Mencermati Motivasi Go
Public
Oleh: Shalahuddin Haikal*)
Hisyam
punya mangga harum manis matang pohon dan mangga emprit muda (asem dan hanya
cocok dijadikan bahan baku rujak bebeg), tapi tidak punya pisau. Untuk
mendapatkan pisau, maka yang akan ditukar oleh Hisyam tentu saja mangga emprit,
bukan mangga harum manis. Penomena yang terjadi pada Hisyam menjelaskan bahwa pada
intinya, sangatlah manusiawi jika seseorang tidak mau berbagi sesuatu yang
manis dan enak dengan orang lain, bahkan berbagi cerita-pun tidak. Jikalau
terpaksa harus berbagi, maka yang dibagikan adalah yang terburuk yang
dimilikinya. Penomena ini pula cukup bermanfaat untuk menyanggah berbagai
tawaran investasi dengan janji imbal hasil yang menggiurkan baik dari investasi
bodong maupun investasi resmi. Jika Hisyam yakin pada suatu investasi dengan
imbal hasil di atas suku bunga utang, tentu saja dengan berbagai cara Hisyam
akan berhutang dan menggunakan dana hasil utang untuk menikmati investasi itu
sendirian tanpa harus berbagi dengan orang lain. Sebaliknya jika tidak yakin
dengan imbal hasil investasi, maka orang banyak akan diajak untuk menanggung
risiko.
Lantas
kenapa ada perusahaan go public dengan menerbitkan dan menjual saham-saham baru
perusahaan kepada orang lain? Yang berarti berbagi dengan orang lain. Bukankah
hal ini bertentangan dengan cerita Hisyam di atas? Penjelasannya di jelaskan
dengan pecking order theory. Pecking order theory di bidang keuangan baru
dilahirkan pada tahun 1984 (bandingkan dengan pecking order theory pada sosiologi
telah ada sejak tahun 1921). Tulisan ini tidak hendak menggurui melainkan
hendak mengingatkan kembali motivasi go public.
Seperti
pernah disampaikan kepada majelis pembaca, bahwa dividen adalah salah satu hak
pemegang saham. Nisbah keuntungan yang dibagikan terhadap keuntungan yang diperoleh
(dividend pay out ratio) berkisar dari 0% (tidak dibagikan) sampai dengan 100%
(dibagikan seluruhnya) adalah keputusan RUPS, tentu sudah memperhatikan peluang
pertumbuhan yang perlu diongkosi dengan modal. Keuntungan yang didistribusikan
sebagai dividen sesungguhnya merupakan amar dari manajemen kepada pemegang
saham untuk mencari investasi lain karena perusahaan tidak memerlukan menahan
laba untuk tumbuh atau perusahaan tidak memiliki peluang pertumbuhan yang perlu
didanai. Dari sisi pemegang saham, dengan menerima pembayaran dividen dari
perusahaan, maka kerepotan dalam perhitungan dan pembayaran pajak seketika akan
membebaninya. Berbeda dengan pemegang saham yang merealisasikan capital loss/gain
dengan menjual saham kepada pihak lain, karena PPh penjualan saham bersifat
final (dan marginal) sebesar 0,1%. Itulah sebabnya investor lebih menyukai
merealisasi keuntungan dengan menjual saham, baik melalui pasar reguler maupun
mengikuti program buyback saham yang dilakukan oleh perusahaan dari pada
menerima dividend.
Prosentase
laba yang ditahan (tidak dibagikan sebagai dividend) adalah urutan pertama
dalam pembiayaan perusahaan. Laba yang tidak dibagikan akan mengimbuhkan saldo
laba ditahan pada pos ekuitas di neraca. Laba ditahan saja mungkin tidak
mencukupi untuk tumbuh, tetapi manakala perusahaan akan membuat utang baru
(baik utang bank maupun utang dari vendor), maka kreditur akan menghitung kecukupan
nisbah utang terhadap ekuitas sebagai tolok ukur risiko. Laba ditahan merupakan
salah satu unsur ekuitas, sedangkan ekuitas merupakan indikator komitmen dari
pemilik perusahaan kepada perusahaan. Dari penjelasan ini sekaligus kita
dapatkan bahwa utang bank merupakan urutan kedua dalam pecking order. Hubungan
perusahaan dengan bank kreditur maupun vendor adalah hubungan jangka panjang.
