Benang Basah itu Bernama
Good Corporate Governance
"Bagai
menegakkan benang basah", artinya melakukan suatu pekerjaan yang mustahil akan
berhasil. Tulisan ini saya buat untuk menanggapi rubrik Dialog pada Mingguan
Kontan No 21 Tahun XVIII, bertajuk Tata Kelola
Emiten Kita Masih Belum Memadai yang merupakan wawancara dengan Komisioner
OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK.
Karena
merupakan distribution of power, check &
balance mechanism, diantara ke-tiga organ perusahaan: RUPS; dewan komisaris
dan direksi, maka Tata Kelola Perusahaan (corporate governance) adalah kebutuhan perusahaan. Distribution of power, check & balance
mechanism jelas dinyatakan dalam Anggaran Dasar Perusahaan. Sebagai assurance bahwa UU Perseroan Terbatas (UU PT)
diadopsi, maka Anggaran Dasar perusahaan-perusahaan dan perubahan-perubahannya harus
mendapat persetujuan Menteri Hukum & HAM melalui sistem AHU (Sisminbakum). Sehingga bagi
perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, tanpa harus dimaklumatkan dan
disebutkan, adopsi Tata Kelola Perusahaan adalah keniscayaan.
Namun
sebagai sebuah ketentuan internal yang merujuk kepada UU PT, Tata Kelola
Perusahaan yang semula bersifat netral seketika akan berubah menjadi tata kelola perusahaan
yang buruk (bad corporate governance) manakala melibatkan banyak pemangku
kepentingan. Hal ini terjadi karena sifat alamiah UU PT yang tidak memberikan
perlindungan yang cukup terhadap capital provider yang datang dari luar
perusahaan (kreditur, bondholder maupun pemegang saham independen). Akan sangat
merepotkan perusahaan, bilamana ratusan atau ribuan pemegang saham ini
mengexercise hak-hak mereka sebagai pemegang saham. Oleh sebab itu corporation law dimanapun di dunia, termasuk UU PT
menetapkan threshold berupa minimum kepemilikan untuk boleh mengusulkan RUPS,
mengusulkan agenda RUPS, menominasi pengurus perusahaan. UU PT dirancang
untuk melindungi kepentingan pemegang saham mayoritas (pengendali) bukan untuk melindungi
kepentingan pihak eksternal, yakni kreditur dan
pemegang saham kecil (free floaters). Itulah sebabnya, begitu suatu
perusahaan menjadi perusahaan publik, baik karena kepemilikan saham yang luas
maupun karena melaksanakan penawaran umum surat utang, seketika harus tunduk
patuh pula kepada UU Pasar Modal (securities law), yang didalamnya mewajibkan perusahaan
untuk menghormati hak-hak pihak eksternal tersebut yakni kreditur (bondholders) dan free
floaters. UU Pasar Modal dan peraturan-peraturan turunannya yang
diadministrasikan oleh pengawas pasar modal tidak bisa mencampuri urusan
internal perusahaan, tetapi memastikan bahwa hak-hak pemegang saham free
floaters dihormati dan dilindungi dari potensi misapropriasi free floaters oleh
perusahaan dan ke-tiga organ yang lainnya.
Perpaduan
ketaatan pada Anggaran Dasar yang merupakan adopsi UU Perseroan Terbatas dan
kepatuhan kepada UU Pasar Modal dan turunan peraturan-peraturannya inilah yang
kemudian dikenal dan disebut sebagai Good Corporate Governance. Sifat seperti
inilah yang melahirkan konsekuensi, bahwa tidak bisa tidak pendekatan untuk menegakkan GCG
bagi perusahaan Tbk adalah compliance driven.
Peraturan
dan ketentuan baru harus terus menerus diterbitkan dan atau dikinikan
(diupdate) untuk memastikan tidak terjadi misapropriasi terhadap capital
provider yang datang dari pasar modal. Oleh karenanya pengawas pasar modal
harus memiliki rules making rule untuk
memastikan bahwa peraturan yang dibuatnya masuk akal dan dapat dipantau dan diikuti dengan law enforcement. Para pihak yang melanggar diberi sanksi termasuk juga pidana pasar modal. Di dalam
rules making rule harus diatur siapa yang bertanggungjawab atas untuk
menerbitkan peraturan baru dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan peraturan oleh
emiten.
