dari dividen atau privatisasi (bahasa eufisme divestasi) atau kedua-duanya. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa BUMN-Tbk selalu membagikan dividen dan mengapa setoran dividen BUMN pada APBN-P 2009 dinaikkan dari Rp 26,1 triliun menjadi Rp 29 triliun.
Dividend Puzzle dan The New Dividend Puzzle
Terdapat 2 kutub kebijakan dividen, kutub pertama yakin bahwa dibagi tidaknya dividen terkait dengan kemampuan manajemen mencari atau mengelola kegiatan baru yang memberikan required yield seperti yang diminta pemegang sahamnya. Sehingga tatkala membagikan dividen, seolah-olah manajemen berkata “mohon maaf saudara-saudara karena kami tidak lagi memiliki proyek yang setara dengan required yield seperti yang saudara minta, maka kami membagikan kas agar saudara bisa mencari sendiri perusahaan atau proyek yang equivalen dengan required yield saudara”. Kutub ini adalah kutub yang sangat yakin bahwa manajemen orang yang baik, jujur, amanah dan tidak melakukan shareholders misappropriation. Kutub ini juga merupakan pendukung konsep sustainable growth rate, yang menjelaskan bahwa pertumbuhan penjualan perusahaan merupakan fungsi perkalian antara ROE dengan plow back ratio (laba yang tidak dibagikan sebagai dividen). Artinya makin kecil pay out ratio (rasio dividen yang dibagikan terhadap laba bersih) akan semakin besar pula pertumbuhan penjualan penjualan perusahaan. Kepercayaan pada konsep ini akan berujung pada membaiknya nilai perusahaan, sehingga pemegang saham akan tetap mendapat return dari investasinya dengan cara menjual saham dan merealisasikan capital gain. Kutub yang kedua sebaliknya sangat yakin bahwa karena free cash flow tidak berada dibawah pengawasan RUPS dan karenanya sangat mudah dijarah oleh manajemen, maka RUPS menuntut pembagian dividen semaksimal mungkin. Bahkan dalam kondisi perusahaan memiliki portofolio kegiatan baru (ekspansi usaha misalnya), kutub ini lebih menyukai jika didanai dengan utang. Pertimbangannya adalah kreditur akan menjadi mitra pengawas jalannya perusahaan dengan menetapkan batasan-batasan yang rigid. Dua tahun setelah terungkapnya beberapa skandal pengelolaan perusahaan dan satu tahun sejak diundangkannya Sarbanes Oxley Act of 2002, di Amerika Serikat diundangkan Tax Relief Reconciliation Act of 2003 yang telah menyamakan tarif pajak capital gain dan dividen income maksimal 15%, sehingga kini tidak ada lagi perbedaan perlakuan pajak, namun bagaimana keputusan dividen diambil tetap menjadi teka-teki dan akhirnya menjadi The New Dividend Puzzle (William W Bratton:2004).
Dividend Puzzle merupakan bentuk Agent Principal Problem?
Saat ini Bursa Efek Indonesia, sebagai SRO telah menyampaikan draft Peraturan Pencatatan Saham untuk direview oleh Bapepam-LK. Terkait dengan dividen, isi draft peraturan ini antara lain mewajibkan perusahaan Tbk untuk membagikan dividen minimal 1 kali dalam setiap 3 tahun. Asosiasi Emiten Indonesia menyampaikan keberatan atas kewajiban membagikan dividen minimal 1 kali dalam setiap 3 tahun ini. Dalam konteks game theory, keberatan AEI mudah dimaklumi. Salah satu rule making rules Bursa Efek Indonesia sebagai SRO adalah perlindungan investor. Sebaliknya dalam pandangan emiten, investor adalah pihak opportunist yang akan membeli saham saat harga saham undervalue dan menjual saham saat harga saham overvalue. Saat investor merealisasi pembelian, berubahlah atributnya menjadi pemegang saham. Karena kepemilikannya kecil-kecil dan terdispersi luas, mereka ini disebut sebagai free float shareholders. Keputusan penggunaan laba bersih (termasuk dibagikan atau tidak dibagikannya dividen) akan dilakukan pada RUPS. Namun karena keputusan pembagian dividen tidak termasuk dalam ranah transaksi material berbenturan kepentingan, maka pemegang saham pengendali-lah yang akan memegang peranan.
Benefit Non Dividen Pemegang Saham Pengendali
Bahwa setiap pemegang saham, baik itu minoritas maupun majoritas, pemegang saham pengendali maupun free float shareholders membutuhkan cash adalah suatu keniscayaan. Jika Asosiasi Emiten Indonesia menolak keharusan membagikan dividen sebagaimana terdapat pada draft Peraturan Pencatatan hal ini perlu dipahami dari konteks: (1) nyaris 90% kepemilikan saham emiten di Indonesia terpusat pada satu pemegang saham pengendali (2) pemegang saham pengendali memiliki usaha lain di hilir atau di hulu industri emiten. Penolakan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana pemegang saham pengendali memenuhi kebutuhan kasnya jika selama tiga tahun berturut-turut tidak ada pembagian dividen?
Pada perusahaan Tbk non-BUMN, sangat boleh diduga, pemegang saham pengendali mendapat pembagian keuntungan (dividen) dari perusahaan lain miliknya yang diuntungkan dari penjualan produk dengan harga lebih tinggi dari pada harga pasar kepada perusahaan Tbk atau perusahaan Tbk menjual produk dengan harga lebih murah dari pada harga pasar. Singkat kata, transaksi perusahaan-perusahaan yang dimiliki pemegang saham pengendali dengan emiten tidak arm’s length transaction. Alhasil perusahaan Tbk non-BUMN yang dimiliki pemegang saham pengendali bersama-sama free float shareholders menjadi sapi perahan dalam kelompok (grup) usaha yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali. Hal ini merupakan bentuk free float shareholder misappropriation.
Sedangkan pada BUMN Tbk maupun non-Tbk, karena antara pemilik (negara) dengan manajemen tidak ada hubungan afiliasi, maka yang terjadi adalah generic agency problem. Menggenjot habis setoran dividen BUMN sampai dengan Rp 29 triliun adalah angka yang kurang. Pada BUMN mustinya dividend pay out ratio adalah 100%. Pada pay out ratio 100%, BUMN Tbk maupun non-Tbk bisa menyumbang dividen 2 kali lipat pada APBN. Selain seketika memberikan manfaat kepada APBN, pengawasan atas jalannya pengelolaan perusahaan tidak saja dilakukan oleh Dewan Komisaris tetapi juga dilakukan oleh kreditur. Semakin banyak yang mengawasi maka kemungkinan manajemen BUMN untuk menjarah perusahaan semakin kecil, karena setidaknya proses penjarahan BUMN semakin sulit dilakukan.
Salam!

