Marwah Republik di UMKM dan Koperasi
Shalahuddin Haikal*)
Terpilihnya kembali Jokowi
menjadi Presiden RI periode 2019-2024, membawa konsekuensi bagi beliau untuk
membentuk kabinet baru. Jika pada periode 2014-2019 kabinet itu dinamai Kabinet
Kerja, maka untuk periode 2019-2024 dinamai Kabinet Indonesia Maju. Di balik hiruk
pikuk pesan, pemberitaan, justru yang beliau tidak ucapkan-lah yang perlu disimak. Diantaranya ada menteri-menteri ex
Kabinet Indonesia Kerja yang
lumintu dan berlanjut bahkan
pada bidang yang sama, di kabinet
Indonesia Maju, wajah sama ditempat yang sama. Pesan yang tidak terucap dari terpilihnya kembali bahkan pada
pos yang sama adalah bahwa para menteri ex Kabinet Indonesia Kerja tersebut-lah yang dianggap benar-benar
berkerja dan mengoperasionalkan visi misi. Pada kabinet Indonesia Kerja terdapat satu
atau dua Menteri yang lebih bekerja sebagai administrator bukan manajer,
sehingga tidak keluar beleid baru untuk memperbaiki atau menyempurnakan yang
beleid yang lama. Googling
atau mencari di Google, memang tidak scientific,
tetapi faktanya semua orang yang melek internet, pasti menggunakan Google
sebagai engine search. Cepat, mangkus
dan sederhana, ketik saja nama Kementerian yang dimaksud, misalnya Kementerian
Koperasi dan UKM, di Google, ditemukan sekitar 1.740.000 hasil (0,44 detik) untuk
bilah umum, dan sekitar 47.400 hasil (0,23 detik) untuk bilah berita. Dibandingkan dengan hasil
pencarian Kementerian Keuangan, ditemukan Sekitar 44.800.000 hasil (0,46 detik)
untuk bilah semua, dan sekitar 8.340.000 hasil (0,13 detik) untuk bilah berita.
Kementerian Koperasi dan
UKM baru muncul di
pemberitaan pada setiap tanggal 12 Juli dalam bentuk
adalah pemberitaan upacara hari Koperasi.
Ditunjuknya Teten Masduki dengan
latar belakang ke-LSM-annya, sebagai Menteri Koperasi dan UKM pada Kabinet
Indonesia Maju, mudah-mudahan menjadi angin buritan yang akan membawa biduk UKM
dan Koperasi maju kedepan. Caranya bagaimana agar khalayak ramai dan pengambil
keputusan bisa tahu perkembangan
sektor UKM dan Koperasi, maju atau mundur sektor ini dari
tahun-ke-tahun, satu-satunya cara bukan dengan narasi penuh apologia, tetapi
dengan data statistik. Caranya
bagaimana agar dapat membuat kebijakan atau kebijaksanaan atau beleid? Tidak
bisa tidak, statistik UKM perlu dikinikan, Koperasi perlu disensus. Perlu
majelis pembaca Harian Kompas
ketahui, bahwa statistik UKM yang
dimiliki oleh Kementerian ini sejauh yang tersedia dan dapat diakses oleh publik adalah statistik UKM tahun 2010-2011, sedangkan statistik Koperasi: nihil ! Boleh jadi hanya gegara, tidak dimilikinya statistik UKM terkinikan (dan Koperasi) janji Presiden
Jokowi pada kampanye Pilpres 2014 untuk memberikan bantuan dana Rp 10 juta per
tahun untuk UMKM/Koperasi tidak dapat direalisasikan. Sensus UKM dan Koperasi
mutlak dilakukan dengan presisi dan akurasi, bersifat one
name/one family one address seperti yang telah dilakukan oleh
atau data yang dimiliki oleh Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Data statistik UKM tahun 2010-2011 tersebut pasti sudah berubah tajam, tetapi saya
duga dalam prosentase
tidak berubah banyak, maka bayangkan, densitas total UKM merupakan 99% dari
jumlah usaha; kontribusi terhadap PDB mencapai 58%; penyerapan tenaga kerja
menyumbang 97%. Ini bukan sembarang angka, karena pada angka ini pula-lah sejatinya marwah perekonomian
Republik ini terletak. Sehingga kementerian yang mengurusi UKM dan Koperasi pula-lah
yang bertanggungjawab, setidak-tidaknya menjaga, lebih bagus jika marwah
perekonomian republik yang
koordinasi pembinaan dan pengelolaannya dilaksanakan di Kementerian UKM dan
Koperasi ini dapat ditingkatkan. Terdapat beberapa stakeholder yang sebaiknya bukan saja perlu diajak ikut serta rembugan
apa yang harus dilakukan selama lima tahun ke depan tetapi bahkan bila perlu dikoordinasikan. Siapa saja
mereka ini?
