Sabtu, Desember 02, 2017

Menunggu Godot (3)



Bukan Usaha Milik Negara? - 3


Shalahuddin Haikal*)


Smart people don't learn......because they have too much invested in proving what they know and avoiding being seen as not knowing (Chris Argyris)


Sengaja saya kutipkan quote dari Chrys Argyris sebagai lampu sorot pertunjukan menjelang akhir tahun 2017. Tontonan pertama penuh sensasi baru saja reda, masuk ke pertunjukan kedua yang spektakuler. Hari Rabu tanggal 29 Nopember 2017 tiga BUMN, Tbk, yakni Aneka Tambang, Tambang Timah dan Bukit Asam telah melaksanakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham untuk meminta persetujuan pemegang saham sehubungan dengan perubahan Anggaran Dasar masing-masing perusahaan yang akan merubah status badan hukum dari BUMN yang tunduk patuh kepada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menjadi hanya tunduk patuh kepada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hajatan RUPSLB ini dilaksanakan sebagai kelanjutan dari terbitnya PP No 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Agar tidak masuk ke teknis rule making rules kedua PP tersebut, tulisan ini hanya akan menjelaskan implikasi dari PP No 72 Tahun 2016 yakni berubahnya BUMN-BUMN yang semula mutlak comply pada UU No 19 Tahun 2003 (UU BUMN) menjadi cukup comply dengan UU No 40 Tahun 2007 (UU Perseroan Terbatas) saja.


PP No 72 Tahun 2016 sempat menjadi isue hangat manakala KAHMI mengajukan judicial reviu ke Mahkamah Agung yang berbuah amar putusan niet ontvankelijke verklaard melalui Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 tanggal 8 juni 2017. Putusan MA tersebut tidaklah mengejutkan, karena dalam perkara yang serupa dan sebangun, yakni pada saat Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara, mengajukan reviu judisial atas PP Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, MA-pun menolak permohonan uji materi. Untuk mengingatkan kembali bahwa PP No 72 Tahun 2014 adalah upaya holdingisasi PTPN yang berjumlah lebih dari 1 lusin. Modusnya adalah pemerintah menambah setoran modal di PTPN III secara inbreng dalam bentuk saham-saham negara di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV. Karena transaksi ini pula maka tiga belas PT (Persero) Perkebunan Negara berubah menjadi perseroan terbatas biasa (tidak pakai prefix Persero). 


Kait berkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 sehingga sah jika diartikan secara tekstual maupun kontekstual dengan merujuk UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, frasa “berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, ini-lah yang disebut sebagai privatisasi. Implikasinya adalah semula BUMN terkait dengan keuangan negara, menjadi lepas dan tidak lagi berhubungan dengan keuangan negara. Bentuk privatisasi bukan hanya memperluas kepemilikan saham BUMN kepada masyarakat. 


Setelah upaya reviu judisial ditolak, maka negara sebagai pemilik saham-saham BUMN, melalui pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan akan melaksanakan holdingingisasi BUMN dengan mengimplementasi PP No 72 Tahun 2016. Dimulai dari holdingisasi BUMN sektor tambang. Melalui RUPSLB tersebut, maka pemegang saham mayoritas sekaligus pemegang saham pengendali di PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah dan PT Bukit Asam adalah PT (Persero) Inalum, selama OJK dan BEI beranggapan bahwa transaksi inbreng saham tersebut bukan transaksi material dan berbenturan kepentingan sudah pasti akan terlaksana. 


Persoalannya adalah selama BUMN didefinisikan sebagai badan usaha yang paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, artinya jika kepemilikan negara kurang dari 51%, maka badan usaha tersebut tidak lagi dapat dikategori sebagai BUMN, melainkan sebatas penyertaan saham negara di perusahaan privaat. Menjadikan BUMN sebagai entitas privaat, berarti privatisasi. Dengan term “privatisasi”, dalam kaitannya dengan Keuangan Negara, maka Pasal 74 sampai dengan Pasal 84 UU No 19 Tahun 2003 perlu diikuti pasal demi pasal.