Membaca
wawancara dengan Nurhaida, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal
OJK (Mingguan Kontan No 21 Tahun XVIII), pernyataan Tata Kelola Emiten Kita Masih Belum Memadai, ditepuk air di dulang
terpercik muka sendiri. Memastikan Emiten memiliki Tata Kelola Baik tidak bisa
tidak bersifat compliance driven,
sementara Pengawas Pasar Modal banyak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran
peraturan. Pun sungguh memprihatinkan pola pikir OJK yang mengandalkan Road Map
GCG sebagai referensi utama dalam perbaikan praktik dan regulasi tata kelola perusahaan, yang
darinya akan ditelurkan berbagai macam aturan baru bagi emiten, namun justru pada saat yang sama malahan
mengabaikan rencana atau progress amandemen UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal yang sudah usang tidak mengikuti perkembangan jaman.
Sebelum
melahirkan berbagai macam aturan-aturan baru tersebut, Komisioner OJK/Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal perlu memastikan apakah emiten taat dan patuh pada
peraturan-peraturan yang sekarang sudah ada. Oleh karena mulai 1 Januari 2014,
pengawasan perbankan berpindah tangan ke OJK, juga perlu dilakukan harmonisasi
ketentuan-ketentuan microprudential perbankan dengan peraturan-peraturan pasar
modal. Sebut saja, PBI No 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG Bagi Bank Umum,
mensyaratkan Presiden Direktur atau Direktur Utama perbankan Tbk, wajib berasal
dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali, yang berarti
tidak boleh memiliki saham-saham perusahaan, pada kenyataannya kepemilikan
saham-saham perusahaan oleh Direktur Utama perbankan Tbk dibiarkan begitu saja.
Begitu
banyak pelanggaran terhadap peraturan pasar modal dibiarkan begitu saja, yang
bukan saja merupakan bentuk misapropriasi capital provider yang datang dari
pasar modal tetapi juga sudah merusak reputasi OJK. Fungsi pengawasan pasar
modal tidak dilaksanakan sendirian oleh OJK, tetapi juga dapat didelegasikan
kepada Bursa Efek sebagai SRO yang mengatur dan mengawasi emiten-emiten yang
mencatatkan efek di bursa yang dikelolanya.
Berdasarkan
banyak data publik yang didapat dari Bursa Efek Indonesia, berupa surat-surat emiten yang
ditujukan kepada Komisioner OJK/Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dan ditembuskan
kepada Direksi Bursa Efek Indonesia dan kemudian oleh emiten diumumkan kepada khalayak, saya menyimpulkan bahwa bahwa baik Otoritas Jasa Keuangan maupun
Bursa Efek Indonesia telah tidak melaksanakan fungsi pengawasannya.
Telah
banyak terjadi pembiaran pelanggaran oleh emiten dari yang sederhana sampai
yang rumit. Sebut saja, Komisaris Independen/Ketua Komite Audit perusahaan Tbk,
memiliki saham-saham perusahaan tanpa ada teguran maupun sanksi sama sekali,
sedangkan Peraturan IX. I. 5, dengan tegas melarangnya. Atau begitu mudahnya para
pihak pada perusahaan-perusahaan yang memproklamirkan dirinya dan membuat
pernyataan hendak mengakuisisi PGAS, yang pernyataannya telah mendistorsi pasar
saham. Apakah OJK dan BEI melakukan enforcement terhadapnya para pihak tersebut?
Tidak!
OJK
berpura-pura berkomitmen menegakkan etika dengan menyediakan Sistem Pelaporan
Pelanggaran Kode Etik OJK tetapi ternyata hanya sekedar pajangan karena tidak
berfungsi sebagaimana mestinya.
Sampai
disini, saya menyimpulkan bahwa keberadaan OJK a la UU No 21 Tahun 2011 memang perlu
ditinjau ulang, sebab sebagai lembaga yang akan menegakkan Tata Kelola
Perusahaan yang baik, ternyata by default,
OJK sendiri tidak akan mungkin memiliki tata kelola yang baik. Sekedar tahu saja, pada UU
No 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak ada satupun pasal yang menegaskan status
hukum OJK, apakah badan hukum atau bukan, tetapi semua pungutan terhadap jasa
keuangan diklasifikasikan sebagai penerimaan OJK.
Salam.