Benih
Public Distrust?
Shalahuddin
Haikal*)
Pada Kamis 19 April 2012 diputuskan
tanpa dissenting statement
(diputuskan dengan suara bulat) oleh Majelis Hakim Agung dan pada hari yang
sama Putusan Tingkat Kasasi No 2838K/Pdt/2011 tersebut dilafazhkan. Amar
Putusan Tingkat Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 sangat jelas, yakni menolak
permohonan kasasi dan memerintahkan PT Bank Mutiara, Tbk (d/h PT Bank Century, Tbk) yang merupakan perusahaan Tbk dan saham-sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dengan kode: BCIC, untuk mengembalikan uang pembelian
produk reksadana sebesar Rp 35.437.000.000,- dan membayar ganti rugi secara
tunai sebesar Rp 5.675.691.668,- kepada 27 nama penggugat. Seperti biasa, Bank
Indonesia sebagai pengawas perbankan maupun Bapepam-LK selaku pengawas pasar
modal, dingin dan tidak bersuara.
Meskipun dalam konteks
ke-kolegialitas-an bisa dimaklumi, pendapat (kurang bijak) justru datang dari Ketua
Umum Perbanas, yang jika disarikan terdiri dari: (1) Keputusan MA harus dikaji
kembali, karena (2) Nasabah Antaboga ditipu pemilik lama BCIC, dan oleh sebab
itu (3) tidak tepat kalau kerugian para nasabah dibayar oleh BCIC.
Suatu pendapat yang mengundang gelak
tawa, karena per se pendapat tersebut, maka setiap kali seseorang hendak
menjadi nasabah suatu bank di Indonesia atau seorang nasabah ditawari produk
yang ditawarkan oleh bank tempat dia menjadi nasabah, maka harus dilakukan due diligence untuk meneliti legalitas
suatu bank atau legalitas produk suatu bank. Kemudian, oleh karenanya, selama
nasabah memiliki simpanan di suatu bank, nasabah berhak melakukan pengawasan
langsung bank yang bersangkutan. Pendapat ini berujung pada kesimpulan besar
yakni: financial intermediary system
di negara ini adalah market based
bukan regulation and supervision based
yang kemudian akan berimplikasi pada tidak diperlukannya pengawas perbankan.
Oleh karenanya, dari perspektif (2), sesungguhnya
pendapat tersebut dapat dibaca sebagai upaya mengembalikan pertanggungjawaban
penyelesaian kasus kepada pengawas perbankan dan pengawas pasar modal, karena
telah terjadi praktek bank dalam bank yang lolos dari mata
pengawas perbankan dan penjualan reksadana tanpa sepengetahuan Bapepam LK yang
tidak mampu (atau tidak mau) meng-enforce ketentuan peraturan tentang pemasaran
produk reksadana dan pelaporan kegiatan manajer investasi. Saya amat sangat
setuju, karena jika pertanggungjawaban penyelesaian kasus tidak dikembalikan
kepada Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan dan Bapepam LK sebagai
pengawas pasar modal, vis-à-vis kedua
lembaga pengawas ini (keduanya akan segera bermetamorposis menjadi OJK) adalah
lembaga dengan otoritas besar namun tanpa akuntabilitas dan responsibilitas.
Sebagai warganegara yang berhukum pada
hukum Republik Indonesia, bukan hak saya untuk memberikan pendapat atas putusan
Mahkamah Agung yang merupakan lembaga tinggi negara di bidang judikatif.
Tulisan ini dimaksudkan untuk men-stabilo teks yang sebetulnya telah berulang-ulang
dibaca namun kontekstualnya luput terbaca.
Laporan Keuangan 2011 auditan dan Laporan Tahunan 2011
Sebagai listed company (perusahaan terbuka), BCIC harus sudah menyampaikan
laporan keuangan auditan 2011 selambat-lambatnya 31 Maret 2012. Laporan
Keuangan auditan FY 2011 baru disampaikan kepada Bapepam LK dan BEI pada
tanggal 31-Mei 2012, dengan tanggal opini Kantor Akuntan Publik 16 Mei 2012 demikian
juga Surat Pernyataan Tanggung Jawab Direksi.
