Dividen BUMN, PKBL dan Nilai Buku BUMN
Shalahuddin Haikal*)
Perlu diketahui bahwa
sampai dengan laporan realisasi APBN tahun 2013, kontribusi dividen pada pos
Pendapatan Negara Bukan Pajak, hanya sekitar Rp 34 triliun atau 2,4% saja. Sehingga
jika tahun 2015 ini terdapat 35 BUMN yang akan dilakukan tambahan Penyertaan
Modal Negara sebesar Rp 48 triliun, maka tahun 2015 ini BUMN berkontribusi negatip
terhadap APBN. Sangat disayangkan, tidak ada analis maupun pengamat yang
tertarik untuk menganalisis keberadaan “pajak” di luar UU Pajak yang bukan saja
membebani pemegang saham (negara maupun investor saham BUMN Tbk) tetapi juga
membebani BUMN yang bersangkutan.
Nilai Buku BUMN < Total Ekuitas + Laba Bersih Setelah Distribusi
Dividen?
“Pajak” saya tulis diantara dua
tanda petik, karena “pajak” yang satu ini tidak disetorkan kepada Kas Negara
sebagai penerimaan negara, juga tidak dilaporkan kepada Ditjen Pajak, oleh
karenanya tidak tercatat di APBN sebagai penerimaan negara. Oleh karenanya
kemudian status kepemilikan “pajak” ini-pun tidak jelas, milik negara-kah atau
milik BUMN-kah atau milik para pemegang saham pada BUMN Tbk? Terdapat 138 BUMN
terdiri dari 14 Perum, 104 Perusahaan Perseroan dan 20 BUMN Tbk, kesemuanya
merupakan obyek “pajak” tersebut. Para pemegang saham publik dari 20 BUMN Tbk
yang saham-sahamnya telah dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek, agaknya
tidak berdaya atas praktik pengenaan “pajak” atas laba bersih setelah pajak,
mungkin saja mereka berpikir, “pajak” tersebut merupakan premium yang harus
mereka bayar atas kepemilikan saham BUMN Tbk. Para analis saham juga tidak
pernah berupaya mencari tahu, kenapa angka pertambahan nilai buku BUMN tidak mengikuti
formula laba bersih setelah dikurangi dividend + (ditambah) ekuitas tahun
sebelumnya. Bapepam LK (kini OJK) dan Bursa Efek, juga tidak mengatur pelaporan dan pertanggungjawabannya. Dasar
hukum pengenaan “pajak” atas laba bersih setelah pajak adalah Keputusan Menteri
Badan Usaha Milik Negara No. Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Keputusan ini
terbit tanggal 17 Juni 2003, dua hari mendahului tanggal 19 Juni 2003, tanggal
disahkannya UU BUMN. Keputusan Menteri BUMN ini merupakan petunjuk pelaksanaan
pasal 88 UU BUMN ini, bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat
sekitar BUMN.
Melalui Keputusan Menteri
tersebut, ditetapkan Program Kemitraan sebagai program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN. Dananya bersumber dari: penyisihan laba setelah pajak
sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga persen); hasil bunga pinjaman,
bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi
beban operasional. Sedangkan adalah program pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN. Sumber dananya adalah penyisihan laba setelah pajak
maksimal sebesar 1% (satu persen) dan hasil bunga deposito dan atau jasa giro
dari dana Program BL. Empat tahun setelah terbitnya UU BUMN, barulah
Kementerian BUMN melakukan penyesuaian terhadap Keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara No. Kep-236/MBU/2003 dengan menerbitkan Peraturan No
PER-05/MBU/2007. Perubahan yang dilakukan antara lain adalah besarnya
penyisihan laba setelah pajak menjadi maksimal 2% (dua persen) untuk Program
Kemitraan dari semula dalam rentang 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga
persen). Sedangkan untuk program Bina Lingkungan berubah menjadi maksimal 2%
(dua persen) dari semula 1% (satu persen). Perlu diketahui juga bahwa laba
bersih seluruh BUMN tahun 2007 sebesar Rp 55 triliun dan 2013 sebesar Rp 151
triliun, kumulatif selama 7 tahun adalah sebesar Rp 714,7 triliun.