Bank dan/atau vendor mengetahui dengan pasti pola arus kas perusahaan, kapan
dan kemana perusahaan belanja kebutuhan material, kapan dan kemana saja
perusahaan menjual produknya. Secara teoritis tidak ada perbedaan informasi
yang dimiliki oleh perusahaan dengan bank. Karenanya perusahaan merasa nyaman
berhutang kepada bank, selain karena informasi tentang perusahaan hanya
diketahui oleh bank saja, juga pemegang saham tidak perlu berbagi “manis”-nya
perusahaan dengan orang luar.
Bila
utang bank sudah tidak lagi mencukupi, barulah perusahaan menerbitkan public
debt (obligasi). Obligasi disebut sebagai public debt manakala ditawarkan
melalui mekanisme penawaran umum, sama-sama harus menyampaikan registration
statement kepada pengawas pasar modal, tetapi kualitas disclosure-nya lebih
rendah dari pada disclosures pada registration statement untuk penawaran umum
saham.
Jika
dana hasil penerbitan public debt masih tidak cukup juga, maka perusahaan baru-lah
menerbitkan saham-saham baru. Perusahaan tidak serta merta dapat menawarkan dan menjual saham-saham baru
tersebut kepada pihak eksternal, karena kepentingan pemegang saham lama
dilindungi oleh corporate law dari potensi dilusi. Kepentingan pemegang saham
lama dalam hal penerbitan saham baru oleh perusahaan disebut sebagai pre-emptive right (hak untuk
didahulukan). Oleh sebab itu-lah pada kondisi seperti ini, maka mekanismenya
adalah Penawaran Umum Terbatas kepada pemegang saham lama, proporsional dengan
kepemilikan masing-masing pemegang saham lama. Jika pemegang saham lama tidak
menggunakan hak-nya barulah dijual kepada pihak eksternal.
Dari
penjelasan ini, penawaran umum saham adalah alternative terakhir. Jika pemegang
saham lama tidak menggunakan haknya dan karenanya kemudian perusahaan harus
melaksanakan penawaran umum (public offering), maka boleh diduga, kinerja perusahaan di masa
lalu tidak menggembirakan pemegang saham lama, juga pemegang saham lama sudah
mengetahui bahwa proyeksi kinerja di masa yang akan datang tidak terlalu bagus
di bandingkan investasi lain. Dengan dalil mangga harum manis inilah, yang dijual
kepada publik-pun sudah pasti bukan the
Jewel of the Crown dalam kelompok
usaha.
Terdapat
motivasi lain perusahaan go public, yakni untuk memperbesar pagu Legal Lending
Limit (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dari perbankan. Pengawas perbankan
tidak akan mengenakan sanksi atas pelampauan pemberian kredit oleh suatu bank
kepada satu kelompok perusahaan, bila saham-saham perusahaan debitur tersebut telah dicatatkan
di bursa efek.
Dari
penjelasan ini dapat dimaklumi jika prosentase kepemilikan saham perusahaan
oleh publik maksimum adalah 40%. Sangat jarang perusahaan Tbk yang
kepemilikannya terdistribusi merata pada banyak pemegang saham. Karena
threshold kepemilikan pada UU PT adalah 10%, maka boleh disebut sebagai real public company jika tidak ada
satu-pun pemegang saham yang memiliki kepemilikan di atas 10%. Penjelasan ini
juga menjawab mengapa pada perusahaan-perusahaan yang kuat secara finansial, cenderung
membiayai pertumbuhannya dengan utang bank dan bahkan mereka cenderung untuk go
private. Tentunya masih segar dalam ingatan para investor saham bahwa
saham-saham Sari Husada, Komatsu Indonesia, Aqua Golden Mississipi, Bayer Indonesia
pernah membuat hiruk pikuk pasar modal indonesia dan membuat hingar bingar
bursa efek.
Berinvestasi
berbeda dengan trading. Jika hendak berinvestasi dengan membeli saham pada
pasar perdana, sediakan cukup waktu untuk membaca dengan cermat prospektus
sebelum memberi tanda tickmark pada kolom “sudah membaca prospektus perusahaan”
dan menandatangani FPPS. Sebaliknya jika hendak berinvestasi dengan membeli
saham di pasar sekunder, periksa baik-baik laporan keuangan dan berbagai aksi
korporasi yang dilakukannya. Nasehat ini tentu saja tidak untuk mereka yang
hendak berdagang saham (trading), karena pada trading yang diperdagangkan
adalah saham sebagai komoditas, bukan klaim kepemilikan perusahaan. Selagi
bursa sedang lemas karena gula darah turun, coba periksa saham anda: mangga
harum manis atau mangga emprit yang asem, masam dan bikin ngilu gigi.
Salam.