Saya menduga, bisa saja salah,
terlambat disampaikannya laporan keuangan FY 2011 auditan adalah karena terjadi
pergumulan hebat antara auditor dengan BCIC sebagai auditee atas notes pada long-form audited financial report tersebut. Mengapa saya menduga
demikian? Pada tanggal yang sama dengan tanggal dibacakannya amar putusan
Kasasi yakni pada 19 April 2012 pukul 16:54:53 WIB, BCIC memasukkan Laporan
Keterbukaan Informasi (merujuk pada Peraturan Bapepam X.K.1) ke sistem Bursa
Efek Indonesia dalam kondisi kosong (blank), namun dibawahnya terdapat
keterangan lainnya terkait dengan keterlambatan Laporan Keuangan Auditan Per 31
Desember 2011 (yang tidak ada urusannya dengan Peraturan Bapepam X.K.1, tetapi justru
Peraturan Bapepam X.K.2)
Perhatikan catatan No 51 yang berjudul Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting,
hurup g (Kasus-Kasus Hukum dan Fraud Yang
Belum Selesai Dalam Tahun 2011), angka 2 dinyatakan bahwa Perseroan sedang
menghadapi masalah hukum sebagai tergugat dalam persoalannya dengan produk
investasi PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Atas inisiatif BCIC,
diajukanlah kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomer registrasi perkara No.
2838.K/Pdt/2011. Oleh karena terdapat juga catatan No 45 (Komitmen dan Kontijensi), apakah serta merta catatan No 51
(Perikatan, Perjanjian dan Informasi Penting) tidak dapat dianggap sebagai contingent
liabilities? Tidak! Sebab Peraturan Bapepam No VIII. G. 7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan
Emiten atau Perusahaan Publik mengatur bahwa Kontijensi yang harus
diungkapkan adalah: perkara atau sengketa hukum meliputi pihak-pihak terkait,
jumlah yang diperkarakan, latarbelakang, status perkara, dampak keuangan.
Namun demikian, apapun dalihnya, apapun
dalilnya, BCIC telah mengakui adanya gugatan hukum yang pada tingkat pertama
maupun banding telah dimenangkan oleh ke-27 nasabah dan oleh karenanya kemudian
BCIC mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang berakhir dengan putusan Mahkamah
Agung.
Pun laporan tahunan (annual report)
2011 tidak patuh kepada Peraturan X. K. 6 tentang Penyajian Laporan Tahunan
Emiten dan Perusahaan Publik. Annual
report harus memiliki Bab Analisis dan Pembahasan Manajemen (huruf f): Laporan tahunan wajib memuat uraian yang
membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi penting lainnya dengan
penekanan pada perubahan material yang terjadi dalam tahun buku, yaitu paling
kurang mencakup: …… Salah satu yang diatur dalam peraturan ini adalah
(angka 9): perkara penting yang dihadapi
oleh Emiten atau Perusahaan Publik, entitas anak, anggota Dewan Komisaris dan
Direksi yang sedang menjabat, antara lain meliputi: pokok perkara, status
penyelesaian perkara, pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan. Dengan
fasilitas ‘search’ pada Adobe Acrobat Reader, kata ‘gugatan’, kata ‘Antaboga’,
kata ‘Mahkamah’ tidak ditemukan.
Public expose BCIC yang dilaksanakan pada 9 Juli
2012 sama sekali tidak mengadress masalah hukum yang dihadapinya sebagai
tergugat dalam persoalannya dengan produk investasi PT Antaboga Delta Sekuritas
Indonesia. Pun, Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, nyata lalai meng-enforce pelaksanaan Peraturan Bapepam
X.K.1 (peristiwa penting yang dapat mempengaruhi harga saham). Meskipun nilai
yang harus dibayar oleh BCIC relative kecil ± Rp 41 miliar, namun putusan
Mahkamah Agung akan menjadi referensi bagi proses hukum yang sedang berlangsung
di pengadilan negeri, pengadilan tinggi.
Menjadi catatan saya, melalui windows
pengumuman pada www.idx.co.id, BCIC sampai dengan tanggal 31 Oktober 2012 belum
juga melaksanakan RUPS, sedangkan sebagai sebuah badan usaha berbadan hukum PT, UU Perseroan Terbatas mensyaratkan RUPS harus sudah
dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja terakhir bulan ke-enam. Fakta ini
melahirkan pertanyaan kepada Bapepam-LK dan Bursa Efek Indonesia, apakah Bank
Mutiara (d/h Bank Century), perusahaan yang saham-sahamnya tercatat di Bursa
dengan kode BCIC masih perusahaan publik kan? Selama RUPS tidak dilakukan,
pertanggungjawaban tidak dilaksanakan, maka a-quit-decharge atas pelaksanaan
pengelolaan dan pengawasan BCIC tidak dapat diberikan.
Commission atau Omission?
PT Antaboga Delta Sekuritas, adalah
manajer Investasi yang menjual reksadana kelolaannya, melalui Bank Century. Bank
Century adalah penjual reksadana kelolaan PT Antaboga Delta Sekuritas. PT
Antaboga Delta Sekuritas adalah Manajer Investasi dan PT Bank Century Tbk
adalah agen penjual reksadana. Sebagai bank, PT Bank Century diatur dan diawasi
oleh Bank Indonesia, sedangkan sebagai perusahaan Tbk diawasi oleh Bapepam LK
dan BEI. PT Antaboga Delta Sekuritas adalah perusahaan efek dengan bidang usaha
Manajer Investasi yang diatur dan diawasi oleh Bapepam LK.
