Sabtu, Maret 30, 2013

Guru Besar vs. Mahasiswa S-1




Guru Besar vs. Mahasiswa S-1



Shalahuddin Haikal*)



Secara serentak, beberapa media online maupun cetak, termasuk Harian Kompas (rubrik Pendidikan dan Kebudayaan edisi Sabtu 2 Maret 2013) menurunkan berita dengan tajuk yang kurang lebih sama, yakni para Guru Besar (bukan guru kecil) prihatin dan khawatir karena otonomi dan kebebasan akademik perguruan tinggi terancam dengan dimohonkannya uji materi UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) ke Mahkamah Konstitusi oleh enam mahasiswa Universitas Andalas. Dari kesamaan tajuk berita tersebut, saya menduga, ada semacam press release dari Asosiasi Profesor Indonesia (API). Press release ini berdekatan waktunya dengan sidang terakhir judisial reviu UU Dikti, pada tanggal 7 Maret 2013. 

Tulisan ini akhirnya saya release di blog saya, karena keberpihakan sebuah harian dengan tagline Amanat Hati Nurani Rakyat terhadap UU No 12 Tahun 2012 tentang Dikti, ternyata telah menghalangi untuk bersikap adil dan seimbang. Sebagai catatan saya, selama bulan Maret 2013 ini, tercatat 4 artikel opini dari para gurubesar dan elite perguruan tinggi dan 1 tajuk rencana (7 Maret 2013) yang jelas berpihak pada "otonomi" perguruan tinggi.

Press release tersebut mengungkap paradoks, yakni, para Guru Besar, yang seharusnya senang dan bangga dengan para mahasiswa yang telah menunjukkan kualitasnya dengan debat dan argumen untuk mencari kebenaran konstitusi, yang didapat dari makna kebebasan akademik itu sendiri, tidak sekedar menjadi Pak Turut. Malahan merasa prihatin dan khawatir manakala para mahasiswa-nya yang sudah barang tentu adalah juga warganegara Republik Indonesia menggunakan hak konstitusi-nya untuk memohonkan reviu judisial atas lima Pasal pada suatu UU yang antara lain berazaskan: kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, dan. Paradoks ini juga mengungkap bahwa dalam benak para profesor, kebebasan akademik hanyalah hak para profesor saja. Paradoks-paradoks ini membuka kemungkinan bahwa boleh jadi, kepentingan para Guru Besar atas UU Dikti adalah kepentingan subyektif Guru Besar sebagai kelompok bukan kepentingan obyektif terhadap dunia pendidikan.

David vs. Goliath
Tampak kegamangan dari press release tersebut, antara lain, verbatimnya: “...menilai ilmuwan dan perguruan tinggi akan bisa berkembang hanya jika ada kebebasan akademik “ dari pilihan diksi dan terminologi yang dipakai, sehingga nampak jelas mazhab atau school of thought yang dianutnya, misalnya saja: (1) digunakannya pilihan kata ilmuwan (scientist), bukan cendikiawan (intellectual). Dua kata yang serupa, tetapi sama sekali tidak sama. Ilmuwan melupakan hati nurani sebab mereka hidup dengan dirinya sendiri, sedangkan cendikiawan adalah seorang ilmuwan yang memiliki kemerdekaan akademik, sehingga senantiasa patuh mengikuti hati nurani dan merasa bertanggungjawab atas kemajuan peradaban. (2) Lupa atau terlupa, bahwa kebebasan akademik, terletak pada individu, bukan otonom atau tidak otonom-nya lembaga universitas, telah sangat jelas dan diberikan perlindungan pada UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen. Galileo, Andrei Sakharov, Alexander Solzhenitsyn, Suwardi Suryaningrat, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, adalah contoh cendikiawan yang hidup pada masa rejim represip, tetapi tidak kehilangan kecendekiawanannya. (3) Mencampuradukan atau menyamaartikan negara dengan pemerintah, dua istilah yang memang seringkali interchangeably, namun sama sekali berbeda arti.

