Elpiji: Yuk Keep Smile!
Kenaikan harga elpiji selama 6 hari pertama tahun
2014 merupakan tontonan yang setara dengan program acara di salah satu stasiun
televisi bertajuk Yuk Keep Smile,
yang dalam pembukaan petisi penolakannya disebut sebagai “sebuah acara komedi yang sangat tidak
berkualitas dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah itu main
tebak-tebakan dengan kaki dimasukkan air es atau menyumpal tepung ke mulut
lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas ... apalagi goyangannya memakai
latar musik yang liriknya vulgar serta mengarah ke gerakan vulgar pula”. Betapa tidak? Karena berbagai pembelaan atas
kenaikan harga maupun alasan revisi kenaikan harga yang dikemukakan berkaitan
dengan peran negara, berkaitan dengan proses reviu konstitusional terhadap UU
Keuangan Negara dan ada pula free rider yang menggunakannya untuk men-leverage popularitas adalah komedi yang
sangat berbobot kurang lebih sama dengan Yuk
Keep Smile.
Pertama,
PT (Persero) Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara, sedangkan saat ini
diketahui, Forum Hukum BUMN yang diketuai oleh Kepala Biro Hukum Kementerian
Badan Usaha Milik Negara tengah mengajukan reviu konstitusi terhadap UU No 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan kepada Mahkamah Konstitusi dengan Nomer Perkara 62/PUU-XI/2013.
Apa sajakah yang sedang dimohonkan reviu konstitusi oleh Forum Hukum BUMN: (i) Pasal
1 angka 1 huruf g “Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah.” (ii) Pasal 1 angka 1 huruf i, “Kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” (iii) Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 yaitu Undang-Undang BPK yang
berbunyi “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya,
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik
Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.”
Pada intinya melalui reviu konstitusi ini, yang
dimohonkan oleh Forum Hukum BUMN adalah bahwa BUMN sebagai badan hukum privat
yang berbentuk perseroan, semestinya tidak dikategorikan dalam cakupan
pengaturan keuangan negara, sehingga tidak lagi termasuk menjadi objek pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Forum Hukum BUMN, permohonan ini
dilandasi keyakinan bahwa BUMN tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Pada sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Agustus
2013, yang mendengarkan kesaksian para pengelola BUMN, menjadi ajang curhat dan
curcol dari para pengelola BUMN besar yang menyatakan kegamangannya dalam
mengelola dan mengurus BUMN karena BPK dengan UU Keuangan Negara, dapat
menyeret pelaku salah urus BUMN dengan menggunakan UU Tipikor kepada KPK.
Itulah sebabnya dari berbagai pemberitaan media online
dan cetak, Menteri BUMN menyatakan bahwa keputusan menaikkan harga gas Elpiji adalah
karena rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menteri BUMN menyatakan
“yang penting pokoknya memenuhi rekomendasi dan tidak bisa tidak melaksanakan
hasil audit BPK”. Gagap nalar terjadi pengambilan keputusan menaikkan harga
elpiji karena nilai sebuah rekomendasi terletak pada maknanya, yakni “usulan
untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan”. Sebagai suatu
usulan, tentu saja pihak Pertamina sebagai “wannabe” badan hukum
privat memiliki dua opsi: melaksanakan atau tidak melaksanakan usulan tersebut.
Sedangkan rekomendasi BPK disertai empat pertimbangan yang perlu diperhatikan,
yakni harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri,
kesinambungan penyediaan dan pendistribusian, serta melaporkan kenaikan harga
elpiji 12 Kg kepada Menteri Teknis (baca: Menteri ESDM).
Apakah ke-empat pertimbangan dalam rekomendasi BPK
tersebut dilaksanakan? Silakan pembaca mengurainya satu per satu. (1) Daya beli konsumen. Daya beli konsumen tidak berhenti pada
konsumen elpiji 12 kg, tetapi konsumen akhir dari berbagai produk turunan
seperti misalnya: pelanggan warteg dan usaha mikro lainnya. (2) kesinambungan penyediaan dan
pendistribusian: per 1 Desember 2013 Pertamina melakukan perubahan pola
distribusi gas elpiji, dari semula dilakukan melalui Stasiun Pengisian
Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE), menjadi distribusi dengan pola Stasiun
Pengisian Pengangkutan Elpiji Khusus (SPPEK). Hal ini sama saja Pertamina telah
melepaskan tanggungjawab dengan menyerahkan harga akhir gas elpiji kepada agen
(3) melaporkan kenaikan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri ESDM sebagai menteri
teknis. Dari berbagai media massa, ironis Menteri ESDM menyatakan tidak saja
tidak tahu menahu soal kenaikan harga gas bahkan rencana kenaikan harganya juga
tidak tahu. Memang demikian-lah, sebagai sebuah korporasi, PT (Persero)
Pertamina tidak bertanggungjawab kepada Menteri Teknis tetapi bertanggung jawab
kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara. Hal ini percis sama dengan
Perum Navigasi yang bertugas mengurusi navigasi penerbangan tetapi tidak
bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan atau Dirten Perhubungan Udara
tetapi hanya bertanggungjawab kepada RUPS dan/atau Kuasa Pemegang Saham Negara.
Kedua. Pernyataan
"Itu memang kewenangan Pertamina. Sesuai aturan yang berlaku dan tidak
diperlukan persetujuan Presiden. Tetapi, karena situasinya sekarang menjadi
perhatian publik yang cukup luas, pemerintah memandang perlu untuk mengelola
persoalan ini sambil cari solusi yang tepat". Pernyataan orang nomer satu di republik ini sungguh
keterlaluan karena abai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah menyatakan bahwa ayat 2 dan ayat 3 pada
Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang
berbunyi: “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial
Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”; tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Sejak saat itu pula-lah, harga LPG merupakan domain pemerintah (negara), percis seperti halnya harga BBM Premium.
Ketiga, atasan
langsung dari Ketua Forum Hukum BUMN dan juga adalah salah satu peserta
konvensi capres dari salah satu parpol dengan sangat heroik mengambilalih (to
takeover/to acquire) semua kesalahan dengan pernyataan “semua pokoknya salah
saya”. Superb! Bravo! Baru menjadi peserta konvensi capres sudah
dengan gagah berani mengakuisisi penanggungjawab ayat 1 Pasal 6 UU Keuangan
Negara: “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”
Tabik!