Dengan minimum threshold 51% saham-sahamnya dimiliki negara dan perubahan compliance status dari UU BUMN menjadi UU PT, qua, perpindahan kepemilikan saham-saham PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah dan PT Bukit Asam dari negara kepada PT (Persero) Inalum adalah privatisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk implementasi PP Nomor 72 Tahun 2014 yang telah mengakibatkan peralihan kepemilikan saham mayoritas oleh negara di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV menjadi milik PTPN III. 


Sedikit catatan tambahan untuk menyegarkan ingatan kita, PP Nomor 72 Tahun 2014 terbit pada masa-masa kritis, yakni 2 pekan sebelum DPR masa tugas (periode) 2009-2014 berakhir dan 2 pekan sebelum DPR (periode) 2014-2019 memulai tenurnya. Meskipun terbit di akhir periode DPR periode sebelumnya, DPR periode setelahnya sama sekali tidak pernah mempersoalkan PP Nomor 72 Tahun 2014.

Kesamaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah kekuatannya sebagai mantera penghilang BUMN. Dengan kedua PP ini secara kimiawi BUMN telah menyublim menjadi badan hukum privaat belaka, secara biologis merupakan fenomena metamorphosis dari semula dikuasai negara dan merupakan sumber dividen sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN menjadi badan hukum swasta. Perbedaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah bahwa PP No 72 Tahun 204 diterbitkan on purpose spesiaal untuk holdingisasi PT (Persero) Perkebunan Nusantara I s.d PT (Persero) Perkebunan Nusantara XIV menjadi hanya satu PT (Persero) Perkebunan Nusantara. Sedangkan PP No 72 Tahun 2016 adalah so-called "landasan hukum" untuk memprivatisasi seluruh BUMN menjadi holding company.


Terdapat beberapa hal dari implementasi PP No 72 Tahun 2016, baik dalam bentuk potensi masalah; batu uji dan para stakeholders yang rasa herannya lahir belakangan. Hal pertama yang bukan tidak mungkin tidak terjadi, jika para pemegang saham publik (pemegang saham minoritas dan free float shareholders) di ke-tiga BUMN Tbk menolak perubahan status menjadi perusahaan privaat, maka terhadap pemegang saham yang memberikan suara “menolak”, pemegang saham pengendali baru akan terkena kewajiban untuk melakukan tender offer. 

Hal kedua, berkaitan dengan hal pertama, seharusnya OJK segera mengumumkan atau menyatakan pendapat atau memberikan fatwa apakah transaksi ini dikategori sebagai transaksi afiliasi dan mengandung benturan kepentingan atau tidak. Juga apakah transaksi ini dikategori sebagai transaksi material atau tidak. Sebab jika transaksi ini mengandung benturan kepentingan maka kuorum RUPSLB yang dihitung adalah kuorum minoritas (hanya dihitung dari pemegang saham free float dan minoritas) dan pemegang saham pengendali (dalam hal ini kuasa pemegang saham negara) tidak boleh mengambil suara karena obyek pengambilan keputusan RUPSLB adalah transaksi yang akan dilakukan Negara yang akan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada PT (Persero) Inalum.


Hal ketiga dan mustinya menjadi batu uji terhadap integritas, profesionalisme dan objektifitas bukan saja Badan Pemeriksa Keuangan tetapi juga Kantor Akuntan Publik adalah bagaimana nantinya pilihan kata dan diksi pada opini BPK dan (KAP yang diawasinya dalam mengaudit BUMN bersangkutan) baik pada laporan keuangan auditan (audited financial report) maupun pada laporan audit kepatuhan (compliance report). 


