Kamis, November 15, 2012

Benih Public Distrust



Benih Public Distrust?


Shalahuddin Haikal*)

Pada Kamis 19 April 2012 diputuskan tanpa dissenting statement (diputuskan dengan suara bulat) oleh Majelis Hakim Agung dan pada hari yang sama Putusan Tingkat Kasasi No 2838K/Pdt/2011 tersebut dilafazhkan. Amar Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 sangat jelas, yakni menolak permohonan kasasi dan memerintahkan PT Bank Mutiara, Tbk (d/h PT Bank Century, Tbk) yang merupakan perusahaan Tbk dan saham-sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dengan kode: BCIC, untuk mengembalikan uang pembelian produk reksadana sebesar Rp 35.437.000.000,- dan membayar ganti rugi secara tunai sebesar Rp 5.675.691.668,- kepada 27 nama penggugat. Seperti biasa, Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan maupun Bapepam-LK selaku pengawas pasar modal, dingin dan tidak bersuara.

Meskipun dalam konteks ke-kolegialitas-an bisa dimaklumi, pendapat (kurang bijak) justru datang dari Ketua Umum Perbanas, yang jika disarikan terdiri dari: (1) Keputusan MA harus dikaji kembali, karena (2) Nasabah Antaboga ditipu pemilik lama BCIC, dan oleh sebab itu (3) tidak tepat kalau kerugian para nasabah dibayar oleh BCIC. 

Suatu pendapat yang mengundang gelak tawa, karena per se pendapat tersebut, maka setiap kali seseorang hendak menjadi nasabah suatu bank di Indonesia atau seorang nasabah ditawari produk yang ditawarkan oleh bank tempat dia menjadi nasabah, maka harus dilakukan due diligence untuk meneliti legalitas suatu bank atau legalitas produk suatu bank. Kemudian, oleh karenanya, selama nasabah memiliki simpanan di suatu bank, nasabah berhak melakukan pengawasan langsung bank yang bersangkutan. Pendapat ini berujung pada kesimpulan besar yakni: financial intermediary system di negara ini adalah market based bukan regulation and supervision based yang kemudian akan berimplikasi pada tidak diperlukannya pengawas perbankan. 

Oleh karenanya, dari perspektif (2), sesungguhnya pendapat tersebut dapat dibaca sebagai upaya mengembalikan pertanggungjawaban penyelesaian kasus kepada pengawas perbankan dan pengawas pasar modal, karena telah terjadi praktek bank dalam bank yang lolos dari mata pengawas perbankan dan penjualan reksadana tanpa sepengetahuan Bapepam LK yang tidak mampu (atau tidak mau) meng-enforce ketentuan peraturan tentang pemasaran produk reksadana dan pelaporan kegiatan manajer investasi. Saya amat sangat setuju, karena jika pertanggungjawaban penyelesaian kasus tidak dikembalikan kepada Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan dan Bapepam LK sebagai pengawas pasar modal, vis-à-vis kedua lembaga pengawas ini (keduanya akan segera bermetamorposis menjadi OJK) adalah lembaga dengan otoritas besar namun tanpa akuntabilitas dan responsibilitas.

Sebagai warganegara yang berhukum pada hukum Republik Indonesia, bukan hak saya untuk memberikan pendapat atas putusan Mahkamah Agung yang merupakan lembaga tinggi negara di bidang judikatif. Tulisan ini dimaksudkan untuk men-stabilo teks yang sebetulnya telah berulang-ulang dibaca namun kontekstualnya luput terbaca.

Laporan Keuangan 2011 auditan dan Laporan Tahunan 2011

Sebagai listed company (perusahaan terbuka), BCIC harus sudah menyampaikan laporan keuangan auditan 2011 selambat-lambatnya 31 Maret 2012. Laporan Keuangan auditan FY 2011 baru disampaikan kepada Bapepam LK dan BEI pada tanggal 31-Mei 2012, dengan tanggal opini Kantor Akuntan Publik 16 Mei 2012 demikian juga Surat Pernyataan Tanggung Jawab Direksi. 

