Sabtu, April 04, 2015

Dividen BUMN, PKBL dan Nilai Buku BUMN



Dividen BUMN, PKBL dan Nilai Buku BUMN

Shalahuddin Haikal*)

Perlu diketahui bahwa sampai dengan laporan realisasi APBN tahun 2013, kontribusi dividen pada pos Pendapatan Negara Bukan Pajak, hanya sekitar Rp 34 triliun atau 2,4% saja. Sehingga jika tahun 2015 ini terdapat 35 BUMN yang akan dilakukan tambahan Penyertaan Modal Negara sebesar Rp 48 triliun, maka tahun 2015 ini BUMN berkontribusi negatip terhadap APBN. Sangat disayangkan, tidak ada analis maupun pengamat yang tertarik untuk menganalisis keberadaan “pajak” di luar UU Pajak yang bukan saja membebani pemegang saham (negara maupun investor saham BUMN Tbk) tetapi juga membebani BUMN yang bersangkutan.

Nilai Buku BUMN < Total Ekuitas + Laba Bersih Setelah Distribusi Dividen?
“Pajak” saya tulis diantara dua tanda petik, karena “pajak” yang satu ini tidak disetorkan kepada Kas Negara sebagai penerimaan negara, juga tidak dilaporkan kepada Ditjen Pajak, oleh karenanya tidak tercatat di APBN sebagai penerimaan negara. Oleh karenanya kemudian status kepemilikan “pajak” ini-pun tidak jelas, milik negara-kah atau milik BUMN-kah atau milik para pemegang saham pada BUMN Tbk? Terdapat 138 BUMN terdiri dari 14 Perum, 104 Perusahaan Perseroan dan 20 BUMN Tbk, kesemuanya merupakan obyek “pajak” tersebut. Para pemegang saham publik dari 20 BUMN Tbk yang saham-sahamnya telah dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek, agaknya tidak berdaya atas praktik pengenaan “pajak” atas laba bersih setelah pajak, mungkin saja mereka berpikir, “pajak” tersebut merupakan premium yang harus mereka bayar atas kepemilikan saham BUMN Tbk. Para analis saham juga tidak pernah berupaya mencari tahu, kenapa angka pertambahan nilai buku BUMN tidak mengikuti formula laba bersih setelah dikurangi dividend + (ditambah) ekuitas tahun sebelumnya. Bapepam LK (kini OJK) dan Bursa Efek, juga tidak mengatur  pelaporan dan pertanggungjawabannya. Dasar hukum pengenaan “pajak” atas laba bersih setelah pajak adalah Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Keputusan ini terbit tanggal 17 Juni 2003, dua hari mendahului tanggal 19 Juni 2003, tanggal disahkannya UU BUMN. Keputusan Menteri BUMN ini merupakan petunjuk pelaksanaan pasal 88 UU BUMN ini, bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.

Melalui Keputusan Menteri tersebut, ditetapkan Program Kemitraan sebagai program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Dananya bersumber dari: penyisihan laba setelah pajak sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga persen); hasil bunga pinjaman, bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional. Sedangkan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sumber dananya adalah penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 1% (satu persen) dan hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program BL. Empat tahun setelah terbitnya UU BUMN, barulah Kementerian BUMN melakukan penyesuaian terhadap Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. Kep-236/MBU/2003 dengan menerbitkan Peraturan No PER-05/MBU/2007. Perubahan yang dilakukan antara lain adalah besarnya penyisihan laba setelah pajak menjadi maksimal 2% (dua persen) untuk Program Kemitraan dari semula dalam rentang 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga persen). Sedangkan untuk program Bina Lingkungan berubah menjadi maksimal 2% (dua persen) dari semula 1% (satu persen). Perlu diketahui juga bahwa laba bersih seluruh BUMN tahun 2007 sebesar Rp 55 triliun dan 2013 sebesar Rp 151 triliun, kumulatif selama 7 tahun adalah sebesar Rp 714,7 triliun.