*) alumnus FRG-EUR, dosen FEUI, Depok

Jumat, Mei 06, 2011

Integritas Bapepam dalam Laporan Keuangan Emiten

Integritas Bapepam
dalam
Laporan Keuangan Emiten
oleh: Shalahuddin Haikal*)

Musim publikasi laporan keuangan tahunan auditan (audited annual financial statement) di media massa berperedaran luas telah berakhir pada 31 Maret 2011 yang juga merupakan tenggat waktu penyampaikan laporan keuangan tahunan auditan (audited annual financial statement) kepada Bapepam dan Bursa Efek. Perbedaan keduanya terletak pada substansi laporan. Laporan yang dipublikasi adalah laporan keuangan short form sedangkan yang disampaikan ke Bapepam dan Bursa Efek adalah laporan keuangan long form. Kewajiban publikasi di media massa dan penyampaian laporan keuangan kepada Bapepam diatur pada Peraturan Bapepam No X. K. 2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. Laporan keuangan short form, tidak bisa disebut sebagai laporan keuangan, karena definisi laporan keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri dari neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan. Sedangkan laporan keuangan short form hanya terdiri dari 2 laporan accrual, yakni neraca dan laporan rugi laba. 
Dari segi kepatuhan penyampaian (submission) laporan keuangan, berita di Harian Kontan edisi Kamis 7 April 2011 hal 5 di bawah judul Puluhan Emiten Belum Setor Laporan, bahwa dari 424 emiten, sekitar 10% belum menyerahkan laporan keuangan tahunannya, cukup memprihatinkan. 
Dari segi substansi terdapat Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan, haqqul yaqin, baik Bapepam maupun Bursa Efek tidak akan meneliti satu persatu seluruh laporan keuangan emiten. Dari segi kepatuhan pada Peraturan Bapepam No X. K. 2 , hanya 10% dari keseluruhan emiten yang jelas-jelas tidak patuh. Dari segi kepatuhan pada Peraturan Bapepam No VIII. G. 7, angkanya akan membengkak. Kasus ditolaknya Laporan Keuangan auditan tahun 2009 suatu BUMN Tbk oleh RUPS 29 Mei 2010 dan RUPS tersebut meminta audit ulang terhadap Laporan Keuangan tahun 2009 dan akhirnya RUPS dengan agenda pertanggungjawaban Laporan Keuangan 2009 baru terlaksana pada 12 Januari 2011, merupakan salah satu bukti, bahwa baik Bapepam maupun Bursa menyerahkan sepenuhnya akurasi sebuah laporan keuangan kepada pemegang saham. Ditolaknya laporan keuangan ini, boleh jadi terjadi karena Negara sebagai pemegang saham mayoritas menyadari eksistensi agency problem, sehingga memerlukan meluangkan waktu untuk meneliti laporan keuangan. Pada laporan keuangan 2009 auditan, suatu emiten BUMN, sebut saja XGLB, Tbk, laporan arus kasnya mengandung item non-cash dalam nilai signifikan dan akuntan publik memerlukan waktu 14 hari untuk mengumumkannya kepada publik melalui sistem idxNET.
Mengingat 406 dari 424 emiten adalah bukan BUMN Tbk dimana pemegang saham mayoritas bertindak sebagai pemegang saham pengendali yang ditandai dengan dipegangnya posisi pengurus dan pengawas perusahaan oleh pemegang saham, sehingga yang terjadi bukanlah agency problem, tetapi minority shareholders and free float shareholder misappropriation, ketidakpatuhan laporan keuangan emiten terhadap Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 pasti angkanya akan lebih besar dari prosentase ketidakpatuhan emiten terhadap Peraturan Bapepam No X. K. 2.