Dari beberapa sidang terakhir reviu judisial, ahli atau saksi ahli dari pihak pemerintah, nyaris seluruhnya adalah para Guru Besar. Alhasil, terjadilah adu konsep konstitusi antara para mahasiswa S-1 yang belum menyelesaikan 144 SKS dengan para profesor yang sudah pasti bergelar Doktor dan telah mengumpulkan minimal 850 angka kredit jabatan profesor.

Kegamangan ini dapat dimaklumi, sebab, jika permohonan reviu judisial dari ke-enam mahasiswa S-1 tersebut ditolak, amat sangat wajar, karena lawannya adalah pemerintah yang didukung oleh para profesor seantero Indonesia yang berhimpun dalam Asosiasi Profesor Indonesia. Namun sebaliknya, jika permohonan reviu judisial dari ke-enam mahasiswa S-1 tersebut dipenuhi, maka sungguh keterlaluan, karena berarti dalil-dalil yang dikemukakan para profesor di persidangan berarti bukan dalil-dalil yang bernas dan layak diabaikan.

Terimakasih pada Mahkamah Konstitusi, yang dari laman-nya bisa diunduh berbagai risalah sidang berbagai reviu judisial dan telah membuatnya menjadi dokumen publik. Sudah barang tentu termasuk risalah sidang reviu judisial UU Dikti. Tentu saja, sebagai dosen, saya memiliki kebebasan akademik untuk mengkomentari beberapa dalil yang dikemukakan oleh salah satu saksi dari Pemerintah

Otonomi: Dulu BHMN nanti PTN-BH
Beliau mendalilkan kesaksiannya dengan konsep bahwa kebenaran hukum adalah kebenaran konsensus dan kebenaran korespondensi. BHMN sudah diakui oleh banyak ahli hukum, diakui oleh masyarakat, diakui oleh stake holder, sehingga oleh karenanya merupakan suatu kebenaran hukum. Beliau memuja dan memuji BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan akuntabel. Demikianlah kurang lebih intisari penjelasannya sebagai ahli.

Jika pernyataan tersebut benar demikian, maka buku setebal 802 halaman yang berjudul Membangun di Atas Puing Integritas: Belajar dari Universitas Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, September 2012) tidak akan pernah terbit.

Berujar Shakespeare, “what's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet.". Dahulu bernama Badan Hukum Milik Negara, pada UU Dikti bernama Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum. Kata kuncinya, ada pada terminologi Badan Hukum.

Sebagai badan hukum, begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan negara atau imunitas publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan peraturan internal badan hukum itu sendiri (Arifin P. Soeriatmadja, 2009), dalam hal ini statuta universitas. Namun demikian, penjelasan hurup (i) Pasal 2, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tegas menjelaskan bahwa domain keuangan negara adalah meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. Oleh karenanya kemudian, penjelasan tupoksi BPK pada Pasal 6 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, terang dan nyata menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain” dimana BPK memiliki hak untuk memeriksa, antara lain: badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara.

Seandainya saja UU Keuangan Negara tidak mendefinisikan domain keuangan negara dan UU BPK tidak menjelaskan arti kata “lembaga dan badan lain”, maka tidak akan pernah terbit surat Badan Pemeriksa Keuangan kepada: Rektor ITB dengan nomer surat 35/S/VIII/12/2011, (2) Rektor UI dengan nomer surat 37/S/VIII/12/2011 (3) Rektor UGM dengan nomer surat 42/S/VIII/2012. Ketiga surat tersebut bertanggal 30 Desember 2011. 

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak ilmuwan yang terhormat tersebut keahliannya adalah mengajar, meneliti dan menjadi abdi bagi masyarakat, mendadak diberikan otoritas menjadi ruler untuk mengelola Perguruan Tinggi secara otonom. Sangat boleh jadi inilah simptom “Napoleon Rule’s” sebagaimana dikisahkan oleh George Orwell pada the Animal Farm.

Inikah yang didalilkan, bahwa tidak perlu ada keberatan dan kesangsian pada bentuk PTN-BH karena sebagai BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan akuntabel?







*) Pendidik.