BUKAN USAHA MILIK NEGARA - 2
Penyertaan Modal Negara:
Perbandingan PP No 72
Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014
Shalahuddin Haikal*)
Menjadi perusahaan yang memiliki
sepuluh anak perusahaan yang masing-masing juga memiliki lusinan anak perusahaan
adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan karena merupakan urusan the ultimate owner-nya, seperti halnya PT
Astra International, Tbk yang kini memiliki 208 anak perusahaan. Tetapi
bagaimana dengan BUMN atau Perusahaan Perseroan yang berada di ranah keuangan
negara?
Tercengang dengan PP No 60 Tahun
2016 yang menjadikan Kepolisian RI sebagai pencari Pendapatan Negara Bukan
Pajak (Alvin Lie, Harian Kompas Rabu 11 Januari 2016), kini muncul ke permukaan
PP No 72 Tahun 2016 yang fenomenal. PP No 72 Tahun 2016 tentang Perubahan
Tatacara Penyertaan Modal Negara di BUMN ini sebetulnya bukan PP yang baru sama
sekali, namun merupakan PP yang mengamandemen beberapa pasal dan beberapa ayat
pada PP No 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal
Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Substansi PP No 72
Tahun 2016, pun tidak banyak berbeda dengan PP yang bernomor sama tetapi
berangka tahun 2014, yakni PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan
Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham PTPN III, yang esensinya
adalah tambahan setoran modal saham dilakukan dalam bentuk inbreng saham negara
di seluruh PTPN yang lain (PTPN I, II, IV s.d PTPN XIV) yang serta merta
menjadikan seluruh PTPN yang lainnya menjadi anak perusahaan PTPN III, sehingga
oleh karenanya tidak lagi dapat disebut sebagai BUMN. Melalui PP No 72 Tahun
2014, holding BUMN Perkebunan sudah terbentuk. Hal lain yang mencengangkan
adalah respon yang hiruk pikuk dan sedemikian heboh atas terbitnya PP No 72
Tahun 2016, sangat berbeda dengan suasana sunyi senyap atas terbitnya PP No 72
Tahun 2014. Saat itu, satu-satunya pemangku kepentingan yang keberatan hanyalah
Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara. Sebaliknya sekarang, terhadap
terbitnya PP No 72 Tahun 2016, mulai dari pengamat kebijakan publik, anggota DPR,
hingga LSM memberikan komentar yang galak dan pedas, antara lain menggunakan
istilah “inskonstitutioniel”.
Tanpa perlu disebutkan pada
konsiderans maupun pasal-pasalnya, cukup jelas PP ini ditujukan untuk
memuluskan ide pembentukan holding BUMN yang tertunda-tunda sejak Kementerian
BUMN pertama kali dibentuk dan dipimpin oleh Menteri Negara atau menteri tanpa
portofolio di tahun 2001. Tupoksi Kementerian BUMN ini pertama kali diatur
melalui PP No 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri
Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri Negara BUMN. Berkenaan dengan terbitnya UU No
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, PP
No 64 Tahun 2001 tersebut dikoreksi dengan PP No 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan
Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada BUMN Kepada Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara. Pasal 3 PP No 41 Tahun 2003, berisikan tiga pengecualian
terhadap tugas dan kewenangan Menteri Keungan yang dilimpahkan, yakni: penatausahaan
setiap Penyertaan Modal Negara berikut perubahannya ke dalam BUMN; pengusulan
setiap Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN yang berasal dari APBN serta
pemanfaatan kekayaan Negara; pendirian BUMN maupun perubahan bentuk hukum. Melalui
pasal 3 ini, jelas bahwa terdapat wilayah Menteri Keuangan yang tidak
didelegasikan kepada Menteri BUMN.
