Guru Besar vs. Mahasiswa S-1
Shalahuddin
Haikal*)
Secara serentak, beberapa
media online maupun cetak, termasuk Harian Kompas (rubrik Pendidikan dan
Kebudayaan edisi Sabtu 2 Maret 2013) menurunkan berita dengan tajuk yang kurang
lebih sama, yakni para Guru Besar (bukan guru kecil) prihatin dan khawatir karena
otonomi dan kebebasan akademik perguruan tinggi terancam dengan dimohonkannya
uji materi UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) ke Mahkamah
Konstitusi oleh enam mahasiswa Universitas Andalas. Dari kesamaan tajuk berita
tersebut, saya menduga, ada semacam press release dari Asosiasi Profesor
Indonesia (API). Press release ini berdekatan waktunya dengan sidang terakhir judisial
reviu UU Dikti, pada tanggal 7 Maret 2013.
Tulisan ini akhirnya saya release di blog saya, karena keberpihakan sebuah harian dengan tagline Amanat Hati Nurani Rakyat terhadap UU No 12 Tahun 2012 tentang Dikti, ternyata telah menghalangi untuk bersikap adil dan seimbang. Sebagai catatan saya, selama bulan Maret 2013 ini, tercatat 4 artikel opini dari para gurubesar dan elite perguruan tinggi dan 1 tajuk rencana (7 Maret 2013) yang jelas berpihak pada "otonomi" perguruan tinggi.
Press release tersebut
mengungkap paradoks, yakni, para Guru Besar, yang seharusnya senang dan bangga
dengan para mahasiswa yang telah menunjukkan kualitasnya dengan debat dan
argumen untuk mencari kebenaran konstitusi, yang didapat dari makna kebebasan
akademik itu sendiri, tidak sekedar menjadi Pak Turut. Malahan merasa prihatin
dan khawatir manakala para mahasiswa-nya yang sudah barang tentu adalah juga
warganegara Republik Indonesia menggunakan hak konstitusi-nya untuk memohonkan
reviu judisial atas lima Pasal pada suatu UU yang antara lain berazaskan: kebenaran
ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, dan.
Paradoks ini juga mengungkap bahwa dalam benak para profesor, kebebasan
akademik hanyalah hak para profesor saja. Paradoks-paradoks ini membuka
kemungkinan bahwa boleh jadi, kepentingan para Guru Besar atas UU Dikti adalah
kepentingan subyektif Guru Besar sebagai kelompok bukan kepentingan obyektif terhadap
dunia pendidikan.
David vs. Goliath
Tampak kegamangan dari
press release tersebut, antara lain, verbatimnya: “...menilai ilmuwan dan perguruan tinggi akan bisa berkembang hanya
jika ada kebebasan akademik “ dari pilihan diksi dan terminologi yang
dipakai, sehingga nampak jelas mazhab atau school
of thought yang dianutnya, misalnya saja: (1) digunakannya pilihan kata ilmuwan
(scientist), bukan cendikiawan (intellectual). Dua kata yang serupa, tetapi sama sekali tidak
sama. Ilmuwan melupakan hati nurani sebab mereka hidup dengan dirinya sendiri,
sedangkan cendikiawan adalah seorang ilmuwan yang memiliki kemerdekaan
akademik, sehingga senantiasa patuh mengikuti hati nurani dan merasa bertanggungjawab
atas kemajuan peradaban. (2) Lupa
atau terlupa, bahwa kebebasan akademik, terletak pada individu, bukan otonom
atau tidak otonom-nya lembaga universitas, telah sangat jelas dan diberikan
perlindungan pada UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru & Dosen. Galileo, Andrei
Sakharov, Alexander Solzhenitsyn, Suwardi Suryaningrat, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir,
adalah contoh cendikiawan yang hidup pada masa rejim represip, tetapi tidak
kehilangan kecendekiawanannya. (3)
Mencampuradukan atau menyamaartikan negara dengan pemerintah, dua istilah yang memang
seringkali interchangeably, namun sama
sekali berbeda arti.
