Selasa, April 15, 2014

Benang Basah itu Bernama Good Corporate Governance



Benang Basah itu Bernama Good Corporate Governance


"Bagai menegakkan benang basah", artinya melakukan suatu pekerjaan yang mustahil akan berhasil. Tulisan ini saya buat untuk menanggapi rubrik Dialog pada Mingguan Kontan No 21 Tahun XVIII, bertajuk Tata Kelola Emiten Kita Masih Belum Memadai yang merupakan wawancara dengan Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK.

Karena merupakan distribution of power, check & balance mechanism, diantara ke-tiga organ perusahaan: RUPS; dewan komisaris dan direksi, maka Tata Kelola Perusahaan (corporate governance) adalah kebutuhan perusahaan. Distribution of power, check & balance mechanism jelas dinyatakan dalam Anggaran Dasar Perusahaan. Sebagai assurance bahwa UU Perseroan Terbatas (UU PT) diadopsi, maka Anggaran Dasar perusahaan-perusahaan dan perubahan-perubahannya harus mendapat persetujuan Menteri Hukum & HAM melalui sistem AHU (Sisminbakum). Sehingga bagi perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, tanpa harus dimaklumatkan dan disebutkan, adopsi Tata Kelola Perusahaan adalah keniscayaan.

Namun sebagai sebuah ketentuan internal yang merujuk kepada UU PT, Tata Kelola Perusahaan yang semula bersifat netral seketika akan berubah menjadi tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) manakala melibatkan banyak pemangku kepentingan. Hal ini terjadi karena sifat alamiah UU PT yang tidak memberikan perlindungan yang cukup terhadap capital provider yang datang dari luar perusahaan (kreditur, bondholder maupun pemegang saham independen). Akan sangat merepotkan perusahaan, bilamana ratusan atau ribuan pemegang saham ini mengexercise hak-hak mereka sebagai pemegang saham. Oleh sebab itu corporation law dimanapun di dunia, termasuk UU PT menetapkan threshold berupa minimum kepemilikan untuk boleh mengusulkan RUPS, mengusulkan agenda RUPS, menominasi pengurus perusahaan. UU PT dirancang untuk melindungi kepentingan pemegang saham mayoritas (pengendali) bukan untuk melindungi kepentingan pihak eksternal, yakni kreditur dan  pemegang saham kecil (free floaters). Itulah sebabnya, begitu suatu perusahaan menjadi perusahaan publik, baik karena kepemilikan saham yang luas maupun karena melaksanakan penawaran umum surat utang, seketika harus tunduk patuh pula kepada UU Pasar Modal (securities law), yang didalamnya mewajibkan perusahaan untuk menghormati hak-hak pihak eksternal tersebut yakni kreditur (bondholders) dan free floaters. UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan turunannya yang diadministrasikan oleh pengawas pasar modal tidak bisa mencampuri urusan internal perusahaan, tetapi memastikan bahwa hak-hak pemegang saham free floaters dihormati dan dilindungi dari potensi misapropriasi free floaters oleh perusahaan dan ke-tiga organ yang lainnya.

Perpaduan ketaatan pada Anggaran Dasar yang merupakan adopsi UU Perseroan Terbatas dan kepatuhan kepada UU Pasar Modal dan turunan peraturan-peraturannya inilah yang kemudian dikenal dan disebut sebagai Good Corporate Governance. Sifat seperti inilah yang melahirkan konsekuensi, bahwa tidak bisa tidak pendekatan untuk menegakkan GCG bagi perusahaan Tbk adalah compliance driven.

Peraturan dan ketentuan baru harus terus menerus diterbitkan dan atau dikinikan (diupdate) untuk memastikan tidak terjadi misapropriasi terhadap capital provider yang datang dari pasar modal. Oleh karenanya pengawas pasar modal harus memiliki rules making rule untuk memastikan bahwa peraturan yang dibuatnya masuk akal dan dapat dipantau dan diikuti dengan law enforcement. Para pihak yang melanggar diberi sanksi termasuk juga pidana pasar modal. Di dalam rules making rule harus diatur siapa yang bertanggungjawab atas untuk menerbitkan peraturan baru dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan oleh emiten.

