Problem Dibalik
Rencana Privatisasi BTN
Oleh: Shalahuddin Haikal*)
Fiduciary
duties adalah
terminologi hukum yang menjelaskan relasi antara principal dengan fiduciary
yang berlandaskan trust, kejujuran
dan iktikad baik. Konsep hukum
tersebut, menjelaskan bagaimana seharusnya suatu relasi dibangun, karena dalam bisnis
terdapat relasi tarik menarik antara agen dengan prinsipal yang melahirkan konsep
agent principal problem. Suatu problem
yang terjadi karena perbedaan bahkan benturan kepentingan agent dengan kepentingan principal.
Operasionalisasi fiduciary duties adalah upaya dan
tindakan maksimal dari fiduciaries untuk kepentingan dan kemaslahatan principal. Dalam pengambilan keputusan
misalnya, diperlukan informasi A, B dan C, tetapi informasi C tidak tersedia,
maka keputusan yang diambil oleh prinsipal akan sesat dan salah sehingga
berakibat tidak dapat diimplementasikannya suatu keputusan. Menjadi kewajiban fiduciaries untuk memberitahu principal bahwa basis informasinya masih
kurang dan bila diperlukan meminta prinsipal untuk menunda mengambil keputusan
sebelum informasi C terkumpul. Diterima atau tidak pemberitahuan dan nasehat
fidusiaries adalah urusan principal, yang terpenting di sini adalah fiduciaries
sudah melaksanakan duty of loyalty
dan duty of care yang merupakan dua komponen
pembentuk fiduciary duties.
Tulisan ini tidak
hendak membahas aspek ekonomi dan bisnis dari rencana akuisisi BTN oleh Bank
Mandiri atau dalam frasa yang lebih tepat adalah rencana peningkatan saham
negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng
saham-saham negara di BTN maupun penjualan saham-saham Negara di BTN kepada
Bank Mandiri ataupun bentuk transaksi lainnya. Pembahasan aspek ekonomi dan
bisnis terlalu banyak menggunakan asumsi yang bersifat subyektif.
Pelampauan
Kewenangan
Secara mikro, karena
Bank Mandiri akan menerima tambahan setoran modal Negara dalam bentuk inbreng
saham-saham Negara di BTN dan sebaliknya Kementerian BUMN akan menerima
tambahan saham di Bank Mandiri, mengedepankan kehati-hatian dan bagian dari
manajemen risiko, sudah seharusnyalah dilakukan due diligence, yang didalamnya sudah pasti harus termasuk aspek
legal dari transaksi tersebut.
Kecuali karena lack of competence, mustahil rasanya,
para pihak yang melakukan due diligence
tersebut tidak mengetahui dan tidak dapat menyimpulkan isi dan substansi
pasal-pasal pada UU BUMN yang mengatur penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, pembubaran serta pasal-pasal yang mengatur restrukturisasi dan
privatisasi BUMN. Bahwa setiap perubahan kepenyertaan saham oleh negara, apakah
karena kenaikan (investasi) atau penurunan (privatisasi dengan divestasi)
adalah output dari kegiatan Komite Privatisasi yang harus direncanakan dan
kemudian dinyatakan terlebih dulu dalam RAPBN atau APBN-P. Tambahan investasi
maupun privatisasi pada BUMN adalah kegiatan yang terencana dan terukur bukan
kegiatan bersifat ad hoc.
Secara makro, terdapat
satu kondisi dasar yang diabaikan. Sebutan Menteri selaku Kuasa Pemegang Saham
Negara pada UU BUMN, merujuk kepada Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Huruf
g
Pasal 2 UU Keuangan Negara, Menteri Keuangan adalah pengelola keuangan negara,
termasuk di dalamnya BUMN.
