Uang Negara di BUMN
Shalahuddin Haikal*)
Tulisan
Prof Hikmahanto Juwana (Kompas 7 Juni 2013) memperkuat argumen para pemohon dalam
judicial reviu UU Dikti, sebagaimana beliau nyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa
begitu dilakukan pemisahan kekayaan negara, maka bukan lagi masuk ke ranah
keuangan negara merupakan bukti bahwa PTN-BH merupakan bentuk privatisasi
perguruan tinggi negeri.
Privatisasi dalam arti sempit adalah menjual kepemilikan saham-saham perusahaan yang dimiliki negara kepada pihak lain. Dalam arti luas, privatisasi adalah menyerahkan bidang tugas negara kepada pihak lain dan/atau mendirikan perikatan privat termasuk badan usaha milik negara seperti perubahan BULOG menjadi Perum Bulog, pendirian Perum Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia. Privatisasi dalam arti sempit dipelopori oleh pemerintah Partai Konservatif semasa Margareth Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris dengan menjual British Gas, British Airways, British Waters, taat melaksanakan the Washington Consensus (Williamson: 2004). Pemerintah RI mulai melaksanakan privatisasi dalam arti sempit mulai tahun 1995 diawali dengan divestasi atas saham-saham negara di Indosat, diikuti oleh Telkom dan seterusnya. Sedangkan privatisasi dalam arti luas mulai dilaksanakan sejak ditekennya Letter of Intent dengan IMF pada tahun 1997.
Dari
definisi inilah, maka BUMN maupun BHMN yang didirikan pemerintah, tidak lebih
dan tidak bukan dari perikatan perdata yang tidak kebal dari hukum kepailitan. Sebagai
sebuah badan hukum, begitu terjadi pemisahan kekayaan negara, maka kekuasaan
negara atau imunitas publik negara seketika lenyap dan digantikan dengan
peraturan internal badan hukum itu sendiri, yakni Anggaran Dasar Perusahaan.
Fallacy
of Composition?
Sebagai tuntutan
akuntabilitas, seperti halnya perseorangan atau lembaga privat membukukan
hartanya, maka wajib pula hukumnya bagi negara untuk mencatat kepemilikannya pada
perikatan privat sebagai investasi dan / atau penyertaan negara, sebagaimana
halnya perikatan privat mencatat setoran modal baik dalam bentuk tunai ataupun inbreng dari para pemegang sahamnya.
Keuangan
Negara sebagaimana didefinisikan pada angka (1) Pasal 1 UU No 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut”. Sedangkan per
se angka (1) Pasal 1 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara:
“Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam
APBN dan APBD”, maka pada saat negara menjual kepemilikan saham-saham pada
BUMN, negara mencatat sebagai pendapatan privatisasi sekaligus mencatat
penurunan kepemilikan. Pada saat negara sebagai RUPS ataupun sebagai pemegang
saham BUMN memutuskan pembagian dividen, maka akan dicatat sebagai dividen pada
kelompok Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN. Demikian pula pada saat
negara mendirikan BUMN baru atau melakukan Penyertaan Modal Pemerintah, negara
akan mencatat sebagai investasi sekaligus mencatat kenaikan kepemilikan saham
pada BUMN. Dengan demikian investasi negara berupa kepemilikan atas aset yang
dipisahkan adalah obyek UU Keuangan Negara, sedangkan bagaimana mencatat,
membukukan, mengelola dan mempertanggungjawabkannya diatur dengan UU
Perbendaharaan Negara. Oleh sebab itu pula-lah, mengikuti langkah privatisasi a la Thatcher yang selalu menyisakan 1
lembar golden share, maka dalam
setiap privatisasi BUMN, secara simultan diterbitkan 1 lembar saham Dwi Warna, yang
sesungguhnya merupakan Golden Share karena memiliki hak veto atas keputusan
RUPS.
Tidak
Kebal Tuntutan Pailit
Perseroan, termasuk
BUMN tentunya, sebagai subyek hukum privat otonom bertindak atas namanya dan
untuk kepentingannya sendiri mengadakan aneka ragam hubungan hukum mengenai
harta kekayaan (vermongensrechtelijke
rechstbetrekkingen) dalam upaya melaksanakan maksud dan tujuan pendiriannya
(Tumbuan: 2004). Salah satu konsekuensinya adalah tindakan hukum Perseroan
Terbatas tidak kebal dari pernyataan pailit oleh kreditornya. Jika permohonan
pailit disetujui oleh Pengadilan, maka seketika kewenangan pengurusan dan
pemberesan atas seluruh kekayaan Perseroan yang tercakup dalam harta pailit
beralih kepada kurator. Sangat berbeda dengan saat suatu BUMN hendak menambah
modal atau negara hendak menjual kepemilikan di suatu BUMN diputuskan melalui
suatu Peraturan Pemerintah.