Hal ke-empat, adalah bagaimana KPK akan menyikapi transaksi ini. Sulit menarasikannya secara langsung dan lebih mudah menggunakan dalam bentuk kalimat tanya majas (metafora). Bagaimana sikap KPK, jika negara yang mengumpulkan dan menyisihkan sen demi sen, rupiah demi rupiah (yang karenanya disebut keuangan negara yang dipisahkan) untuk membeli semen atau pupuk phospat dan kemudian pihak yang ditugasi menjaga dan menyimpan semen atau pupuk phospat bertindak sangat sembrono dan sehingga karena sifatnya yang higroskopis, maka semen atau pupuk phospat berubah menjadi batu dan tidak lagi dapat digunakan. Apakah KPK akan mempertimbangkannya sebagai kerugian pada keuangan negara? 


Yang terakhir adalah saat pembahasan item Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam RAPBN, tiba-tiba para legislator pembahas akan merasa kehilangan BUMN yang selama ini diandalkan menyetorkan dividen sebagai PNBP. Ternyata yang bisa hilang, dihilangkan dan menghilang bukan hanya Harry Houdini dan “You Know Who” saja, BUMN yang merupakan keuangan negara yang dipisahkan dengan aset trililunan rupiah pun dapat dengan mudah hilang, menyublim dan bermetamorfosa menjadi perusahaan privat. Di Amerika Serikat, ketidaksepakatan antara senat dengan executive branch dalam pembahasan state budget (RAPBN) berpotensi pada apa yang disebut sebagai government shutdown.


Wallahualam bis sowab






*) alumni FRG-EUR; berhikmat sebagai pendidik.

Sabtu, Oktober 21, 2017

Dosen Tanpa Mimbar; Guru Tanpa Meja


Dosen Tanpa Mimbar; Guru Tanpa Meja

Shalahuddin Haikal*)

Gundah hati ini membaca opini berjudul Kebebasan Akademik Tercemar (Harian Kompas  Jum’at 11 agustus 2017) karena opini tersebut tidak saja mempermalukan Kementerian Riset dan Dikti; serta perangkat akreditisasi di kementerian tersebut, tetapi mempermalukan diri penulisnya sendiri. Gundah karena selama suatu kesimpulan atau setidaknya suatu opini tidak disusun dari (setidaknya) suatu metoda deduksi induksi yang benar atau metoda penelitian yang standar dan bukan dari suatu sample survei sehingga sample tidak representative mewakili suatu populasi (dalam hal ini seluruh dosen di seluruh perguruan tinggi dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia) maka hanya akan menjadi sekedar delusi ilmiah dari penulisnya. Sebagai suatu delusi, sebetulnya opini tersebut tidak perlu ditanggapi. Namun karena ditulis oleh seorang Guru Besar, delusi tersebut menjadi amat sangat berbahaya jika tidak ditanggapi dan dikoreksi. Gundah kedua kalinya karena penulis opini tersebut juga tidak mendefinisikan kata “radikal” atau frasa turunannya yakni “radikalisme”. Radikal berasal dari kata latin radix yang berarti berakar. Kedua frasa tersebut memang banyak dipakai dikalangan scholar di bidang ilmu sosial bahwa perubahan harus dimulai sejak dari akar. Tidak dapat dibayangkan tanpa radikalisme, berarti pula NKRI yang sekarang ini ada dan berdiri tegak dengan memerdekakan diri dari penjajahan era kolonialisme. Tanpa berpikir radikal, bisa jadi kolonialisme dianggap sebagai kewajaran atau takdir belaka bukan? Pun, orde lama yang digantikan dengan orde baru, dan kemudian orde baru digantikan orde reformasi tidak akan tumbang tanpa pemahaman radikalisme, bukan demikian?