PP 72/2016 menjadi fenomenal,
karena selain didalamnya mengandung contradictio
in terminis, dan sudah pasti bertentangan
dengan PP pada domain yang sama dan lebih penting lagi bertentangan dengan
produk hukum yang lebih tinggi yakni UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. PP ini mengundang reaksi pranata
negara yang berbeda. Tidak ada reaksi dari DPR dan BPK atas terbitnya PP No 72
Tahun 2014 yang pada hakekatnya merupakan privatisasi PTPN-PTPN lainnya karena PMN
ke PTPN III dilaksanakan dalam bentuk inbreng saham negara di PTPN lainnya,
sedangkan PP No 72 Tahun 2014 terbit hanya terpaut satu hari sebelum dibacakannya
Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014.
Inbreng Saham BUMN Pintu Masuk Privatisasi
Tidak ada yang istimewa dari PP
72/2016 yang mengamandemen angka 8 Pasal 1 PP No 44/2005, misalnya semula
“Penatausahaan adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk
mengetahui besarnya penyertaan negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas”
menjadi “Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan pengadministrasian penyertaan
negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas”.
Hal baru yang ditambahkan (bukan
merubah) adalah sumber PMN, jika pada PP No 44/2005 terdiri atas empat sumber: dana
segar; proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN; piutang negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas; dan/atau aset-aset negara lainnya, maka pada PP 72/2016
disisipkan tambahan sumber PMN, yakni saham milik negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas. Dari sisipan ini jelas, bahwa sumber PMN dapat berasal dari
inbreng saham negara pada BUMN lain.
Hal baru lainnya yang ditambahkan muncul dalam bentuk Pasal 2A. Ayat 1 Pasal 2A
ini justru sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013, bahwa
istilah kekayaan negara yang dipisahkan adalah keuangan negara yang tidak
terbatas dan tidak dibatasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Letak persoalan PP 72/2016 ini karena
mengandung contradictio in terminis
jelas dan nyata, misalnya pada Pasal 1 yang merupakan ketentuan umum,
didefinisikan BUMN, Perusahaan Perseroan, Perusahaan Umum, Perseroan Terbatas,
secara concise karena merupakan verbatim
dari UU BUMN. Namun PP ini tidak menjelaskan implikasi dari setoran modal dalam
bentuk inbreng saham milik negara di satu BUMN kepada BUMN lain, yakni seketika
BUMN yang sahamnya di-inbreng-kan akan kehilangan kriteria BUMN dan atau
kehilangan kriteria Perusahaan Perseroan. Sudah pasti, BUMN akan berubah
menjadi Perusahaan Perseroan (ditandai dengan suffix Persero, dibelakang nama
perusahan, jika negara mempertahankan sekurang-kurangnya 51% kepemilikan
negara), sebaliknya jika kepemilikan negara menjadi kurang dari 51%, maka BUMN
tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa yang tidak lagi boleh
menyandang kata “Persero”. Sehingga karenanya, perubahan prosentase kepemilikan
negara pada suatu badan usaha masuk kriteria privatisasi. Karena memenuhi
kriteria privatisasi, maka kini persoalannya terletak pada ketidaksesuaian PP
dengan pasal-pasal dan ayat-ayat pengaturan privatisasi yang terdapat pada UU
BUMN. Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 mengatur prinsip-prinsip privatisasi dan
kriteria BUMN yang dapat diprivatisasi. UU BUMN melalui Pasal 79 s.d Pasal 81
juga mensyaratkan keberadaan pranata Komite Privatisasi yang mutlak dipimpin
oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan Menteri Keuangan
dan Menteri Teknis sebagai anggota komite. Hingga sampai tatacara
privatisasipun diatur dalam UU BUMN.
Perbandingan dengan PP No 72 Tahun 2014
Tanggal 17 September 2014 atau
tepat satu hari sebelum Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas No
62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014, terbit PP No 72 Tahun 2014 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III. Berbeda dengan PP No 72/2016
yang bersifat umum, PP No 72/2014 khusus memutuskan penambahan PMN di PTPN III.
Tambahan PMN tersebut dilaksanakan dalam bentuk inbreng 90% saham negara pada Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara I, Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Perkebunan Nusantara II dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan
Nusantara IV, sampai dengan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan
Nusantara XIV.
