Pemodal Reksadana: Korban Yang Dikorbankan
oleh: Shalahuddin Haikal*)
Dahulu pada
masa kepemimpinan Arthur Levitt Jr.
salah satu ketua SEC terlama dan melintasi dua masa kepresidenan Bill Clinton
dan George W. Bush, website SEC memiliki banner yang selalu berjalan.....we are the investor’s advocate. Para
pemodal kecil yang berinvestasi pada
saham, obligasi atau reksadana bertemu dengan penerbitnya di pasar
modal. karena mereka ini kecil-kecil dan
berjumlah banyak, tentu saja daya tawar dengan emiten maupun manajer
investasi lemah...hal ini yang menjadi
dasar mengapa sampai diperlukannya UU Pasar Modal, yaitu untuk melindungi pemodal
dari penipuan, fraud dan investasi bodong. UU yang membentuk SEC sendiri lahir
belakangan, karena pasal-pasal pada UUPM memerlukan pihak yang menegakkan
dilaksanakannya UUPM. Pengawas pasar modal yang independen diperlukan untuk
melaksanakan amanat pasar modal tersebut. Independen
tidak dapat dipersamakan dengan netral. Standing independen bagi pengawas pasar modal
bukan netralitas, tetapi keberpihakannya kepada pemodal kecil-kecil dan minoritas.
Bagaimana di
Indonesia? Sudah empat pekan lebih media massa membombardir pembacanya dengan
berita disuspensinya perdagangan reksadana Minna Padi, Narada dan Pratama serta
MNC disusul dengan likuidasi beberapa reksadana KIK. Siapa yang secara ekonomi
menderita kerugian dan boleh disebut sebagai korban? Pastilah para pemodal yang membeli dan
memiliki reksadana-reksadana tersebut sampai dengan tanggal dilikuidasi. Bagaimana
dengan Kontrak Pengelolaan Dana (non-KIK), hanya OJK sajalah yang
tahu!
Jika pembaca
tinggal di kompleks perumahan (a la cluster)
yang pakai portal sehingga tidak sembarang orang bisa bebas keluar masuk dan rajin
bayar iuran keamanan, tapi rumahnya tetap kemalingan, siapa yang pertama kali
patut dimintai pertanggungjawaban oleh pembaca? Tentu saja para penjaga
keamanan kompleks dan penjaga pintu gerbang yang memang dibayar untuk menjaga
keamanan kompleks dan memberikan ijin keluar masuk kompleks. Analogi sederhana
tersebut berlaku di pasar modal. Di
pasar modal, dikenal dan kemudian dibedakan istilah pendaftaran (registering) dan perijinan (licensing). Tidak sembarang orang dapat
melakukan kegiatan di pasar modal, ada banyak aturan yang harus dipenuhi, mulai dari ijin
perorangan, ijin usaha, permodalan,
kepengurusan, kepatuhan pada peraturan dan pedoman sampai dengan pemeriksaan (audit)
dan berakhir dengan pembatalan pendaftaran hingga pembatalan ijin.
Reksadana
yang merupakan kontrak investasi kolektif dan kemudian didefinisikan sebagai
kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit
Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan
Penitipan Kolektif.
Kustodian adalah
bank tempat dana dan efek-efek disimpan. Mengapa dana dan efek musti disimpan
oleh Bank Kustodian? Mahasiswa saya dapat menjawab dengan cepat “untuk menjauhkan dari risiko diikutsertakan
dalam proses kepailitan dan likuidasi pengelolanya”. Seperti saya misalnya
punya angkot, saya bebas mengganti supir, jika terbukti ugal-ugalan dan membahayakan
penumpang. Inilah kontrak, namanya saja kontrak, tentu saja dapat dipindahtangankan,
reksadana adalah KIK yang cuma wadah investasi yang dapat dititipkelolakan
kepada Manajer Investasi lain.
POJK No 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Manajer
Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Reksa Dana sesuai peraturan
perundang-undangan. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak
melaksanakan kewajibannya, Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tersebut
wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya
masing-masing. Verbatim pasal 2 POJK ini, tidak memerlukan tafsir yang
sulit-sulit, pasal tersebut dapat diartikan as
it is. Berapa kerugian yang membebani pemodal reksadana (pemegang unit
penyertaan reksadana-reksadana yang dilikudasi? Sejumlah itulah yang harus dipertanggungjawabkan oleh Manajer
Investasi/Bank Kustodian. Siapa yang dapat meminta / menuntut pertanggungjawaban
kepada Manajer Investasi? Tentu saja pihak yang memberikan ijin usaha Manajer
Investasi, pihak yang memberikan ijin perorangan Wakil Manajer Invetasi, pihak
yang memberikan pernyataan efektif atas penerbitan suatu reksadana oleh Manajer
Investasi. Siapakah ini pihak yang memberikan berbagai ijin tersebut? OJK,
jawabnya !