Romantisme Dead Poet Society?
Pohon ilmu memiliki cabang-cabang ilmu dan ranting-ranting berupa mata ajar atau mata kuliah. Di perguruan tinggi yang terakreditisasi baik (minimal B), silabus dan Buku Rancangan Pembelajaran merupakan piranti mutlak dari dapat diselenggarakannya suatu mata ajaran atau mata kuliah. Keduanya disusun bukan oleh satu orang guru atau dosen, tetapi oleh suatu tim dan memerlukan endorsement dari Senat Akademik atau setidaknya oleh Unit/Badan Penjamin Mutu Akademik. Di Sekolah Dasar, untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun kurikulum-kurikulum sebelumnya mutlak disertai silabus, Rencana Pelaksanaan Pengajaran; Prota (Program Tahunan) yang diturunkan menjadi Promes (program semesteran) dan kemudian kalender pendidikan. Baik di sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi, juga telah dilaksanakan metoda pengajaran berbasis student center active learning (SCAL) dengan segala jenis variasinya (collaborative learning; problem based learning). Sebutan untuk mahasiswa perguruan tinggi dan murid SD, SMP dan SMA bersalin nama menjadi peserta didik. Per se UU No 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, baik berstatus badan hukum maupun berstatus badan layanan umum, mensyaratkan pengelolaannya berbasis managerialisme bukan lagi kolegialisme. Penomenanya cukup banyak, tetapi yang monumental dan mudah dikenali adalah ketua program studi, ketua jurusan, ketua departemen dan dekan tidak lagi dipilih oleh para dosen tetapi ditunjuk oleh Rektor. Rektor sendiri kini dipilih oleh Majelis Wali Amanat atau oleh Menteri Ristek dan Dikti. Konsekuensinya adalah hubungan kerja dosen dengan perguruan tinggi adalah hubungan industrial, bukan lagi hubungan kolegialisme. Dosen mendapat penugasan (assignment) dari Dekan. 

Dengan atau tanpa metoda SCAL, agar suatu mata kuliah dapat dilaksanakan, memiliki necessary condition berupa adanya silabus, Buku Rancangan Pengajaran, bank soal. Berdasarkan pelaksanaan tugas mengajar tersebut,  kemudian dosen mendapat upah. Upah dosen dihitung berdasarkan Xu (harga satuan pengajaran universitas) dan Xf (harga satuan pengajaran fakultas). Pada mata kuliah-mata kuliah yang dilaksanakan dengan metoda SCAL, dosen dan guru tidak lagi menyuapi anak didik atau peserta didik dengan pemahamannya, tetapi peserta didik-lah yang harus aktif mengeksplorasi, mencari, mendeduksi dan menginduksi. Dosen dan guru hanya berperan sebagai fasilitator, sehingga dosen kehilangan mimbar dan guru kehilangan meja.

Terhadap proses fasilitasi yang dilaksanakan, setiap akhir semester, peserta didik akan mengisi EDOM (evaluasi dosen oleh mahasiswa). Kumplit sudah, di hulu, hubungan dosen dengan universitas adalah industrial relation, di hilir, hubungan dosen dengan peserta didik adalah consumer relations. PTN-PTN yang berpartisipasi pada diskusi Forum Senat Akademik PTN BH di Bandung 13-14 Juli yang sudah maju, bahkan telah menerapkan Student Center e-leaning Environment. “dosen” dan peserta didik tidak lagi perlu bertatap muka, proses pembelajaran dilakukan melalui teknologi informasi. Perkembangan metoda proses belajar mengajar yang diendorse dan didorong Dirjen Dikti, dan kini Kementerian Riset dan Dikti telah abai atau menafikan ayat-ayat dan pasal-pasal tentang peran Guru dan Dosen sebagai diamanatkan di UU Guru dan Dosen.

Tanpa harus menjelaskan perkembangan metoda pelaksanaan proses belajar mengajar di perguruan tinggi, delusi ketercemaran kebebasan akademik yang disampaikan oleh Prof Budi Santoso, dapat dengan mudah dipatahkan, dengan metoda dan proses belajar mengajar di Universitas Terbuka. Bukankah Universitas Terbuka juga perguruan tinggi?