Saya menduga, bisa saja salah, terlambat disampaikannya laporan keuangan FY 2011 auditan adalah karena terjadi pergumulan hebat antara auditor dengan BCIC sebagai auditee atas notes pada long-form audited financial report tersebut. Mengapa saya menduga demikian? Pada tanggal yang sama dengan tanggal dibacakannya amar putusan Kasasi yakni pada 19 April 2012 pukul 16:54:53 WIB, BCIC memasukkan Laporan Keterbukaan Informasi (merujuk pada Peraturan Bapepam X.K.1) ke sistem Bursa Efek Indonesia dalam kondisi kosong (blank), namun dibawahnya terdapat keterangan lainnya terkait dengan keterlambatan Laporan Keuangan Auditan Per 31 Desember 2011 (yang tidak ada urusannya dengan Peraturan Bapepam X.K.1, tetapi justru Peraturan Bapepam X.K.2)

Perhatikan catatan No 51 yang berjudul Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting, hurup g (Kasus-Kasus Hukum dan Fraud Yang Belum Selesai Dalam Tahun 2011), angka 2 dinyatakan bahwa Perseroan sedang menghadapi masalah hukum sebagai tergugat dalam persoalannya dengan produk investasi PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Atas inisiatif BCIC, diajukanlah kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomer registrasi perkara No. 2838.K/Pdt/2011. Oleh karena terdapat juga catatan No 45 (Komitmen dan Kontijensi), apakah serta merta catatan No 51 (Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting) tidak dapat dianggap sebagai contingent liabilities? Tidak! Sebab Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik mengatur bahwa Kontijensi yang harus diungkapkan adalah: perkara atau sengketa hukum meliputi pihak-pihak terkait, jumlah yang diperkarakan, latarbelakang, status perkara, dampak keuangan. 

Namun demikian, apapun dalihnya, apapun dalilnya, BCIC telah mengakui adanya gugatan hukum yang pada tingkat pertama maupun banding telah dimenangkan oleh ke-27 nasabah dan oleh karenanya kemudian BCIC mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang berakhir dengan putusan Mahkamah Agung. 

Pun laporan tahunan (annual report) 2011 tidak patuh kepada Peraturan X. K. 6 tentang Penyajian Laporan Tahunan Emiten dan Perusahaan Publik. Annual report harus memiliki Bab Analisis dan Pembahasan Manajemen (huruf f): Laporan tahunan wajib memuat uraian yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi penting lainnya dengan penekanan pada perubahan material yang terjadi dalam tahun buku, yaitu paling kurang mencakup: …… Salah satu yang diatur dalam peraturan ini adalah (angka 9): perkara penting yang dihadapi oleh Emiten atau Perusahaan Publik, entitas anak, anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang sedang menjabat, antara lain meliputi: pokok perkara, status penyelesaian perkara, pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan. Dengan fasilitas ‘search’ pada Adobe Acrobat Reader, kata ‘gugatan’, kata ‘Antaboga’, kata ‘Mahkamah’ tidak ditemukan.

Public expose BCIC yang dilaksanakan pada 9 Juli 2012 sama sekali tidak mengadress masalah hukum yang dihadapinya sebagai tergugat dalam persoalannya dengan produk investasi PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Pun, Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, nyata lalai meng-enforce pelaksanaan Peraturan Bapepam X.K.1 (peristiwa penting yang dapat mempengaruhi harga saham). Meskipun nilai yang harus dibayar oleh BCIC relative kecil ± Rp 41 miliar, namun putusan Mahkamah Agung akan menjadi referensi bagi proses hukum yang sedang berlangsung di pengadilan negeri, pengadilan tinggi.

Menjadi catatan saya, melalui windows pengumuman pada www.idx.co.id, BCIC sampai dengan tanggal 31 Oktober 2012 belum juga melaksanakan RUPS, sedangkan sebagai sebuah badan usaha berbadan hukum PT, UU Perseroan Terbatas mensyaratkan RUPS harus sudah dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja terakhir bulan ke-enam. Fakta ini melahirkan pertanyaan kepada Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, apakah Bank Mutiara (d/h Bank Century), perusahaan yang saham-sahamnya tercatat di Bursa dengan kode BCIC masih perusahaan publik kan? Selama RUPS tidak dilakukan, pertanggungjawaban tidak dilaksanakan, maka a-quit-decharge atas pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan BCIC tidak dapat diberikan.

Commission atau Omission?

PT Antaboga Delta Sekuritas, adalah manajer Investasi yang menjual reksadana kelolaannya, melalui Bank Century. Bank Century adalah penjual reksadana kelolaan PT Antaboga Delta Sekuritas. PT Antaboga Delta Sekuritas adalah Manajer Investasi dan PT Bank Century Tbk adalah agen penjual reksadana. Sebagai bank, PT Bank Century diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan sebagai perusahaan Tbk diawasi oleh Bapepam LK dan BEI. PT Antaboga Delta Sekuritas adalah perusahaan efek dengan bidang usaha Manajer Investasi yang diatur dan diawasi oleh Bapepam LK.

