Dosen Tanpa Mimbar; Guru Tanpa Meja
Shalahuddin
Haikal*)
Gundah hati ini
membaca opini berjudul Kebebasan Akademik Tercemar (Harian
Kompas Jum’at 11 agustus 2017) karena
opini tersebut tidak saja mempermalukan Kementerian Riset dan Dikti; serta
perangkat akreditisasi di kementerian tersebut, tetapi mempermalukan diri penulisnya
sendiri. Gundah karena selama suatu kesimpulan atau setidaknya suatu opini tidak
disusun dari (setidaknya) suatu metoda deduksi induksi yang benar atau metoda penelitian
yang standar dan bukan dari suatu sample survei sehingga sample tidak
representative mewakili suatu populasi (dalam hal ini seluruh dosen di seluruh
perguruan tinggi dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia) maka hanya akan
menjadi sekedar delusi ilmiah dari penulisnya. Sebagai suatu delusi, sebetulnya
opini tersebut tidak perlu ditanggapi. Namun karena ditulis oleh seorang Guru
Besar, delusi tersebut menjadi amat sangat berbahaya jika tidak ditanggapi dan dikoreksi.
Gundah kedua kalinya karena penulis opini tersebut juga tidak mendefinisikan
kata “radikal” atau frasa turunannya yakni “radikalisme”. Radikal berasal dari
kata latin radix yang berarti
berakar. Kedua frasa tersebut memang banyak dipakai dikalangan scholar di bidang ilmu sosial bahwa
perubahan harus dimulai sejak dari akar. Tidak dapat dibayangkan tanpa
radikalisme, berarti pula NKRI yang sekarang ini ada dan berdiri tegak dengan
memerdekakan diri dari penjajahan era kolonialisme. Tanpa berpikir radikal,
bisa jadi kolonialisme dianggap sebagai kewajaran atau takdir belaka bukan?
Pun, orde lama yang digantikan dengan orde baru, dan kemudian orde baru
digantikan orde reformasi tidak akan tumbang tanpa pemahaman radikalisme, bukan
demikian?
Romantisme Dead Poet Society?
Pohon ilmu
memiliki cabang-cabang ilmu dan ranting-ranting berupa mata ajar atau mata
kuliah. Di perguruan tinggi yang terakreditisasi baik (minimal B), silabus dan Buku Rancangan Pembelajaran merupakan piranti mutlak dari dapat
diselenggarakannya suatu mata ajaran atau mata kuliah. Keduanya disusun bukan
oleh satu orang guru atau dosen, tetapi oleh suatu tim dan memerlukan endorsement dari Senat Akademik atau
setidaknya oleh Unit/Badan Penjamin Mutu Akademik. Di Sekolah Dasar, untuk Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun kurikulum-kurikulum sebelumnya mutlak
disertai silabus, Rencana Pelaksanaan Pengajaran; Prota (Program Tahunan) yang diturunkan menjadi Promes (program
semesteran) dan kemudian kalender pendidikan. Baik di sekolah dasar, menengah
dan perguruan tinggi, juga telah dilaksanakan metoda pengajaran berbasis student center active learning (SCAL) dengan
segala jenis variasinya (collaborative
learning; problem based learning).
Sebutan untuk mahasiswa perguruan tinggi dan murid SD, SMP dan SMA bersalin
nama menjadi peserta didik. Per se UU
No 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, perguruan tinggi, baik berstatus
badan hukum maupun berstatus badan layanan umum, mensyaratkan pengelolaannya
berbasis managerialisme bukan lagi kolegialisme. Penomenanya cukup banyak,
tetapi yang monumental dan mudah dikenali adalah ketua program studi, ketua
jurusan, ketua departemen dan dekan tidak lagi dipilih oleh para dosen tetapi
ditunjuk oleh Rektor. Rektor sendiri kini dipilih oleh Majelis Wali Amanat atau
oleh Menteri Ristek dan Dikti. Konsekuensinya adalah hubungan kerja dosen
dengan perguruan tinggi adalah hubungan industrial, bukan lagi hubungan
kolegialisme. Dosen mendapat penugasan (assignment)
dari Dekan.