Boleh jadi yang disampaikan penulis opini tersebut adalah sinyalemen. Sebagai sebuah sinyalemen, artikel opini tersebut lumayan masuk akal,  agar PTN-bh, PTN-BLU, Menteri Riset dan Dikti dan BAN-PT untuk berintrospeksi. Jika BAN-PT benar menjalankan tupoksinya, musykil, BAN-PT memberikan akreditisasi A jika setiap mata kuliah pada program studi tidak memiliki silabus, BRP, dan dosen pengampu bersertifikasi. Masalah mendasar di Kementerian Ristek Dikti; perguruan tinggi dan BAN-PT adalah mendangkalkan pemahaman peraturan perundang-undangan dan tidak patuh kepada peraturan serta sembrono dalam melaksanakan tugas. Pernyataan ini dilandasi beberapa fakta, misalnya terjadi di salah satu PTN-bh terkemuka di Indonesia, kurikulum program studi Administrasi Niaga adalah hasil copycat sehingga percis sama dengan kurikulum program studi Manajemen. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika Badan Penjamin Mutu Akademik di tingkat universitas menjalankan tupoksinya. Atau di salah satu PTN-bh yang akan menghentikan gaji pokok dosen jika tiga semester berturut-turut tidak menghasilkan dan mempublikasi karya ilmiah. Di tingkat kementerian pun terdapat upaya mengkerdilkan ketentuan peraturan perundang-undangan, terbitnya Peraturan Menteri Riset Dikti No 10 Tahun 2017 yang kental dengan diskriminasi adalah contohnya. Peraturan Menteri ini bertentangan dengan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Pengelolaan perguruan tinggi yang berbasis managerialisme menuntut kepatuhan, dimulai dari rule making yang comply, patuh dan taat azaz terhadap ketentuan dan peraturan yang lebih tinggi sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan kepatuhan (compliance audit) secara berkala maupun acak yang ditindaklanjuti dengan upaya korektif.

Radikalisme Yang Mana?
Jika ada bidang empat persegi panjang atau bentuk kubus, jika ingin tahu bidang atau kubus tersebut disusun dari berapa banyak bidang atau dari berapa banyak kubus, maka digunakanlah radikal (akar). Untuk bidang empat persegi digunakan akar pangkat dua (kwadrat) sedangkan untuk bangun kubus digunakan akar pangkat tiga. Bangunan ilmu juga dapat didekati dengan mendekomposisinya dengan cara yang kurang lebih sama. Memang benar, ilmu-ilmu sosial adalah bidang keilmuan yang syarat dengan sistem nilai dan values. Saya yakin, bahwa para dosen ilmu-ilmu sosial juga sedang bersama saya, tergelak-gelak membaca opini pencemaran kebebasan akademik. Di fakultas ekonomi misalnya, dosen mata kuliah Teori Ekonomi Mikro misalnya mutlak harus menghantarkan peserta didik pada konsep profit maximizing, bahwa perusahaan harus terus berproduksi dan menjual sampai dengan kurva marginal revenue memotong dari bawah kurva dan kemudian beirisan dengan kurva marginal cost, dosen teori ekonomi mikro juga harus menjelaskan konsep maximum utility, bahwa konsumen akan berusaha semaksimal memaksimumkan kepuasannya sehingga tercapai himpitan tangensial antar kurva utility dengan kurva budget line dalam sumbu kartesian. Produsen yang mencari keuntungan maksimum dan konsumen yang mencari kepuasan maksimum bukankah menyimpangi sila ke-lima pada Panca Sila? Di program studi Kriminologi atau Sosiologi, peserta didik mutlak paham perbedaan critical theory dan radical theory of sociology bukan? Dalam ilmu ekonomi, bagaimana negara berperan atau tidak berperan dapat dikenali dengan pendekatan Keynessian (dikenal sebagai Keynessian) yang berakar pada keyakinan negara harus dominan atau pendekatan klasikal yang berakar pada konsep bahwa perekonomian akan berjalan sendiri dengan mekanisme pasar. Kawan saya yang mengajar ilmu politik mendefinisikan dengan gamblang dan sederhana, arti kata “demokrasi”, bahwa esensi demokrasi adalah kehendak rakyat banyak atau dengan kata lain mayoritas. Jika mayoritas dibicarakan, tidak-kah kita juga mempertimbangkan sisi minoritas, sehingga kemudian yang dikenal adalah tirani minoritas, bukan tirani mayoritas, sebab mayoritas sudah pasti mendominasi keputusan-keputusan publik. 

