BUKAN USAHA MILIK NEGARA -1
Pembentukan Holding BUMN: Menunggu Godot?
Pembentukan Holding BUMN: Menunggu Godot?
Shalahuddin Haikal*)
UU BUMN yang sekarang berlaku
adalah UU No 19 Tahun 2003, sedangkan wacana pembentukan holding BUMN sudah ada
sejak tahun 2004, sehingga ketika UU No 19/2003 baru berlaku efektif, ketika
itu pulalah wacana pembentukan holding dimulai. Namun diskursus ini abai dengan
beberapa prinsip dasar yang ada pada UU BUMN tersebut, salah satunya adalah bahwa
yang disebut BUMN adalah badan usaha yang setidak-tidaknya 51% saham-sahamnya
dimiliki oleh negara. Menjadi perusahaan holding BUMN dapat dilakukan dengan
merger; konsolidasi dan pengambilalihan, pasti akan ada banyak BUMN yang
kehilangan statusnya sebagai BUMN karena menjadi anak perusahaan BUMN holding (induk)
hasil dari salah satu dari ketiga aksi korporasi tersebut. Sebagai anak
perusahaan BUMN yang saham-sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka per
definisi UU BUMN tidak lagi memenuhi kriteria untuk disebut sebagai BUMN. Oleh
karenanya yang menjadi prioritas untuk dikerjakan terlebih dahulu adalah revisi
UU BUMN bukan penyusunan rencana pembentukan holding BUMN.
Privatisasi dan Penatausahaan PMN
Karena akan ada banyak BUMN yang
berubah menjadi PT biasa, tanpa suffix (Persero), maka “pembentukan holding
BUMN” adalah creeping privatization.
Dengan kata kunci “privatization”,
maka sebetulnya yang sedang direncanakan adalah urutan ke-8 pada “the
Washington Consensus”. Perlu diketahui khalayak, bahwa meskipun pertempuran
antar dua mazhab governance BUMN sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi
dengan putusan, bahwa BUMN masuk dalam ranah Keuangan Negara, namun mazhab yang
kalah tetap yakin bahwa frasa “kekayaan negara yang dipisahkan” merupakan
penanda yang kuat bahwa BUMN tidak termasuk dalam ranah keuangan negara masih
kuat dan aktif. Hal ini secara eksplisit dinyatakan pada Rencana Strategis
Kementerian BUMN 2015-2019 (hal 49), “pengertian kekayaan negara yang
dipisahkan” sebagai masalah utama yang dihadapi oleh Kementerian BUMN. Trumpet
pembentukan holding BUMN nyaring ditiup oleh Kementerian BUMN, suatu
kementerian yang dilahirkan karena PP (PP No 61/2001 dan PP No 41/2003) yang
mengatur mengenai pelimpahan sebagian kewenangan Menteri Keuangan kepada
Menteri BUMN, meskipun wewenang yang dilimpahkan tidak termasuk (1) penatausahaan setiap PMN dan perubahannya (2) pengusulan PMN (3) pendirian dan pembubaran BUMN (4) dalam melaksanakan kedudukan, tugas dan
kewenangan sebagaimana dimaksud, Menteri BUMN wajib memperoleh persetujuan Menteri Keuangan
terlebih dahulu. Untuk usulan PMN pada RAPBNP 2016 yang skalanya jauh
lebih kecil dari pada rencana pembentukan holding BUMN, Kementerian BUMN tidak
dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan sampai lewat tenggat waktunya
(lihat rubrik Lobi di Harian Kontan 24 mei 2016 hal 2). Untuk urusan rencana
pembentukan holding BUMN yang skalanya jauh lebih besar nampaknya Kementerian
BUMN lupa bahwa kewenangannya tidak termasuk ke-tiga hal tersebut. Selama
rencana ini tidak dikomunikasikan dan dirembug dengan pemilik kewenangan (baca:
Menteri Keuangan), maka rencana pembentukan holding BUMN akan tetap menjadi
wacana seperti yang sudah-sudah. Di lain
pihak ternyata diam-diam, saat ini terdapat dikotomi pengelolaan BUMN, selain
BUMN yang kewenangan Menteri Keuangan sudah dilimpahkan kepada Menteri BUMN,
terdapat dua BUMN (Sarana Multi Infrastruktur dan Indonesia Eximbank) yang
kewenangan RUPS-nya berada ditangan Menteri Keuangan. Saya tidak tahu mengapa
terjadi dikotomi seperti ini.
Beberapa tahun terakhir,
pemerintah (bukan negara) sadar bahwa untuk kegiatan yang perlu diusahakan
secara profesional, efisien dapat dijual kepada masyarakat tetapi tidak boleh
ambil keuntungan sehingga harga jualnya “at cost”, Kementerian Keuangan memilih
membentuk “badan hukum baru” yang disebut Badan
Layanan Umum (BLU). Meskipun kemudian consiousness
ini dinodai dengan dipilihnya bentuk Perusahaan Umum untuk Lembaga
Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan dan Bulog. Masa sih negara tega
mengambil keuntungan dari warganegaranya dengan mengambil keuntungan atas
layanan keamanan dan keselamatan penerbangan dan layanan logistik pangan?