Bukan
pembenar dan bukan pula apologia, dengan profil IHSG sejak 1 Januari 2019
sampai dengan 17 Desember 2019 yang ajrut-ajrutan seperti arung jeram, segala
jenis pelampauan alokasi portfolio, ketidakpatuhan (antara lain janji fixed
return), perilaku semberono pastilah akan terjadi, sehingga seharusnya ditahun
roller coaster semacam tahun ini, sudah seharusnyalah
sumber https://ihsg-idx.com/
OJK, Bursa,
KSEI, KPEI mutlak mengawasi dengan lebih teliti semua pihak yang harus diawasi,
kalau perlu dengan menambahkan kaca pembesar (loupe) dan lampu sorot (spot
light).
Penyebab
disuspensi dan kemudian dilanjut dengan likudiasi perlu dibedakan atas faktor
di luar kendali (uncontrollable) dan faktor-faktor dalam kendali (controlable) Manajer Investasi. Faktor di
luar kendali misalnya NAB yang kurang dari batas minimum sebesar Rp 10 miliar.
Faktor dalam kendali sebagian besarnya adalah persoalan compliance (kepatuhan
pada aturan OJK), misalnya: (i) kepemilikan
portofolio yang porsinya lebih dari 10% dari NAB untuk reksa dana konvensional,
dan lebih dari 20% untuk reksa dana syariah; (ii) pelanggaran efek terafiliasi
berporsi lebih dari 20% NAB pada beberapa reksa dana yang dikelola perseroan; (iii)
penempatan investasi pada efek utang yang sudah gagal bayar (default); (iv)
terlibat transaksi margin (dana kelolaan punya utang).
Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana atau dana kelolaan yang kurang dari batas minimum (sebesar Rp
10 miliar) selama 3 bulan berturut-turut tidak dapat dijadikan dalil bagi OJK
untuk membubarkan dan melikuidasi reksadana. Dihitung sejak awal tahun sampai
dengan pertengahan Mei, IHSG sudah anjlog 10,89%, dihitung dari awal tahun
sampai dengan 28 Nopember 2019, IHSG sudah melorot 8,94%. Jika reksadana terbit
di pertengahan Februari 2019, dan setelah itu pasar menjadi sangat volatile,
musykil untuk kembali ke posisi NAV semula. Pemodal juga takut membeli
reksadana saham, pada saat pasarnya sangat volatile. [sekedar tips sederhana bagi pemodal: jangan
beli reksadana yang diterbitkan oleh MI saat indeks acuan sedang
tinggi-tingginya atau dipersepsikan sangat tinggi dibanding valuasi sebenarnya
sedangkan bagi manajer investasi: terbitkan reksadana hanya pada saat ada
persepsi bahwa indeks acuan sudah mencapai dasar sumur] POJK tersebut diatas
tidak membedakan antara pelampauan, keterlanjuran, pelanggaran batas minimum,
pelanggaran batas maksimum, disini diperlukan diskresi (ex post) dan kebijakan dalam rule
making rules (ex ante). Peraturan
tinggal peraturan, tinggal bagaimana pihak yang berkewajiban menegakkan
peraturan. Di sektor perbankan, dikenal istilah pelampauan (melampaui bukan
karena unsur kesengajaan), misalnya untuk Net
Open Position. Istilah ini tidak dikenal dalam kasus likuidasi reksadana.
Karena dalam satu atap gedung yang namanya OJK, mengapa PT (Persero) Jiwasraya
dan AJBB Bumiputera yang RBC-nya jauh dibawah ketentuan minimal masih diberikan
ijin menjual produk-produk? Ijinkan saya mengutip rekomendasi IMF sebagai
berikut: On supervision...the main remaining challenges to effective supervision
stem....and OJK’s capacity to supervise them, silos in OJK’s internal structure,
and an insufficiently intrusive supervisory approach across sectors
(IMF Country Report No. 17/152, June 2017). Kembali ke analogi komplek cluster
perumahan, kondisi pengawasan pasar modal Indonesia adalah gabungan antara
portal (pintu gerbang) yang sudah karatan dan lapuk dengan para penjaga
keamanan yang malas patroli, apalagi sedang musim hujan, lebih asyik ngopi di
pos keamanan sambil main ceki.