Oleh sebab itu selain mewajibkan penyampaian laporan keuangan, Bursa Efek mewajibkan emiten untuk mempublish laporan keuangan long form melalui sistem idxNET yang bisa diunduh oleh siapapun. Tujuannya adalah supaya publik men-scrutinize sendiri laporan keuangan emiten. Publik yang dimaksud adalah para pengguna profesional laporan keuangan emiten, yakni research analyst. Kasus ditolaknya laporan keuangan suatu BUMN Tbk oleh RUPS merupakan tamparan bagi profesi Akuntan Publik yang tugasnya memberikan assurance kepada pemegang saham bahwa laporan keuangan suatu emiten telah disusun sesuai dengan Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 dan sudah tentu pula terhadap PSAK. Juga merupakan tamparan bagi research analyst yang karena pekerjaan utamanya memberikan rekomendasi investasi kepada pemodal tetapi tidak mampu mencandra defect dan erroneous pada laporan keuangan perusahaan Tbk.
Ketidakkompetenan Akuntan Publik seperti tersebut diatas hanyalah salah satu contoh dari banyak kejadian yang telah berakibat fatal pada proses pengambilan keputusan pemegang saham. Secara makro misalnya, Kementerian BUMN mengandalkan pada 26 BUMN untuk menjalankan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Nasional (MP3N) 2011-2014. Salah satu BUMN tersebut, juga XGLB, Tbk, laporan keuangan auditan 2010-nya mengandung banyak erroneous, mulai dari yang sederhana sampai yang paling fatal. Kesalahan sederhana, misalnya kesalahan aritmatika, sebut saja catatan laporan keuangan no 44, salah satu anak perusahaannya memperoleh pendapatan usaha 372.737, beban usaha 411.710, seharusnya menderita rugi usaha sebesar 38.973, tetapi pada laporan keuangan menikmati laba usaha 118.721. Kesalahan fatal pada laporan keuangan XGLB, Tbk terletak pada lebih dari 10 item salah penyajian laporan keuangan maupun substansi laporan keuangan, diantaranya misalnya beban penyisihan piutang pada laporan rugi laba diklasifikasi sebagai pendapatan (beban) lain-lain sedangkan seharusnya masuk sebagai beban umum dan administrasi. Salah saji semacam ini sudah pasti akan menggembungkan (inflated) laba usaha (operating profit). Secara mikro, pemegang saham, investor, calon investor akan salah membuat keputusan investasi dan lebih fatal lagi research analyst salah memberikan rekomendasi. Sungguh ajaib, jika seorang analis jump-to-conclusion bisa menyoal earning quality suatu emiten, tanpa terlebih dahulu menyoal kualitas laporan keuangan suatu emiten.
Laporan keuangan perusahaan non-Tbk adalah domain pemegang saham, tetapi karena saham-saham perusahaan Tbk diperdagangkan di pasar modal melalui bursa efek, maka Laporan Keuangan perusahaan Tbk adalah domain Bapepam dan Bursa Efek. Pemahaman inilah yang mendasari lahirnya Peraturan Bapepam No IX. K. 2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala dan Peraturan Bapepam VIII. G. 7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan serta Peraturan No. I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi. Laporan keuangan adalah informasi dan informasi merupakan faktor pembentuk harga, dari sudut pandang ini, Bapepam telah gagal melaksanakan amanah yang diberikan oleh Pasal 4 UU No 8 Tahun 1995 yaitu mewujudkan terciptanya pasar modal yang teratur, wajar dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat. Integritas Bapepam untuk melaksanakan Pasal 4 UU tersebut terletak pada kesungguhannya untuk men-scrutinize seluruh laporan keuangan emiten bukan menyerahkannya pada kejelian dan ketelitian masyarakat, pemodal, calon pemodal dan pemegang saham.
Salam.