Terdapat berbagai metoda untuk mengkategorisasi lembaga keuangan, antara lain berdasarkan transparansinya. Berdasarkan metoda ini, Bank diklasifikasikan sebagai Opaque Financial Institution. Secara sederhana, deposan, tidak perlu tahu, tidak boleh tahu, Dana Pihak Ketiga disalurkan dalam bentuk earning asset apa saja. Karena sifatnya inilah, maka bank diatur dan diawasi dengan sangat ketat. Begitu ketatnya, sampai-sampai dalam struktur organisasi yang juga harus diketahui oleh pengawas perbankan, mutlak harus ada unit setingkat direktorat yang membidangi Kepatuhan (Compliance). Biasanya untuk kepentingan efisiensi di dalam Direktorat Kepatuhan, dititipkan juga unit Anti Money Laundering dan juga unit Legal. Direktur Kepatuhan harus merupakan pihak yang independen. Secara berkala maupun secara acak BI melakukan audit kepatuhan. Untuk meng-enforcenya BI dilengkapi dengan licensing rights, berupa pemberian dan pencabutan ijin usaha, pengawasan in situ. Contoh pengawasan konyol sederhana tapi bermakna besar adalah jumlah karakter angka pada PIN kartu ATM/kartu kredit harus berjumlah 6 digit, tetapi sampai dengan hari ini masih ada sebuah bank raksasa yang PIN ATM/kartu kredit-nya hanya 4 digit dan Bank Indonesia tidak meng-enforce apa-apa untuk hal sesederhana tersebut.

Bapepam sebagai Badan Pengawas Pasar Modal telah lalai mengawasi. Kontan Mingguan edisi 29 Oktober – 4 Nopember 2012 menunjukkan contoh dahsyat dan masih hangat (lihat rubrik Reksadana: “Mengemas Reksadana dengan Bungkus Deposito”). Bukankah untuk setiap reksadana (yang berarti memenuhi kriteria offer and sale) sebelum dapat ditawarkan dan dijual, maka Manajer Investasinya harus terlebih dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran? Setelah Bapepam memberikan Pernyataan Efektif atas Pernyataan Pendaftaran, barulah reksadana dimaksud dapat ditawarkan dan dijual kepada publik. Aneh tapi nyata, Bapepam ternyata baru memanggil setelah proses penawaran dan penjualan berlangsung, yang tidak lucu adalah Manajer Investasi dimaksud, tidak tahu menahu soal reksadana kelolaannya.

Prospek Dikembalikannya Uang Nasabah  dan Ganti Rugi?

Secara akuntansi (lihat catatan 51 laporan keuangan FY 2011 auditan), BCIC telah mengakuinya sebagai contingent liabilities dan konsekuensi dari pengakuan tersebut berarti BCIC telah menyisihkan dana menyiapkan dana.

Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 akan menjadi rujukan setiap on court settlement kasus BCIC di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Perkiraan saya, jumlah contingent liabilities yang berasal dari sengketa hukum dengan nasabah akan semakin besar.

Silakan jika BCIC ingin haqqul yakin terlebih dulu sebelum mengembalikan uang nasabah + ganti rugi nasabah, dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, apapun keputusannya nanti, harus dilaksanakan. Sebab, jika tidak mau melaksanakan putusan PK nanti, silakan BCIC jangan berbadan hukum yang merujuk ke produk hukum Indonesia.

Seharusnya LPS yang kini menjadi pemegang saham mayoritas tunggal pengendali BCIC, bisa menegakkan compliance dan good governance dengan meminta segera dilaksanakannya Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 dan segera dilaksanakan RUPS,. Jika LPS terlalu sibuk mengurusnya, perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki terlebih dulu perusahaan yang sudah rusak ini ke PT (Persero) PPA agar direparasi dan siap dijual.

Jika para pihak yang mustinya melakukan commissioning pada pasar dan lembaga keuangan malah melakukan omission, pemegang saham mayoritas pengendali tunggal duduk diam terpekur, saya khawatir, mereka semua sedang menebar benih public distrust kepada Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan dan Bapepam sebagai pengawas pasar modal. Growing pain: OJK-lah yang nanti akan menuai benih yang ditanam hari ini.

Selamat bekerja!


*) Pendidik, ACFE® educator member.