Perguruan Tinggi
Pertama: kurikulum. Hampir semua perguruan tinggi
memiliki Fakultas Ekonomi dan Bisnis ternyata kurikulumnya mempersiapkan peserta didik
menjadi kuli korporasi besar sedangkan korporasi besar hanya menyerap 3% jumlah
tenaga kerja. Haqqul yaqin, 100%
kurikulum jurusan akuntansi dan manajemen di seluruh Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, bukan saja tidak memiliki frasa atau term financial
bootstraaping di dalam kurikulumnya. Misalnya, mata kuliah Manajemen Keuangan, basisnya
adalah korporasi yang telah memisahkan kepemilikan dengan pengelolaan, sesuatu
yang musykil terjadi UMKM. Diperkenalkannya dan dimasukkan hal-hal sederhana
tetapi nyata dan memiliki lokalitas dari aspek financial bootstraaping dilanjutkan dengan menginventarisasi
aspek-aspek lokalitas dan industry
specific akan membuat investasi dan berinvestasi sebagai UKM bukanlah hal
yang risikonya menakutkan.
Diam-diam tanpa banyak cakap, sejatinya industri besar sudah memanfaatkan financial
bootstraaping, contoh yang
sederhana adalah pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah secara bersama-sama. UKM batik yang terkenal dengan
pencemaran karena penggunaan zat pewarna dapat saja memanfaatkannya. Implikasi financial bootstraaping akan merembet
pada penghematan modal kerja dan modal kerja bersih yang akan membuat
risiko investasi menjadi minimal.
Kedua: semangat pioneering. Jika dahulu di tahun 1950-an hingga awal
1960-an, almarhum Prof Koesnadi Hardjasoemantri menginisiasi gerakan Pengerahan Tenaga Mahasiswa untuk membangun puluhan bahkan ratusan
SLP dan SLA di penjuru pelosok negeri, bagaimana peran Perguruan Tinggi
sekarang? Nihil ! Sedangkan
nyaris seluruh perguruan tinggi (swasta maupun negeri) memiliki kegiatan
akademik yang sifatnya wajib dan karenanya memiliki SKS, yakni KKN (Kuliah
Kerja Nyata). KKN yang dilaksanakan dari semester-ke-semester dari tahun
akademik-ke-tahun akademik, ternyata sifatnya ad hoc, sinterklaas syndrome,
datang ke suatu desa, membangun jembatan atau mencat dinding sekolah, selesai,
tahun depan berulang kembali hanya pindah desa. Kegiatan ad hoc dan sinterklaas syndrome dapat diarahkan menjadi kegiatan
yang bersinergi dengan penguatan sektor UKM, semisal petani (petani pada galibnya usaha kecil juga
bukan?) untuk mengerti secara
sederhana bagaimana teknik costing (menghitung biaya produksi) dan
bagaimana pula teknik pricing produk
yang masuk akal dan tidak merugikan, bagaimana memperkuat posisi tawar
di hadapan tengkulak.
Ketiga: riset berbasis sektor
riil (bukan riset pasar modal). Perguruan tinggi yang sedang berlomba-lomba
masuk peringkat dunia, menyebut dirinya the World Class (Research) University
telah berubah menjadi menara gading. Para dosen yang mendadak sekarang menjadi gemar riset, mulai tertarik
meriset start-up, mereka melakukan
riset ini itu anything all about startup,
tetapi ternyata gagal mengartikan start-up
itu sendiri. Dalam pemahaman mereka, start-up
adalah usaha yang akan
mengembangkan aplikasi untuk menciptakan pasar. Sehingga yang tidak memiliki
atau tidak mengembangkan aplikasi tidak dapat disebut start-up. Sedangkan istilah start-up
ini adalah istilah baku yang
sudah berpuluh tahun digunakan di industri modal ventura sebagai klasifikasi pentahapan
pertumbuhan skala usaha. Dimulai dari sekedar seeds yang kemudian jika direalisasikan, seeds pasti akan tumbuh menjadi start-up.
Sehingga start-up adalah konsekuensi logis dari realisasi seeds. Tahap start-up
ditandai dengan mulai dibutuhkannya modal kerja (working capital).
Sudah saatnya Kementerian UKM dan Koperasi
menarik, memaksa jika perlu Perguruan Tinggi untuk dapat menjalankan peran
Dharma ke-tiganya, yakni Pengabdian
kepada Masyarakat. Ukuran-ukuran keberhasilan perguruan tinggi dan dosen
adalah jumlah sitasi dan jumlah publikasi, bukankah ini sama halnya perguruan
tinggi kembali menjadi Menara Gading. Perguruan tinggi dan dosennya merasa
dirinya yang paling pinter, karena mengalami fallacy of composition, bahwa dunia praktik menggunakan teori ini
teori itu, tanpa tahu asbabun
nuzul suatu teori adalah
praksis. Seandainya Newton
tidak tekun mengamati
dan memperhatikan, telaten mengukur jatuhnya buah apel ke tanah, Teori
Gravitasi tidak akan ditemukan. Kegiatan yang menyambungkan sektor UKM dengan perguruan tinggi akan
menghasilkan temuan-temuan yang khas dan spesifik Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan
Pertama: rule making rules.
Ada beberapa bidang pada domain OJK yang berhubungan dengan kehidupan UKM.