Dengan atau tanpa metoda SCAL, agar suatu mata kuliah dapat
dilaksanakan, memiliki necessary
condition berupa adanya silabus, Buku Rancangan Pengajaran, bank soal.
Berdasarkan pelaksanaan tugas mengajar tersebut, kemudian dosen mendapat upah. Upah dosen dihitung berdasarkan Xu (harga satuan pengajaran universitas) dan Xf
(harga satuan pengajaran fakultas). Pada mata kuliah-mata kuliah yang dilaksanakan
dengan metoda SCAL, dosen dan guru tidak lagi menyuapi anak didik atau peserta
didik dengan pemahamannya, tetapi peserta didik-lah yang harus aktif
mengeksplorasi, mencari, mendeduksi dan menginduksi. Dosen dan guru hanya
berperan sebagai fasilitator, sehingga dosen kehilangan mimbar dan guru
kehilangan meja.
Terhadap proses fasilitasi yang dilaksanakan,
setiap akhir semester, peserta didik akan mengisi EDOM (evaluasi dosen oleh
mahasiswa). Kumplit sudah, di hulu, hubungan dosen dengan universitas adalah industrial relation, di hilir, hubungan
dosen dengan peserta didik adalah consumer
relations. PTN-PTN yang berpartisipasi pada diskusi Forum Senat Akademik
PTN BH di Bandung 13-14 Juli yang sudah maju, bahkan telah menerapkan Student Center e-leaning Environment.
“dosen” dan peserta didik tidak lagi perlu bertatap muka, proses pembelajaran
dilakukan melalui teknologi informasi. Perkembangan metoda proses belajar
mengajar yang diendorse dan didorong Dirjen Dikti, dan kini Kementerian Riset
dan Dikti telah abai atau menafikan ayat-ayat dan pasal-pasal tentang peran
Guru dan Dosen sebagai diamanatkan di UU Guru dan Dosen.
Tanpa harus menjelaskan perkembangan metoda pelaksanaan
proses belajar mengajar di perguruan tinggi, delusi ketercemaran kebebasan
akademik yang disampaikan oleh Prof Budi Santoso, dapat dengan mudah
dipatahkan, dengan metoda dan proses belajar mengajar di Universitas Terbuka. Bukankah Universitas Terbuka juga perguruan tinggi?
Boleh jadi yang disampaikan penulis opini tersebut
adalah sinyalemen. Sebagai sebuah sinyalemen, artikel opini tersebut lumayan
masuk akal, agar PTN-bh, PTN-BLU, Menteri
Riset dan Dikti dan BAN-PT untuk berintrospeksi. Jika BAN-PT benar menjalankan
tupoksinya, musykil, BAN-PT memberikan akreditisasi A jika setiap mata kuliah
pada program studi tidak memiliki silabus, BRP, dan dosen pengampu
bersertifikasi. Masalah mendasar di Kementerian Ristek Dikti; perguruan tinggi
dan BAN-PT adalah mendangkalkan pemahaman peraturan perundang-undangan dan
tidak patuh kepada peraturan serta sembrono dalam melaksanakan tugas. Pernyataan
ini dilandasi beberapa fakta, misalnya terjadi di salah satu PTN-bh terkemuka
di Indonesia, kurikulum program studi Administrasi Niaga adalah hasil copycat sehingga percis sama dengan
kurikulum program studi Manajemen. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika Badan
Penjamin Mutu Akademik di tingkat universitas menjalankan tupoksinya. Atau di salah satu PTN-bh
yang akan menghentikan gaji pokok dosen jika tiga semester berturut-turut tidak
menghasilkan dan mempublikasi karya ilmiah. Di tingkat kementerian pun terdapat
upaya mengkerdilkan ketentuan peraturan perundang-undangan, terbitnya Peraturan
Menteri Riset Dikti No 10 Tahun 2017 yang kental dengan diskriminasi adalah
contohnya. Peraturan Menteri ini bertentangan dengan PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen. Pengelolaan perguruan tinggi yang berbasis managerialisme menuntut
kepatuhan, dimulai dari rule making yang comply, patuh dan taat azaz terhadap ketentuan dan peraturan yang lebih tinggi sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan kepatuhan (compliance
audit) secara berkala maupun acak yang ditindaklanjuti dengan upaya korektif.