Keluaran proses belajar mengajar adalah dihasilkannya pemikiran kritis. Menugasi murid SMA untuk membahas Flat Earth adalah bagian dari eksplorasi, bukankah Galileo Galilei menyatakan you can not teach a man anything; you can only help him find it within himself. Atas pertanyaan anak saya yang duduk di kelas 3 SD, mengapa burung Garuda Pancasila menengok ke kanan, bukan ke kiri atau menghadap ke depan atau ke atas, tentu saja secara pedagogis saya tidak boleh serta merta menjawabnya, karena jika saya menjawab tanpa terlebih dulu memberikannya kesempatan berekplorasi dan membebaskannya berpikir kritis, maka jawaban saya atas pertanyaannya memenuhi kriteria untuk disebut indoktrinasi.



*) alumni FRG-EUR, berhikmat sebagai pendidik

Sabtu, April 29, 2017

Menunggu Godot (bagian 2)


 

BUKAN USAHA MILIK NEGARA - 2
Penyertaan Modal Negara:
Perbandingan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014

Shalahuddin Haikal*)

Menjadi perusahaan yang memiliki sepuluh anak perusahaan yang masing-masing juga memiliki lusinan anak perusahaan adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan karena merupakan urusan the ultimate owner-nya, seperti halnya PT Astra International, Tbk yang kini memiliki 208 anak perusahaan. Tetapi bagaimana dengan BUMN atau Perusahaan Perseroan yang berada di ranah keuangan negara?

Tercengang dengan PP No 60 Tahun 2016 yang menjadikan Kepolisian RI sebagai pencari Pendapatan Negara Bukan Pajak (Alvin Lie, Harian Kompas Rabu 11 Januari 2016), kini muncul ke permukaan PP No 72 Tahun 2016 yang fenomenal. PP No 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Tatacara Penyertaan Modal Negara di BUMN ini sebetulnya bukan PP yang baru sama sekali, namun merupakan PP yang mengamandemen beberapa pasal dan beberapa ayat pada PP No 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Substansi PP No 72 Tahun 2016, pun tidak banyak berbeda dengan PP yang bernomor sama tetapi berangka tahun 2014, yakni PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham PTPN III, yang esensinya adalah tambahan setoran modal saham dilakukan dalam bentuk inbreng saham negara di seluruh PTPN yang lain (PTPN I, II, IV s.d PTPN XIV) yang serta merta menjadikan seluruh PTPN yang lainnya menjadi anak perusahaan PTPN III, sehingga oleh karenanya tidak lagi dapat disebut sebagai BUMN. Melalui PP No 72 Tahun 2014, holding BUMN Perkebunan sudah terbentuk. Hal lain yang mencengangkan adalah respon yang hiruk pikuk dan sedemikian heboh atas terbitnya PP No 72 Tahun 2016, sangat berbeda dengan suasana sunyi senyap atas terbitnya PP No 72 Tahun 2014. Saat itu, satu-satunya pemangku kepentingan yang keberatan hanyalah Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara. Sebaliknya sekarang, terhadap terbitnya PP No 72 Tahun 2016, mulai dari pengamat kebijakan publik, anggota DPR, hingga LSM memberikan komentar yang galak dan pedas, antara lain menggunakan istilah “inskonstitutioniel”.

Tanpa perlu disebutkan pada konsiderans maupun pasal-pasalnya, cukup jelas PP ini ditujukan untuk memuluskan ide pembentukan holding BUMN yang tertunda-tunda sejak Kementerian BUMN pertama kali dibentuk dan dipimpin oleh Menteri Negara atau menteri tanpa portofolio di tahun 2001. Tupoksi Kementerian BUMN ini pertama kali diatur melalui PP No 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri Negara BUMN. Berkenaan dengan terbitnya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, PP No 64 Tahun 2001 tersebut dikoreksi dengan PP No 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Pasal 3 PP No 41 Tahun 2003, berisikan tiga pengecualian terhadap tugas dan kewenangan Menteri Keungan yang dilimpahkan, yakni: penatausahaan setiap Penyertaan Modal Negara berikut perubahannya ke dalam BUMN; pengusulan setiap Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN yang berasal dari APBN serta pemanfaatan kekayaan Negara; pendirian BUMN maupun perubahan bentuk hukum. Melalui pasal 3 ini, jelas bahwa terdapat wilayah Menteri Keuangan yang tidak didelegasikan kepada Menteri BUMN.