Membaca wawancara dengan Nurhaida, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK (Mingguan Kontan No 21 Tahun XVIII), pernyataan Tata Kelola Emiten Kita Masih Belum Memadai, ditepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Memastikan Emiten memiliki Tata Kelola Baik tidak bisa tidak bersifat compliance driven, sementara Pengawas Pasar Modal banyak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran peraturan. Pun sungguh memprihatinkan pola pikir OJK yang mengandalkan Road Map GCG sebagai referensi utama dalam perbaikan praktik dan regulasi tata kelola perusahaan, yang darinya akan ditelurkan berbagai macam aturan baru bagi emiten, namun justru pada saat yang sama malahan mengabaikan rencana atau progress amandemen UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang sudah usang tidak mengikuti perkembangan jaman.

Sebelum melahirkan berbagai macam aturan-aturan baru tersebut, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal perlu memastikan apakah emiten taat dan patuh pada peraturan-peraturan yang sekarang sudah ada. Oleh karena mulai 1 Januari 2014, pengawasan perbankan berpindah tangan ke OJK, juga perlu dilakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan microprudential perbankan dengan peraturan-peraturan pasar modal. Sebut saja, PBI No 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum, mensyaratkan Presiden Direktur atau Direktur Utama perbankan Tbk, wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali, yang berarti tidak boleh memiliki saham-saham perusahaan, pada kenyataannya kepemilikan saham-saham perusahaan oleh Direktur Utama perbankan Tbk dibiarkan begitu saja.

Begitu banyak pelanggaran terhadap peraturan pasar modal dibiarkan begitu saja, yang bukan saja merupakan bentuk misapropriasi capital provider yang datang dari pasar modal tetapi juga sudah merusak reputasi OJK. Fungsi pengawasan pasar modal tidak dilaksanakan sendirian oleh OJK, tetapi juga dapat didelegasikan kepada Bursa Efek sebagai SRO yang mengatur dan mengawasi emiten-emiten yang mencatatkan efek di bursa yang dikelolanya.

Berdasarkan banyak data publik yang didapat dari Bursa Efek Indonesia, berupa surat-surat emiten yang ditujukan kepada Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dan ditembuskan kepada Direksi Bursa Efek Indonesia dan kemudian oleh emiten diumumkan kepada khalayak, saya menyimpulkan bahwa bahwa baik Otoritas Jasa Keuangan maupun Bursa Efek Indonesia telah tidak melaksanakan fungsi pengawasannya.

Telah banyak terjadi pembiaran pelanggaran oleh emiten dari yang sederhana sampai yang rumit. Sebut saja, Komisaris Independen/Ketua Komite Audit perusahaan Tbk, memiliki saham-saham perusahaan tanpa ada teguran maupun sanksi sama sekali, sedangkan Peraturan IX. I. 5, dengan tegas melarangnya. Atau begitu mudahnya para pihak pada perusahaan-perusahaan yang memproklamirkan dirinya dan membuat pernyataan hendak mengakuisisi PGAS, yang pernyataannya telah mendistorsi pasar saham. Apakah OJK dan BEI melakukan enforcement terhadapnya para pihak tersebut? Tidak!

OJK berpura-pura berkomitmen menegakkan etika dengan menyediakan Sistem Pelaporan Pelanggaran Kode Etik OJK tetapi ternyata hanya sekedar pajangan karena tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Sampai disini, saya menyimpulkan bahwa keberadaan OJK a la UU No 21 Tahun 2011 memang perlu ditinjau ulang, sebab sebagai lembaga yang akan menegakkan Tata Kelola Perusahaan yang baik, ternyata by default, OJK sendiri tidak akan mungkin memiliki tata kelola yang baik. Sekedar tahu saja, pada UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak ada satupun pasal yang menegaskan status hukum OJK, apakah badan hukum atau bukan, tetapi semua pungutan terhadap jasa keuangan diklasifikasikan sebagai penerimaan OJK.

Salam.