Radikalisme
Yang Mana?
Jika ada bidang empat persegi panjang atau
bentuk kubus, jika ingin tahu bidang atau kubus tersebut disusun dari berapa
banyak bidang atau dari berapa banyak kubus, maka digunakanlah radikal (akar).
Untuk bidang empat persegi digunakan akar pangkat dua (kwadrat) sedangkan untuk
bangun kubus digunakan akar pangkat tiga. Bangunan ilmu juga dapat didekati
dengan mendekomposisinya dengan cara yang kurang lebih sama. Memang benar, ilmu-ilmu
sosial adalah bidang keilmuan yang syarat dengan sistem nilai dan values. Saya yakin, bahwa para dosen
ilmu-ilmu sosial juga sedang bersama saya, tergelak-gelak membaca opini pencemaran
kebebasan akademik. Di fakultas ekonomi misalnya, dosen mata kuliah Teori
Ekonomi Mikro misalnya mutlak harus menghantarkan peserta didik pada konsep profit maximizing, bahwa perusahaan
harus terus berproduksi dan menjual sampai dengan kurva marginal revenue memotong dari bawah kurva dan kemudian beirisan
dengan kurva marginal cost, dosen
teori ekonomi mikro juga harus menjelaskan konsep maximum utility, bahwa konsumen akan berusaha semaksimal memaksimumkan
kepuasannya sehingga tercapai himpitan tangensial antar kurva utility dengan kurva budget
line dalam sumbu kartesian. Produsen
yang mencari keuntungan maksimum dan konsumen yang mencari kepuasan maksimum
bukankah menyimpangi sila ke-lima pada Panca Sila? Di program studi Kriminologi
atau Sosiologi, peserta didik mutlak paham perbedaan critical theory dan
radical theory of sociology bukan? Dalam ilmu ekonomi, bagaimana negara
berperan atau tidak berperan dapat dikenali dengan pendekatan Keynessian
(dikenal sebagai Keynessian) yang berakar pada keyakinan negara harus dominan
atau pendekatan klasikal yang berakar pada konsep bahwa perekonomian akan
berjalan sendiri dengan mekanisme pasar. Kawan saya yang mengajar ilmu politik
mendefinisikan dengan gamblang dan sederhana, arti kata “demokrasi”, bahwa
esensi demokrasi adalah kehendak rakyat banyak atau dengan kata lain mayoritas.
Jika mayoritas dibicarakan, tidak-kah kita juga mempertimbangkan sisi
minoritas, sehingga kemudian yang dikenal adalah tirani minoritas, bukan tirani
mayoritas, sebab mayoritas sudah pasti mendominasi keputusan-keputusan publik.
Keluaran proses belajar mengajar adalah dihasilkannya
pemikiran kritis. Menugasi murid SMA untuk membahas Flat Earth adalah bagian
dari eksplorasi, bukankah Galileo Galilei menyatakan you can not
teach a man anything; you can only help him find it within himself. Atas pertanyaan anak saya yang duduk di
kelas 3 SD, mengapa burung Garuda Pancasila menengok ke kanan, bukan ke kiri
atau menghadap ke depan atau ke atas, tentu saja secara pedagogis saya tidak boleh serta
merta menjawabnya, karena jika saya menjawab tanpa terlebih dulu memberikannya
kesempatan berekplorasi dan membebaskannya berpikir kritis, maka jawaban saya
atas pertanyaannya memenuhi kriteria untuk disebut indoktrinasi.