PP 72/2016 menjadi fenomenal, karena selain didalamnya mengandung contradictio in terminis, dan sudah pasti bertentangan dengan PP pada domain yang sama dan lebih penting lagi bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. PP ini mengundang reaksi pranata negara yang berbeda. Tidak ada reaksi dari DPR dan BPK atas terbitnya PP No 72 Tahun 2014 yang pada hakekatnya merupakan privatisasi PTPN-PTPN lainnya karena PMN ke PTPN III dilaksanakan dalam bentuk inbreng saham negara di PTPN lainnya, sedangkan PP No 72 Tahun 2014 terbit hanya terpaut satu hari sebelum dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014. 

Inbreng Saham BUMN Pintu Masuk Privatisasi
Tidak ada yang istimewa dari PP 72/2016 yang mengamandemen angka 8 Pasal 1 PP No 44/2005, misalnya semula “Penatausahaan adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui besarnya penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas” menjadi “Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan pengadministrasian penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas”.

Hal baru yang ditambahkan (bukan merubah) adalah sumber PMN, jika pada PP No 44/2005 terdiri atas empat sumber: dana segar; proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN; piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau aset-aset negara lainnya, maka pada PP 72/2016 disisipkan tambahan sumber PMN, yakni saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas. Dari sisipan ini jelas, bahwa sumber PMN dapat berasal dari inbreng saham negara pada BUMN lain. Hal baru lainnya yang ditambahkan muncul dalam bentuk Pasal 2A. Ayat 1 Pasal 2A ini justru sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013, bahwa istilah kekayaan negara yang dipisahkan adalah keuangan negara yang tidak terbatas dan tidak dibatasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 

Letak persoalan PP 72/2016 ini karena mengandung contradictio in terminis jelas dan nyata, misalnya pada Pasal 1 yang merupakan ketentuan umum, didefinisikan BUMN, Perusahaan Perseroan, Perusahaan Umum, Perseroan Terbatas, secara concise karena merupakan verbatim dari UU BUMN. Namun PP ini tidak menjelaskan implikasi dari setoran modal dalam bentuk inbreng saham milik negara di satu BUMN kepada BUMN lain, yakni seketika BUMN yang sahamnya di-inbreng-kan akan kehilangan kriteria BUMN dan atau kehilangan kriteria Perusahaan Perseroan. Sudah pasti, BUMN akan berubah menjadi Perusahaan Perseroan (ditandai dengan suffix Persero, dibelakang nama perusahan, jika negara mempertahankan sekurang-kurangnya 51% kepemilikan negara), sebaliknya jika kepemilikan negara menjadi kurang dari 51%, maka BUMN tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa yang tidak lagi boleh menyandang kata “Persero”. Sehingga karenanya, perubahan prosentase kepemilikan negara pada suatu badan usaha masuk kriteria privatisasi. Karena memenuhi kriteria privatisasi, maka kini persoalannya terletak pada ketidaksesuaian PP dengan pasal-pasal dan ayat-ayat pengaturan privatisasi yang terdapat pada UU BUMN. Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 mengatur prinsip-prinsip privatisasi dan kriteria BUMN yang dapat diprivatisasi. UU BUMN melalui Pasal 79 s.d Pasal 81 juga mensyaratkan keberadaan pranata Komite Privatisasi yang mutlak dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan Menteri Keuangan dan Menteri Teknis sebagai anggota komite. Hingga sampai tatacara privatisasipun diatur dalam UU BUMN.