*) pendidik, alumnus FRG EUR.

Agency Problem di BUMN

Agency Problem di BUMN?
oleh: Shalahuddin Haikal*)

Terdapat tiga event yang memperlihatkan ketidakkompetenan Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham negara pada BUMN yang telah mengganggu integritas pemegang saham dalam mengendalikan agency problem pada BUMN-BUMN. Ketiga event tersebut adalah: (i) Bogor Agenda I ditandatangani 5 Desember 2010 sebagai kesepakatan antara Kementrian BUMN dengan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina serta Komisaris Utama dan Direktur Utama dari 17 anak perusahaan PT (Persero) Pertamina untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan mengoptimalkan aset perusahaan serta portofolio bisnis anak perusahaan PT (Persero) Pertamina. (ii) Bogor Agenda II ditandatangani pada 11 Januari 2011 berisikan kesepakatan bahwa pemilihan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi PT (Persero) Pertamina harus dilakukan melalui konsultan independen. (iii) Retreat 11 Pebruari 2011. Pada tanggal ini, Menko Perekonomian mengumpulkan 66 direksi BUMN. Pertemuan ini dilandasi keinginan pemerintah agar BUMN memberikan kontribusi pada belanja pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi belanja modal. Besaran Operational Expenditure (Opex: belanja operasional) BUMN mencapai Rp 1.000 triliun sementara Capital Expenditure (Capex: belanja modal) hanya Rp 290 triliun. Retreat ini menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan Capex BUMN menjadi Rp 380 triliun (setara USD 40 miliar). Rekomendasi ini akan disampaikan kepada Presiden pada retreat BUMN, 21 Pebruari 2011 yang akan datang.
Tidak ada yang salah dari ke-tiga event tersebut di atas, tujuannya semuanya benar. Namun, karena semuanya memang merupakan hak negara sebagai pemegang saham, alhasil ke-tiga event tersebut, bak menggarami air laut! 
Setiap pengelola BUMN mengetahui bahwa tujuan pengelolaan perusahaan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan tumbuh jika laba usaha (operating income) dan laba bersih (net income) perusahaan terus tumbuh, secara akuntansi, laba ini akan dipindahkan pada akun laba ditahan pada pos modal pada neraca. Peningkatan pos modal yang konsisten dari tahun ke tahun akan meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan juga ditentukan oleh imbal hasil yang diharapkan dari kegiatan-kegiatan produktif yang baru. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa berupa ekspansi usaha, perluasan pasar yang hanya bisa diupayakan melalui belanja investasi (Capex). Keengganan berinvestasi pada BUMN disebabkan karena agency problem. Pada BUMN Perkebunan, misalnya, Capex berupa peremajaan tanaman, baru memberikan hasil 5 atau 10 tahun yang akan datang, sedangkan kinerja Manajemen BUMN Perkebunan diukur dari perolehan laba saat ini saja. Oleh sebab itu tidaklah terlalu mengherankan jika produktifitas BUMN Perkebunan jauh di bawah produktifitas perkebunan swasta. Pengukuran kinerja manajemen BUMN telah memperbesar agency problem yang merupakan akar persoalan tata kelola BUMN. Agency problem adalah persoalan-persoalan yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara principal, dalam hal ini adalah Negara sebagai pemegang saham dengan agent, dalam hal ini adalah manajemen BUMN. Berbeda