Pada tahun 2007 itu pula UU No 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang didalamnya mengandung Pasal 74 yang
mewajibkan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) disahkan. Atas disahkannya
UU Perseroan Terbatas ini, terbit Buletin Akuntansi Staf (BAS) Bapepam LK. Pada
jurisdiksi US-SEC, BAS dapat disetarakan dengan “intrepretative letter” atau “no
action letter”. Isi BAS pada pokoknya berisikan bahwa bonus dan tantiem
direksi dan dewan komisaris BUMN dan PKBL harus dianggarkan dan dibiayakan,
tidak boleh diambil dari laba. Perbedaan pendapat kian meruncing manakala tahun
2011, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) berkirim surat yang pada
pokoknya berisikan pemberitahuan bahwa dengan terbit dan berlakunya PSAK No 55
(revisi 2006) maka karakteristik piutang PKBL termasuk dalam lingkup yang
diatur. Akibatnya adalah pengukuran piutang PKBL tersebut harus menggunakan pendekatan
present value dengan tingkat diskonto
effective interest rate. Pengukuran
semacam ini yang tidak dapat dipenuhi oleh PKBL. Konsekuensinya adalah opini
yang diterbitkan oleh KAP terhadap Laporan Keuangan PKBL terdiri dari dua jenis
laporan, yakni: (1) laporan khusus kepada kuasa pemegang saham negara dengan
standar akuntansi yang disusun oleh Kementerian BUMN dengan opini Wajar Tanpa
Pengecualian dan (2) laporan bentuk baku yang disampaikan kepada pemangku
kepentingan lainnya dengan PSAK, KAP akan memberikan opini Wajar Dengan
Pengecualian atau KAP tidak menyatakan pendapat (disclaimer).
Perlu diketahui juga bahwa Laporan
keuangan PKBL termasuk salah satu laporan yang harus dipertanggungjawabkan pada
RUPS BUMN (Perum, Perusahaan Perseroan maupun BUMN Tbk) yang darinya diberikan acquit et de charges.
Jalan keluar atas persoalan yang
timbul dari diberlakukannya PSAK No 55 ini adalah diterapkannya Pedoman
Akuntansi PKBL yang penyusunan dan penyajiannya sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Pedoman Akuntansi PKBL
ini dinyatakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Entitas
Nirlaba (PSAK 45 Revisi 2011). Tujuan penyusunan Pedoman Akuntansi PKBL adalah
agar tercapai Laporan Keuangan PKBL yang auditabel dan akuntabel.
Auditabel tidak sama dengan Akuntabel?
Setelah pedoman akuntansi PKBL
disusun dan digunakan, benarkah laporan keuangan PKBL auditabel? Hanya akuntan
publik saja-lah yang dapat menjawab. Benarkah laporan keuangan PKBL akuntabel?
Rasanya tidak, karena “laba bersih setelah pajak” adalah milik pemegang saham. Tidak
ada lagi pengenaan “pajak”. Jika masih ada “pajak” maka PPh pasal berapakah dan
diatur pada UU Pajak yang mana? Dalam hal Perum dan Perusahaan Perseroan,
bagaimana bisa “laba bersih setelah pajak” diambil begitu saja dan tidak
disetorkan kepada kas negara dan tidak dicatat sebagai bagian penerimaan negara
dan kemudian pengklasifikasian, pencatatan dan pelaporannya disusun berdasarkan
SAK ETAP.
Dalam hal BUMN Tbk, selain juga
merupakan “pajak” setelah “laba bersih setelah pajak” yang tidak disetorkan ke
kas negara dan tidak dicatat sebagai bagian penerimaan negara, PKBL merupakan juga
merupakan pengenaan “pajak” pada level pemegang saham (termasuk pemegang saham
publik), setelah pada level korporasi, BUMN tersebut dikenai PPh.
Oleh karena huruf g pasal 2 UU
Keuangan Negara yang menyatakan bahwa “kekayaan negara meliputi juga kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah” masih efektif berlaku, maka dana PKBL adalah milik pemegang saham,
termasuk negara sebesar prosentase kepemilikannya. Tidak pas menggunakan SAK
ETAP untuk pelaporan dana PKBL. Demikian pula pada BUMN Tbk, sebagai perusahaan
publik, tidak bisa dong pelaporan dana PKBL menggunakan Standar Akuntansi
Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP).
“Pajak” atau “pengutipan” yang
terjadi selama periode 2007 sampai 2013 sebesar ± 3% s.d 4% dari laba bersih
setelah pajak BUMN terdapat angka Rp 21,4 triliun sampai dengan Rp 28,5
triliun. Mungkin saja perkiraan kasar tersebut keliru, tapi jangan lupa “Alokasi laba BUMN untuk Dana Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dikelola secara ekstrakomptable mengurangi
hak negara atas kekayaan BUMN minimal sebesar Rp 9,13 triliun dan berpotensi terjadi
penyalahgunaan dana PKBL” adalah frasa yang digunakan oleh BPK pada Laporan
Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan RI atas Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat Tahun 2013. Frasa yang digunakan oleh BPK tersebut, mengandung dua kata
kunci, yakni “mengurangi hak negara” dan “potensi terjadi penyalahgunaan dana
PKBL”.
Salam.