Jika sekarang
terdapat Menteri BUMN yang bertindak sebagai Kuasa Pemegang Saham Negara dengan
Kementerian BUMN-nya, lahir dan dilahirkan dari PP No 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan, Perusahaan
Umum, dan Perusahaan Jawatan Kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Namun,
oleh karena pengelolaan keuangan negara merupakan tanggungjawab Menteri
Keuangan, maka pelimpahan sebagaimana dimaksud dalam PP No 41 Tahun 2003 tidak
termasuk penatausahaan setiap penyertaan modal Negara berikut perubahannya ke
dalam BUMN.
Privatisasi dalam
arti sempit adalah transaksi menjual kepemilikan saham-saham perusahaan yang
dimiliki negara kepada pihak lain. Menurut Merriam Webster Online Dictionary,
transaksi menjual adalah the transfer of
ownership of something from one person to another for a price, sedangkan
dalam KBBI adalah memberikan sesuatu kepada
orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau menerima uang. Tambahan
modal negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng saham-saham negara di BTN
adalah transaksi jual beli. Negara memberikan saham-sahamnya di BTN dan
kemudian kontraprestasinya, Negara mendapat tambahan saham-saham baru di Bank
Mandiri.
Dari definisi
ini-lah, maka rencana peningkatan saham
negara di Bank Mandiri dalam bentuk inbreng
saham-saham negara di BTN, yang berarti penurunan saham-saham di negara di BTN,
adalah domain Menteri Keuangan, bukan Menteri BUMN. Ultra Vires? Ya!
Problem
Salah Kira?
Saat ini di Mahkamah
Konstitusi sedang parkir Perkara No 62/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Forum Hukum BUMN. Esensi
perkara tersebut adalah permohonan supaya BUMN tidak dikategorikan lagi sebagai
domain keuangan negara dan supaya BUMN dikategorikan sebagai perikatan perdata
biasa. Perkara ini sudah disidangkan 11 kali, terakhir kali adalah 16 Oktober
2013. Direncanakan sidang ke-12 akan dilaksanakan pada 22 Oktober 2013, tetapi
entah mengapa tanpa sebab yang jelas, sampai sekarang sidang tidak diteruskan.
Tidak elok tetapi relevan untuk diketahui adalah bahwa Forum Hukum BUMN
diketuai oleh pejabat Kementerian BUMN. Hal ini merupakan bentuk agency problem, bukan soal beretika atau
tidak beretika. Pagar makan tanaman, adalah kias paling tepat untuk upaya uji
konstitusi ke dua UU tersebut.
Menyadari ketidakpatutan
ini, pada 6 Desember 2013, diterbitkan Surat Edaran Menteri BUMN No.02/WK.MBU/2012
tentang Keikutsertaan Pejabat di Lingkungan Kementerian BUMN Sebagai Pengurus
Forum yang intinya meminta Forum (termasuk Forum Hukum tentunya) untuk mengubah
AD/ART-nya yang mengatur keanggotaan ex-officio dari Pejabat Kementerian. Surat
Edaran ini juga eksplisit menjelaskan bahwa keberadaan forum-forum (termasuk
forum Hukum BUMN yang mengira dirinya memiliki hak konstitusi untuk peninjauan
dan penghapusan huruf g dan i Pasal 2 UU Keuangan
Negara serta penghapusan setiap sebutan BUMN pada UU Badan Pemeriksa Keuangan)
adalah legal dan diketahui oleh Menteri BUMN.
Yang perlu menjadi
perhatian adalah terjadi salah kira dari Kementerian BUMN, bahwa BUMN sudah
menjadi perikatan perdata biasa, sehingga segala macam prosedur sebagaimana
diatur pada UU BUMN dan turunannya dalam berbagai Peraturan Pemerintah patut
diabaikan. Problem serupa juga terjadi pada rencana akuisisi Perusahaan Gas
Negara oleh Pertagas, rencana akuisisi PNM dan Pegadaian oleh BRI yang pernah
terucap dan diekspose ramai oleh media massa.
Secara mikro maupun
secara makro, tentu majlis pembaca kini dapat menentukan siapa agent dan siapa pula principal serta siapa yang tidak
melaksanakan kewajiban fiduciaries
kepada principal.
Tabik.