dengan perusahaan swasta (termasuk perusahaan Tbk), manajemen BUMN sama sekali bukan “orangnya” pemegang saham. Di perusahaan swasta, pemegang saham akan menunjuk pihak-pihak yang sudah pasti memiliki kepentingan yang sama, misalnya mendudukkan dirinya sebagai komisaris atau direksi, menunjuk anaknya atau mantunya pada jajaran manajemen. Pada BUMN dan BUMN Tbk, agency problem tidak hanya terjadi pada level komisaris dan direksi tetapi juga sangat dimungkinkan terjadi pada pengalihan kuasa pemegang saham negara dari Menteri Keuangan (sebagai prinsipal) kepada Menteri BUMN (sebagai agent). Untuk mengurangi agency problem, kuasa pemegang saham BUMN melalui mekanisme fit and proper test berhak memilih siapa yang akan ditabalkan menjadi komisaris dan direksi, termasuk juga komisaris dan direksi anak perusahaan dan perusahaan afiliasi. Hal ini telah sangat jelas diatur pada Peraturan Menteri Negara BUMN No PER-01/MBU/2006 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Komisaris Anak Perusahaan BUMN. Alhasil, Agenda Bogor II adalah merupakan domain pemegang saham dan tidak diperlukan kesepakatan ini itu.
Rasio opex terhadap capex yang mencapai 350% sebagaimana dikeluhkan oleh Menko Perekonomian juga merupakan bentuk agency problem. Negara sebagai pemegang saham tentu menghendaki laba usaha yang terus meningkat seperti deret hitung. Sedangkan laba usaha yang terus meningkat hanya dapat dilakukan dengan tiga modus, yakni meningkatkan operational income (pendapatan usaha); menekan opex (biaya usaha); atau gabungan dari keduanya. Di dalam komponen Opex salah satu unsur besar adalah gaji dan lain-lain fasilitas untuk manajemen BUMN, digabungkan dengan gaji dan lain-lain fasilitas untuk karyawan BUMN, maka unsur terbesar dalam komponen Opex adalah gaji dan lain-lain fasilitas.
Bagian Keempat UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur Kewenangan RUPS. Angka (3) Pasal 14 UU ini, kegiatan yang berkaitan dengan tinggi rendahnya aktifitas investasi dan besar kecilnya Capex seperti misalnya: investasi dan pembiayaan jangka panjang, kerjasama Persero, pembentukan anak perusahaan adalah kewenangan RUPS, bukan kewenangan Dewan Komisaris apalagi Direksi. Oleh karenanya terlalu naïve jika untuk hal-hal yang memang merupakan hak pemegang saham, sampai harus dibuatkan kesepakatan dengan Dewan Komisaris dan Direksi PT (Persero) Pertamina sebagaimana tertuang pada Bogor Agenda I. Demikian juga rekomendasi peningkatan Capex yang merupakan hasil pertemuan antara Menko Perekonomian dengan 66 Direksi BUMN. Dari sisi Dewan Komisaris dan Direksi BUMN terdapat satu hal yang harus diwaspadai, yakni bahwa karena faktor di luar kendali, suatu investasi bisa berubah menjadi sunk cost (biaya yang tidak bisa dipulihkan). Jika kondisi seperti ini terjadi, maka Kuasa Pemegang Saham BUMN dengan menggunakan angka (3) Pasal 14 UU No 19 Tahun 2003 bisa dengan sangat mudah menyalahkan Dewan Komisaris dan Direksi BUMN. Mendorong BUMN untuk meningkatkan Capex, yang merupakan domain RUPS akan membuat BUMN dikejar target untuk meningkatkan Capex, berpotensi menghasilkan Capex abal-abal dan Capex yang dilaksanakan tanpa mengindahkan Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa pada BUMN.
Salam.

*) alumnus FRG EUR, berhikmat sebagai pendidik.