Pada tahun 2007 itu pula UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang didalamnya mengandung Pasal 74 yang mewajibkan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) disahkan. Atas disahkannya UU Perseroan Terbatas ini, terbit Buletin Akuntansi Staf (BAS) Bapepam LK. Pada jurisdiksi US-SEC, BAS dapat disetarakan dengan “intrepretative letter” atau “no action letter”. Isi BAS pada pokoknya berisikan bahwa bonus dan tantiem direksi dan dewan komisaris BUMN dan PKBL harus dianggarkan dan dibiayakan, tidak boleh diambil dari laba. Perbedaan pendapat kian meruncing manakala tahun 2011, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) berkirim surat yang pada pokoknya berisikan pemberitahuan bahwa dengan terbit dan berlakunya PSAK No 55 (revisi 2006) maka karakteristik piutang PKBL termasuk dalam lingkup yang diatur. Akibatnya adalah pengukuran piutang PKBL tersebut harus menggunakan pendekatan present value dengan tingkat diskonto effective interest rate. Pengukuran semacam ini yang tidak dapat dipenuhi oleh PKBL. Konsekuensinya adalah opini yang diterbitkan oleh KAP terhadap Laporan Keuangan PKBL terdiri dari dua jenis laporan, yakni: (1) laporan khusus kepada kuasa pemegang saham negara dengan standar akuntansi yang disusun oleh Kementerian BUMN dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dan (2) laporan bentuk baku yang disampaikan kepada pemangku kepentingan lainnya dengan PSAK, KAP akan memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian atau KAP tidak menyatakan pendapat (disclaimer).

Perlu diketahui juga bahwa Laporan keuangan PKBL termasuk salah satu laporan yang harus dipertanggungjawabkan pada RUPS BUMN (Perum, Perusahaan Perseroan maupun BUMN Tbk) yang darinya diberikan acquit et de charges

Jalan keluar atas persoalan yang timbul dari diberlakukannya PSAK No 55 ini adalah diterapkannya Pedoman Akuntansi PKBL yang penyusunan dan penyajiannya sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Pedoman Akuntansi PKBL ini dinyatakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba (PSAK 45 Revisi 2011). Tujuan penyusunan Pedoman Akuntansi PKBL adalah agar tercapai Laporan Keuangan PKBL yang auditabel dan akuntabel.

Auditabel tidak sama dengan Akuntabel?
Setelah pedoman akuntansi PKBL disusun dan digunakan, benarkah laporan keuangan PKBL auditabel? Hanya akuntan publik saja-lah yang dapat menjawab. Benarkah laporan keuangan PKBL akuntabel? Rasanya tidak, karena “laba bersih setelah pajak” adalah milik pemegang saham. Tidak ada lagi pengenaan “pajak”. Jika masih ada “pajak” maka PPh pasal berapakah dan diatur pada UU Pajak yang mana? Dalam hal Perum dan Perusahaan Perseroan, bagaimana bisa “laba bersih setelah pajak” diambil begitu saja dan tidak disetorkan kepada kas negara dan tidak dicatat sebagai bagian penerimaan negara dan kemudian pengklasifikasian, pencatatan dan pelaporannya disusun berdasarkan SAK ETAP. 

Dalam hal BUMN Tbk, selain juga merupakan “pajak” setelah “laba bersih setelah pajak” yang tidak disetorkan ke kas negara dan tidak dicatat sebagai bagian penerimaan negara, PKBL merupakan juga merupakan pengenaan “pajak” pada level pemegang saham (termasuk pemegang saham publik), setelah pada level korporasi, BUMN tersebut dikenai PPh. 

Oleh karena huruf g pasal 2 UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa “kekayaan negara meliputi juga kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” masih efektif berlaku, maka dana PKBL adalah milik pemegang saham, termasuk negara sebesar prosentase kepemilikannya. Tidak pas menggunakan SAK ETAP untuk pelaporan dana PKBL. Demikian pula pada BUMN Tbk, sebagai perusahaan publik, tidak bisa dong pelaporan dana PKBL menggunakan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP).

“Pajak” atau “pengutipan” yang terjadi selama periode 2007 sampai 2013 sebesar ± 3% s.d 4% dari laba bersih setelah pajak BUMN terdapat angka Rp 21,4 triliun sampai dengan Rp 28,5 triliun. Mungkin saja perkiraan kasar tersebut keliru, tapi jangan lupa “Alokasi laba BUMN untuk Dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dikelola secara ekstrakomptable mengurangi hak negara atas kekayaan BUMN minimal sebesar Rp 9,13 triliun dan berpotensi terjadi penyalahgunaan dana PKBL” adalah frasa yang digunakan oleh BPK pada Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013. Frasa yang digunakan oleh BPK tersebut, mengandung dua kata kunci, yakni “mengurangi hak negara” dan “potensi terjadi penyalahgunaan dana PKBL”. 

Salam.


*) Pendidik, ACFE® educator member.