Karena 90% saham-sahamnya
PTPN-PTPN tersebut kini dimiliki oleh PTPN III, maka ke-13 PTPN tersebut berubah
menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (saja!). Tambahan PMN kepada Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III menjadikan ke-13 PTPN lainnya
kehilangan status BUMN sekaligus status Perusahaan Perseroan. Per
se, transaksi tersebut adalah privatisasi! Tidak ada satupun pengamat,
anggota DPR atau LSM yang memberikan komentar dan mantranya terhadap PP No 72
Tahun 2014. Satu-satunya pihak yang menyatakan keberatan adalah Federasi
Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara yang kemudian memohonkan Hak Uji Materi (judicial
reviu) PP tersebut kepada Mahkamah Agung dengan nomer register 67P/HUM/2014 yang
berproses hingga tahap Peninjauan Kembali dan amar putusannya adalah NO (niet
ontvankelijke verklaard).
Satu hari setelah PP No 72 Tahun
2014 terbit, tepatnya pada 18 September 2014 Mahkamah Konstitusi membacakan
amar putusannya yang menolak permohonan uji konstitusi UU Keuangan Negara dan
UU BPK yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN. Amar putusan MK ini semestinya menjadi
rujukan yang nyata ada (clear and present) dalam pembuatan peraturan-peraturan
terkait BUMN.
Standar Ganda DPR?
Jika kemudian sekarang PTPN I,
II, IV s.d XIV menjadi Perseroan Terbatas yang hanya tunduk pada UU Perseroan
Terbatas dan tidak perlu patuh mematuhi UU BUMN, tanpa melalui prosedur baku
privatisasi sebagaimana terdapat pada UU BUMN siapa yang bertanggungjawab?
Tentu saja pranata negara eksekutif yang tidak patuh dan tidak menjalankan
tugas pokok dan fungsinya-lah yang paling bertanggungjawab. Pranata legislatif
juga bertanggungjawab karena tidak mempersoalkan, saat itu hingga sekarang.
DPR yang menyatakan kekecewaannya
terhadap PP No 72/2016, ternyata memiliki toleransi yang tidak bertepi terhadap
PP No 72 Tahun 2014 maupun implementasinya. Bukan hanya tidak ada keberatan, terdapat
dua bukti bahwa DPR mendukung PP No 72 Tahun 2014 (1) keputusan DPR in favour
terhadap dialokasikannya Rp 350 miliar dari APBN untuk tambahan PMN di tahun
2015 pada PTPN-PTPN yang telah bermetamorfosis menjadi perusahaan-perusahaan
swasta anak perusahaan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara
III, sekaligus alokasi PMN sebesar Rp 3,15 triliun untuk Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Perkebunan Nusantara III sebagai induk perusahaan (holding company). (2) Terdapat dokumen negara yang berjudul Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
Tahun Anggaran 2015, yang mengandung kesalahan kecil tetapi berdampak
besar, yakni masih terdapatnya imbuhan suffix
berupa term (Persero) dibelakang nama
PT Perkebunan Nusantara.
Jika sekarang pengamat dan anggota
DPR dan LSM menggunakan frasa “inskonstitutioniel” rasanya tidak patut, karena
pada saat yang sama, terhadap PP yang serupa dengan PP No 72 Tahun 2016, tidak
ada keberatan sama sekali. Untuk PP No 72/2016 ini lebih tepat digunakan “tidak
workable” karena berlaku azas lex
superior derogat legi inferiori. Kedua PP PMN ini jelas tidak kompatibel
dengan UU BUMN dan UU Keuangan Negara. Dari pada heboh dan supaya produktif, kepada
para pemangku kepentingan disarankan untuk menggunakan jalur Hak Uji Materi terhadap
PP tersebut ke Mahkamah Agung. Agar adil dan setara, bukan hanya hak uji materi
terhadap PP No 72 Tahun 2016 saja, bahkan perlu upaya hukum istimewa untuk
membatalkan PP No 72 Tahun 2014.
Salam.