Siapa yang
memberikan janji fixed return? sudah pasti pihak Manajer Investasi! Apapun
alasannya menjanjikan fixed return adalah salah. Sangat
boleh jadi ini disebabkan karena dua hal sekaligus: (1) masih dipraktekannya remeiser. Siapa ini remeiser?
Seorang remisier (juga dikenal sebagai Representative Dealer's Representative)
adalah agen dari perusahaan pengelola dana, pialang saham dan menerima komisi
untuk setiap transaksi yang ditangani (dibandingkan dengan yang merupakan
karyawan langsung dari perusahaan pialang saham dan yang struktur remunasinya
didasarkan pada dengan gaji tetap bulanan). (2) longgarnya perijinan Wakil Agen Penjual Reksadana (WAPERD),
sehingga mereka yang memiliki WAPERD ini cuma tahu do’s (menjual sebanyak-banyaknya) dan tidak tahu dont’s (apa saja yang tidak boleh
dilakukan). Apapun alasannya, Manajer Investasi tetap bersalah karena dianggap
tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem pengendalian yang memadai.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang bertanggungjawab memastikan dimilikinya
sistem pengawasan dan sistem pengendalian yang memadai? Sayang sekali,
lagi-lagi jawabannya adalah OJK.
Selanjutnya bagaimana?
Karena sudah
jelas yang bersalah, semberono, tidak patuh adalah manajer investasi selaku
pengelola portofolio investasi, tapi kemudian yang absurd dalam kasus-kasus ini
adalah OJK tidak bersegera mencabut ijin usaha Manajer Investasi, tetapi justru
mengenakan dan membebankan sanksi kepada reksadana-reksadana dengan
melikuidasinya. Likudiasi reksadana adalah hukuman kepada pemodal (pemegang UP)
karena kemudian dalam tempo 60 hari sejak dinyatakan dilikuidasi, akan dilakukan
obral dan fire sale atas portofolio
reksadana-reksadana tersebut. Yang wajib dan mutlak mendapat sanksi dan hukuman
yang para pihak yang menjanjikan fixed
return dan mengelola portofolio secara semberono. Pemodal yang sudah dirugikan
karena kena tipu fixed return, dana
kelolaannya dikelola Manajer Investasi dengan semberono dan tidak sesuai
amanat, bukannya diberikan assylum
dan perlindungan tapi malah kena hukuman dalam bentuk suspensi dan likuidasi. Sudah
jatuh, tertimpa tangga pula!
OJK mungkin
lupa atau lamur dalam membaca peraturan yang dibuatnya sendiri bahwa reksa dana Kontrak Investasi Kolektif adalah wadah yang
dapat dipindahtangankan baik pengelolaannya (Manajer Investasi) maupun
penyimpanan dan pengadministrasiannya (Bank Kustodian).
Bagaimana pula dengan amanat Pasal 2 POJK
No 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
menyatakan bahwa dalam hal Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajibannya, Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian tersebut wajib bertanggung jawab atas segala
kerugian yang timbul karena tindakannya masing-masing?
Jika laporan keuangan yang sudah
diaudit, diuji, diasssure oleh profesi Akuntan Publik saja, bahkan laporan
keuangannya sudah disahkan dan mendapat persetujuan dari RUPS, bahkan ada yang
sudah membagi dividen, bisa diralat dalam bentuk restatement laporan keuangan,
mengapa OJK musti malu meralat keputusannya atas sanksi likuidasi reksadana?
Melikuidasi beberapa reksadana tersebut, tanpa melaksanakan Pasal 2 POJK No 23/POJK.04/2016 sama saja mengorbankan korban (yaitu para pemodal reksadana). Alhasil nampak sekali, keberpihakan OJK adalah pada Manajer Investasi bukan pada pemodal yang seharusnya dilindungi.
Melikuidasi beberapa reksadana tersebut, tanpa melaksanakan Pasal 2 POJK No 23/POJK.04/2016 sama saja mengorbankan korban (yaitu para pemodal reksadana). Alhasil nampak sekali, keberpihakan OJK adalah pada Manajer Investasi bukan pada pemodal yang seharusnya dilindungi.
Jika tahun 2020 ini misalnya diproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh 8% sekalipun misalnya,
saya menduga para investor ritel yang secara tradisional berinvestasi di
reksadana akan hilang kepercayaan pada mekanisme Kontrak Investasi Kolektif. Para pemodal / pemilik Unit Penyertaan
reksadana yang telah hilang rasa kepercayaannya akan mulai me-redeem Unit
Penyertaannya, dan selanjutnya bursa saham akan kehilangan captive investornya:
reksadana!
Salam