Apakah selama ini dalam rule making rules-nya
melibatkan Kementerian yang bertanggungjawab atas keberlanjutan dan kemajuan
UKM? Ini pertanyaan retorik, yang jawabannya adalah hampir yakin, Tidak! Dalam
pembentukan aturan OJK yang berdampak kepada UKM, Kementerian UKM dan Koperasi
setidak-tidaknya dimintai pendapat. Nampak sekali, OJK gagal paham bahwa yang diperlukan oleh UKM dan Koperasi
bukan sekedar pembiayaan, tetapi lebih dari itu adalah pembinaan atau
pendampingan. Peran ini
pembiayaan sekaligus pendampingan adalah peran Lembaga Keuangan yang bernama Modal Ventura. Modal Ventura mendampingi
dan membina UKM yang
dibiayainya bukan karena baik hati atau karena sebab kemanusiaan lainnya tetapi
memang karena model bisnis Modal Ventura memang mensyaratkan memberikan
pembinaan, tujuannya adalah tujuan komersial, agar perusahaan UKM yang dibiayainya cepat tumbuh,
bisa berjalan sendiri dan akhirnya bisa ditinggalkan melalui pintu yang
disebut pasar modal. Oleh OJK,
Modal Ventura dipasung dan dikerdilkan sedemikian rupa sehingga tidak bisa
menjalankan peran yang seharusnya diambilnya. Lebih ekstrim, saya sampai
berpendapat bahwa model bisnis Modal Ventura di Indonesia sebagaimana diatur
oleh OJK (dulu oleh Bapepam LK), telah menjadikan Modal Ventura di Indonesia
tidak lagi dapat disebut sebagai Lembaga Keuangan. Model bisnis Modal Ventura (one-tier) seperti yang diatur oleh OJK
telah menjadikan Modal Ventura adalah macan kertas, dananya terbatas. Dulu
pernah diatur Reksa Dana Penempatan Terbatas, yang galibnya menyerupai Venture Fund. Venture Fund adalah sumber
dana bagi Modal Ventura
untuk dapat membiayai sekaligus membina usaha. OJK bukan saja memasung dari
hulu, bahkan dihilirnyapun modal ventura diborgol. Di
perkenalkannya Papan Akselerasi di bursa Efek, bukan saja menjerumuskan investor ritel Indonesia (yang seperti
kebanyakan orang indonesia lainnya pada dasarnya tidak memiliki budaya membaca dengan teliti: prospektus dan laporan keuangan). Salah satu syarat
diijinkannya perusahaan skala kecil untuk IPO melalui mekanisme Papan
Akselerasi adalah “tidak berafiliasi dengan perusahaan besar”, sedangkan per se, Modal Ventura bukan hanya
berafiliasi, tetapi bahkan merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan skala kecil yang menjadi investee-nya.
Kedua: kredit UMKM. Tahun 2015, terbit Peraturan Bank
Indonesia No 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No
14/22/PBI/2012 Tentang Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Oleh Bank Umum Dan
Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
mengharuskan seluruh perbankan memiliki portofolio ke segmen UMKM minimal
20% dihitung sejak akhir 2018. Dengan total kredit perbankan mencapai +\- Rp
6.850 triliun pada akhir 2018, per se
PBI ini, maka terdapat setidaknya Rp 1.370 triliun alokasi kredit untuk UMKM.
Nah angka ini perlu diperiksa kesahihannya oleh Kementerian UKM dan Koperasi,
apakah benar senilai Rp 1.370 triliun tersebut benar merupakan kredit untuk
UMKM atau jangan-jangan UMKM hanya menjadi namanya saja, seperti pepatah kerbau punya susu sapi punya nama?
(Program Kemitraan) BUMN
Pasal 88 UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN dapat
menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha
kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Kata “dapat” pada UU
tersebut dipertegas oleh Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.
Per-05/MBU/2007 tentang PKBL. Jika pada level UU digunakan pilihan kata
bersifat pilihan
“dapat”, maka pada Permen BUMN kata “dapat” bersalin menjadi “wajib”. Sehingga setiap BUMN Perseroan
maupun BUMN Perum wajib melaksanakan PKBL. Adapun sumber dana PKBL diambil dari
laba setelah pajak sebesar maksimal 4 %, terdiri untuk Program Kemitraan 2% dan
Bina Lingkungan 2%. Jika selama tahun 2018, seluruh BUMN menghasilkan
laba sekitar Rp 200 triliun, maka berarti ada sekitar Rp 4 triliun yang
dialokasikan sebagai Program Kemitraan. Tentunya, Kementerian UKM dan Koperasi
dapat mengambil peran dalam bentuk menyusun kluster UKM / koperasi di setiap
wilayah di Indonesia yang perlu mendapat prioritas pendanaan.
Akhirnya jangan sampai
Kementerian Koperasi dan UKM tetap diadakan karena amanat ayat 4 Pasal 33 UUD
1945, tetapi sebaiknya karena begitu pentingnya martabat perekonomian Indonesia
tetap berada di tangan anak bangsa, maka kementerian ini tetap diperlukan.
Salam!