Bentuk Perum juga melahirkan problem yang dihadapi Menteri Perhubungan dalam mengkoordinasi
layanan navigasi penerbangan atau hambatan yang dihadapi Menteri Pertanian dan
Menteri Perdagangan untuk mengkoordinir urusan logistik. Karena sebagai Perum,
keduanya hanya tunduk patuh kepada Menteri BUMN selaku kuasa pemegang saham.
Pilihan Metoda Pembentukan
Terlalu dini untuk membicarakan
metoda pembentukan holding BUMN, namun perlu untuk memberikan sedikit gambaran
apa yang akan terjadi dalam proses pembentukan. Merger (penggabungan),
konsolidasi (peleburan) dan akuisisi (pengambilalihan) merupakan pilihan modus
pembentukan holding BUMN. Karena BUMN-BUMN dimiliki oleh pemegang saham
pengendali yang sama dan tidak semua BUMN adalah perusahaan Tbk, tender offer sebagai modus akuisisi
perlu dicoret terlebih dahulu. Namun, apapun pilihannya, jika nantinya perusahaan
hasil merger dan akuisisi memiliki aset gabungan melebihi Rp 2.5 triliun (khusus
untuk perbankan, jika aset gabungan > Rp 20 triliun), omset gabungan
melebihi Rp 5 triliun, keputusan ketiga modus tersebut mutlak terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena akan terjadi
perubahan pemegang saham pengendali. Oleh karena efisiensi dan peningkatan daya
saing sebagai tujuan pembentukan BUMN holding, sudah barang tentu, KPPU perlu
menguji terlebih dahulu akibat perubahan pemegang saham pengendali terhadap
perubahan struktur pasar.
Seperti memutar kaset rusak,
untuk BUMN Tbk yang akan menjadi target, sudah ramai terdengar, misalnya PGAS
akan mengakuisisi Pertagas, kemudian diikuti dengan exchange offer berupa penyerahan saham-saham negara di PGAS kepada
Pertamina dan karenanya Pertamina menerbitkan saham-saham baru untuk dimiliki
oleh Negara. Kegiatan ini masuk dalam domain penatausahaan modal negara yang
tidak termasuk kewenangan yang dilimpahkan kepada Menteri BUMN. Berapa lembar
saham negara di PGAS diserahkan kepada Pertamina untuk selanjutnya ditukar
dengan saham baru Pertamina adalah penatausahaan modal di negara di BUMN, juga
harus dinilai terlebih dahulu oleh independend apraiser. Potensi dugaan
tipikornya menjadi cukup besar antara lain untuk menguji berapa harga pasar
wajar saham PGAS seandainya exchange offer dilakukan antara negara dengan pihak
selain Pertamina, berapa pula harga pasar wajar saham Pertagas.
Privatisasi terbuka
Privatisasi memiliki dua arti.
Dalam arti sempit adalah menjual kepemilikan negara kepada swasta, sedangkan
dalam arti luas, pendirian BUMN, baik yang modalnya masih glondongan (Perum)
maupun yang modalnya sudah terbagi atas saham-saham (Persero) adalah juga
privatisasi. Berbeda dengan Badan Layanan Umum, sebagai BUMN mereka wajib
mencari profit. Agar pembentukan holding BUMN (sebagaimana terdapat dalam
Rencana Strategis 2015-2019) tidak berhenti sebagai legacy belaka, justru harus
dimulai dari revisi UU BUMN, termasuk di dalamnya mendefinisikan ulang BUMN,
ranah keuangan negara sampai pada tingkat ke berapa anak perusahaan, persoalan
terkait kewajiban PKBL bagi BUMN yang sebetulnya merupakan pajak atas laba
bersih BUMN dan masih banyak lagi. Namun inisiatif revisi UU BUMN-pun bukan
persoalan yang sederhana karena UU ini berkait erat dengan UU Keuangan Negara
dan UU Perbendaharaan Negara.
Kementerian BUMN dapat
berkontribusi secara nyata dan banyak bagi negara, terlebih yang saat ini dalam
kondisi bujetnya mengalami defisit dengan mengusulkan privatisasi terbuka dalam
arti sempit kepada Menteri Keuangan. Ada banyak BUMN yang keberadaannya sudah
tidak lagi diperlukan negara karena jasa sektor tersebut sudah dapat disediakan
dan dijual oleh sektor swasta, misalnya BUMN sektor konstruksi, ada sekitar
setengah lusin lebih BUMN dengan suffix “Karya”, baik yang sudah Tbk maupun
yang belum Tbk yang layak untuk dijual. Idem dito dengan perbankan, karena Bank
Sentral sudah dapat mengendalikan suku bunga melalui mekanisme monetary transmission dan
program-program kredit affirmative (KUR, Kredit UKM) pun dapat juga disediakan
oleh bank swasta, maka empat bank BUMN juga merupakan kandidat tepat untuk
dilakukan privatisasi tahap kedua, jika masih ragu-ragu, toh negara masih dapat
mempertahankan 1 lembar saham Dwi Warna bukan?
Salam!