Perbandingan dengan PP No 72 Tahun 2014
Tanggal 17 September 2014 atau tepat satu hari sebelum Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas No 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014, terbit PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III. Berbeda dengan PP No 72/2016 yang bersifat umum, PP No 72/2014 khusus memutuskan penambahan PMN di PTPN III. Tambahan PMN tersebut dilaksanakan dalam bentuk inbreng 90% saham negara pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara II dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara IV, sampai dengan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara XIV. 

Karena 90% saham-sahamnya PTPN-PTPN tersebut kini dimiliki oleh PTPN III, maka ke-13 PTPN tersebut berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (saja!). Tambahan PMN kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III menjadikan ke-13 PTPN lainnya kehilangan status BUMN sekaligus status Perusahaan Perseroan. Per se, transaksi tersebut adalah privatisasi! Tidak ada satupun pengamat, anggota DPR atau LSM yang memberikan komentar dan mantranya terhadap PP No 72 Tahun 2014. Satu-satunya pihak yang menyatakan keberatan adalah Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara yang kemudian memohonkan Hak Uji Materi (judicial reviu) PP tersebut kepada Mahkamah Agung dengan nomer register 67P/HUM/2014 yang berproses hingga tahap Peninjauan Kembali dan amar putusannya adalah NO (niet ontvankelijke verklaard). 

Satu hari setelah PP No 72 Tahun 2014 terbit, tepatnya pada 18 September 2014 Mahkamah Konstitusi membacakan amar putusannya yang menolak permohonan uji konstitusi UU Keuangan Negara dan UU BPK yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN. Amar putusan MK ini semestinya menjadi rujukan yang nyata ada (clear and present) dalam pembuatan peraturan-peraturan terkait BUMN.  

Standar Ganda DPR?
Jika kemudian sekarang PTPN I, II, IV s.d XIV menjadi Perseroan Terbatas yang hanya tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan tidak perlu patuh mematuhi UU BUMN, tanpa melalui prosedur baku privatisasi sebagaimana terdapat pada UU BUMN siapa yang bertanggungjawab? Tentu saja pranata negara eksekutif yang tidak patuh dan tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya-lah yang paling bertanggungjawab. Pranata legislatif juga bertanggungjawab karena tidak mempersoalkan, saat itu hingga sekarang.

DPR yang menyatakan kekecewaannya terhadap PP No 72/2016, ternyata memiliki toleransi yang tidak bertepi terhadap PP No 72 Tahun 2014 maupun implementasinya. Bukan hanya tidak ada keberatan, terdapat dua bukti bahwa DPR mendukung PP No 72 Tahun 2014 (1) keputusan DPR in favour terhadap dialokasikannya Rp 350 miliar dari APBN untuk tambahan PMN di tahun 2015 pada PTPN-PTPN yang telah bermetamorfosis menjadi perusahaan-perusahaan swasta anak perusahaan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, sekaligus alokasi PMN sebesar Rp 3,15 triliun untuk Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III sebagai induk perusahaan (holding company). (2) Terdapat dokumen negara yang berjudul Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2015, yang mengandung kesalahan kecil tetapi berdampak besar, yakni masih terdapatnya imbuhan suffix berupa term (Persero) dibelakang nama PT Perkebunan Nusantara.

Jika sekarang pengamat dan anggota DPR dan LSM menggunakan frasa “inskonstitutioniel” rasanya tidak patut, karena pada saat yang sama, terhadap PP yang serupa dengan PP No 72 Tahun 2016, tidak ada keberatan sama sekali. Untuk PP No 72/2016 ini lebih tepat digunakan “tidak workable” karena berlaku azas lex superior derogat legi inferiori. Kedua PP PMN ini jelas tidak kompatibel dengan UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Dari pada heboh dan supaya produktif, kepada para pemangku kepentingan disarankan untuk menggunakan jalur Hak Uji Materi terhadap PP tersebut ke Mahkamah Agung. Agar adil dan setara, bukan hanya hak uji materi terhadap PP No 72 Tahun 2016 saja, bahkan perlu upaya hukum istimewa untuk membatalkan PP No 72 Tahun 2014.
Salam.



*) alumni FRG-EUR, pendidik