Terdapat berbagai metoda untuk
mengkategorisasi lembaga keuangan, antara lain berdasarkan transparansinya.
Berdasarkan metoda ini, Bank diklasifikasikan sebagai Opaque Financial Institution. Secara sederhana, deposan, tidak
perlu tahu, tidak boleh tahu, Dana Pihak Ketiga disalurkan dalam bentuk earning asset apa saja. Karena sifatnya
inilah, maka bank diatur dan diawasi dengan sangat ketat. Begitu
ketatnya, sampai-sampai dalam struktur organisasi yang juga harus diketahui
oleh pengawas perbankan, mutlak harus ada unit setingkat direktorat yang
membidangi Kepatuhan (Compliance).
Biasanya untuk kepentingan efisiensi di dalam Direktorat Kepatuhan, dititipkan
juga unit Anti Money Laundering dan
juga unit Legal. Direktur Kepatuhan
harus merupakan pihak yang independen. Secara berkala maupun secara acak BI
melakukan audit kepatuhan. Untuk meng-enforcenya BI dilengkapi dengan licensing rights, berupa pemberian dan
pencabutan ijin usaha, pengawasan in situ.
Contoh pengawasan konyol sederhana tapi bermakna besar adalah jumlah karakter
angka pada PIN kartu ATM/kartu kredit harus berjumlah 6 digit, tetapi sampai
dengan hari ini masih ada sebuah bank raksasa yang PIN ATM/kartu kredit-nya
hanya 4 digit dan Bank Indonesia tidak meng-enforce apa-apa untuk hal
sesederhana tersebut.
Bapepam sebagai Badan Pengawas Pasar
Modal telah lalai mengawasi. Kontan Mingguan edisi 29 Oktober – 4 Nopember 2012
menunjukkan contoh dahsyat dan masih hangat (lihat rubrik Reksadana: “Mengemas
Reksadana dengan Bungkus Deposito”). Bukankah untuk setiap reksadana (yang
berarti memenuhi kriteria offer and sale)
sebelum dapat ditawarkan dan dijual, maka Manajer Investasinya harus terlebih
dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran? Setelah Bapepam memberikan
Pernyataan Efektif atas Pernyataan Pendaftaran, barulah reksadana dimaksud
dapat ditawarkan dan dijual kepada publik. Aneh tapi nyata, Bapepam ternyata
baru memanggil setelah proses penawaran dan penjualan berlangsung, yang tidak
lucu adalah Manajer Investasi dimaksud, tidak tahu menahu soal reksadana
kelolaannya.
Prospek Dikembalikannya Uang Nasabah dan Ganti Rugi?
Secara akuntansi (lihat catatan 51
laporan keuangan FY 2011 auditan), BCIC telah mengakuinya sebagai contingent liabilities dan konsekuensi
dari pengakuan tersebut berarti BCIC telah menyisihkan dana menyiapkan dana.
Putusan Tingkat Kasasi No 2838
K/Pdt/2011 akan menjadi rujukan setiap on
court settlement kasus BCIC di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi. Perkiraan saya, jumlah contingent liabilities yang berasal dari
sengketa hukum dengan nasabah akan semakin besar.
Silakan jika BCIC ingin haqqul yakin
terlebih dulu sebelum mengembalikan uang nasabah + ganti rugi nasabah, dengan
melakukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, apapun keputusannya
nanti, harus dilaksanakan. Sebab, jika tidak mau melaksanakan putusan PK nanti,
silakan BCIC jangan berbadan hukum yang merujuk ke produk hukum Indonesia.
Seharusnya LPS yang kini menjadi
pemegang saham mayoritas tunggal pengendali BCIC, bisa menegakkan compliance
dan good governance dengan meminta segera dilaksanakannya Putusan Tingkat
Kasasi No 2838 K/Pdt/2011 dan segera dilaksanakan RUPS,. Jika LPS terlalu sibuk
mengurusnya, perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki terlebih dulu perusahaan
yang sudah rusak ini ke PT (Persero) PPA agar direparasi dan siap dijual.
Jika para pihak yang mustinya melakukan
commissioning pada pasar dan lembaga keuangan malah melakukan omission, pemegang
saham mayoritas pengendali tunggal duduk diam terpekur, saya khawatir, mereka
semua sedang menebar benih public distrust kepada Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan dan Bapepam sebagai pengawas pasar modal. Growing pain: OJK-lah yang nanti
akan menuai benih yang ditanam hari ini.
Selamat bekerja!