Dari beberapa sidang
terakhir reviu judisial, ahli atau saksi ahli dari pihak pemerintah, nyaris
seluruhnya adalah para Guru Besar. Alhasil, terjadilah adu konsep konstitusi
antara para mahasiswa S-1 yang belum menyelesaikan 144 SKS dengan para profesor
yang sudah pasti bergelar Doktor dan telah mengumpulkan minimal 850 angka
kredit jabatan profesor.
Kegamangan ini dapat
dimaklumi, sebab, jika permohonan reviu judisial dari ke-enam mahasiswa S-1
tersebut ditolak, amat sangat wajar, karena lawannya adalah pemerintah yang
didukung oleh para profesor seantero Indonesia yang berhimpun dalam Asosiasi
Profesor Indonesia. Namun sebaliknya, jika permohonan reviu judisial dari
ke-enam mahasiswa S-1 tersebut dipenuhi, maka sungguh keterlaluan, karena berarti
dalil-dalil yang dikemukakan para profesor di persidangan berarti bukan dalil-dalil
yang bernas dan layak diabaikan.
Terimakasih pada
Mahkamah Konstitusi, yang dari laman-nya bisa diunduh berbagai risalah sidang
berbagai reviu judisial dan telah membuatnya menjadi dokumen publik. Sudah
barang tentu termasuk risalah sidang reviu judisial UU Dikti. Tentu saja, sebagai
dosen, saya memiliki kebebasan akademik untuk mengkomentari beberapa dalil yang
dikemukakan oleh salah satu saksi dari Pemerintah
Otonomi: Dulu BHMN nanti PTN-BH
Beliau mendalilkan
kesaksiannya dengan konsep bahwa kebenaran hukum adalah kebenaran konsensus dan
kebenaran korespondensi. BHMN sudah diakui oleh banyak ahli hukum, diakui oleh
masyarakat, diakui oleh stake holder,
sehingga oleh karenanya merupakan suatu kebenaran hukum. Beliau memuja dan
memuji BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan
akuntabel. Demikianlah kurang lebih intisari penjelasannya sebagai ahli.
Jika pernyataan tersebut
benar demikian, maka buku setebal 802 halaman yang berjudul Membangun di Atas Puing Integritas: Belajar
dari Universitas Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, September 2012) tidak
akan pernah terbit.
Berujar Shakespeare, “what's in a name? that which we call a
rose. By any other name would smell as sweet.". Dahulu bernama Badan
Hukum Milik Negara, pada UU Dikti bernama Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum.
Kata kuncinya, ada pada terminologi Badan Hukum.
Sebagai badan hukum,
begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan negara atau imunitas
publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan peraturan internal badan
hukum itu sendiri (Arifin P.
Soeriatmadja, 2009), dalam hal ini statuta universitas. Namun demikian, penjelasan
hurup (i) Pasal 2, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tegas menjelaskan
bahwa domain keuangan negara adalah meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang
atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. Oleh karenanya
kemudian, penjelasan tupoksi BPK pada Pasal 6 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, terang dan nyata menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
”lembaga atau badan lain” dimana BPK memiliki hak untuk memeriksa, antara lain:
badan hukum milik negara, yayasan
yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan
undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara.
Seandainya saja UU
Keuangan Negara tidak mendefinisikan domain keuangan negara dan UU BPK tidak menjelaskan
arti kata “lembaga dan badan lain”, maka tidak akan pernah terbit surat Badan Pemeriksa Keuangan kepada: Rektor ITB dengan nomer surat 35/S/VIII/12/2011, (2) Rektor UI dengan nomer surat 37/S/VIII/12/2011 (3) Rektor UGM dengan nomer surat 42/S/VIII/2012. Ketiga surat tersebut bertanggal 30 Desember 2011.
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak
ilmuwan yang terhormat tersebut keahliannya adalah mengajar, meneliti dan
menjadi abdi bagi masyarakat, mendadak diberikan otoritas menjadi ruler untuk mengelola Perguruan Tinggi
secara otonom. Sangat boleh jadi inilah simptom “Napoleon Rule’s” sebagaimana dikisahkan oleh George Orwell pada
the Animal Farm.
Inikah yang didalilkan,
bahwa tidak perlu ada keberatan dan kesangsian pada bentuk PTN-BH karena
sebagai BHMN sudah teruji selama 13 tahun karena mandiri, transparan dan akuntabel?