Kecuali
karena sengaja tidak memenuhi suatu kontrak perjanjian sebagai strategic default, kondisi pailit berupa
technical default dan debt servicing default dapat diduga jauh
sebelumnya dengan berbagai piranti analisa keuangan. Tidak terpenuhinya debt covenant misalnya karena rasio
utang terhadap ekuitas membengkak, mau tidak mau pemegang saham, termasuk
negara, melalui RUPS untuk BUMN Tbk akan memutuskan tambahan setoran modal baik
melalui mekanisme rights offering,
sedangkan untuk BUMN non-Tbk, Menteri Keuangan akan memutuskan tambahan setoran
modal melalui mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah. Dilaksanakannya rights offering maupun Penyertaan Modal Pemerintah,
sumber dananya dari APBN. Hubungan berkesinambungan terus menerus BUMN/BHMN dengan
APBN melalui Bendahara Negara (baca: Menteri Keuangan) yakni hubungan pemilik
perusahaan dengan perusahaan semacam inilah yang kemudian memasukan BUMN dalam
domain keuangan negara.
Tipikor
BUMN: Kelalaian Ringan hingga Criminal Intent
Sebagaimana halnya
Perseroan Terbatas milik swasta, jika suatu BUMN mengalami kerugian, tentu saja
pemegang sahamnya tidak puas, maka kuasa pemegang saham negara pada BUMN
tersebut akan meminta dilaksanakan RUPS untuk melakukan pergantian direksi dan
/ atau dewan komisaris. Jika mens rea tipikor BUMN sekedar kelalaian ringan
(simple neglicent), diselesaikan secara administratif dan perdata. Sebaliknya, jika
kerugian BUMN tersebut karena intentional
cruel atau criminal intent, maka penyelesaiannya
wajib dilakukan secara pidana. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 155 UU
Perseroan Terbatas: Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan
Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini
tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum
Pidana. Pembuktian mens rea pada
kasus-kasus korupsi di BUMN dikaitkan pelaksanaan duty of care direksi dan komisaris BUMN, yakni Direksi bertanggung
jawab atas pengurusan Perseroan dengan iktikad baik dan penuh tanggungjawab
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan,
sedangkan setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan. Dilaksanakan atau tidaknya tupoksi oleh Direksi
dan Komisaris, dengan mudah dapat diruntun dari risalah rapat, daftar hadir
rapat, dissenting statement, dokumen
surat-menyurat sekaligus merupakan tolok ukur dilaksanakan atau tidaknya duty of care dan dipenuhi atau tidaknya business judgment rules.
Kerugian
pada BUMN yang disebabkan actus reus
pengurusnya dan terpenuhi kriteria mens
rea, merugikan keuangan negara, sebab negara terpaksa kehilangan kesempatan
mendapat dividend yang merupakan komponen penyusun Pendapatan Negara Bukan
Pajak atau bahkan juga negara sebagai pemegang saham, terpaksa harus melakukan
setoran tambahan modal untuk menutup kerugian. Perlu diketahui bahwa rerata
kontribusi dividen BUMN dalam PNBP rata-rata pada kisaran 10% dan terhadap
total penerimaan negara adalah 2,47%. Sedangkan kontribusi Pendapatan Pajak
dari BUMN pada APBN berkisar pada angka 10%. Itulah sebabnya Pasal 2 dan Pasal
3 UU Tipikor menyebutkan bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi jika
merugikan keuangan negara (aspek kepemilikan) dan / atau perekonomian negara
(aspek kontribusi APBN).
Diskursus
tentang domain keuangan negara, ternyata berlanjut ke ranah constitutional law, tidak banyak
diketahui khalayak, ternyata hurup (g) dan hurup (i) Pasal 2 pada UU No 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sedang dimohonkan review Mahkamah Konstitusi.
Pihak yang memohonkan juga mengajukan constitutional
review atas UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya
ayat-ayat dan pasal-pasal yang mengandung kata-kata BUMN/BHMN. Rupanya
ketakutan atas term “keuangan negara” pada UU Tipikor-lah yang memotivasi para
pemohon mengajukan constitutional review.
Saya menduga, langkah berikut dari pemohon adalah memohonkan constitutional review atas UU Tipikor.